[[ Jalinan ]]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hujan turun makin deras di luar saat Kamal berjalan melewati pilar-pilar besar gedung Direktorat Reserse Kriminal. Dari kejauhan, dia melihat Dahlan digiring oleh dua orang Bintara menuju sisi kiri gedung--ke sebuah tempat di mana interogasi terhadap orang-orang khusus biasa dilakukan. Tak lama Komisaris datang menyusul dengan langkah terburu-buru. Kamal sempat berhenti di pertengahan jalan lantaran penasaran. Tetapi kemudian dia kembali melanjutkan perjalanan. Sadar dirinya tidak berada pada posisi di mana dia bisa campur tangan dalam proses interogasi yang dilakukan orang-orang Reskrim.

Begitu sampai di ruangan Kadiv Internal, Kamal langsung disambut oleh dering mesin fax di atas meja kerjanya. Setegah berlari, Kamal menghambur masuk dan segera mengangkat gagang telepon. Tombol start pada mesin fax kemudian dia tekan. Satu per satu berkas yang dikirim oleh si pengirim pun perlahan-lahan keluar dari dalamnya.

Duduk menunggu, Kamal menyambinya dengan membereskan fail-fail—yang tergeletak tidak pada tempatnya—ke dalam kotak bantex. Kotak bantex tersebut kemudian dia tata apik di atas kabinet yang terletak di belakang kursinya. Begitu mesin fax berhenti bekerja, berkas-berkas yang dia terima pun langsung diperiksanya. Berkas-berkas tersebut berisi salinan Kartu Keluarga milik orang-orang yang sebelumnya dia curigai sebagai informan Agus Sinar. Dari total empat orang yang berhasil mereka kerucutkan, rupanya Mari mengirimkan delapan buah salinan.

Pertama-tama Kamal memeriksa salinan Kartu Keluarga milik Aryan Halfin. Berbekal sebuah catatan kecil—yang sepertinya ditulis tangan oleh Mari sendiri, diketahui bahwa kedua orang tua Aryan pernah dua kali memperbaharui riwayat Kartu Keluarga mereka. Tetapi hal tersebut dimaksudkan untuk menambah nama anggota kerluarga kandung—adik-adik dari Aryan—tidak lebih.

Kamal memilah-milah salinan berkas lainnya. Dan begitu tangannya sampai pada dua berkas terakhir—menilik serta meneliti detail informasi di dalamnya—kedua mata Kamal seketika dibuat melebar tidak percaya.

Kamal buru-buru menghubungi Mari untuk memastikan. Nada sambung terdengar di line, lalu dia mendapati suara Mari menyambutnya tak lama kemudian.

"Halo?"

"Mari, kamu yakin berkas-berkas ini valid?" serobot Kamal tidak sabaran.

"Ya, tentu, Kapten. Susah sekali mendapatkannya."

"Kerja bagus," puji Kamal spontan. Membayangkan Mari harus bolak-balik mendatangi dan mengontak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil demi mendapatkan salinan berkas kedaluwarsa tersebut, pastilah sangat merepotkan. Kamal sangat menghargai kerja keras Mari.

Kemudian Kamal menanyakan, "Bagaimana kondisi di sana?" yang langsung dijawab Mari dengan gumaman cukup panjang.

"Lampu kamar dihidupkan, tetapi sepertinya Dimas tidak ada di rumah saat ini," ujar Mari dengan tegas, merasa sangat yakin pada tebakannya.

Kamal lantas memberikan perintah pada Mari dan seorang rekan lainnya di sana untuk kembali ke markas. Sambungan telepon lalu diputuskan setelah Mari menjawab "Roger, Kapten" dengan nada riang gembira.

Kamal pun kembali berfokus pada dua berkas di tangannya. Dari keseluruhan berkas yang Mari kirimkan, hanya ada dua salinan Kartu Keluarga yang perubahannya tampak sangat mencolok. Pertama, Dimas—dikarenakan ayahnya yang menikah lagi. Lalu, kedua, Fred—dikarenakan kedua orang tuanya yang bercerai sembilan belas tahun silam.

Kamal tertawa rikuh, sama sekali tidak menyangka dengan fakta yang didapatinya tersebut. Soal Dimas, dia merasa tidak perlu terkejut lagi. Dia sudah lama tahu kalau Agus Sinar menikahi istri Samsuri. Tetapi lain halnya dengan Fred.

Sekarang, Kamal tahu siapa sosok informan yang bekerja untuk Agus Sinar.

Fred. Sudah pasti dia, pikir Kamal.

Kedua mata Kamal mendadak berkaca-kaca entah sebab apa.

Samsuri. Ayis.

Sosok kedua orang itu tiba-tiba membayang di pelupuk matanya—dengan senyum jenaka dan ekspresi bahagia di wajah.

Kamal memang tidak banyak memberikan sumbangsih dalam penyelidikan kasus Samsuri dan Ayis selama ini. Tetapi, kapan pun dan di mana pun itu, dia selalu menyertakan nama mereka dalam doa-doa-nya. Berharap agar di alam sana mereka bisa tenang. Damai dalam dekapan Tuhan. Sebab di sini, betapa banyak pun tahun telah terlewat, masih ada orang-orang yang belum bisa melupakan kematian mereka berdua. Masih memperjuangkan keadilan untuk mereka--termasuk Kamal sendiri.

______________________

"Dahlan ditangkap," ujar Agam untuk kesekalian kalinya. Dan untuk kesekian kali pula Fred diam tidak menanggapi.

Penangkapan terhadap Dahlan terkesan begitu mendadak sampai-sampai satu Polresta Barelang dibuat gempar karenanya. Agam menduga, barangkali Dahlan terlibat dengan suatu tindak kriminal yang cukup serius. Tetapi entah untuk kejahatan apa, Agam tidak tahu sama sekali. Sejauh ini belum ada desas-desus yang didengarnya dari jajaran satuan Reskrim.

Agam mendesah lelah. Diliriknya Fred sebentar lalu atensinya kembali ditarik ke jalan raya. Sejak tadi Agam merasa bagai sedang bicara pada patung kuburan. Fred duduk tepat di sebelahnya, tetapi dia tidak kunjung menyahut.

Merasa kesal karena terus-menerus diabaikan, Agam pun sengaja menaikkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Fred mulai bereaksi di kursinya, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Jalanan yang mereka lewati memang cukup lengang malam itu. Jadi, Fred pikir tidak masalah jika Agam merajai jalanan semau hatinya.

Agam kegirangan seperti orang gila. Air ikut memercik naik ketika ban mobilnya dengan gencar berputar di atas aspal tidak rata. Dicengkramnya kemudi erat-erat dengan kedua tangan seolah takut jika sewaktu-waktu dia akan kehilangan kendali mobil. Darahnya berdesir seiring adrenalin dalam diri ikut memuncak. Sudah lama sekali rasanya Agam tidak melakukan balap liar di trek-trek mengerikan. Tempat-tempat yang kerap dia jadikan sarana uji coba—semasa SMA—adalah daerah di perbukitan dan sepanjang area Jalan Sudirman yang dikenal mulus dan sepi saat malam hari. Saat berkuliah pun dia masih sering menyalurkan hobinya dengan bergabung ke klub-klub pembalap dan ikut berlatih di sirkuit. Namun, sejak Agam resmi menjadi bagian dari anggota kepolisian, kegiatan-kegiatan berisiko semacam ini belum pernah lagi dia jajal.

Fred mulai berteriak-teriak saat mobil Agam berada di atas kecepatan 60 km/jam. Perempatan sudah tepat di depan mata, seharusnya mereka berbelok ke kiri, tetapi Agam justru membawa mobilnya memutari bundaran taman kecil di tengah-tengah perempatan sebagai titik acuan.

Agam menekan kopling lalu menarik tuas gigi. Pedal gas tidak dilepaskannya ketika berbelok, mobil pun menjadi seperti terseret dan menimbulkan decitan keras. Asap ikut mengebul dari permukaan ban akibat gaya gesek. Kondisi jalanan yang licin dan berair nyaris saja membuat ban belakang mobil Agam tergelincir. Beruntung, Agam termasuk jenis orang yang cepat menguasai arena balapan. Terlebih, beberapa wilayah di Batam memiliki tipe jalan seluas lapangan bola—dengan total lima ruas di kanan dan lima ruas di kiri—seperti jalanan yang sedang mereka lalui saat ini. Jadi, mobil Agam tidak sampai keluar jalur dan menabrak batas trotoar.

Mulut Fred hanya mampu mengeluarkan sumpah serapah di antara kerasnya suara mobil yang menggerung-gerung. Tubuh Fred otomatis kehilangan daya kesimbangan dan terentak-entak ke belakang jok. Kepalanya bahkan sampai terbentur jendela mobil saat dipaksa mengikuti manuver sedan Agam yang menikung dengan tajamnya. Detik berikutnya, mobil mulai kehilangan momentum—agaknya Agam kesulitan melakukan drift di lintasan lurus.

"Hei, Gam! Apa-apaan kau ini?" protes Fred pada akhirnya. Ketika mobil Agam berhasil mengimbangi kondisi jalanan yang lurus, dengan leluasa Fred dapat mengembalikan tubuhnya ke posisi semula.

Namun, rupanya Agam masih tidak berniat melepas gas sehingga Fred semakin teler dibuatnya. Pada waktu sepertiga malam, apalagi saat cuaca sedang tidak bersahabat, jalanan di Batam memang terbilang cukup sunyi dari serbuan pengendara lain. Kesempatan itu pun Agam gunakan untuk melancarkan aksi kebut-kebutannya, meluncur dengan bebas di sepanjang jalan menuju wilayah Batam Center.

"Dahlan ditangkap," ujar Agam lagi dengan suara lebih keras. Kali ini dia bersumpah, akan memanggil Fred dengan nama lengkap kalau-kalau Fred tidak juga menggubrisnya.

"Ya, aku dengar. Sudah berapa kali kau bilang." Fred bersedekap sembari memutar bola mata.

"Apa kau tahu sesuatu, Fred, alasan kenapa Dahlan ditangkap?"

Fred mengibaskan tangan. Bagaimana mungkin dia bisa tahu. Sampai detik ini Agus Sinar belum juga memberinya kabar.

"Kau melamun terus dari tadi. Ada apa sebenarnya?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Fred cepat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian berkata "aku lapar" sembari memegangi perut.

Agam kontan mendenguskan tawa. Dia tahu benar, bukan kalimat itu yang seharusnya Fred ucapkan, bukan pula perasaan itu yang tersirat jelas di wajahnya. Kecemasan. Raut wajah Fred kentara didominasi oleh rasa cemas. Baru kali ini Agam menatap partner-nya itu dengan tatapan curiga. Tampaknya Fred memang menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri. Dia juga merahasiakan sesuatu—yang Agam tidak ketahui apa itu. Pembicaraan Fred dengan Agus Sinar di telepon sore tadi masih membuat Agam bertanya-tanya. Akan tetapi, kendatipun dirinya merasa sangat penasaran, Agam belum berani mengorek apa-apa dari Fred. Agam yakin, Fred tidak akan segampang itu memberitahunya.

Agam berinisiatif mengajak Fred makan bersama kemudian, mengingat dirinya pun belum mengisi perut sejak mereka selesai melakukan olah TKP kasus pembunuhan di yurisdiksi Polsek Batu Aji.

Fred melirik Agam melalui sudut mata. "Sebenarnya ... ada suatu tempat yang ingin aku kunjungi," katanya agak gugup.

Mendadak raut wajah Fred berubah dua kali lipat lebih serius, membuat Agam lantas menaikkan sebelah alis.

"Oh, ya? Di mana, memangnya?"

Fred menyebutkan nama sebuah tempat lengkap dengan alamatnya. Kening Agam berkerut dalam memandanginya, menyadari mereka harus putar balik untuk bisa sampai ke sana.

"Ck! Kenapa kau tidak bilang dari tadi."

Agam tidak bertanya lebih lanjut. Tanpa aba-aba dia langsung memutar roda setir, membuat Fred kembali limbung dan secara refleks berpegangan erat pada selangkangan Agam.

"Hei!" teriak Agam, yang terlonjak kaget akibat tindakan Fred.

Fred balas berteriak keras, "Aku tidak sengaja! Pelankan laju mobilmu, Gam!"

"Singkirkan tanganmu!" pinta Agam risih. Fred pun buru-buru menarik tangannya.

Sesuai permintaan Fred, Agam mengemudikan mobilnya dengan lebih santai menuju wilayah Nongsa.

Sekitar setengah jam kemudian mereka pun tiba di tempat tujuan.

Awalnya Agam kira tempat yang Fred maksud adalah sebuah restoran mewah, angkringan pinggir jalan, atau rumah makan lesehan. Tetapi ternyata, bangunan sederhana dengan pelat "Klenting House" di atas pintunya itu tak lebih dari toko penjaja sangkar burung. Di depan terasnya tergantung banyak sekali sangkar burung; beberapa di antaranya dicat kuning emas, sementara sebagian lagi dicat kuning cerah.

"Kau yakin tidak salah tempat, Fred?" tanya Agam kebingungan, sekaligus merasa heran lantaran baru tahu kalau ada toko sangkar burung yang buka dua puluh empat jam.

Lampu di dalam toko tersebut tampak bersinar temaram. Papan penanda bertuliskan "open" juga belum diputar ke arah sebaliknya, pertanda Klenting House masih bersedia menyambut para pengunjungnya datang sewaktu-waktu.

Lokasi tempat itu terbilang cukup strategis, berada tepat di depan tugu pertigaan. Si pemilik juga menyediakan lahan parkir yang lumayan luas di sisi kanan bangunan, sehingga para pengunjung yang berkenan mampir tidak perlu parkir sembarang di pinggir jalan.

Alih-alih menjawab, Fred melangkahkan kaki mendahului Agam yang masih sibuk memerhatikan sekitar. Begitu pintu kayu berlapis kaca buram dia dorong, bunyi klenting nyaring pun langsung menyambutnya. Fred berhenti di ambang pintu, memaksa kedua kaki Agam ikut tertahan di sebelahnya. Kepalanya lalu menengadah ke atas, menatap sebuah lonceng kecil yang diletakkan di atas kusennya. Benda itu seakan memiliki kekuatan magis yang mampu menghipnotis Fred. Dalam sekejap mengubah air mukanya menjadi sendu dan muram. Agam sempat menangkap basah Fred diam-diam meyusut air mata yang nyaris jatuh di kedua pipi.

"Freddy?" sahut seorang wanita di balik meja kasir.

Tubuh kurus wanita itu dibalut kemeja hitam sederhana. Rambutnya berwarna keperakan sebatas telinga, membingkai seraut wajah si wanita yang telah menua dan berkerut. Untuk beberapa alasan Agam merasa dirinya terasingkan dari sana. Fred dan wanita tua itu saling bertatap-tatapan dengan binar keriduan yang memancar di masing-masing iris mata. Begitu meyakini pria yang berdiri di hadapannya adalah Fred, wanita tua itu buru-buru keluar dari sekat dan meraih Fred ke dalam pelukannya. Menyalurkan segenap rasa rindunya sembari melirihkan nama Fred berulang-ulang.

_________________________

"Budhe ndak ngerti kalok kowe kepengin teko," ucap wanita tua itu dengan bahasa campuran jawa-indo. "Kalok kowe ngabarin Budhe, Budhe pasti akan masakken yang lebih enak. Wes jam segini. Nasi goreng wae, ndak popo, tho?"

Budhe tersenyum hangat. Suaranya lembut—sarat akan kasih sayang. Mata tuanya sejenak memandangi Fred yang masih menunduk dalam diam, lalu berpindah kepada Agam yang duduk tepat di sebelah Fred.

Di meja tamu toko, Budhe menjamu mereka dengan sebakul nasi goreng, irisan telur dalam piring kecil, serta dua cangkir teh hangat. Entah apa lagi yang Fred tunggu. Nasi goreng di hadapan mereka nyaris mendingin, tetapi tangannya tidak kunjung meraih centong. Membuat Agam terpaksa menunggu lantaran merasa segan kalau harus melahap nasi gorengnya seorang diri.

Mendesah, Budhe kemudian berbalik memunggungi Fred dan Agam. Berulang kali Budhe menepuk-nepuk tangan di atas dada. Seolah ada batu sekepalan tangan manusia yang mengganjal di dalam sana.

"Padahal kita iki hidup ning satu pulau, tapi sekalipun kowe ndak gelem ngunjungin Budhe. Pasti karena ibukmu, tho?" kata Budhe lagi; agak kecewa. Membuat Fred langsung mengangkat wajah.

Sekarang, bukan hanya Budhe yang dihadapkan pada puluhan foto berpigura kayu di dinding toko, tetapi Fred juga. Dinding yang mengarah ke pintu masuk itu dihiasi oleh foto-foto hitam putih, yang banyak diisi oleh potret seorang wanita. Senyumnya terlihat manis. Dengan penuh percaya diri wanita dalam foto menampilkan deretan giginya yang besar nan rapi.

"Ibukmu iku ndak beruntung. Ditinggal gitu aja sama bapakmu." Budhe menarik napas, bersiap memulai cerita. "Tapi, berkat polisi itu, ibukmu jadi berubah, ndak banyak ngeluh lagi," senyumnya.

Sosok wanita di dalam foto belakangan Agam ketahui bernama Kusuma. Agam hanya menyimak garis besarnya selama Budhe bercakap-cakap sendiri. Budhe berkata, kalau Kusuma sebenarnya juga menyukai polisi itu. Tetapi polisi mana yang Budhe maksud, Agam sama sekali tidak tahu.

Fred kembali menjatuhkan bola matanya ke atas meja. Berlama-lama menatap jejeran foto berpigura itu hanya akan membuat hatinya pedih tak tertahankan. Seolah belum cukup tersakiti, perkataan yang meluncur dari mulut Budhe pun bagai anak panah yang dilesatkan tepat ke jantung Fred. Fred merasa dirinya berdarah-darah. Tetapi, tidak sekalipun dia berniat menyela omongan Budhe.

"Ibukmu iku cuman minder. Ndak berani nyampekken perasaannya. Padahal Budhe selalu dukung, tapi ... sampek akhir hayat, ibukmu ...." Cerita Budhe berhenti di sana. Selanjutnya hanya kesedihan bercampur rasa sesal yang sanggup dia sampaikan lewat isakan.

Agam melirik Fred yang masih duduk diam di tempatnya. Ibu jarinya sibuk bermain di atas kuku jari telunjuk sehingga menimbulkan bunyi kretak nyaring. Agam sangat hapal kebiasaan Fred. Biasanya jika Fred melakukan hal itu—artinya dia sedang menahan diri agar tidak terbawa emosi.

"Ikhlasken, Fred. Ibukmu wes tenang di sana." Budhe melanjutkan setelah berhasil mengatasi isak tangisnya.

Tiba-tiba Fred bangkit berdiri sampai-sampai Agam berjengit kaget dibuatnya. Selama beberapa saat hanya napas beratnya yang mengisi udara, sampai kemudian Fred tidak tahan dan menumpahkan segala keluh kesahnya di hadapan punggung Budhe.

"Budhe itu nggak ngerti! Budhe gak akan pernah ngerti dan gak akan mungkin ngerti gimana rasanya! Kenapa cuma Freddy yang ditinggal sendiri, Budhe?!" teriak Fred, kemudian meraup wajahnya dengan kesal. Sementara Agam menggaruk-garuk tengkuknya, merasa canggung tiba-tiba.

Di mata Agam, Fred tampak seperti bocah berumur lima tahun yang merajuk karena tidak diajak ibunya pergi ke pesta. Dan Fred sudah terlalu tua untuk meraung-raungkannya. Tetapi, tentu, masalah yang Fred hadapi tidaklah sesederhana itu. Agam pun buru-buru menyingkir kemudian. Sadar, tidak seharusnya dia berada di tengah-tengah perdebatan kedua orang itu.

Agam melihat-lihat beberapa estalase kaca yang dipajang di dalam toko. Klenting House rupanya bukan sekadar toko penjual sangkar burung. Mereka juga menjajakan benda-benda klasik—seperti keris, jam besar berbandul, cermin kayu dengan ukiran yang sangat menakjubkan, serta cincin berbatu giok. Di sudut kiri, ada banyak lagi benda tua yang tak sempat Agam jamah. Sebab matanya langsung ditarik oleh cahaya menyilaukan dari banyaknya cincin titanium dalam papan berpenutup kaca. Desainnya beraneka ragam; ada yang dipercantik dengan batu permata kecil; ada yang dihias dengan rangkaian tiara sebesar bross; ada yang dibiarkan polos saja; serta ada pula yang diukir dengan banyak ukiran rumit.

Agam menjajal beberapa di antaranya, tetapi cincin-cincin itu terlalu kecil untuk bisa di-pas di jari-jariya.

Perhatian Agam kemudian teralihkan pada tiga bingkai foto seukuran telapak tangan orang dewasa di atas meja kasir. Budhe sepertinya memang penggemar berat foto-foto lawas. Sebab lagi-lagi, foto-foto hitam putihlah yang Agam dapati di sana.

Ketiga foto itu disusun memanjang. Di sebelahnya, berdiri sebuah guci mungil berisi bunga lili. Agam menyerngit sewaktu memandanginya. Wanita bernama Kusuma yang Budhe sebut-sebut tadi tampak sedang berpose bersama seorang polisi di depan sebuah warung. Dalam dua pigura lainnya, Agam mendapati foto dua bocah kecil—berwajah sama manisnya. Sekilas mirip. Yang satu berambut panjang dan berlesung pipit, sementara yang satu lagi tampak kuyu dengan gaya rambut cepak ABRI-nya.

Agam menebak-nebak, salah satu di antara dua bocah itu pasti adalah Fred. Dugaannya bukan si rambut panjang, sebab Fred tidak memiliki lesung di pipi.

"Freddy ...," bujuk Budhe kemudian, yang hanya disahuti Fred dengan gumaman singkat. Kali ini Budhe memberanikan diri menghadap wajah keponakannya itu, anak dari adiknya, satu-satunya yang tersisa dari Kusuma.

Agam ikut menengok ke meja tamu toko. Posisi mereka hanya terpaut jarak sekian meter. Mau tidak mau telinga Agam pun menangkap pembicaraan Fred dan Budhe.

"Kamu denger sendiri, tho, opo sing dibilang polisi-polisi itu? kecelakaan yang menimpa ibukmu kuwi ndak ada hubungannya sama unsur kesengajaan. Kenapa kamu ndak coba kuat? Budhe bangun ulang toko ini supaya kamu inget ke mana kamu harus pulang. Dan mengenang ibukmu. Pasti ibukmu sedih. Ndak pernah, tho, kamu dateng lagi ke pemakamannya?"

Fred tertawa sumbang. "Mereka yang udah mati gak mungkin—"

Dia tidak sempat lagi menyelesaikan kalimatnya. Sebab Budhe keburu menghadiahi pipinya dengan tamparan keras.

Budhe lantas jatuh terduduk di atas kursinya, menyesali apa yang baru saja dia lakukan pada Fred. Tangan kanannya yang bergetar hebat mencoba meraih lengan Fred dengan hati-hati, kemudian menuntunnya agar mereka duduk saling berhadap-hadapan. Budhe menyiduk nasi goreng ke atas piring Fred sembari terisak-isak, lalu menaruh sendok di atasnya.

"Makanlah," bisik Budhe pelan sembari melap air mata.

Perlakuan kejam Budhe sebelumnya seolah tidak berarti apa-apa bagi Fred. Tanpa banyak menuntut, Fred menuruti ucapan Budhe. Fred makan dengan lahapnya sampai dia tersedak-sedak dan menangis tergugu. Budhe menuangkan segelas air putih untuk Fred. Fred menerima gelas itu. Meminumnya. Lalu menangis lagi sampai nasi gorengnya banjir air mata.

"Nasi goreng buatan ibuk lebih enak." Budhe mendengar Fred melirihkan kalimat itu. Tetapi dia memilih diam saja.

"Apa nasi goreng buatan Budhe sepedas itu, Fred, sampai kau berlinangan air mata?" Agam datang mencairkan suasana.

Dia ikut bergabung kemudian, menempati kembali kursinya yang sempat dia tinggalkan. Sindiran Agam membuat Fred tergerak menyikut lengannya kuat-kuat. Agam mengaduh. Budhe tertawa tiba-tiba, yang lantas menular kepada dua pria di hadapannya.

Sekarang, Agam mulai bisa bernapas lega. Dia pikir, barangkali—ada satu-dua hal di masa lalu yang sempat membuat Budhe dan Fred tidak saling bicara. Agam mengerti situasinya. Pada dasarnya, mereka yang telah lama memendam luka hanya ingin suaranya didengar. Tidak berharap dikasihani maupun dinasihati. Masalahnya, Budhe dan Fred sama—mereka sama-sama terluka, kemudian lupa bagaimana cara mendengar satu sama lain. Untunglah, Fred bukan tipe orang yang keras kepala. Yang suka bertingkah seolah dirinyalah yang paling menderita di dunia ini. Perlahan, suasana yang semula memanas pun mencair dengan sendirinya. Dua orang yang tadinya sibuk memperdebatkan luka, kini telah kembali duduk bersama dan saling bercengkrama. Kendati sinar di wajah keduanya belum berubah—masih dilingkupi luka yang tak kunjung tertawarkan.

Budhe menyendok nasi goreng ke atas piring Agam. Lalu ke piringnya sendiri. Pukul dua dini hari itu, mereka duduk bersama di meja tamu toko, menyantap nasi goreng dan irisan telur masing-masing, sambil berbagi cerita dan tawa.

"Fred, kenapa ndak kowe pangkas rambutmu kuwi. Dowo tenan koyo anak perempuan."

"Budhe, rambut panjang begini lagi ngetren di kalangan pecinta musik rock, tahu!"

"Lah, opo iyo?" tanya Budhe yang langsung disambar Agam dengan decihan sinis.

"Iya, macam cowok hode, Budhe!" ejek Agam.

"Ha? Opo meneh kuwi?"

Agam dan Fred terkikik geli melihat reaksi Budhe.

"Budhe mana mungkin tau istilah 'cowok hode'."

"Iyo-lah, sak karepmu."

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro