42. Peti Mati Tanpa Isi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul empat pagi, di dalam ruang interogasi khusus, seorang perwira berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) tengah duduk menyilang kaki di balik layar laptopnya. Polisi itu dikenal sebagai Anton Medan walau nama aslinya adalah Wiraji. Sangar seperti preman. Garang seperti mafia. Demikianlah garis-garis wajah membentuk rupanya. Anton mengulum bibir dalam-dalam. Cahaya pancar berasal layar laptop membiaskan sinar ke wajahnya, membuat bintik-bintik hitam di sekitar pipi perwira itu jadi kelihatan jelas.

Di hadapannya, Dahlan duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Sungguh lucu. Pemandangan yang acap kali terlihat semasa sekolah, di mana seorang guru memerintahkan kepada anak-anak muridnya supaya duduk dengan tertib apabila mereka ingin cepat-cepat pulang. Anton sempat mendengus melihat tingkah Dahlan.

"Jika Anda ingin cepat pulang, jawab saja pertanyaan yang saya ajukan!" ujarnya memperingatkan, yang hanya ditanggapi Dahlan dengan senyum separuh.

Wajah Dahlan terlihat sangat tenang meski sudah tiga jam lebih dia diperiksa di ruang interogasi. Dahlan mengikuti semua prosedur dengan baik, kendati ada beberapa pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya.

Merasa bosan, lambat laun Dahlan pun menggeser posisi duduknya. Bola matanya berpindah mengamati seisi ruangan. Menengadahkan kepala, dia melihat empat buah kamera CCTV yang diletakkan di tiap sudut atas ruangan. Sebentar kemudian Dahlan menunduk. Lalu entah sebab apa tiba-tiba dia tersenyum pada langit-langit. Seperti sedang mengkhayalkan sesuatu. Seperti sedang mencoba menghibur diri. Seolah lampu di atas kepalanya bisa diajak bicara.

Anton masih setia mempelajari sepak terjang Dahlan lewat dokumen di tangan. Mantan kepala unit identifikasi—yang kini menjabat sebaga kepala Lembaga Penelitian POH perwakilan Kepri—itu tidak memiliki catatan kriminal yang menodai reputasinya. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada pria ini? Batinnya penasaran. Mengapa orang sepertinya bisa terjebak di tempat seperti ini? Kedua hal itu masih abu-abu—belum jelas dan masih harus digali olehnya.

"Apa sebenarnya motivasi Anda pergi ke Dapur 12?!" tanya Anton dengan tegas. "Apa Anda berniat kabur?!"

Anton tidak yakin dengan pertanyaan terakhir yang dia ajukan. Kabur? kabur dari apa kira-kira, pikirnya.

"Kabur?" Dahlan spontan menyemburkan tawa. Sedari tadi sesi tanya-jawab hanya berputar ke situ-situ saja. "Kabur bagaimana maksud kalian? Kalian pasti sudah periksa kan isi mobil saya? Saya tidak bawa tas atau koper di dalam mobil saya. Bagaimana mungkin tuduhan semacam itu kalian lontarkan pada saya?"

"Lalu, untuk apa Anda pergi ke sana, Pak Tua?!" tekan Anton kesal. Dia tidak ingin kalah dari logika-logika yang Dahlan ucapkan selama berkelit.

Dahlan mengunci rapat-rapat mulutnya untuk pertanyaan yang satu itu. Membuat Anton terang saja berang dan langsung menggebrak meja.

"Kenapa Anda menyerang pria bernama Agus Sinar, hah?!" Dia beralih ke pertanyaan selanjutnya.

Di kursinya, Dahlan bersiap membuka mulut, tetapi Anton justru mendahuluinya dengan melontarkan sebuah peringatan bernada tajam, "Jawab langsung ke inti dan tidak usah bertele-tele!"

Walaupun umur Dahlan terpaut jauh lebih tua darinya, Anton terlihat tidak ingin kalah dari ajang adu urat tersebut. Dahlan menaikkan sudut bibirnya. Orang-orang intel memang terkenal dengan watak keras dan ketegasannya.

"Saya menyerangnya dengan tujuan untuk membela diri," jawab Dahlan dengan wajah setenang air. "Pria itu berniat mencelakai saya. Kalau saja saya tidak banting setir, mobil kami mungkin sudah ...." Dahlan memutus kalimatnya di akhir. Lewat kedua tangan, dia memeragakan bagaimana dua moncong mobil dapat saling bertubrukan dengan cepat. Dahlan bergidik ngeri. Bisa-bisa dia mati kalau reka adegan itu sampai terjadi.

"Pria itu mengetuk-ngetuk mobil saya secara membabi buta. Tentu saja saya panik dibuatnya," lanjut Dahlan tidak sabaran.

Seluruh adegan percakapan yang terjadi di ruang interogasi tersebut diamati ramai-ramai oleh Komisaris dan beberapa perwira kepercayaannya dari dalam ruang observasi. Ucapan Dahlan sangat masuk akal, memang. Sebab begitulah isi kamera dashbor mobil milik Dahlan dan Agus Sinar berbicara.

Komisaris merasa dirinya sedang disuguhi drama sinetron beratus-ratus episode ketika lagi-lagi Dahlan memilih menggunakan haknya untuk diam. Bedanya, adegan memuakkan itu bukan dia tonton dari balik layar televisi, melainkan dari balik kaca tebal yang memisahkan ruang interogasi dan ruang observasi. Dahlan cukup pintar menghindari sederet pertanyaan menjebak yang diajukan oleh Anton. Tahan dengan teriakan. Kebal dengan makian. Bahkan, dengan sialannya Dahlan mengatakan bahwa dia tidak ingin bicara sampai pengacara pribadinya datang.

"Dia terlalu pongah dan sangat percaya diri," komentar seorang Bintara yang sedang mengamati video dalam komputer. Setiap gerak-gerik Dahlan yang terekam dalam kamera CCTV terhubung langsung ke komputer di ruang observasi. Dan Bintara itu sedang meneliti bagaimana ekspresi wajah Dahlan.

Komisaris ikut mengiyakan dalam hati. Betapa dia sangat ingin menerobos masuk ruang interogasi, kemudian menonjok Dahlan tepat di wajah. Cara-cara seperti itu barangkali akan membuatnya jera dan segera mengaku. Tetapi Komisaris tidak mungkin melakukannya.

"Kalau seperti ini terus bisa-bisa Dahlan hanya akan dijerat dengan pasal penyerangan. Tidak lebih dari itu," batin Komisaris resah. Tidak cukup bukti untuk menjerat Dahlan atas dugaan menyembunyikan kerangka Samsuri. Ini sebabnya Komisaris meminta Agus Sinar menunggu. Dahlan pasti merasa sedang berjalan di atas angin.

Tiba-tiba saja pintu di ruang observasi terbuka dari luar, membawa serta sebagian cahaya dari selasar masuk ke dalam ruangan. Di ambang pintu, Depari berdiri dengan napas terengah-engah. Penampilannya terlihat sangat berantakan, seolah dia baru saja kembali dari medan pertempuran. Begitu pintu ditutup olehnya ruangan pun kembali seperti sedia kala. Remang.

Depari berlari-lari kecil dengan peluh menetes-netes di dahinya. Dia menghadap langsung ke Komisaris sembari menyerahkan beberapa dokumen penting, yang lantas segera diperiksa oleh Komisaris.

Senyum di wajah Komisaris pun kontan mengembang lebar. "Depari, bisa kau ambil alih interogasinya?" pintanya dengan nada mutlak, yang tentu tidak bisa ditolak oleh Depari.

___________________

Dari dalam komputer pengawas, sosok Depari tampak melangkah masuk ke dalam ruang interogasi. Satu-satu derap sepatu pantofelnya yang mengkilap mengetuk-ngetuk lantai keramik dengan sangat tegas. Tubuhnya tinggi dan tegap, menjulang di hadapan Dahlan. Sejenak, Depari memandangi wajah Dahlan dengan posisi dagu terangkat, kemudian berjalan memutarinya sembari berkacak pinggang. Dengan cara tersebut, Depari menunjukkan wibawanya. Dengan cara tersebut pula, Depari menunjukkan bahwa dirinyalah yang berkuasa di semesta seluas 2x2.5 meter persegi itu.

Sebagaimana biasanya ruangan interogasi didesain, di dalamnya hanya terdapat satu meja kotak yang diletakkan tepat di tengah-tengah ruangan. Lalu dua buah kursi hitam untuk si penyidik dan si terperiksa ditempatkan saling berhadap-hadapan. Selain laptop, beberapa alat tulis juga disediakan di atas meja. Lampu yang dipilih sebagai satu-satunya sumber penerangan di ruangan itu adalah lampu jenis LED berwarna kebiruan. Efek sinarnya yang menghanyutkan dipercaya mampu membuat mata siapapun yang memandang berangsur-angsur melemah. Begitu lengah, apalagi rasa lelah mendera, para interogator akan membantai si terperiksa habis-habisan. Mereka—para interogator—yang dikenal seperti binatang buas—tidak akan pernah membiarkan mangsanya lepas dari cengkraman. Bentakan-bentakan yang kerap mereka suarakan niscaya akan membuatmu luar biasa gemetaran. Mereka juga punya seribu taktik untuk membuatmu mengaku—bahkan memungkinkanmu mengakui perbuatan yang tidak pernah kaulakukan sekalipun.

Setelah puas berputar-putar di depan Dahlan, Depari kemudian duduk di kursinya. Dari balik saku celana, Depari mengeluarkan sebuah flashdrive berukuran kecil, lalu menancapkan ujungnya ke lubang ke laptop. Bunyi plug in yang memproses data masuk terdengar sampai ke telinga Dahlan. Dahlan menunggu untuk waktu yang cukup lama, tetapi Depari belum juga mau membuka percakapan di antara mereka.

Sembari memainkan laptop, sesekali Depari meneliti wajah Dahlan lagi. Kedua rahangnya mengeras, begitu pula guratan-guratan di sekitar wajahnya. Ekspresi Depari menunjukkan seolah dirinya tidak sabar menelan Dahlan bulat-bulat. Sebagaimana sosok seorang penyidik seharusnya bersikap; tidak peduli bersalah atau tidak, penyidik selalu masuk ke setiap kasus dengan asumsi semua tersangka bersalah. Dan Depari jelas memperlakukan Dahlan seperti itu lewat tatapan matanya. Padahal status Dahlan saat ini belum mengarah sebagai tersangka.

"Dahlan. Umur 48 tahun ...." Depari berujar, mengulangi kembali sesi pengenalan diri antar si penyidik dan si terperiksa. Berkesan remeh-temeh dia awal, tetapi apapun pertanyaan yang diajukan dan bagaimana reaksi si terperiksa saat menjawab, akan sangat berarti dalam sebuah proses interogasi.

Depari kemudian memperkenalkan diri berikut pangkat dan jabatannya di kepolisian. " ... Saya menjabat sebagai Kanit II Divisi Pembunuhan Polresta Barelang."

Dahlan bergeming. Sejenak dia berpikir, Depari memiliki aura berbeda dari interogator sebelumnya. Aura yang kerap ditempa oleh pengalaman. Aura yang membuat Dahlan sedikit terintimidasi.

"Pada tanggal 20 Januari 2021. Pukul 00.22 WIB. Lewat tengah malam, ada keperluan apa kira-kira Anda di daerah Dapur 12?"

Terus-menerus diserang pertanyaan yang sama, lambat-laun Dahlan pun merasa jengah juga. Dahlan telah bersedia membuka mulut, tetapi Depari membuatnya kembali menelan apapun yang hendak diucapkannya.

"Em-em," Depari menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Seolah memberi isyarat belum-waktunya-Dahlan-bersuara. "Jangan bilang Anda ingin menemui sanak saudara atau kolega Anda di sana. Kami sudah menanyai semua warga di Dapur 12. Tetapi tidak ada satupun dari mereka yang mengenal Anda. Pergi memancing, juga tidak mungkin. Sebab Anda tidak membawa alat pancing. Kalau bukan berniat kabur, apa mungkin ...," Depari menjeda sebelum dia lupa menarik napas. "... Anda hendak menjemput 'seseorang'?" tanyanya. Bersamaan dengan itu, Depari memutar laptop ke hadapan Dahlan. Membiarkan Dahlan melihat sebuah potret yang telah dia setting di dalam layar.

"Sebuah. Peti. Mati. Tanpa. Isi," lanjut Depari. Dahlan spontan menarik muka.

"Wah ...," serunya takjub. "Baru kali ini saya mendapati kapal penyelundup yang membawa masuk sebuah peti mati. Biasanya imigran gelap yang diangkut, tetapi sepertinya—istilahnya sekarang perlu diubah menjadi peti gelap."

Ada hening yang sekejap hadir menemani tatapan keduanya sebelum kemudian Dahlan memilih angkat bicara.

"Saya menginginkan seorang pengacara."

Depari mengistirahatkan punggungnya ke sandaran kursi. Perkataan yang barusan Dahlan ucapkan seolah sudah bisa dia tebak. Depari mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke atas meja. Walau terdengar memuakkan, setidaknya ada sedikit variasi dalam kalimat Dahlan; dia tidak lagi menggembar-gemborkan pengacara pribadinya—yang entah ada di mana saat ini.

"Oh. jadi, Anda—sudah tidak yakin lagi, kalau pengacara pribadi Anda akan datang?" Dengan cepat Depari mendekatkan mukanya ke muka Dahlan. Dia menggebrak meja sekeras mungkin sampai Dahlan tersentak dibuatnya. "Mengakulah! Kami sudah mengantongi informasi soal peti kosong itu dari si pengemudi kapal!"

"Tidak mungkin!" bantah Dahlan cepat, lalu memutuskan kontak mata saking gugupnya. Sial. Dia kelepasan bicara.

Depari terkekeh tajam. "Kenapa tidak mungkin?" tanyanya, berusaha menggali lebih dalam. Perlahan tapi pasti, pria paruh baya di hadapannya itu akan dia buat mengkeret di kursi pesakitan. "Apa mungkin—karena si pengemudi kapal sudah ... kalian tembak mati?"

Kali ini Dahlan benar-benar dibuat bungkam. Sontak, dia menjatuhkan wajah ke lantai. Kedua tangannya mengepal erat di bawah meja. Dahlan mulai bersikap defensif.

Depari kembali menggelontorkan pertanyaan yang menguras habis keringat Dahlan. Sampah busuk yang tadinya menyumpal mulut Dahlan untuk berbicara pun perlahan terurai satu-satu. Dengan lihai Depari memainkan jari-jarinya di atas laptop, mengetik cepat segala informasi yang Dahlan beberkan lewat mulutnya.

"Siapa 'seseorang' yang mendiami di peti mati itu?"

Satu pertanyaan krusial, akhirnya Depari sajikan di atas meja interogasi. Semua orang di dalam ruang observasi menahan napas, menyaksikan detik-detik di mana Dahlan mulai mengibarkan bendera putih. Kedua telapak tangan Komisaris bahkan sudah berkeringat dingin saking tidak sabarannya menunggu.

Dahlan memasang ekspresi gugup di wajahnya. Lalu, begitu dia menjawab pertanyaan Depari dengan suka rela, satu-dua orang di ruang observasi tercengang-cengang dibuatnya. Sebagian lagi berkerut kening—lantaran Dahlan menyebutkan sebuah nama yang tidak begitu familiar bagi mereka.

"Haszni Yusuf."

"Haszni Yusuf?" Jari-jari Depari terhenti di udara. Depari termasuk orang-orang yang berada dalam golongan kedua, sebab dia merasa belum pernah mendengar nama itu. Atau mungkin pernah. Hanya, dia lupa di mana tepatnya.

____________________________

Beberapa jam yang lalu.

Lewat tengah malam, warga di Perkampungan Tua Dapur 12 dibangunkan oleh suara ketukan pintu dari luar rumah.

Kira-kira saat itu jarum jam hampir mencapai pukul setengah satu. Pada jam-jam sesenyap itu, sudah dapat dipastikan, beberapa warga tengah bergelung di atas tempat tidur masing-masing. Sementara beberapa masih terjaga sembari menonton televisi. Lalu beberapa lainnya bersiap keluar untuk memburu ikan-ikan di atas perahu. Sebab, kebanyakan warga yang menghuni perkampungan tersebut memang berprofesi sebagai nelayan.

Jelas saja, pukul setengah satu malam bukanlah waktu yang tepat untuk bertamu. Tetapi suara gedoran di pintu terus menular dari satu rumah ke rumah lain. Susul-menyusul seolah ada berita besar yang hendak dikabarkan si pembuat onar.

Begitu pintu dibuka, para warga dihadapkan oleh sosok pria-pria berambut gondrong dengan pakaian sipil yang melekat di tubuh mereka. Para warga yang kaget langsung menutup pintu rapat-rapat. Mengira tamu mereka adalah pelaku pencuri, yang belakangan dikabarkan tengah mengembangkan modus baru dalam melakukan aksinya.

Pintu digedor lagi—lebih kuat, membuat para warga berdecak sebal, dan terpaksa meladeni orang-orang gila itu. Begitu tahu—mereka yang datang berkunjung adalah petugas polisi, para warga di Perkampungan Tua Dapur 12 pun terpaksa besikap kooperatif. Mau tidak mau mereka harus bersedia ditanyai dan diperiksa.

Isu adanya pengedar narkoba yang hendak diringkus pun berembus dengan sendirinya. Para warga yang merasa penasaran beramai-ramai melenggang keluar dan memenuhi jalan sampai ke rumah kepala desa, tempat di mana Depari berada saat ini.

Sepertinya para warga tengah menantikan saat-saat anggota polisi melakukan penggerebekan. Dan bersiap merekam momen langka tersebut agar viral di media sosial. Padahal, maksud dan tujuan para petugas polisi menyebar di desa tersebut adalah, guna mencari tahu perihal Dahlan, juga—alasan mengapa Dahlan ingin mendatangi Perkampungan Tua Dapur 12 pada waktu lewat tengah malam.

Cukup berlebihan, memang. Depari sendiri pun merasa ragu dengan ini semua. Hanya karena satu orang, Polresta Barelang menurunkan banyak sekali anggota polisi ke lapangan. Mulai dari unit Jatanras, satuan Sabhara, serta pasukan Brimob. Dan Depari diperintahkan secara langsung oleh Komisari untuk memimpin semua pasukan tersebut.

Setelah berdialog cukup alot dengan kepala desa, Depari dan orang-orangnya pun dipersilakan untuk melakukan penyisiran hingga ke penjuru desa sampai ke pelosok-pelosok pelabuhan tikus. Foto-foto Dahlan disebar dan ditunjukkan ke depan hidung para warga. Petugas polisi kemudian menanyai mereka satu per satu, apakah ada salah satu di antara mereka yang mengenali pria di dalam foto, atau adakah sesuatu yang mencurigakan yang baru-baru ini terjadi di desa mereka.

Semua warga menjawab sama; menggelengkan kepala, tidak tahu-menahu, tidak kenal—apalagi sampai harus berurusan dengan pria bernama Dahlan itu.

Hujan rintik-rintik mampir sebentar malam itu. Depari menengadahkan kepala. Berharap menemukan setitik keajaban di atas sana. Agar ini semua lekas berakhir dan dia bisa tidur dengan lelap.

Lalu, setengah jam kemudian, tanpa diduga-duga, Depari dikejutkan oleh laporan dari salah seorang petugas polisi—yang keluar dari dalam HT-nya.

"Komandan, kita mendapatkan seorang saksi. Juga ... sesosok mayat."

"Apa? Di mana posisi kalian?" tanya Depari memastikan.

Suara statis sejenak menginterupsi pembicaraan mereka.

"Di ...."

Depari menyimak baik-baik. Lalu mengambil langkah menjauh lantaran suara petugas polisi di seberang tenggelam di tengah kasak-kusuk kerumuman warga.

__________________

Saksi berikut sosok mayat yang disebutkan polisi tadi telah diamankan di sebuah pelabuhan tikus milik seorang pengusaha kaya. Letaknya cukup jauh dari pemukiman warga, tepatnya di daerah muara sungai Dapur 12. Untuk menuju ke tempat itu, Depari dan orang-orangnya mesti menaiki sampan ting-ting yang dengan sukarela dipinjamkan salah seorang warga. Mau tidak mau mereka harus puas menaiki sampan tradisional bertenaga manusia, sebab perahu berpenggerak mesin telah menyebar ke laut lepas.

Perlahan tapi pasti, sampan ting-ting pun melaju di atas perairan yang cukup tenang. Sampan kayu dengan ukuran panjang 11 meter itu mampu menampung paling banyak 5 orang. Tetapi Depari hanya mengajak dua petugas polisi bersamanya, serta seorang warga yang bertindak sebagai penunjuk jalan—demi meminimalisir risiko yang mungkin saja terjadi di tengah jalan. Cuaca malam itu tidak bisa diprediksi. Hujan turun lagi: sebentar berhenti, sebentar kemudian turun lagi, seolah berniat bermain-main dengan mereka.

Depari tidak bisa mengira-ngira, sudah seberapa jauh mereka dibawa mengarungi perairan sungai. Mereka hanya menggunakan penerangan seadanya. Senter-senter kecil disiagakann di masing-masing tangan petugas polisi—termasuk Depari, guna menuntun mereka sampai ke tempat tujuan. Di kanan-kiri, berdiri tanaman bakau setinggi rata-rata 6 meter yang berderet seperti tembok. Semakin dalam mereka bergerak, keheningan semakin memberat. Suara yang terdengar hanyalah kecipak air dari dayung perahu serta suara pepohonan yang bergemerisik. Depari sempat merinding. Tetapi dia berusaha mengatasinya dengan mengajak si penunjuk jalan bercakap-cakap.

Pembicaraan mereka pun tidak jauh dari topik seputar daerah itu.

Si penunjuk jalan—pria berpakaian sederhana dengan punggung agak bongkok—itu berujar, "Kapal-kapal kecil di bawah muatan 100 ton, memang sering menepi di berbagai muara atau pelabuhan-pelabuhan tikus sekitar sini, Pak Polisi. Ya ... untuk melakukan bongkar muat. Mau itu kapal pengangkut yang masuk ke Dapur 12, ataupun kapal pengangkut yang hendak keluar dari Dapur 12—tanpa tertangkap tangan."

Dapur 12 sendiri terkenal sebagai jalur penyelundup kayu, termasuk kayu bakau. Dia membeberkan, dalam seminggu setidaknya 3 kali kapal-kapal itu singgah di Dapur 12. Pembalakkan liar serta aktivitas jual beli ilegal juga sering terjadi di sini. Kayu-kayu selundupan, yang rencananya akan dipencar keluar negeri itu, dibawa menuju sandaran berikutnya dengan banyak rute membingungkan, sebelum kemudian berakhir diperairan Singapura.

"Herannya, para penyelundup selalu melenggang bebas--keluar-masuk seenaknya. Entah karena dibekingi para aparat atau ...." Si penunjuk jalan tampak ragu untuk menyuarakan pikirannya. Untunglah, pelabuhan tikus yang mereka tuju telah terlihat di depan mata. Jadi, dia tidak perlu meneruskan kalimatnya.

Selintas Depari menangkap adanya sinar senter yang bergerak-gerak di kejauhan. Sampan pun didayung oleh si penunjuk jalan mendekati sumber cahaya, merapati sebuah kapal motor yang tampak sedang berlabuh jangkar agak jauh dari bibir pelabuhan.

Pelabuhan tikus bukanlah pelabuhan resmi. Biasanya tempat-tempat bersandar seperti ini dibangun oleh masyarakat atau kelompok tertentu. Tepat di depan sana, tampak batu bersemen kasar dibangun agak maju ke perairan, cukup lebar dan luas, dengan patokan tali temali—yang berfungsi sebagai tambatan kapal—di bagian ujungnya.

Begitu sampai, Depari dan orang-orangnya pun langsung memanjat kapal tersebut, dibantu oleh anggota polisi lain yang telah bersiaga di atas geladak. Depari melihat banyak sekali tumpukan kayu bulat ditumpuk di pinggir pelabuhan. Kalau ditaksir, barangkali beratnya mencapai 50 ton. Banyaknya sampah yang tegerus kapal di lokasi tersebut, cukup menjadi bukti kalau pelabuhan tikus itu sering digunakan. Selain itu, bekas bungkus makanan dan minuman juga terlihat berserakan di sekitar batas perairan.

"Jadi, apa kalian berhasil membajak kapal motor ini sebelum kabur membawa kayu-kayu itu?" tanya Depari sembari menunjuk ke arah gundukan kayu.

Salah seorang anggota unit Jatanras bernama Rama mengajukan diri—melapor pada Depari. Dia berkata, "Kayu-kayu tersebut memang sudah siap angkut, Komandan. Hanya saja kapal motor yang bertugas membawa kayu-kayu itu tidak kunjung datang sampai sekarang."

Depari kontan saja mengernyit heran. "Lalu, kapal motor ini?" Pertanyaannya merujuk pada kapal motor yang sedang mereka jadikan tempat berpijak. Seolah baru ingat tujuan awalnya datang ke tempat itu, Depari kemudian mengubah topik pembicaraan mereka. "Oh, di mana saksi dan mayat yang kalian bilang itu?"

Seorang anggota satuan Sabhara sempat mengerling ke arah si penujuk jalan yang tampaknya baru selesai menalikan sampan.

"Biarkan saja dia," bisik Depari, seolah mengerti apa yang hendak diutarakan polisi itu.

Sementara itu, si penunjuk jalan tampak kebingungan dengan agenda bisik-bisik yang mereka lakukan. Kehadirannya seperti tidak diinginkan di sana. Alhasil dia memutuskan untuk tetap tinggal di sampannya sambil merokok.

Rama kemudian menunjukkan jalan pada Depari. Dengan sangat cekatan, dia menyela tubuh-tubuh tegap para anggota polisi yang berkerumun di ambang pintu hingga mereka tiba di kamar mesin kapal. Di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, tergeletak sesosok tubuh yang telah ditutupi terpal. Lalu terlihat seorang pria berambut gimbal tengah duduk meringkuk tak jauh dari sana dalam keadaan bertelanjang dada.

Depari memilih membuka terpal lebih dulu. Seketika hidungnya pun langsung menyusut bau anyir darah. Tubuh kaku seorang pria bertubuh kurus dalam posisi terlentang segera didapatinya begitu terpal penutup tersingkap seluruhnya. Menghidupkan senter, Depari menyorot si mayat tepat di bagian wajahnya yang terkulai ke sisi kiri, nyaris tidak bisa dikenali akibat tertutupi darah sendiri. Kedua mata si mayat membelalak lebar. Sementara bibirnya telah membiru.

"Korban tewas tertembak tepat di kening." Depari menyimpulkan setelah berhasil menemukan sumber luka. "Apa kalian mendapatkan bukti berupa selongsong peluru?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaannya itu. Depari merasa seperti sedang berbicara pada sekumpulan hantu. Dia mendesah, lalu beralih menatap si pria berambut gimbal yang masih setia menundukkan wajah sejak Depari masuk ke kamar mesin.

"Siapa namamu?"

Percuma. Ditanyai untuk ketiga kali, pria itu tetap bungkam dan enggan mengangkat wajah. Terpaksa Depari menarik rambut pria itu hingga kepalanya mendongak pada Depari. Depari berdecak keras. Wajah pria itu rupanya babak belur di sana-sini. Kekerasan seperti ini memang kerap kali terjadi tanpa bisa dicegah.

Depari menatap wajah-wajah anggota polisi yang berdiri di depannya, menunggu siapa saja bersedia menjelaskan; apa yang sebenarnya terjadi sebelum dia tiba di tempat ini.

"Pria itu bernama Orlando, Komandan." Akhirnya salah seorang dari mereka berani angkat bicara. Dia adalah anggota unit Jatanras yang tadi mengantar Depari ke kamar mesin. "Orang yang biasa mengatur tempat sandar bila ada kapal masuk ke pelabuhan ini," jelasnya lagi.

Orlando berusaha melepaskan diri dari cengkraman Depari. Mau tidak mau Depari membiarkannya. Sebab, rambut gimbal pria itu meninggalkan bekas minyak di tangannya. Membuat Depari mengernyit jijik karenanya.

Orlando meludah ke samping kanan ketika merasakan darah memenuhi mulutnya. Kemudian dengan berani dia menatap Depari leka-lekat. "Sudah kubilang bukan aku pelakunya, tapi mereka terus saja memukuliku," katanya dengan nada marah.

Beberapa anggota polisi spontan bereaksi karena ucapan Orlando. Mereka berniat maju mendekat dengan memasang wajah-wajah gahar, tetapi Depari buru-buru mengangkat tangan, memberi pertanda sebaiknya mereka menghentikan tindakan tak berguna itu.

Agaknya Orlando merasa tidak nyaman dengan kehadiran polisi-polisi itu. Jadi, Depari memerintahkan kepada mereka untuk segera angkat kaki. Sambil mendumal tidak jelas, mereka pun keluar dari dalam kamar mesin, sehingga yang tersisa hanya Depari, Rama, Orlando, dan mayat yang sampai saat ini belum diketahui identitasnya.

Depari memberikan banyak ruang pada Orlando, agar pria itu dapat leluasa berdiri dan merenggangkan tubuhnya. Sementara itu, bersama si Bintara di sisinya Depari menunggu; barangkali Orlando bersedia menceritakan bagaimana kronologi kejadian penembakkan tersebut tanpa perlu dipaksa-paksa.

Sadar dirinya berada dalam posisi tidak menguntungkan, Orlando pun mulai memberitahukan apa saja yang dilihatnya pada Depari, tanpa ada sesuatu yang dia kurangi atau dia tambahi bumbu penyedap.

Depari sibuk menekan kening selama mendengar penjelasan Orlando. "Jadi, kapal motor ini tiba-tiba masuk ke pelabuhan tanpa pemberitahuan lebih dulu?" tanyanya berusaha memastikan sekali lagi.

Orlando segera mengangguk membenarkan. "Awalnya, kupikir kapal ini adalah kapal yang dikirim untuk mengangkut kayu-kayu selundupan itu. Tapi begitu kapal bergerak mendekati pelabuhan dan wujudnya semakin jelas, ternyata ... bukan. Jenis kapal motornya saja beda. Seharusnya KM Jaya Lestari III, tapi yang datang malah KM Sinar Bone 3," jelasnya panjang lebar. Sementara Depari masih menimbang benar tidaknya ucapan pria gimbal itu.

"Lalu, apa yang kausaksikan saat itu?"

Orlando menerawang sesuatu di kejauhan—entah apa itu Depari tidak begitu yakin. "Mereka menyelundupkan seseorang, mungkin imigran dari luar."

"Menyelundupkan seseorang?" Depari mengulangi kata-kata Orlando. "Berarti satu orang?" Dan pria itu mengangguki pertanyaannya tanpa perlu berlama-tama.

Depari tertawa geli. "Kalau kau tidak ingin dituduh sebagai pembunuh, lebih baik kausiapkan bukti untuk bualanmu itu. Mengerti?!" Kali ini Depari menekan intonasi suaranya. Dari balik sabuk celana, dia mengeluarkan sebuah borgol, yang kemudian dibawanya ke hadapan Orlando.

"Tu-tunggu dulu!" Orlando mulai panik dibuatnya. "Aku belum selesai bicara!" Cepat-cepat dia mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku celana. Untung saja, Orlando sempat mengambil foto imigran gelap itu sebelumnya. Yang benar saja! Dia tidak ingin dituduh sebagai pelaku pembunuhan terhadap pria tanpa indentitas itu. Paling tidak, dia harus menjalani hukuman belasan tahun penjara apabila terjerat pasal pembunuhan. Lain halnya jika dia tertangkap karena membantu melakukan penyelundupan. Dengan sedikit sogokan, taksirannya dia mungkin hanya akan dihukum penjara selama tiga tahun saja oleh pihak kejaksaan—sama seperti para penyelundup lainnya.

Orlando masih sibuk mencari-cari letak galeri ketika tiba-tiba ponselnya direbut oleh Depari. Lantaran tidak sabaran, Depari berinisiatif memeriksanya sendiri.

Alis Depari terangkat sebelah ketika mendapati sebuah foto yang cukup menggugah rasa penasaranya. "Sebuah peti mati?" Dia melirik Orlando sekilas, lalu bergumam tidak jelas.

Ponsel yang digunakan Orlando, adalah jenis ponsel yang langsung menampilkan tanggal dan waktu, apabila sebuah objek yang ingin dipotret telah terabadikan dalam gambar. Sebagaimana yang tertera di bagian bawah kanan foto; diambil tepat pada hari ini pukul 00.13.

Rama yang juga merasa penasaran pun ikut menengok ke dalam layar.

Depari menggeser foto-foto lain dalam galeri. "Di mana foto imigran gelap yang kaubicarakan itu, ha?!"

Orlando kebingungan menjawabnya.

Jelas tidak ada! Sebab si imigran gelap .... "A-ada di-di dalam peti mati itu!"

"Ha? Bicara apa kau ini?"

"Ja-jadi, begini ...," Orlando tidak mengerti mengapa dia mesti terbata-bata di saat seperti ini. "a-aku melihat seseorang keluar dari .. dari dalam peti mati itu! Aku berani bersumpah!" tekannya berapi-rapi, meski masih tergagap. "Saat itu aku berniat mengatur sandaran untuk kapal motor mereka, tapi tiba-tiba saja ... sebuah speedboat datang dari arah lain. Tak lama terdengar bunyi tembakan yang cukup keras. Jadi, aku langsung sembuyi di antara gundukan kayu di pinggir pelabuhan." Sayang sekali, Orlando tidak sempat mengambil foto si imigran gelap saking terjekutnya dia saat itu.

Depari tentu tidak akan percaya semudah itu. Dia lantas meminta pendapat dari Rama. "Apa menurutmu itu masuk akal?"

"Bisa jadi, Komandan. Kalau bukti berupa peti mati itu berhasil kita dapatkan."

Orlando spontan berteriak-teriak lagi. "Ada! Ada!" Jari telunjuknya langsung mengarah ke perairan di balik kaca jendela kamar mesin. "Peti mati itu ... dihanyutkan di sana!"

Setengah tidak percaya, Depari dan Rama bertukar pandang sejenak.

"Sebelum imigran gelap itu kabur menggunakan speedboat, mereka sempat membuang peti mati itu ke perairan!" jelas Orlando yang tidak ingin kehilangan kesempatan bertahan hidup.

Mendadak Depari bimbang dibuatnya, apakah dia mesti memerintahkan orang-orangnya untuk melakukan pencarian atau tidak. Merepotkan. Peti mati itu sudah pasti hanyut entah ke mana.

________________________

Acara makan-makan bersama Budhe terpaksa Agam dan Fred tinggalkan lantaran tiba-tiba saja mereka diminta untuk segera kembali ke markas. Dengan berat hati Budhe melepas kepergian Fred seolah keponakannya itu tidak akan pernah kembali ke sisinya. Mereka sempat berpelukan cukup lama. Budhe membisikkan sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Sementara Agam menunggu dengan sabar di dalam mobilnya.

Agam sangat menyayangkan sisa nasi goreng dalam bakul yang belum sempat dihabiskannya. Mau tidak mau mereka harus segera pergi dari sana. Sebuah peti mati ... telah menunggu untuk diperiksa di kantor polisi. Demi mencari barang bukti itu, kabarnya, para anggota polisi mesti berakit-rakit ke hilir lalu berenang-renang tepian. Entah apa maksudnya. Agam hanya terkikik ketika mendapati notifikasi pesan itu di ponselnya. Intinya Depari beserta orang-orangnya mesti bersusah payah, sebab peti mati itu hanyut sejauh lima kilometer dari titik asalnya.

Begitu sampai di Markas Polresta Barelang, Agam dan Fred langsung turun dari mobil, kemudian mengambil langkah menuju gedung Direktorat Reserse Kriminal yang belokasi agak jauh dari gedung utama. Sampai di selasar, mendadak mereka dikejutkan oleh teriakan Depari di depan pintu ruang interogasi khusus. Suaranya menggelegar persis seperti anjing yang sedang menyalaki musuhnya.

"Hei! Kenapa kalian biarkan Komisaris melalukan pekerjaan kalian, ha?! Bawa si bedebah itu ke tahanan sementara!"

Kalimat tersebut dilayangkan untuk dua petugas Divisi Tahti yang tampaknya tidak becus menjalankan tugas. Kedua petugas itu kontan saja mengkeret di tempat, cuma bisa saling pandang sembari memasang wajah-wajah bingung.

Bedebah yang dimaksud Depari sendiri adalah Dahlan. Begitu Dahlan dipersilakan meninggalkan ruang interogasi, Komisaris langsung bergerak mengambil alih tugas mereka; dengan suka rela dia bersedia mengantar Dahlan menuju ruang tahanan sementara. Kedua petugas itu tentu saja tidak bisa menolak, lebih memilih memenuhi permintaan Komisaris ketimbang Depari yang kadar keabsoludannya tidak lebih mutlak untuk dipatuhi.

Sepanjang jalan Dahlan tidak melakukan perlawanan kendati borgolnya ditarik paksa oleh Komisaris. Dia justru memasang senyum lebar di wajah, seolah menanti detik-detik Komisaris akan menghantamkan mukanya ke depan tembok hingga babak belur.

Di sela-sela ketukan kaki mereka, Komisaris sempat bertanya—setengah berbisik ke telinga Dahlan. "Ayis .... Apa yang sudah kaulakukan pada Ayis? Kau yang mencelakainya. Iya, kan?"

Dahlan terkekeh masam mendengarnya. "Komisaris yang terhormat," katanya dengan penuh percaya diri. "menuduh tanpa bukti merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Itu sama saja dengan fitnah. Dan fitnah ... lebih kejam daripada pembunuhan."

Jawaban dari Dahlan tak membuat Komisaris puas sama sekali. Gemuruh hebat justru membesar di dadanya dan siap meledak sewaktu-waktu. Tanpa perlu berpikir dua kali, satu pukulan telak pun Komisaris hadiahkan untuk Dahlan.

"Ceramahi dirimu sendiri, keparat!" teriaknya yang sudah tidak tahan melihat sikap Dahlan. Dahlan bertingkah seolah hilangnya nyawa Ayis adalah sesuatu yang patut ditertawai. "Apa kau pantas disebut manusia?!" Komisaris terlihat sangat murka. Semua orang dibuatnya terkejut, langsung berlarian melerai, tak terkecuali Agam dan Fred yang baru akan melanjutkan perjalanan menuju Laboratorium Kriminal.

"Apa kau yang menyetting kecelakaan itu, ha?!" bentak Komisaris lagi sambil memutar kerah kemeja Dahlan. Pembicaraan yang semula hanya serupa bisik-bisik nyamuk itu pun kini mampu didengar orang-orang di sekitar selasar.

Dahlan menyumbangkan tawa mencemooh ke dalam percakapan mereka. "Polisi harusnya bicara dengan bukti, bukan dengan sesuatu yang tidak pasti."

"Bukti ...," Komisaris berucap dengan gamang. "Bukti itu sudah pasti tidak ada karena kau yang melenyapkannya."

Dahlan segera menyangkal, "Semua ini terjadi karena kesalahan Agus Sinar, asal kau tau saja." Sudut tergelap dalam mata pria itu seperti sedang tersenyum, bukan pada Komisaris, melainkan pada Fred yang berdiri sekitar satu meter di sisi kiri Komisaris. "Andai Agus Sinar datang di malam naas itu, menurutmu, apa yang akan terjadi pada Ayis dan ...."

Dengan sengaja Dahlan menggantung kalimatnya di akhir. Kedua matanya masih tertambat pada Fred, yang secara terang-terangan membalasnya dengan pandangan terluka dan napas tercekat. Anak kecil yang dulunya cuma bisa meraung-raung memanggili ibunya itu kini berdiri di hadapannya. Dia sangat mampu mengungkap kebenaran. Dia sangat mampu membalaskan dendam. Akan tetapi selamanya dia tidak berdaya karena keadilan akan terus berpihak pada Dahlan.

"Kenapa kalian buang-buang waktu? Kasus itu sudah lama sekali berlalu."

"Hei! Sudah kubilang, itu-cepat-bawa dia pergi!" Teriakan lantang kembali Depari lontarkan dan berhasil memecah kontak mata di antara mereka. Tak lama Dahlan pun diseret pergi menjauhi kerumunan. Meninggalkan Fred yang berusaha keras tidak terbakar ucapannya.

Fred menarik napas dalam-dalam, berupaya terlihat tenang di hadapan semua orang. Namun, setiap derap langkah yang diambil pria paruh baya itu, rasanya makin menabuh genderang perang di dada Fred. Dia bersiap mengejar Dahlan sampai ke ujung selasar, dia akan menghabisinya, dia akan meminta Dahlan bertanggung jawab pada kata-katanya, tetapi Agam dengan sigap menangkap tangannya di pertengahan jalan.

"Apa yang kaulakukan? Labkrim ada di sebelah sini," beritahunya kalau-kalau saja Fred lupa jalan menuju ke sana.

"Biarkan aku bertanya sesuatu padanya, Gam!" tukas Fred sembari menampik tangan Agam. "Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk ...."

"Untuk apa?" tagih Agam yang masih menunggunya melanjutkan kata-kata.

Fred tercenung karena ucapannya sendiri. Tersenyum kecut lalu dia membuang muka ke arah lain.

Agam tidak akan mengerti betapa dia sangat ingin mengoyak-ngoyak mulut Dahlan sampai dia tidak bisa bicara lagi. Kedua tangannya bahkan sudah terkepal erat hingga garis-garis uratnya bertonjolan keluar. Namun, keinginan itu segera lenyap sesaat dia merasakan tangan seseorang mengelusnya di punggung. Komisaris tiba-tiba menyeruak di antara mereka. Membuat Agam agak kikuk. Sementara Fred sibuk membenamkan setengah muka ke dalam leher kausnya sendiri.

"Ayo, ada sesuatu yang mesti segera kita periksa."

Komisaris lekas menggiring mereka berdua menuju Labkrim di selasar kanan. Orang-orang yang tadinya berkumpul membentuk kerumunan pun ikut membubarkan diri.

_____________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro