[[ Jalinan ]]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari ujung lorong, Agam melihat Fred berjalan menuju bagian belakang gedung kantin. Agam bermaksud memanggilnya. Seharian ini Fred tidak menampakkan batang hidungnya, ada sesuatu yang ingin Agam beritahukan padanya. Namun, sayang, Agam terlambat. Fred telah lebih dulu menghilang di tikungan. Fred tampak terburu-buru, seakan ada sesuatu yang hendak dikejarnya.

Agam segera menyusulnya kemudian. Didapatinya Fred tengah berdiri di dekat tempat pembuangan sampah. Sedikit terkesiap-Agam bergeming di tempat. Dengan mata kepalanya sendiri-dia melihat Fred berteriak nyalang pada dinding-entah sebab apa. Fred memunggunginya di sana. Agam melongokkan kepala untuk bisa melihat lebih jelas. Rupanya Fred sedang berbincang dengan seseorang di telepon.

"Apa-apaan ini, Pak?!"

Fred terlihat sangat kesal sampai-sampai dia tidak segan menendang tong sampah di dekatnya. Sisa makanan dalam tumpukan plastik berjatuhan di atas sepatu boots-nya, tetapi Fred sama sekali tidak peduli.

"Selama ini saya ditipu mentah-mentah rupanya!"

Agam yang merasa ragu pun memilih untuk tidak ikut campur. Dia menarik diri dan berniat untuk pergi. Namun, langkah kakinya langsung terhenti saat dia mendengar nama adik Dimas disebut-sebut. Tampaknya, Fred sedang menyoal laporan hasil tes DNA seseorang. Suara Fred meledak-ledak, membuat Agam bisa mencernanya dengan jelas.

Ini tidak benar, batin Agam sembari menggeleng. Tetapi dia merasa sangat penasaran dengan isi percakapan yang melibatkan adu urat tersebut.

Eja.

Hasil tes DNA. Uji rambut. Uji lab darah.

Apa yang Fred bicarakan?

Agam memasang kedua telinganya lebar-lebar. Dari balik pilar besar, diam-diam dia menguping pembicaraan Fred.

___________________

"Menipu?!" ulang Agus Sinar tidak percaya. "Menipu bagaimana maksudmu?"

"Ternyata rumus sidik jari DNA Raiza Arieh terdaftar dalam database DIMS Pusat Orang Hilang. Lalu untuk apa Bapak meminta bantuan saya?" Fred mendengus keras saking kesalnya. Semua yang telah dia usahakan selama ini rasanya berujung sia-sia. Fred tidak ingin lagi berurusan dengan Agus Sinar.

"Kau ... jangan bicara sembarangan!" tekan Agus Sinar dengan nada geram. "Tidak pernah ada sampel apapun yang saya kirim ke lembaga penelitian itu!"

"Mustahil," desis Fred yang masih tidak terima.

"Memang begitulah kenyataannya!" balas Agus Sinar berteriak. Dia tidak mungkin keliru. Seingatnya, Elizar tidak pernah melakukan pendataan ulang untuk kasus Samsuri. DNA Eja juga tidak pernah dilaporkan. Karena itulah, selama ini Agus Sinar meminta bantuan Fred. Agus Sinar menginginkan informasi-perihal penemuan kerangka atau apapun itu-agar bisa sampai ke telinganya lebih cepat. Sebab, bisa jadi-salah satu di antara kerangka yang Fred dan timnya temukan-adalah kerangka tubuh Samsuri.

Fred mulai merasakan kejanggalan. Kalau ucapan Agus Sinar benar .... "Lalu bagaimana bisa semua laporan itu diterbitkan dan dikirim ke e-mail Dahlan?" Fred belum puas mendengar penjelasan Agus Sinar.

Agus Sinar jelas tidak tahu. Dia juga bingung dengan ini semua. Tiga file-berupa scan-an dokumen asli-berformat JPG yang Fred kirimkan melalui e-mail masih menjadi tanda tanya besar untuknya. Agus Sinar begitu syok saat membukanya tadi. Laporan hasil tes DNA. Laporan hasil uji rambut. Lalu yang terakhir-laporan hasil uji lab darah. Semuanya ... atas nama Eja.

Agus Sinar membaca salah satunya. Dalam laporan hasil tes DNA, disebutkan bahwa DNA yang diambil dari sampel darah Eja dinyatakan cocok dengan DNA milik Subjek S00086. Persentasenya mencapai 99,98%, yang artinya, Eja dan Subjek S00086-DNA pembandingnya-terbukti memiliki hubungan darah. Di dalam laporan tersebut juga dituliskan bahwa Subjek S00086 teridentifikasi berjenis kelamin pria. Tidak ada nama. Tidak ada keterangan lain. Meskipun begitu, bukankah-besar kemungkinan, Subjek S00086 yang dimaksud dalam laporan tersebut ... adalah Samsuri?

"Saya rasa ada yang tidak beres di sini, Pak."

Agus Sinar mengangguk setuju. Ada seseorang di luar sana yang-entah bagaimana-berhasil menemukan kerangka tubuh Samsuri. Tes DNA bahkan sudah dilakukan. Lalu, Dahlan-selaku Kepala Lembaga Penelitian POH-yang pertama kali menerima informasi tersebut. Mengapa, Agus Sinar terus bertanya-tanya, semua laporan hasil uji laboratorium itu dikirim secara sembunyi-sembunyi.

"Sampai saat ini belum ada laporan penemuan jasad atau kerangka yang masuk ke Polresta Barelang." Ucapan Fred membuat situasi bertambah rumit.

"Samsuri telah ditemukan." Agus Sinar dapat merasakan matanya mulai berair. "Tetapi kerangka tubuhnya disembunyikan di suatu tempat."

"Dan Dahlan ikut terlibat dengan ini semua," sambung Fred kemudian. "Semua laporan itu ditujukan si pengirim kepadanya." Terlebih, si pengirim menyembunyikan pesannya dengan baik menggunakan teknik steganografi. Mencurigakan.

"Samsuri telah ditemukan." Tanpa sadar Agus Sinar kembali menyerukannya. "Tapi, sungguh, saya tidak tahu bagaimana mereka bisa mendapatkan sampel darah dan sampel rambut Eja." Agus Sinar mengusap wajahnya. Dia lelah sekali. Sudah beberapa hari ini dia terjaga untuk Elizar.

"Apa putra Bapak pernah dirawat di rumah sakit baru-baru ini?"

"Ya," jawab Agus Sinar cepat. "Waktu itu Eja pernah mencoba bunuh diri." Namun, suaranya terdengar tidak begitu yakin. Agus Sinar sudah membuat perjanjian di atas materai dan membayar mahal untuk itu. Mustahil, jika rumah sakit itu membocorkan sampel darah dan sampel rambut Eja ke pihak luar.

"Coba pikirkan baik-baik, Pak," pinta Fred sungguh-sungguh. "Agar saya bisa menelusuri dari mana semua laporan itu diterbitkan. Tidak ada kop surat yang tercantum. Jelas sekali, ini sangat aneh."

"Sebenarnya ... saat ini Eja sedang dirawat di pusat rehabilitasi narkoba. Apa mungkin-"

"Di mana tempatnya?" potong Fred cepat, sebelum Agus Sinar sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Pusat Rehabilitasi Bersama."

Fred tertawa hambar di sela-sela pembicaraan mereka. "Baiklah. Akan segera saya selidiki pusat rehabilitasi itu." Sekarang dia tahu alasan Agus Sinar menolak mengirimkan sampel darah putranya tempo hari. Laporan hasil uji rambut milik Raiza Arieh menunjukkan bahwa, Raiza Arieh merupakan pengguna heroin secara aktif-minimal sejak 13 bulan lalu. Agus Sinar hanya ingin melindungi putranya. Sebesar itulah rasa sayangnya, meski status Eja bukan putra kandungnya. Fred rasa dia bisa memaklumi tindakan Agus Sinar.

"Hasil uji lab darahnya sungguh mengerikan." Fred tidak segan-segan mengatakannya. Dalam bayangan Fred, sosok putra Agus Sinar mengemuka, membentuk siluet anak laki-laki yang hidupnya amat sangat bermasalah. Dia masih sangat muda, tetapi sudah terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak seharusnya dia coba-coba.

"Apa maksudmu?" desak Agus Sinar yang tidak terima mendengar ucapan Fred.

"Sifilis. Apa Bapak tidak membacanya?"

Agus Sinar terdiam cukup lama. Dia tidak mengerti.

"Jadi, Bapak tidak tahu soal ini?" Fred segera menyimpulkan lantaran Agus Sinar tidak kunjung bersuara. "Sifilis adalah penyakit menular seksual. Putra Bapak mungkin tertular akibat melakukan hubungan seks berisiko-tanpa alat pengaman. Gonta-ganti pasangan atau akibat kontak seksual dengan sesama penderita sifilis."

Hati Agus Sinar kontan mencelus mendengarnya. Dia tidak bisa lagi berkata-kata. Perasaannya begitu pahit dan hancur. Eja telah melalui begitu banyak hal yang mengerikan. Sebagai orang tua, Agus Sinar merasa gagal, tentunya. Agus Sinar menggeleng. Dia tidak sanggup membayangkannya.

"Subjek S00086-akan saya cari tahu di mana 'dia' disembunyikan. Hati-hati. Putra Bapak ... mungkin dalam bahaya."

Usai mengucapkan hal tersebut Fred segera memutuskan sambungan telepon.

Agus Sinar pun panik dibuatnya. Cepat-cepat dia menghubungi nomor kantor pelayanan Pusat Rehabilitasi Bersama, tetapi panggilannya tidak terjawab. Berulang kali dicobanya tetapi tidak juga terjawab. Agus Sinar semakin kalut. Napasnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang tertanam di kerongkongannya. Digesernya layar ponsel dengan tergesa-gesa, hendak mencari nomor kontak Dimas. Namun, mendadak Agus Sinar tercenung. Dimas sedang sakit, pikirnya. Jari telunjuknya kemudian bergerak lagi, memilah kontak lain.

Agus Sinar menghubungi nomor Komisaris.

Dia mondar-mandir. Panggilannya sedang menunggu untuk diangkat.

"Ha-"

"Aku butuh bantuanmu!" ucap Agus Sinar begitu Komisaris terhubung dengannya. "Samsuri ... Eja ...." Agus Sinar terbata-bata, tidak tahu mana yang lebih dulu harus dia katakan. Kemudian, dia mendapati dirinya sendiri menangis, dengan suara bergetar hebat. Di seberang sana, Komisaris berusaha menenangkannya. Agus Sinar menarik napas dalam-dalam. Sore itu, segala hal yang mengganjal di hatinya, dia curahkan dalam sambungan telepon.

________________

Notes:

Maaf, ya, Agus Sinar lagi kalut, jadi rada lebay. Wkwk

DIMS = DNA-based immunomodulatory sequences.

Susah jelasinnya. Silakan searching di google aja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro