37. Seseorang dari Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunda pernah bilang, nama 'Raiza' diambil dari nama seorang anak yang selamat dalam sebuah tragedi bencana banjir. Sedangkan 'Arieh' hanyalah nama tambahan, terinspirasi dari nama bocah tukang sol sepatu yang tinggal di dekat rumah mereka, dulu. Keduanya lalu digabungkan. Nama itu ayah yang memberikan, kata Bunda antusias. Mereka tidak sempat memilihkan nama sewaktu Eja lahir. Jadi, Bunda setuju-setuju saja saat Ayah mengusulkannya.

Eja sempat protes. Nama yang disematkan untuknya seolah tidak memiliki makna. Tetapi, kemudian Bunda menjawab, bahwa ada banyak harapan yang ayah sertakan dalam nama itu. Seringkali, hidup tidak sesuai dengan keinginan kita. Ayah ingin Eja tumbuh menjadi anak yang tegar dan kuat—sama seperti Raiza, yang tidak pernah menyerah walau dia nyaris mati terombang-ambing air sungai. Juga, seperti bocah bernama Arieh itu, meski hanya seorang tukang sol sepatu, dia tetap berusaha keras untuk meraih cita-citanya.

"Intinya, Eja tidak boleh menyerah. Bunuh diri ... bukanlah jalan terbaik untuk melarikan diri." Eja ingat nasihat Bunda. Bunda menggenggam tangannya erat sekali sewaktu di rumah sakit. Eja hanya mengangguk sembari menahan isak tangisnya yang memaksa keluar. Bunda menyemangati dalam haru. Pembicaraan lalu kembali bermuara ke asal usul nama Eja. Bunda juga bercerita tentang Ayah saat itu—seperti apa Ayah di mata Bunda.

Selalu ada jeda yang mengisi setiap kali Bunda bercerita. Topik tentang Ayah memang selalu menjadi hal yang paling Bunda hindari selama ini. Namun, hari itu berbeda. Agus Sinar ada di sana untuk menguatkannya. Bunda sepertinya tidak perlu menangis lagi.

Ayah adalah orang yang sangat mencintai pekerjaannya, melebihi apapun di dunia ini. Dia rela mengesampingkan segala hal—bahkan, termasuk keluarganya sendiri. Bunda pernah menyumpahinya, tidak usah pulang saja sekalian! Bunda membanting pintu keras-keras sampai Eja terbangun dari tidurnya. Kemudian, pada suatu hari, Tuhan mengabulkan kata-kata Bunda. Ayah ... dia benar-benar tidak pernah pulang lagi.

"Kenapa ayah tidak pernah pulang?"

Bunda hanya diam saat ditanyai. Lambat laun, Eja mengerti alasannya dan dia pun berhenti mempertanyakan. Ayah gugur—entah di mana. Sampai sebesar ini, Eja tidak tahu di mana Ayah dimakamkan, begitupun Bunda.

"Kenapa tiba-tiba kau menceritakannya padaku?" tanya Yas sembari menggaruki kepalanya.

Eja menggeleng ragu. Dia hanya ... rindu. Hanya ingin bercerita saja.

Yas mengubah posisi duduknya, bersila di atas ranjang Eja, kemudian membalasnya dengan gumaman, "Tidak seperti biasanya," Kemarin-kemarin, Eja tidak akan mau berbicara kalau bukan Yas yang mengoceh duluan.

Suara Dokter Lazuardi tiba-tiba keluar dari dalam speaker, membuat keduanya serentak menatap sudut langit-langit kamar. Suara beratnya menggema. Dokter itu mengumumkan bahwa besok akan diadakan pemeriksaan kesehatan. Lalu tanpa aba-aba, seluruh lampu di gedung pusat rehabilitasi dipadamkan.

"Besok akan ada pemeriksaan kesehatan," beritahu Yas pada Eja di sebelahnya.

Eja tidak menyahut. Tetapi Yas bisa merasakan tarikan napasnya yang menjelas dalam jarak lebih dekat.

"Yas, apa menurutmu orang itu akan datang lagi malam ini?" Setelah cukup lama terdiam, Eja akhirnya bersuara.

"Kuharap, iya." jawab Yas spontan, seolah tidak kapok dengan kejadian yang menimpa mereka kemarin malam. "Aku penasaran, suara rantai yang diseret-seret itu ... apa kira-kira."

"Semoga kau tidak sampai terjengkang dari kabinet dan membuat gaduh," sindir Eja, sekaligus merasa was-was. "Siapa orang itu sebenarnya? Kenapa dia mesti mengendap-endap seperti hantu?"

"Pasien di kamar lain tidak tau soal kejadian itu saat kutanyai. Kemungkinan, mereka semua sudah tertidur sewaktu orang itu berjalan di sepanjang lorong kamar," terang Yas. "Ja, coba hidupkan sentermu. Aku ingin melihat jam."

Eja segera menekan picu pada bolpennya sesuai permintaan Yas. Sinar biru yang aktif kemudian merayapi sisi dinding kamar mereka. Disorotnya jam analog yang digantung tepat di sebelah pintu kamar mandi.

"Sekarang baru pukul sembilan lewat lima belas."

Yas memperkirakan orang itu akan muncul lewat tengah malam. Masih ada waktu beberapa jam untuk tertidur, tetapi Eja dan Yas memilih untuk tetap terjaga.

Tangan Eja bergerak ke kiri bersama sinar pada ujung boplennya yang mengikuti. Yas sedikit tersentak. Matanya mengerjap secepat kilat ketika melihat sesuatu yang tampak bersinar pada dinding di dekat lemari pakaian mereka. Yas meraih tangan Eja dalam genggaman, kemudian memposisikannya agar tetap mengarah ke area itu.

"Ja, lihat di sana!" Ditunjuknya bagian dinding yang bersinar itu.

Eja memicingkan mata. "Sepertinya ... itu sebuah gambar." Dari posisi mereka saat ini, gambar tersebut terlihat tidak begitu jelas.

Kening Yas berkerut seketika. Dia belum pernah melihat gambar aneh itu sebelumnya—tidak saat terang benderang, maupun ketika gelap gulita.

Yas lantas merebut bolpen dari tangan Eja dan menuliskan sesuatu di telapak tangannya. Pantas saja, batinnya. Eja bilang bolpennya tidak bisa berfungsi. Bukan karena tintanya yang habis, tetapi karena bolpen berlabel nama Nala itu memang jenis bolpen bertinta invisible.

"Ini magic pen," ujar Yas sembari mengembalikan bolpen itu pada Eja.

"Magic pen?" Eja mengulangi ucapan Yas lantaran tidak mengerti sama sekali.

"Coba, kau sinari telapak tanganku," perintah Yas lagi.

Eja melakukannya tanpa banyak protes. Sontak, dia pun terkesiap ketika mendapati kalimat yang sebelumnya Yas tulis di sana bersinar dalam gelap.

"Bolpen ini memiliki tinta yang dapat bersinar dalam gelap. Kau bisa menulis pesan rahasia, tetapi pesanmu hanya bisa terbaca ketika disinari oleh cahaya senter sinar UV."

Eja baru paham setelah Yas menjelaskannya. Fungsinya persis seperti kerja reaksi pada darah yang disemprot cairan luminol. Bedanya, tulisan tersebut akan tetap terbaca selama disinari oleh UV light, sementara reaksi pada cairan luminol hanya bertahan selama tiga puluh detik saja. Mendadak Eja teringat sesuatu. Kertas kosong yang Nala selipkan dalam kotak kemasan, pastilah, ada sesuatu yang tertulis di dalamnya.

Yas mengarahkan matanya pada dinding itu lagi. Dia berjalan mendekat, sementara Eja sibuk mencari-cari kotak kemasan bolpen yang dia letakkan di bawah bantal. Eja hanya bisa menggigit bibir saat pesan yang Nala tulis di kertas itu terbaca olehnya. Betapa Nala sangat ... ingin menjaganya. Nala terlalu baik padanya.

"Ja, aku butuh sentermu."

Suara Yas menyentaknya kemudian. Eja buru-buru menyusul, lalu ikut bersimpuh di sebelah Yas.

Yas meraba-raba dinding. Sebuah gambar yang bentuknya cukup aneh terlihat saat Eja menyinarinya. Tidak begitu jelas, lantaran sebagian gambar tersebut terhalang oleh lemari pakaian.

"Seseorang pernah menggambar sesuatu di sini," ucap Yas. "Menggunakan magic pen."

Buru-buru Yas menggeser lemari pakaian. Manik matanya lantas bergerak cepat memeriksa. Eja ikut memerhatikan. Gambar tersebut ternyata membentuk sosok orang-orangan, yang pada bagian kakinya dipasangi tali—tidak, itu adalah rantai—berukuran cukup panjang.

Yas dan Eja saling berpandangan.

Suara-suara mengerikan itu

"Yas ...."

muncul lagi di lorong kamar.

______________

Malam itu Dimas menerima sebuah pesan di kotak e-mailnya, yang ketika dibukanya, rupanya berisi lampiran salinan berkas perkara milik Letnan Samsuri. Pesan itu dikirim oleh Aryan beberapa menit yang lalu. Senyum Dimas kontan mengembang. Akhirnya, salinan berkas kasus Letnan Samsuri kini berada di tangannya. Semua ini berkat kerja keras Aryan, tentunya.

Cepat-cepat diunduhnya lampiran fail berformat pdf tersebut. Dalam jeda waktu yang singkat, sebuah pesan lain masuk ke kotak e-mailnya. Lagi-lagi dari Aryan. Namun, kali ini salinan berkas perkara milik Haszni Yusuf yang dikirimnya.

"Haszni Yusuf?"

Dimas sempat mengernyit heran. Namun kemudian, segera ditelusurinya nama itu dalam mesin pencarian. Ada banyak nama serupa yang muncul pada halaman web. Dimas menggeser panah kursor. Link berita pada urutan pertama membuatnya tertarik untuk menelusuri lebih jauh.

Berita tersebut berisi informasi seputar perkembangan proses indentifikasi jasad korban pesawat jatuh yang dilakukan oleh Tim Forensik bersama anggota Tim Inafis kepolisian. Tragedi kecelakaan pesawat yang terjadi pada September 2005 di Medan Sumatera Utara itu setidaknya telah menewaskan lebih dari seratus korban jiwa.

Satu link berita membawa Dimas ke berita lainnya.

Pesawat Dengan Nomor Penerbangan RI 091 Jatuh Sesaat Setelah Lepas Landas dari Bandara Polonia Medan

Tujuh Penumpang Pesawat Mandala Dinyatakan Selamat

Jasad Gubernur Sumatera Utara akhirnya Dapat Diidentifikasi

Tragedi jatuhnya pesawat Mandala Airlines ternyata cukup banyak diperbincangkan, bahkan sampai saat ini, lantaran sering kali dikait-kaitkan dengan misteri 2 ton durian dalam muatan kargo—yang diduga menjadi penyebab jatuhnya pesawat tersebut—meski nyatanya hasil akhir penyelidikan tidak menunjukkan demikian.

Dimas berpindah ke link berita lain.

Di sana tertulis bahwa Haszni Yusuf merupakan salah satu dokter forensik yang turut menyumbangkan jasanya pada saat itu.

“Haszni Yusuf ....” Lagi-lagi Dimas menggumam, sembari mencoba mengingat-ingat. Benaknya kemudian memunculkan adegan percakapan bersama Disza Anszani beberapa waktu lalu.

"Apa mungkin ... dia ayahmu?"

Saat itu Dimas merasa bimbang. Jadi, dia bertanya pada Disza, apakah Letnan Samsuri adalah ayahnya atau bukan.

Disza menjawab, "Bukan. Ayahku adalah seorang dokter forensik. Dia menghilang saat sedang membantu menangani kasus di Batam."

"Siapa nama ayahmu? Aku mungkin bisa membantu mencarikan kasusnya di Asrip Kepolisian."

"Haszni Yusuf."

"Benar!" seru Dimas sambil menjentikkan jari. Haszni Yusuf adalah ayah dari Disza Anszani. Dimas bertanya-tanya untuk apa Aryan mengirimkan salinan berkas perkara itu. Seingatnya, Disza hanya meminta bantuan Aryan untuk menyelidiki kasus tersebut.

Dimas hendak menghubungi Aryan, tetapi tidak jadi dia lakukan, lantaran baru teringat—kalau ponselnya rusak akibat kecelakaan beruntun waktu itu. Jadi, sembari menunggu mesin printer-nya bekerja mencetak laporan penyelidikan kasus Letnan Samsuri, Dimas memeriksa sekilas isi berkas kasus Haszni Yusuf. Hasil scan-an-nya tampak buram lantaran kertasnya sudah usang. Halaman pertama menunjukkan detail informasi tersangka. Haszni Yusuf adalah seorang profesor yang ahli di bidang forensik, sekaligus dosen di universitas ternama.

Jari telunjuk Dimas bergerak memutar roda gulir pada mouse dengan cepat sampai kemudian berhenti di sebuah halaman. Foto seorang pria berseragam tahanan sementara ditampilkan di sana. Wajahnya terlihat kasar dengan jidat lebar dan tatanan rambut cepak nyaris botak. Foto lainnya menampakkan Haszni Yusuf, dengan sorot mata tajam dan penuh ambisi, digiring oleh lima polisi bersenjata lengkap.

Pada halaman berikutnya tertulis bahwa, Haszni Yusuf sempat terjerat kasus penggelapan dana penelitian. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai milyaran rupiah. Kasusnya sudah naik ke pengadilan. Namun, setelah melewati sejumlah agenda sidang di kejaksaan tinggi, Haszni Yusuf dinyatakan tidak bersalah, kemudian dia pun dibebaskan dari segala tuntutan yang menjerat namanya.

Terdapat sebuah artikel yang terselip dalam salinan berkas perkara tersebut. Dimas mengusap dagunya berulang kali. Artikel itu membahas kecelakaan tragis yang menimpa Haszni Yusuf. Mobil yang dikendarainya diketahui terperosok ke dalam jurang ketika dia hendak mendatangi TKP di daerah perbukitan terjal. Bersama para anggota Tim SAR, kepolisian melakukan pencarian besar-besaran pada saat itu. Namun, sayang, hanya bangkai mobilnya yang berhasil ditemukan—dalam kondisi terbakar hangus, sementara jasad profesor itu—sampai sekarang—tidak pernah ditemukan.

Dimas melirik mesin printer-nya yang kini telah berhenti bekerja. Segera ditinggalkannya salinan berkas itu dari layar laptop. Berlembar-lembar kertas print out berkas kasus Letnan Samsuri pun diraihnya kemudian. Dimas yakin Aryan pasti akan mengurus masalah Disza Anszani dengan baik. Saat ini, Letnan Samsuri-lah yang akan menjadi prioritasnya.

Bermenit-menit setelahnya pun Dimas habiskan untuk mempelajari berkas kasus Letnan Samsuri. Melihat foto Letnan Samsuri dalam profil korban membuat Dimas seketika terkenang pada rasa sesal itu lagi.

Jika saja Letnan Samsuri masih hidup, Bunda Elizar dan Eja pasti ....

Dimas mendesah panjang. Rasanya semua ini masih sulit untuk dimengerti. Sebuah kebetulan berada tepat di depan mata, tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa-apa. Dimas juga tidak bisa menyalahkan Agus Sinar. Selama ini Agus Sinar tidak pernah tahu kalau Dimas bisa berkomunikasi dengan Letnan Samsuri.

Dimas membuka halaman berikutnya. Alasan di balik menghilangnya Letnan Samsuri masih belum diketahui secara pasti. Banyak pendapat bermunculan, tetapi penyelidikan kasusnya tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan setelah bertahun-tahun.

Sederet nama orang yang memberi kesaksian mengatakan hal yang kurang lebih serupa; mustahil seseorang bisa menghilang tanpa jejak seperti ditelan bumi. Samsuri pasti dibunuh. Motifnya adalah dendam.

Dimas bangkit dari kursi, kemudian berjalan menuju jendela kamar. Dia menyibak tirai. Peta Kota Batam telah dibentangnya lebar-lebar di sana sebelumnya.

Wilayah kota Batam terdiri dari beberapa pulau, yakni: Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, serta pulau-pulau kecil lainnya di kawasan selat Singapura dan Selat Malaka.

Kejadiannya sudah lama sekali berlalu. Akan sangat sulit menelusuri jejak Letnan Samsuri pada saat itu. Namun, Dimas mencoba merunut kronologi kejadian sebisanya.

Pada tanggal 19-21 Agustus 2006 mobil Letnan Samsuri terlihat berkeliaran di daerah Waduk ATB. Beberapa saksi—termasuk Bunda Elizar—mengatakan bahwa Letnan Samsuri tidak pulang ke rumah atau muncul di kantor setelah tanggal 21 Agustus 2006.

Selang dua hari kemudian, mobil Letnan Samsuri ditemukan di sekitar area Jembatan Barelang I.

Dimas menandai kedua lokasi tersebut dengan pin berwarna kuning. Bagian perairan merupakan lokasi Waduk ATB, sementara bagian lainnya merupakan titik area Jembatan Barelang I.

Dalam rentang waktu dua hari, antara tanggal 19 sampai 21, siapa kira-kira orang yang Letnan Samsuri temui di Waduk ATB? Daerah perairan itu sangat sepi dan luas. Mengapa Letnan Samsuri harus datang ke tempat itu? Apa yang dia lakukan di sana? Dimas membubuhkan tanda tanya besar.

Lalu selanjutnya, adalah area Jembatan Barelang I.

Dimas kembali memeriksa berkas kasus. Pada tanggal 23 Agustus mobil Letnan Samsuri ditemukan di area itu. Foto di lokasi kejadian diamatinya baik-baik. Sebuah mobil jenis Toyota keluaran tahun 2000-an tampak terparkir tepat di sebelah badan beton jembatan, berikut sepasang sepatu milik Letnan Samsuri yang dalam keadaan tergolek sembarang. Mobilnya tidak cacat. Di antara beberapa barang bukti yang ditemukan di TKP, Kamal bilang hanya ponsel milik Letnan Samsuri yang hilang. Tidak banyak petunjuk selain itu. Pada akhirnya Dimas pun hanya bisa berasumsi.

Dimas terpekur cukup lama memikirkannya. Jarak lokasi Waduk ATB dan area Jembatan Barelang I cukup jauh jika dilihat dari skala perbandingan. Matanya bergerak gelisah memindai dua pin kuning yang melekat pada peta.

Sesuatu kini mengganjal pikirannya.

Mengenai TKP yang sebenarnya ...

Dimas menyentuh dua pin tersebut bergantian.

... ada di Waduk ATB ataukah ... di Jembatan Barelang I?

Dimas tidak yakin. Tetapi ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi. Letnan Samsuri mungkin telah dihabisi lebih dulu di Waduk ATB, lalu mobilnya dipindahkan ke area Jembatan Barelang I. TKP disulap seolah Letnan Samsuri melakukan tindak bunuh diri. Sepasang sepatu diletakkan sedemikian rupa, membuat si pemilik tampak terburu-buru melepas sebelum terjun ke perairan. Tetapi, bagaimana dengan jasad Letnan Samsuri ...?

Dimas kembali pada berkas di tangannya.

Dia menggeleng ragu.

Jika jasad Letnan Samsuri dibuang ke perairan Jembatan Barelang I, dalam beberapa hari jasadnya pasti akan mengambang atau tersangkut di suatu tempat. Bisa jadi hanyut sampai ke perairan Nongsa, tetapi polisi maupun Tim SAR tidak menemukan apapun.

Apakah pelaku menggunakan semacam pemberat agar jasadnya tetap berada dalam air?

Dimas menggeleng lagi.

Polisi juga telah menyewa beberapa penyelam berpengalaman untuk mencari jasad Letnan Samsuri di sekitar perairan Jembatan Barelang I dan Waduk ATB, tetapi hasilnya tetap saja nihil.

Dimas memperluas wilayah pencarian. Jika mengikuti jalur sepanjang Jalan Trans Barelang pada peta, Dimas akan menjumpai enam buah jembatan yang menghubungkan tiap-tiap pulau. Dimas menandainya dengan enam buah pin hitam, kemudian menarik garis dengan spidol. Setelah melewati Jembatan Barelang IV, Dimas akan sampai ke Pulau Rempang, Pulau Galang, lalu jalur akan berakhir di Pulau Galang Baru.

Pulau Galang. Mendadak Dimas teringat sesuatu. Eja ada di sana, katanya dalam hati.

Dimas kembali ke titik semula. Waduk ATB. Semua bermula dari tempat itu. Dimas rasa dia perlu menelusuri pergerakan Letnan Samsuri sebelum tanggal 19 Agustus. Untuk itulah, Dimas membutuhkan jurnal Letnan Samsuri. Dimas berharap jurnal itu akan memberitahunya sesuatu.

Dimas sedang mengaduk-aduk isi tas ransel ketika terdengar suara mesin kendaraan di luar rumah. Sejenak Dimas terpaku. Ditajamkannya indra pendengaran. Dimas segera beranjak menuju jendela kamar untuk menilik situasi di luar. Dilihatnya sebuah mobil jenis Katana terparkir tidak jauh dari pagar rumahnya. Mesinnya menggerung, tetapi lampu sorot sengaja dimatikan.

Itu bukan mobil Papa.

Dimas menduga, tampaknya polisi mulai bergerak mencari keberadaannya. Sepertinya mereka telah menyadari apa yang Dimas lakukan siang tadi. Rekaman CCTV menuju ruang penyimpanan barang bukti sudah pasti merekam sosok Dimas di dalamnya. Dimas tidak bisa mengelak.

Seorang pria berbadan tegap terlihat turun dari kursi penumpang. Pria itu mendongak, mengawasi kamar Dimas yang berada di lantai dua.

Dimas menjauhi jendela kamar. Buru-buru dikeemasinya barang-barang ke dalam ransel; uang, jurnal milik Letnan Samsuri beserta HT tua di atas meja. Terakhir, dijejalkankannya asal salinan berkas kasus Letnan Samsuri.

Dengan langkah lebar Dimas keluar dari dalam kamar. Lampu dibiarkannya tetap menyala sebagai pengecoh. Orang-orang itu tidak akan tahu kalau Dimas kabur lewat pintu belakang.

Satu nama melintas dalam kepalanya saat ini: Raihana.

Raihana pasti akan membantunya.

__________________

Notes:

All images supported by google and google maps.

Sebelum saya diprotes oleh warga Batam, saya mau klarifikasi, kalau ATB itu sebenarnya merupakan perusahaan yang mendapat konsesi dari BP Batam untuk mengelola air bersih di Pulau Batam. Nah, waduknya sendiri (yang saya pake di cerita ini) dikenal dengan nama Dam Duriangkang, bukan Waduk ATB.

Tetapi entah kenapa saya lebih suka nyebutnya Waduk ATB.

Setelah menimbang baik-baik bagaimana karakter Nala dan sikapnya terhadap Eja dalam cerita ini, saya putuskan, isi surat yang ditulis Nala buat Eja (di part ini) cukup Eja aja yang tau. Rada males saya. Ntar dibilang cerita hvmv lagi. Wkwk

Btw sebenarnya nama Nala itu bisa dipake buat gender universal. Makanya Yas dengan entengnya pernah bilang, "Orang yang memberimu senter itu pasti sangat berharga, kan?"

Jadi, Yas itu gak tau kalau Eja—oke, lanjutkan sendiri.

Satu lagi, sebelum ditanya, saya akan jawab, saya belum tau kapan update lagi, Gess. Saya beneran mabok berat mikirin kronologi kejadian dan alur cerita saking banyaknya orang dalam cerita ini.

Otak saya malah udah nyampe duluan ke ending, sementara jalan menuju ke sana masih stuck. So, harap maklum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro