43.2. Pesan yang Tak Sampai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi masih terlalu jauh untuk membangunkan orang-orang dari tidur lelap. Namun, pagi itu, sebentar-sebentar Ayis terjaga karena suara guruh. Di luar hujan. Kesadarannya baru genap ketika dia mendengar ponselnya menjerit tidak sabaran.

Dia meraba nakas di sebelah tempat tidur. Barang-barangnya ikut terdampar di lantai sesaat dia berhasil meraih ponsel berisik itu.

Ayis memandangi layar ponsel. Nomor asing menghubunginya. Entah siapa. Panggilan masuk itu segera dia terima sebelum diambil alih oleh petugas operator.

Bug!

Ayis tersentak. Belum apa-apa, dia sudah dibungkam oleh bunyi pukulan keras di ujung line. Suara-suara gemeresak kemudian bergantian menyambut telinga dengan tidak ramah.

"Yis! Ini aku."

"Pak Samsuri?"

Kedua mata Ayis spontan melebar. Dia seperti mendengar suara Samsuri berbisik-bisik di seberang. Jeda sempat mengambil alih sebelum suara itu kembali memberondong masuk ke dalam sambungan.

"Yis. dengar, Yis. Dia ... dia ternyata masih hidup.

"Dia--Haszni Yusuf. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Fasilitas--soal fasilitas ilegal yang dikatakan Agus Sinar itu--"

Panggilan terputus begitu saja.

"Tidak! Tunggu! Halo?!" Ayis berusaha mendapatkan kembali suara Samsuri. Namun, sia-sia, sebab layar ponselnya sudah dalam keadaan senyap.

Ayis menelan ludah. Dia kebingungan setengah mati, berupaya mencerna apa yang baru saja Samsuri katakan.

"Haszni Yusuf masih hidup?"

Apa mungkin?

Sepengetahuannya, sampai saat ini jasad profesor itu memang belum ditemukan oleh Tim SAR.

Tapi ..., pikirnya itu mustahil. Terlebih, soal fasilitas ilegal itu.

Sial. Ayis tidak bisa mengira-ngira apa yang hendak Samsuri ungkapkan selanjutnya. Samsuri menguasai seluruh durasi tanpa memberi Ayis kesempatan berbicara sama sekali.

Buru-buru ditelusurinya register panggilan masuk. Dan dia menemukan nomor asing itu berada di urutan teratas. Ibu jari Ayis telah siap menekan tombol hijau. Akan tetapi, ia mendadak lumpuh. Ragu.

Ayis berusaha menelaah keadaan sekali lagi. Samsuri kelihatan tergesa-gesa, pikirnya. Barangkali dia sedang berada dalam bahaya. Atau barangkali dia sedang dalam usaha melarikan diri. Bagaimana kalau nada deringnya aktif? Jika Ayis menghubungi nomor itu sekarang, kemungkinan besar Samsuri akan berada dalam masalah.

Ayis meraup wajah dengan kasar. Kekalutannya makin menjadi-jadi dan sesuatu dalam dirinya mendorong untuk segera menghubungi nomor tersebut. Jika Samsuri benar berada dalam bahaya, setidaknya Ayis mesti tahu di mana posisinya. Saking cepatnya panggilan berakhir, Samsuri tidak sempat memberitahukan perihal itu tadi.

Berbekal segenap keyakinan yang berhasil dia tata, Ayis memberanikan diri mengontak balik Samsuri. Lama, dia menunggu dengan harap-harap cemas. Begitu panggilan tersambung, Ayis dihadiahi suara tembakan yang tiba-tiba meledak di udara.

Jantung Ayis serasa lepas dari sarangnya. Untuk mengucapkan sepatah kata saja, dia tidak lagi memiliki kuasa.

Gelak tawa asing kemudian menyela di seberang.

Ayis buru-buru menyergah, "Halo! Siapa kau?!"

Tetapi lagi-lagi panggilan tersebut dimatikan tanpa sempat dia tahu apa yang telah terjadi pada Samsuri.

Firasat Ayis sungguh tidak baik. Suara tembakan itu bisa saja berarti buruk. Entah sengaja dilesatkan untuk membunuh Samsuri, atau justru Samsuri yang melesatkannya.

Ayis nekat berlari tanpa alas kaki.

Ponsel dalam genggaman tangan dia bawa serta bersamanya keluar dari komplek perumahan dinas.

Dia melesat dengan begitu cepat, menuju markas Poltabes Barelang yang berjarak tidak begitu jauh dari komplek. Sampai di area pelataran parkir, Ayis bertemu dengan Dahlan.

"Dahlan!" serunya dengan napas tersendat-sendat di tenggorokan. Dahlan yang hendak masuk ke mobil pun menutup kembali pintunya saat menyadari Ayis datang menghampiri dengan wajah panik.

"Dahlan, di mana Kamal? Apa aku bisa menemuinya sekarang?" tanya Ayis gusar. "Ada hal penting yang harus segera kusampaikan padanya."

Dahlan mengernyit heran melihat Ayis. "Kurasa Kamal telah pergi sejak dua jam yang lalu," beritahunya yakin. "Dia berencana menyusuri kembali jejak Samsuri di area Jembatan Barelang I. Ada apa memangnya? Kenapa kau terlihat panik begitu?"

"Samsuri baru saja menghubungiku!"

"Apa?!" Kedua mata Dahlan nyaris keluar saat mendengar penuturan Ayis. "Kau ... yakin?"

Ayis mengangguk tegas. "Dia menggunakan nomor lain."

Dahlan tampak masih tidak percaya dengan ucapannya.

"Aku mendengar suara tembakan. Apa bisa kita melacak keberadaannya?" ujar Ayis mengusulkan.

"Dengan peralatan yang kita miliki saat ini. Mungkin akan sangat sulit kalau tidak terhubung langsung dengannya. Apa kau sudah coba menghubunginya lagi?"

Ayis tercenung mendengar itu. "Nomornya mungkin sudah tidak diaktifkan. Lalu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?" Dia melirik Dahlan yang kini sedang menadahkan tangan. Ayis tidak mengerti mengapa Dahlan melakukan itu. Dahlan kemudian memperjelasnya dengan mengatakan, "Boleh kuperiksa nomor teleponnya?"

"Oh, tentu." Ayis tertawa canggung. Ponsel yang sejak tadi digenggamnya pun dengan suka rela dia serahkan pada Dahlan.

Tawa Dahlan serasa akan tersembur keluar ketika menyadari ponsel itu dapat dengan mudah berpindah ke tangannya. Nyatanya, dia sama sekali tidak tertarik memeriksa register panggilan masuk ataupun keluar di ponsel Ayis. Jarinya justru memencet tombol lain untuk mencari nama seseorang dalam daftar kontak.

"Hmm ... aku lupa siapa namanya. Apa kau tidak menyimpan nomornya di ponselmu?" Batin Dahlan tergelitik. Mustahil sekali, mengingat Ayis sangat tergila-gila dengan wanita itu.

Sepanjang jarinya bermain di atas tombol kursor, Dahlan tidak berhenti menggumamkan sesuatu. Begitu berhasil mendapatkan apa yang dicarinya, Dahlan lantas menunjukkan taring yang entah sejak kapan dia sembunyikan dalam senyumnya.

"Ah, Kusuma ...." Dahlan menyalin kontak wanita itu ke ponselnya sendiri.

"Ada apa ini?" tanya Ayis yang masih saja tidak mengerti. "Kenapa kau menyalin nomor ponselnya?" Bola matanya bergerak gelisah. Terlebih, sewaktu mendapati seringai keji menghias raut wajah lawan bicaranya.

Ayis mengerjap tak percaya. Kendati pertanyaan itu tidak ditanggapi oleh Dahlan, lambat laun dia mengerti bahwa dirinya sedang dipermainkan di sini. Senyum dan tatapan Dahlan menyiratkan segalanya. Ayis mendadak kelu dibuatnya. Dia seperti dihadapkan oleh jurang yang luas dan tingginya tidak bisa dia perkirakan. Lebih-lebih lehernya seperti siap dililiti tali-temali. Semakin jauh dia terjatuh, semakin mengetat pula tali-temali itu menjerat lehernya. Tanpa perlu repot-repot mempertegas pun, dia tahu bahwa Dahlan tengah memberinya dua pilihan sulit.

Dahlan masuk ke dalam mobil tanpa mau menunggu penjelasan dari Ayis.

"Dahlan, kau tidak bisa melakukan ini!" Ayis menggedor pintu mobil keras-keras. Di balik kaca jendela, Dahlan berdecak meyayangkan ketidakberuntungan Ayis. Dahlan menghapus seluruh log aktivitas dalam register panggilan. Kendati itu semua dapat dipulihkan, dia tidak khawatir sedikitpun. Dia telah mempersiapkan sebuah rencana dalam kepalanya.

"Dahlan!"

Dahlan mendengus malas. Masih terlalu pagi untuk membuat keributan. Dengan berbaik hati dia pun menurunkan kaca jendela hanya untuk melemparkan ponsel Ayis ke tanah.

"Bersikaplah seperti biasa. Aku yakin kau tau bagaimana cara menutup mulut." Setiap kata yang keluar dari mulut Dahlan jelas menebar ancaman. Dia membawa mobilnya melaju tanpa memedulikan Ayis yang mencoba mengejar di belakang.

Dahlan mencengkram kemudi kuat-kuat. Senyum di wajahnya perlahan mengendur, sementara pandangannya lurus mengamati Ayis dalam spion tengah. Dahlan mulai geram. Ada saja hal yang tidak sesuai rencana.

Dia heran, mengapa Samsuri belum juga dihabisi.

"Sialan. Apakah mereka ingin aku menceburkan diri ke dalam got bersama mereka?"

______________________

Ayis meletakkan kembali bolpennya ke dalam mug. Seluruh berkas kasus yang dijadwalkan naik ke pengadilan telah selesai dia periksa dan dia tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk mengusir bayang-bayang Dahlan dari pikirannya.

Rasa-rasanya, tali-temali itu makin kuat mengekang leher tiap kali dia melihat Dahlan berkeliaran di depan lorong. Entah hanya perasannya saja atau Dahlan memang sengaja melakukannya. Tetapi intensitas mereka berpapasan hari itu terlampau sering. Mau tidak mau Ayis harus sadar dirinya sedang diawasi.

Ayis rasa, Dahlan sengaja mengembalikan ponselnya untuk menguji sejauh mana dia akan bertindak. Baik Samsuri atau Kusuma, mereka berdua sama pentingnya bagi Ayis dan ancaman Dahlan sukses membungkamnya.

"Bu Kus tidak ada hubungannya dengan ini semua, seharusnya Dahlan tidak perlu membawa-bawanya ke dalam masalah," ujar Ayis sambil memasukkan tipe x ke saku celana.

Dahlan tahu benar bagaimana cara membolak-balikkan hatinya. Dahlan pasti sudah memprediksi; pilihan Ayis akan jatuh pada siapa.

Di antah berantah Samsuri sedang bertaruh nyawa, sementara di sini Ayis tidak bisa berbuat apa-apa. Ayis mengepalkan kedua tangan. Meratapi betapa tidak berdayanya dia saat ini. Wajahnya kian mengeruh. Melirik ke luar jendela, lagi-lagi dia mendapati Dahlan sedang mondar-mandir di depan ruangan, bagai predator andal yang tengah menanti pergerakan mangsanya.

Harusnya Ayis sudah menduga hal ini; sekalipun dia telah menutup mata dan mulutnya rapat-rapat, Dahlan tidak akan bersedia melepasnya dari cengkraman. Sebentuk ancaman yang Dahlan tebar, menandakan bahwa dia ikut terlibat dengan kasus hilangnya Samsuri. Kemungkinan besar, Dahlan juga tahu kalau Haszni Yusuf masih hidup di luar sana. Setelah Ayis mengetahui semua fakta itu, tidak mungkin Dahlan membiarkannya lolos. Ayis mesti memikirkan cara lain untuk bisa keluar dari ini semua.

Sayang, Dahlan terus menempelinya sepanjang hari itu. Seperti benalu, diam-diam dia mengambil keuntungan dari segenap perasaan resah dan gelisah yang makin menumbuh di dada Ayis. Di pelataran parkir, di lobi, di toilet, bahkan sampai ke tempat-tempat yang biasa Ayis gunakan untuk merokok bersama Samsuri, tidak satu pun luput dari jajahan Dahlan. Ayis seperti tidak diberi ruang untuk bernapas. Bahkan, saat sedang menyantap makanan di waktu pergantian shift pun Dahlan tidak absen menampakkan wajah di depan Ayis. Dengan penuh percaya diri, dia ikut bergabung saat Kamal meletakkan piring makannya di meja Ayis. Dia berkelakar, tertawa-tawa, seolah hidup Ayis tidak cukup kacau mendengarkan semua omong kosong yang dia muntahkan dari mulutnya.

"Hei, Yis, kau kenapa?" Pertanyaan itu akhirnya Kamal ajukan lantaran sedari tadi dia melihat Ayis tampak begitu murung.

Ayis mengangkat wajah dari piring makannya. Lantas menatap Kamal dan Dahlan secara bergantian.

Sejak Samsuri dilepaskan dari jabatannya, Kamallah yang mengambil alih kursi kanit di Divisi Kriminal Umum. Dan segala yang berhubungan dengan kasus Samsuri, dia jugalah yang bertugas menanggungjawabi. Ayis ragu. Setelah menyaksikan sendiri bagaimana perubahan sikap Dahlan terhadapnya, secara drastis dia kehilangan rasa kepercayaannya kepada semua orang. Kamal tidak dia kecualikan. Hati manusia adalah racun dan tidak ada seorang pun yang bisa menafsirkan isinya. Ayis pikir, barangkali Kamal pun sebelas dua belas dengan pria bermuka dua yang saat ini duduk di sebelahnya.

"Apa kau patah hati lagi karena Kusuma?"

"Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu peduli pada janda itu?" Dahlan segera menyambung pertanyaan Kamal. Alis matanya terangkat sebelah, sementara bibirnya mengembangkan senyum mengejek.

"Wanita itu dibaratkan seperti perhiasan," Dahlan menanggapi pertanyaan sendiri. "Sebagai salah satu dari sekian orang yang mengemban jabatan penting, kau diwajibkan memamerkan perhiasanmu di acara-acara tertentu. Apa tidak masalah bagimu mengenakan perhiasan yang kadar emasnya sudah memudar?"

Ayis spontan bangkit dan memperlakukan wajah Dahlan bagai samsak tinju. "Kau memang pantas disebut binatang, Dahlan!" teriaknya marah, merasa dilecehkan. "Bisa-bisanya kau menganalogikan sesuatu untuk menghina seseorang!"

Di bantu oleh anggota polisi lain, Kamal berusaha melerai perkelahian antara Ayis dengan Dahlan. Tetapi kedua orang itu seperti memiliki dunia mereka sendiri, yang jelas-jelas tidak bisa Kamal masuki sesuka hati.

"Harusnya kau segera sadar diri! Wanita itu sudah mengambil alih seluruh hati dan pikiranmu. Kau bahkan tidak sanggup saat disuruh memilih antara teman atau kekasih imajinermu itu, kan?!"

Kepalan tangan Ayis semakin mengetat dibuatnya. Dia segera berlalu setelah melesakkan satu lagi tinjunya di muka Dahlan.

"Bicaramu keterlaluan, Dahlan!" sentak Kamal seraya menunjuk wajah rekannya itu. Di tempatnya, Dahlan hanya membuang muka. Dia bahkan tidak berniat meminta maaf.

Kamal yang merasa tidak enak hati segera berlari mengejar Ayis sampai ke pelataran parkir. Cepat-cepat ditariknya lengan Ayis, begitu jarak di antara mereka hanya tinggal seraihan tangan.

"Yis, aku minta maaf soal tadi. Tidak seharusnya aku membawa topik semacam itu ke meja makan."

Ayis bergeming. Permintaan maaf dari Kamal sama sekali tidak membuatnya merasa lebih baik. Hal itu justru makin menumbuhkan rasa bersalah di hatinya.

"Kata-kata Dahlan benar. Aku memang ... tidak sanggup memilih temanku sendiri," sesal Ayis. Dia menatap Kamal dengan sorot mata pedih. Kamal tidak tahu bagaimana harus merespons. Dia kebingungan ketika tiba-tiba Ayis mendekap dirinya dengan sangat erat.

Saat itu Ayis berharap, dia bisa membagi sedikit saja kesukaran hidupnya tanpa perlu bersuara. Dia putus asa; merasakan bayang-bayang Dahlan makin membesar di balik punggungnya.

Ayis kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Kamal yang berkerut kening menatapnya serta Dahlan yang masih belum puas mengawasi.

Dia memacu mobilnya menuju kawasan Sudirman.

Sejauh dia melaju membelah kepadatan arus lalu lintas, Ayis tidak melihat tanda-tanda Dahlan mengekor di belakang. Dia melirik ke spion kiri. Di sana tampak sebuah sedan hitam tengah berusaha menjajari posisinya. Dia baru bisa bernapas lega ketika melihat sedan hitam itu berbelok ke arah berlawanan.

Di persimpangan lampu merah Ayis menyempatkan diri menelpon Agus Sinar. Satu-satunya orang yang bisa dia percaya saat ini hanyalah Agus Sinar dan Ayis sangat berharap Agus Sinar bersedia menemuinya. Ayis mungkin tidak akan punya kesempatan lagi setelah ini. Apapun yang dipilihnya, Dahlan tidak akan berbaik hati membiarkannya keluar hidup-hidup.

Malam turun lebih cepat sore itu. Langit yang sejak siang telah membendung kesedihan akhirnya berani menumpahkan tangis pada bumi. Ia membasahi seluruh jalanan di kota Batam, gedung-gedung pertokoan, juga tenda-tenda pasar buah yang menjadi lokasi berikutnya Ayis menepikan mobil.

Aspal memercik ketika dia menginjakkan kaki keluar dari dalam mobil. Dengan payung hitam terkembang di atas kepala, dia lalu berjalan dengan tenang, melewati wajah gusar orang-orang yang sibuk menggulung dagangan, serta mereka-mereka yang berlari tunggang langgang untuk mencari tempat-tempat aman.

Dalam radius dua puluh meter di depan, Ayis berhenti tepat di depan sebuah toilet umum. Melangkahkan kedua kakinya masuk, kemudian mengurung diri di balik salah satu bilik. Suara hujan menelan isak tangisnya di dalam sana. Sembari menghitung mundur sisa waktu yang dia miliki, Ayis lekas menulis sebuah pesan untuk Agus Sinar. Menggunakan tipe x yang sejak tadi dikantonginya.

Dia tidak tahu lagi harus melakukan apa. Di tempat kotor seperti ini, Tuhan mungkin tidak akan mau mendengar doa-doanya.

Ayis menggenggam payungnya erat-erat. Bagaimanapun caranya pesan ini harus segera kusampaikan pada Agus Sinar, batinnya putus asa, lantas beranjak pergi dari tempat itu.

_________________________

"Buk," panggil Fred ragu-ragu seraya mencuri pandang ke arah sang ibu. Dia mulai menghitung mundur dalam hati. Dua. Satu. Tiga.

Mendapati Bu Kus bersiap mengangkat wajah, Fred lantas cepat-cepat menunduk. Tangannya dengan jahil mengaduk-aduk nasi goreng hingga menumpahi meja kasir.

Kalau dihitung sudah lima kali Fred melakukan itu. Tiap kali Bu Kus menatapnya, Fred selalu menghindar dan urung berbicara. Bu Kus jadi tidak mengerti apa yang sebenarnya dirisaukan anak itu.

"Ada apa, Freddy?" tanyanya cemas. Sejenak Bu Kus berpikir untuk meninggalkan tatanan nasi bungkus di atas meja. Tetapi urung dia lakukan sebab pekerjaannya makin diburu waktu.

Sebisa mungkin Bu Kus membagi separuh perhatiannya pada Fred. Anak itu terlihat tidak bersemangat. Fred seperti kehilangan rona ceria di wajahnya--entah sebab apa.

"Freddy enggak mau tinggal sama bapak lagi," akunya jujur.

Bu Kus yang mendengar itu terang saja terkesiap. Dia hendak menanyakan alasan Fred berkata seperti itu, tetapi Fred telah lebih dulu membungkam mulutnya. Anak itu menyingsingkan lengan kausnya sampai sebatas siku. Memamerkan bekas lebam memerah di kulitnya--yang Bu Kus yakini pastilah cuma akal-akalan Fred saja supaya diizinkan tinggal bersamanya.

Bu Kus tersenyum kecut melihatnya. "Freddy, Ibuk nggak pernah ya ngajarin kamu bohong begitu."

"Tapi, Buk ...," Fred membantah ucapan Bu Kus. "Freddy penginnya tinggal sama Ibuk."

Bocah laki-laki itu mulai terisak. Suaranya parau. Hatinya terasa begitu kecut. Mengetahui rengekannya kali ini tidak mendapat tanggapan dari sang ibu.

Bu Kus beranjak ke belakang untuk mengambil sebaskom air. Tak lama wanita itu kembali masuk dan duduk di samping Fred. Bu Kus menarik lengan Fred dengan lembut. Pelan-pelan, dibasuhnya bekas kemerahan tersebut sampai jejaknya benar-benar menghilang dari sana.

"Ibuk juga maunya kita tinggal sama-sama." Bu Kus menghibur. Dia mengerti bagaimana perasaan Fred. Anak itu pasti merasa sangat kesepian. "Tapi kan kamu tahu sendiri--"

Ting! Denting lonceng di pintu masuk memotong pembicaraan mereka.

Eddy yang sejak tadi diam, tiba-tiba berseru dengan keras. "Om Ayis!" Anak itu tampak sangat kegirangan. Fred yang merasa penasaran pun mau tidak mau ikut mejulurkan kepala ke pintu masuk.

Fred melihat seorang pria tengah berdiri di sana. Pria itu merapatkan payung, menepuk-nepuk bajunya yang basah. Tubuhnya tinggi dengan potongan rambut pendek. Pria itu tampak gelisah. Terburu-buru menutup pintu, setengah membantingnya, lalu berlari dengan wajah cemas melewati meja-meja.

Eddy melompat untuk memberinya sebuah pelukan. Tetapi Ayis tidak begitu memedulikan tingkahnya. Matanya dengan awas menyorot keadaan di sekitar warung. Beruntung, tidak ada siapapun yang di sana. Hanya, saat Ayis berbalik arah, dia bertatap-tatapan dengan Fred, wajah asing yang belum pernah ditemuinya.

"Siapa anak ini?" tanya Ayis seraya mendekati meja kasir. Nada bicaranya terkesan sedikit memaksa. Bu Kus sampai dibuatnya kaget dan salah tingkah.

Fred nyaris membenamkan seluruh wajah ke dalam piring makan. Sesekali dia mengintip--mengawasi sosok pria yang telah menyita seluruh perhatian ibu dan adiknya itu. Dia suka garis-garis tegas yang membentuk wajah pria itu. Juga, iris matanya yang terbingkai oleh deretan bulu mata panjang. Keduanya bersinar cerah seperti mentari, memberi kesan hangat dan bersahabat. Tetapi Fred merasa mereka hanya menerima Bu Kus dan Eddy. Sementara kehadirannya di sana disisihkan lewat lirikan tajam.

Ayis tampak menjaga jarak darinya. Pria itu bersikap waspada terhadapnya dan baru bersedia mengendurkan ekspresi ketika Eddy mengenalkan dirinya pada pria itu.

"Namanya Freddy, Om! Abang aku!"

"O-oh,"

Ayis mengangguk paham. Sejurus kemudian, dia memandangi langi-langit dengan tatapan nanar. Sinar di kedua matanya tiba-tiba meredup, menyurut segaris senyum yang sudah siap Fred ulas di wajah.

Suasana mendadak canggung setelahnya.

Eddy memamah nasi goreng dalam diam. Sementara Bu Kus tidak berbicara apa-apa. Tidak berniat berbasa-basi, apalagi menjelaskan bagaimana situasinya pada Ayis.

Sikap Bu Kus yang seperti ini membuat Ayis makin menyadari bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa. Ayis tersenyum getir, apa saja yang telah dia lewatkan selama empat tahun ini? Banyak, pasti. Dan Fred adalah salah satunya.

Ternyata dia dan Bu Kus memang tidak pernah sedekat itu. Ayis tidak pernah diizinkan masuk lebih jauh untuk bisa mengenal siapa-siapa yang dia kasihi dalam hidup. Bu Kus menciptakan batasan tersendiri. Dan tidak akan pernah ada Ayis di dalamnya.

Ayis sungguh tidak rela; perasaannya mungkin tidak akan pernah berbalas.

Bu Kus mengangsurkan handuk kecil ke hadapan Ayis. Senyumnya mengembang dan lagi-lagi Ayis jatuh hanya untuk menyesali hal yang sama. Di saat-saat seperti ini dia masih saja tidak kuasa menata debaran jatungnya sendiri.

Saat itu entah mengapa spontanitasnya bekerja melebihi kata hati. Ayis sendiri kaget, sewaktu mendapati dirinya dengan berani menarik tangan Bu Kus. Di hadapan Fred dan Eddy, Ayis terdorong untuk mengungkapkan perasannya. Dia pikir, hari ini dia ingin mencoba sekali lagi. Besok, barangkali dia mesti menyerah. Besok, barangkali dia tidak lagi memiliki kesempatan.

"Kusuma," panggilnya lembut. "Menikahlah denganku ...."

Bu Kus terkesiap. Bukan karena pengakuan Ayis yang begitu tiba-tiba, melainkan karena, tidak biasanya Ayis memanggil namanya seperti itu.

Ayis gugup bukan main. Dia memberanikan diri bersuara.

"Menunggu terlalu lama rasanya tidak menyenangkan. Aku sudah membeli rumah di daerah Bukit Daeng. Lumayan besar. Cukup untuk empat orang. Aku ingin kita ... aku, kau, Meddina, dan juga Freddy, hidup bersama-sama. Apa kau bersedia?"

Ayis menyudahi kata-katanya. Dia sangat bersungguh-sungguh, walaupun kali ini tidak ada cincin dalam kotak beludru yang bisa dia persembahkan.

Fred dan Eddy saling menyodok siku saat melihat Ayis dan ibunya saling bermesraan.

Bu Kus menunduk karena malu. Ayis menunggu. Apapun jawaban yang akan Bu Kus berikan, Ayis telah siap membungkus hatinya dengan rasa kecewa.

Perlahan-lahan Bu Kus melepaskan tangan dari genggaman Ayis. Ayis tersenyum kecut. Jawaban Bu Kus sudah sangat jelas. Dia saja yang sulit menerima. Selamanya, perasaan Ayis memang tidak akan pernah sampai kepada Bu Kus.

"Sebenarnya, aku ada janji dengan Pak Agus di sini," ucap Ayis usai bermenit-menit hanya diisi suara denting sendok dan piring makan dua bocah di sebelahnya.

"Tapi kalau Bu Kus tidak nyaman, aku bisa pergi sekarang."

Fred dan Eddy telah selesai dengan nasi goreng mereka. Kedua anak itu berlari ke dapur untuk meletakkan piring, meninggalkan Bu Kus yang masih belum pulih dari rasa terkesima.

"Tetaplah di sini. Sebentar lagi semuanya selesai dan kita bicara. "Bu Kus menggaruk tengkuk. Tersenyum canggung.

Bu Kus mencari-cari alasan. Begitu Fred dan Eddy kembali, dia meminta kepada kedua anak itu pergi membeli beberapa keperluan dapur di kedai. Namun, Eddy menolak, sebab dia lelah sejak siang membantu berjualan.

Di saat seperti ini, hanya Fred seorang yang bisa diandalkan. Meski sedikit kesal, dia terpaksa mengiyakan permintaan ibunya.

"Ini daftar belanjannya. Kedainya nggak jauh. Cuma beberapa meter dari sini. Hati-hati ya." pesan Bu Kus.

Fred mengangguk.

Selepas kepergian anak itu, Bu Kus mengajak Ayis menepi. Sementara Eddy disuruhnya mengepak puluhan pesanan nasi bungkus ke dalam plastik besar berwarna merah.

Ayis melirik arloji di pergelangan tangan. Sekarang sudah pukul sembilan lewat. Perasaannya mendadak tidak enak. Baru kali ini dia melihat Bu Kus mengerjakan nasi bungkus sebanyak itu, pada waktu menjelang tutup warung.

"Untuk apa nasi bungkus sebanyak itu?"

"Itu pesanan seseorang," jawab Bu Kus. "Tadi pagi ada pelanggan yang menelpon. Dia pesan nasi bungkus. Katanya, akan diambil malam ini. Untuk makan-makan di poskamling."

"Makan-makan di poskamling sebanyak itu? Nasi bungkus itu bahkan bisa dimakan satu kampung, dan Bu Kus percaya begitu saja?"

Bu Kus berkerut kening menanggapi perubahan sikap Ayis.

"Pelanggan itu sudah membayar penuh siang tadi."

Ayis membuang muka, lalu menghela napas. Dia berharap firasatnya salah. Namun, kenyataan selalu berkata sebaliknya.

Lonceng berbunyi di pintu depan.

Semula Ayis kira Fred kembali, atau setidaknya Agus Sinar yang muncul di ambang pintu. Tetapi bukan, dia salah.

Itu Dahlan.
Dia berdiri di sana. Dengan senyum culas tersungging di wajah.

"Ternyata kau ada di sini, Yis," sapa pria itu. "Bagaimana ini? Agus Sinar sepertinya tidak bisa datang kemari."

"Tau dari mana kau?" Ayis menggeram marah. Satu pukulan dia layangkan tanpa ampun, tetapi tidak sampai membuat Dahlan jatuh menyungkur lantai.

"Yis, hentikan! Dia ini pelanggan!" teriak Bu Kus berusaha melerai. Ditahannya lengan Ayis dengan susah payah. Namun, Ayis menampiknya untuk menunjukkan pintu keluar pada Dahlan.

"Pergi kau dari sini!"

"Apa kau tidak bisa santai sedikit? Aku datang hanya untuk mengambil pesanan."

Bu Kus kebingungan setengah mati. Dia tidak ingin ada keributan di warungnya. Secepatnya dia berlari ke meja kasir untuk mengambil pesanan.

"Buk, Om Ayis kenapa?"

"Kamu di sini aja ya?"

Bu Kus tersenyum. Dia juga tidak mengerti kenapa Ayis bersikap seperti itu

Ayis mengawasi tiap gerak-gerik Dahlan. Dahlan sempat melirik ke meja kasir. Namun, Ayis langsung mengadang, mencegah pria itu agar tidak mendapati Eddy di sana.

Dua plastik besar berisi puluhan nasi bungkus lantas segera Bu Kus serahkan pada pelanggannya. Dahlan sempat berbasa-basi dengan Bu Kus sebelum beranjak pergi dari tempat itu.

Dengan senang hati Ayis mengantarnya sampai ke depan pintu. Dia memastikan Dahlan memasuki mobilnya yang terparkir di bibir jalan.

Dari balik kaca mobil yang setengah terbuka, Ayis mendapati Dahlan menelpon seseorang, sebelum kemudian menyalakan mesin dan pergi meninggalkan Warung Pertigaan.

Ayis berjalan masuk, lalu kembali menutup pintu. Matanya terbelalak saat melihat cahaya datang dari arah depan, seperti ditembakkan oleh sepasang proyektor. Tidak ada tugu di pertigaan. Tangannya gemetar. Dia berlari dengan panik. "Bu Kus, cepat bawa Eddy keluar dari pintu belakang!"

_____________________________

Gerimis telah sepenuhnya berhenti ketika Fred keluar dari dalam kedai. Dia berlari tergesa-gesa sambil menjinjing kantong belanjaan berisi keperluan dapur pesanan ibunya.

Di pertengahan jalan, tiba-tiba ledakan keras menyuara. Malam tak lagi nyenyat seperti sedia kala. Orang-orang berhamburan dari dalam rumah. Berlarian. Berteriak memanggil bantuan.

Fred seharusnya hapal jalanan berkerikil yang dia lalui tadi. Jarak dari kedai menuju warung ibunya tidaklah jauh. Hanya beberapa meter jika pertigaan dijadikan titik acuan. Namun, begitu kembali, semua tidak lagi sama di matanya. Segalanya berubah. Benar-benar berubah.

Langit memerah, begitu pula dengan apa yang dia saksikan di depan mata.

Malam itu panas mengangkasa. Asap mengepul seperti keluar dari cerobong asap.

Fred jatuh terduduk saking mengerikan kenyataan yang harus dia hadapi. Di bawah impitan tubuh truk raksasa, dia melihat tangan seseorang terkulai, sementara lidah si jago merah menjilat dengan ganas.

Fred menjerit pilu. Ibu dan adiknya ada di sana. Api tak berhenti mengamuk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro