18. Does God Really Exist?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hah ... hah ... hah ....

Suara napas tersengal-sengal, diiringi kerasnya gongongan anjing, membayangi langkah kaki sesosok wanita berbaju kotak-kotak. Sepatu hitamnya menginjak aspal berkerikil dengan amat tergesa-gesa. Berulang kali kepalanya menghadap ke belakang. Melangkah kian cepat, dengan bibir gemetar ketakutan. Di detik-detik yang paling mengerikan dalam hidupnya, satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah memohon pada Tuhan—memohon dengan sangat.

Tuhan Yesus, ratapnya pahit. Tolonglah dombamu yang sedang tersesat ini.

Napas lelahnya kembali menyatu bersama udara dingin.

Anjing jenis serigala itu masih mengikutinya berlari.

Wanita itu melihat sekeliling. Tidak ada lampu penerangan. Jalanan sunyi dan gelap. Dia hampir tersungkur saat sebuah lubang tak sengaja diinjaknya.

"Akh ...," desisnya penuh kesakitan.

Air matanya perlahan merembes keluar. Sekali lagi dia memohon pada Tuhan. Demi apapun, dia ingin tetap hidup. Namun, sedetik kemudian muncul keragu-raguan dalam hatinya. Tuhan mungkin sudah sangat murka dan mengutuknya. Tuhan pasti tidak akan memberinya umur panjang, sebab dia telah mengkhianati takdirnya sendiri. Hidup yang dia jalani selama ini tak ayal ibarat sebuah lakon yang penuh dengan kepalsuan. Sesungguhnya dia pun amat sangat malu untuk kembali mengharap pada Tuhan. Dia tidak pantas. Dia seorang pendosa. Apa mungkin Tuhan bersedia mengabulkan doa-doanya? Lantas, timbul sebuah pertanyaan dalam hati kecilnya: mengapa dia hanya mengandalkan Tuhan di saat seperti ini--saat ajal akan datang menjemputnya?

"Tuhan akan menunjukkanmu jalan yang lurus ...."

Kalimat itu tiba-tiba terngiang dalam kepalanya.

"Joseph, kenapa kamu seperti ini? Tuhan pasti akan menunjukkanmu jalan yang lurus."

Wanita itu tersentak hebat. Matanya menangkap sebuah box telepon umum dekat halte tua di perempatan jalan. Jalanan lurus yang terbentang di hadapannya seakan memberinya harapan baru. Wanita itu mempercepat langkah. Berlari dan terus berlari. Tanpa tahu bahwa jalan lurus yang dia lihat itu, pada akhirnya akan mengantarkannnya pada Sang Maut.

"BP3KR? Partai apa itu?" tanya seorang prajurit saat tengah berbincang di depan kamar mandi.

"Partai, endasmu!" sahut lawan bicaranya kesal. "Aku dengar akan ada pemekaran di sejumlah wilayah. Setelah lama bergabung dengan Riau, daerah Kepulauan Riau akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dengan membentuk Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR). Kalau sampai disetujui, sepertinya akan terjadi mutasi besar-besaran nantinya."

Bisik-bisik para prajurit itu tak sengaja sampai ke telinga Letnan Samsuri. Dia menghela napas tidak percaya.

"Wah ...," katanya takjub bukan main. Mendadak Letnan Samsuri teringat sesuatu. Seketika dia merogoh sakunya. Mengambil HT keramat miliknya yang selama dua tahun ini tidak pernah berfungsi lagi. Inspektur Dimas Armedy Chan memang pernah bercerita padanya bahwa akan terjadi banyak pemekaran nantinya, baik di tingkat kabupaten, maupun provinsi.

Tahun 2002 Kepulauan Riau dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi provinsi baru ke-32 di Indonesia.

Letnan Samsuri memiliki firasat, ucapan Inspektur itu sepertinya memang akan menjadi kenyataan. "Wah ... bagaimana bisa?" Letnan Samsuri merasa tidak percaya, tetapi .... "Benar juga. Dia bilang dia hidup di tahun 2020," decaknya kagum sembari menggelengkan kepala. "Dunia ini pasti sudah gila."

"Samsuri!"

Teriakan Kapten Darwis menyentaknya dari ujung koridor. Letnan Samsuri lantas buru-buru menghadap. Ayis, Guntur, dan Denisar rupanya sudah siap sedia di sana.

"Cepat, kita berangkat ke Batam," ucap Kapten Darwis sambil menepuk pundaknya.

"Apa mungkin karena Anda merasa malu?" Langit-langit rumah yang telah menghitam di sana-sini Dimas tatap dengan kesal. "Dengan kondisi anak Ibu?" lanjutnya sembari menyambar wajah wanita renta itu. Raut wajahnya terlihat seperti orang yang memendam penyakit kronis saja.

"Beritanya memang sudah beredar. Kerangka tersebut memang milik seorang waria, lalu apa masalahnya?"

Ibu Lisbeth tercekat. Dia kehabisan kata-kata.

"Putra Anda tewas di tanah yang dingin. Tidak punya makam, dikuburkan layaknya binatang di bawah tumpukan sampah. Apakah Anda tidak ingin menguburkan putra Anda dengan layak?!" desak Dimas, kesal bukan main.

Perlahan air mata menetes keluar dari pelupuk wanita renta itu. Kata-kata Dimas berhasil memukul hatinya.

Ya, Tuhan. Ibu macam apa aku ini? Dia meratap dalam hati, tak kuasa lagi berkata-kata. Bagaimana bisa dia sampai tega menyandingkan foto putranya dengan ayat kematian?

Selama ini Ibu Lisbeth hidup dengan anggapan bahwa putranya sudah meninggal. Tepatnya, sejak putranya memutuskan hidup menjadi seorang waria, Ibu Listbeth tidak lagi mengakuinya. Dia sudah merasa cukup menanggung malu, juga muak dengan cibiran para tetangga.

Dia menyesal setengah mati.

"Joseph ...," Sembari terisak-isak, wanita renta itu memukuli dadanya. Sakit. Itulah yang dirasakannya—hingga tanpa sadar wajahnya pun basah oleh air mata. "Joseph, maafkan Ibu, Nak ...."

.

.

Aryan tersenyum sekilas sembari menatap meja inspekturnya. Komputer di meja tersebut menyala tetapi sosok Dimas tak dia temui di sana.

"Putra Anda tewas di tanah yang dingin. Tidak punya makam, dikuburkan layaknya binatang di bawah tumpukan sampah. Apakah Anda tidak ingin menguburkan putra Anda dengan layak?"

Kalimat itu sempat membuat Aryan merinding. Dia sendiri masih tidak menyangka kalimat semacam itu akan keluar dari mulut sang Inspektur—mengingat sifat Dimas yang keras dan hobinya berfoya-foya juga mabuk-mabukan.

Mungkin benar kata orang di luar sana. Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari cover-nya saja. Dimas juga punya sisi lain dalam dirinya yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun. Aryan merasa Dimas hanya sedang terluka dan tidak tahu bagaimana melampiaskannya. Meski Dimas tidak pernah menceritakan apapun padanya, Aryan cukup sering mendapatinya meracaukan banyak hal, terutama tentang keluarganya, saat sedang mabuk atau tertidur.

Aryan menarik diri dari lamunan ketika telinganya samar-samar mendengar suara HT mengudara. Merasa aneh, sebab saat diperiksa, HT miliknya, yang dia berdirikan sejak tadi di atas meja, layarnya sama sekali tidak menyala.

Buru-buru matanya melirik ke bawah. Dan, suara kresek itu pun terdengar makin jelas, berasal dari laci meja milik Dimas. Merasa penasaran, Aryan bermaksud membuka laci tersebut. Namun, betapa terkejutnya dia, saat mendengar teriakan Dimas juga Kapten Depari memenuhi pintu masuk.

"Apa ini masuk akal, Kapten? Kasusnya akan dilimpahkan ke Satuan Jatanras?"

Briptu itu lantas menengok pintu masuk. Dilihatnya Kapten Depari tampak kewalahan menghadapi Dimas di sana.

"Dia saksi kita! Saksi, Kapten!"

"Gadis itu belum sadarkan diri, Dimas. Insiden penyerangan yang terjadi tidak sampai menghilangkan nyawanya. Sebab itu kasusnya dilimpahkan ke Jatanras. Para atasan ingin kita berfokus pada kasus kerangka Santini."

"Wah ... tidak sampai menghilangkan nyawanya?" ulang Dimas dengan nada sarkastik. Bagaimana bisa kalimat itu meluncur dari mulut Kapten Depari? Dimas sendiri tidak pernah berharap Disza Anszani sampai harus meregang nyawa akibat insiden itu.

"Jelas-jelas Disza Anszani diserang di rumah reyot itu. Ini pasti ada hubungannya dengan kasus kerangka yang sedang kita selidiki, Kapten." Dimas tampak masih berkeras meyakinkan.

"Ini perintah, Dimas. Kita akan menyelidiknya secara terpisah. Sampai gadis itu sadar, baru kita akan memanggilnya sebagai saksi."

"Sial ...," maki Dimas kesal, kemudian segera meloyor dari hadapan Kapten Depari menuju mejanya, lantas dilemparnya tumpukan berkas yang sedari tadi dia bawa ke atas meja.

Aryan mengintip sekilas isi berkas tersebut. Matanya seketika membulat. "Identitas si ahli waris itu sudah diketahui, Inspektur?"

"Ya," desah Dimas lelah bukan main. "Namanya Rudi Ardian. Dia seorang guru matematika di Yayasan Shandi Putra II."

"Oh, ngomong-ngomong, tadi saya seperti mendengar sesuatu dari dalam laci Anda, Inspektur."

"Apa katamu?!" Dimas tampak tercengang. Sementara Aryan yang bingung melihat reaksi sang Inspektur hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Tangan Dimas langsung meraih gagang laci, kemudian menariknya keluar dengan cepat. Sayangnya, begitu laci tersebut membuka, HT tua yang Dimas biarkan teronggok di dalam sana, layarnya sudah mati total.

Sore itu Batam dan wilayah sekitarnya diguyur hujan lebat. Daerah di Kilometer 13 yang merupakan kawasan terbiar dan ditumbuhi banyak ilalang sedikit demi sedikit mulai digenangi air. Hal ini mengakibatkan penyisiran yang tengah dilakukan anggota kepolisian di sekitar lokasi kejadian jadi terkendala.

"Hujan jelas akan menghambat segalanya." Gerutuan Letnan Samsuri tak sengaja sampai ke telinga Kapten Darwis.

Kapten itu langsung berteriak dari dalam area garis polisi. "Cari sampai dapat! Apapun itu, bawakan barang buktinya ke hadapanku!" Dia nyaris putus asa.

Ilalang yang tumbuh liar hampir menyatu dengan tanah basah saat diinjak puluhan sepatu boots para prajurit. Mereka menyebar, menyisir, serta menyibak tumbuhan liar tersebut, berharap menemukan secuil harapan yang dapat mengantarkan mereka pada pelaku.

"Dasar sinting." Guntur yang sedang berjongkok di lokasi pembuangan mayat tak henti-hentinya memaki. Kondisi TKP sampai begini kacaunya. Area belumpur yang diinjaknya tadi ibarat ranjau sialan yang membuat sepatunya hampir terlepas dari kaki.

Semua porak-poranda dilalap hujan. Mereka bahkan tak bisa melihat secara langsung bagaimana kondisi TKP sebelum ini. Saat ini mereka hanya bisa mengandalkan beberapa foto yang telah diambil para prajurit sebelum mereka tiba di lokasi, juga kesaksiaan para warga setempat yang tak sengaja menemukan mayat dua orang wanita tersebut.

"Cepat! Bergerak!" perintah Kapten Darwis lagi. Namun, petir tiba-tiba menyalak hebat, membuat semua orang reflkes merunduk melindungi diri.

Situasinya sungguh tidak bagus. Mereka sedang berada di alam terbuka saat ini. Menyadari hal tersebut, Kapten Darwis terpaksa menarik pasukan. Dia khawatir hal buruk justru akan menimpa seluruh anak buahnya. "Kita hentikan pencarian ini sementara!"

"Siap, Kapten!"

Letnan Samsuri serta-merta ikut berbalik menyusul sang Kapten dan juga rekan-rekannya yang telah berjalan di depan. Namun, langkah Letnan itu langsung terhenti sesaat mendengar HT dalam sakunya samar-samar bersuara.

"Inspektur?" Layar HT tersebut bercahaya. Beberapa kali Letnan Samsuri berusaha menyapa, tetapi tak kunjung mendapat jawaban.

Pria itu memutuskan memisahkan diri dari barisan. "Inspektur? Apa Anda bisa mendengar saya?" risaunya berkali-kali. Dia berjalan lurus ke arah berlawanan. Frekuensi HT tersebut mungkin saja terganggu akibat cuaca buruk. "Apakah Anda baik-baik saja di sana? Inspketur? Ins—"

Letnan Samsuri berdecak keras.

Wajah lelahnya tampak sedikit kecewa saat menyadari HT di tangannya telah redup. Dia bahkan belum sempat mengucapkan rasa terima kasihnya pada inspektur itu.

Pria yang seolah tidak pernah bisa lepas dari batangan rokok itu lantas membuka tudung jas hujannya. Air yang menyerupai jarum berjatuhan, seketika mendinginkan isi kepalanya. Saat hendak melangkah untuk menyusul kembali rekan-rekannya yang kini sudah tidak tampak, mata Letnan itu tak sengaja mendapati sebuah box telepon umum yang nyaris tumbang dekat halte di perempatan. Dahinya tampak berkerut memperhatikan sekeliling. Berulang kali Letnan Samsuri menatap ke kanan-kiri, kiri-kanan sampai dia benar-benar yakin pada firasatnya.

Box telepon itu lokasinya tidak begitu jauh dari TKP di Kilometer 13.

"Apa mungkin ...?"

"Yan, apa kau tidak bisa cepat sedikit? Ini sudah hampir jam satu. Bagaimana nanti kalau si Rudi itu keburu pulang? Kita sudah mencarinya di rumah kos-kosan tapi nihil. Cepat! Cepat! Kita tidak punya banyak waktu." tegur Dimas tidak sabaran untuk ke sekian kalinya.

Aryan hanya menampakkan wajah bosannya yang tak begitu kentara. Dia sudah cukup lelah untuk menanggapi gerutuan Dimas. "Kalau bisa terbang kita sudah sampai dari tadi, Inspektur," ucapnya dalam hati sembari memutar bola mata.

Kenyataannya mereka justru terjebak macet di Perempatan Sudirman. Mobil serta kendaraan roda dua saling serobot berebut jalan. Mereka nyaris tak bergerak sejak sepuluh menit yang lalu. Aryan menurunkan kaca jendela, kemudian bertanya pada seorang pengguna motor yang berhenti tepat di sebelah mobil patroli mereka.

"Mereka bilang ada tawuran antar sekolah di depan sana," ucap Aryan memberitahu.

"Apa?" Dimas mendesah sembari mengipasi tubuhnya yang mulai kepanasan. "Membuat repot saja. Ck."

Kepala Aryan kembali menyembul keluar. Tidak bisa diprediksi berapa lama lagi mereka bisa sampai di Yayasan Shandi Putra II. Rasanya juga mustahil untuk memutar arah, sebab posisi mobil patroli sangat tidak memungkinkan untuk berbalik. Mereka terhimpit puluhan kendaraan lain yang menggeliat tak sabar layaknya ribuan belatung yang hendak meyantap daging busuk.

Dimas lantas turun dari dalam mobil patroli untuk memeriksa sekitar. Dari posisinya berdiri, dia bisa melihat puncak gedung Yayasan Shandi Putra II yang menjulang tinggi di balik tiang listrik dan gedung pertokoan. Dimas memberitahu Aryan akan melanjutkan berjalan kaki saja dari sini. Sepertinya lokasi tempat Rudi Ardian bekerja tidak begitu jauh dari Perempatan Sudirman.

"Kita bertemu di sana setengah jam lagi," katanya sebelum beranjak meninggalkan Aryan.

Lima menit berjalan lurus, akhirnya Dimas tiba di depan lampu merah. Suara gemuruh orang-orang berlari terdengar jelas saat dia berdiri menantang zebra cross. Lebarnya Perempatan Sudirman menjadi saksi puluhan anak SMA dengan seragam berbeda saling adu serangan. Aksi saling lempar batu dan balas menyumpah pun tak bisa terelakkan.

Asap hitam yang timbul akibat pembakaran ban di sana-sini membumbung tinggi, menambah tingkat polusi udara di langit. Tidak ada satu pun yang berani mendekat. Siang itu begitu terik dan kacau. Suasana di depan pun tampak mulai berubah rusuh. Beberapa orang berteriak keras menghentikan, tetapi percuma. Gejolak masa muda dalam diri anak-anak ingusan itu rupanya telah menguasai akal sehat hingga menulikan jiwa kesadaran mereka.

Tanpa sengaja Dimas menangkap bisik-bisik para pengguna jalan yang memilih menyingkir di zona aman. “SMA Dharmawangsa terlibat tawuran dengan anak-anak Yayasan Shandi Putra II!”

“Telpon polisi!"

Sepertinya tawuran ini baru saja dimulai, sebab mereka baru akan menelpon polisi. Tunggu! SMA Dharmawangsa? Seru Dimas dalam hatinya.

“Kalau tidak salah itu kan sekolah Eja.”

Benar. Dimas yakin sekali, sebab warna seragam sekolah yang dikenakan salah satu kubu terlihat cukup familiar baginya.

Mata Dimas menyipit tajam tatkala mendapati sosok Nala—si homo sialan—ada di antara sekian banyaknya kerumunan anak-anak liar di depan sana. Lima orang bersenjatakan balok kayu menghadangnya sekaligus. Nala berdiri angkuh sembari memasang wajah tak peduli. Dia mengelak dengan cepat. Meski beberapa pukulan sempat mendarat di punggungnya, dia tetap bangkit kembali lalu maju, seakan tak menenal rasa takut.

Dimas memicing. Menyadari ada yang aneh dengan tingkah homo sialan itu. Nala jelas tidak berniat membalas serangan anak-anak Dharmawangsa yang memukulinya barusan. Sebaliknya, dia justru berjalan lurus, setengah berlari mengejar seorang anak berjaket gelap yang sedari tadi gencar menjauhinya. Wajahya menatap dengan penuh amarah.

“Jangan lari kau!”

Nala melompat, menarik cepat jaket yang dikenakan orang itu hingga tubuh keduanya tersungkur di atas aspal. Si anak berjaket gelap berusaha bangkit, tetapi Nala tak membiarkannya lolos begitu saja. Nala mendekap lehernya kuat-kuat dengan lengan kanan dari belakang—hingga si anak berjaket gelap meronta-ronta kesakitan. Dia bisa saja mati kehabisan napas atau menderita patah tulang leher, tetapi Nala seakan tidak peduli. Anak-anak Dharmawangsa lainnya berusaha melerai dengan mendaratkan tendangan di tubuh Nala, tetapi Nala tetap tidak sudi melepasnya. Cengkramannya justru makin kuat.

“Nala!” Dimas berlari kencang ke arahnya, berusaha memisahkan kedua anak itu. “Nala, sudah cukup! Apa kau ingin membunuhnya?!” 

Sampai suara tembakan gas air mata yang dilesatkan personil Satuan Shabara terdengar pun tak juga membuatnya berhenti. Dimas bisa merasakannya—amarah Nala sudah mencapai ke ubun-ubun.

Kerumunan anak-anak SMA gila itu seketika lari tunggang langgang saat dikejar oleh Satuan Shabara yang mulai turun ke jalan.

“Nala! Sudah. Hentikan," bujuknya pelan. Akhirnya Dimas berhasil menariknya, memeluknya sekuat yang dia bisa, dan membawanya pergi sejauh mungkin dari anak berjaket gelap  itu.

Dengan sisa-sia tenaga dan napas yang masih terengah-engah, Nala mencoba memberontak dalam dekapan Dimas. “Lepas! Ke mari kau, bangsat!” Mulutnya terus saja menyumpah-nyumpah. Rasa kesal yang menumpuk di dadanya nyaris membuatnya menangis.

Anak berjaket itu telah benar-benar lepas dari cengkramannya.

"Argghh!" teriak Nala berulang-ulang, dengan suara yang berangsur serak. Merasa tidak rela. Merasa tidak terima. Meski Nala sudah memohon setengah mati, Dimas tetap tidak mau melepasnya.

_______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro