44. Babak Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

15 Agustus 2006

Duduk menyendiri, di kedai kopi yang cukup ramai, lama-lama membuat ia merasa tidak nyaman. Sedari tadi, sudut matanya menatap pintu masuk dan sisi luar jendela. Menanti-nanti kehadiran seseorang.

Tidak ada. Mungkin sebentar lagi. Selalu, kalimat itu yang dia gumamkan sebagai upaya menghibur diri.

Agus Sinar menghela napas saking penatnya. Sore itu, seharusnya dia bertemu dengan seseorang di kedai kopi. Seorang narasumber, Firas namanya, yang bersedia meluangkan waktu untuk dia tanyai soal Haszni Yusuf.

Sedikit tentang Firas yang dia tahu: dia merupakan mahasiswa di Universitas Internasional Batam yang mendapat kesempatan emas untuk melakukan penelitian bersama Haszni Yusuf. Penelitian itu bertujuan untuk menguji kelayakan laboratorium di Lembaga Penelitian Pusat Orang Hilang sebelum lembaga penelitian itu diresmikan kegunaannya. Ada beberapa hal yang sangat ingin Agus Sinar pastikan. Tentunya, berkaitan dengan kasus penggelapan dana yang sempat menjerat Haszni Yusuf beberapa waktu lalu.

Sebenarnya Agus Sinar sudah hampir menyerah pada kasus itu. Dia telah mengajukan surat resign. Hanya tinggal menunggu waktu sampai surat itu diproses oleh atasannya dan dia resmi berhenti dari pekerjaannya. Akan tetapi, satu hari yang lalu, tiba-tiba saja Firas menghubunginya. Membuat rasa penasaran itu kembali bangkit dan sulit untuk Agus Sinar abaikan. Firas bilang, dia punya informasi penting perihal kasus itu. Katanya, Haszni Yusuf menggunakan dana milyaran yang digelapkannya untuk mendirikan sebuah fasilitas penelitian ilegal.

Dua jam sudah dia menunggu. Tetapi sosok Firas tidak kunjung menampakkan diri. Agus Sinar telah mencoba menghubungi Firas berulang kali, tetapi panggilannya terus dialihkan ke pesan suara.

Agus Sinar mendadak cemas. Dia meremas jemarinya sampai berkeringat banyak. Diliriknya arloji di pergelangan tangan. Kali ini, tidak ada lagi kata 'mungkin sebentar lagi' yang membuat ia tetap bertahan di kedai itu.

Usai membayar pesanan di kasir, Agus Sinar memutuskan pergi dari tempat itu. Dia memacu mobilnya menuju kawasan padat pemukiman yang banyak ditempati oleh gedung-gedung indekos. Rata-rata, harga sewa di tempat itu, untuk satu unitnya terbilang cukup murah, sehingga banyak sekali mahasiswa dan karyawan yang menetap di sana.

Agus Sinar menelisik sejenak, lalu turun dari mobil. Ada banyak sekali gang di kawasan itu. Dia mesti berjalan kaki dari sana. Mengambil rute jalan lurus, terus melewati gang sempit yang berkelok-kelok, kemudian berhenti di sebuah persimpangan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat penjual sepatu bekas tengah menggelar dagangan di atas trotoar. Pedagang sate dan bakso keliling berdatangan, menempati lapak strategis di dekat pohon trembesi.

Agus Sinar bergegas menghampiri para pedangan itu. Usai menyapa dan berbasa-basi ala kadar, dia menanyakan sebuah alamat kepada mereka.

"Apa Bapak tahu, di mana alamat ini?" Agus Sinar menunjukkan secarik kertas. "Dira House. Katanya sih ada di dekat sini."

"Dira House?" sahut si pedagang sate seraya menatap gedung-gedung di seberang jalanan.

"Oh, saya sering lewat depan kos-kosan itu," sela si pedangan bakso keliling. "Bapak masuk aja dari gang yang itu. Yang ada gambarnya itu. Nanti juga ketemu kos-kosannya."

Agus Sinar mengangguk, kemudian berterima kasih kepada mereka.

Dia menyebrang jalan, lalu memasuki gang yang dimaksud oleh si pedagang bakso. Di kanan kiri, berdiri gedung-gedung bertingkat tiga sampai empat. Ada tembok yang membatasi gedung-gedung itu. Tidak begitu panjang; mulai dari mulut gang sampai ke tiang listrik pertama. Sebab, gedung-gedung berikutnya saling berhadapan dengan jalan dan dikelilingi pagar besi berterali.

Sepanjang tembok itu dipenuhi mural abstrak yang dilukis menggunakan cat pilox, terdiri dari tiga warna: biru, merah, dan hitam. Agus Sinar membaca setiap pelat gedung yang dilewatinya. Setelah menempuh perjalanan menanjak selama kurang lebih sepuluh menit, akhirnya dia menemukan gedung indekos tempat Firas tinggal. Dira House.

Agus Sinar mendorong gerbang, menoleh ke kanan-kiri, mencari siapa saja di pos jaga. Sunyi.

Dia was-was, tetapi dimasukinya juga pelataran gedung itu. Agus Sinar berderap pelan melewati selasar di lantai satu, kemudian menaiki tangga menuju lantai tiga untuk mencari kamar Firas.

Begitu tiba di depan pintu kamar nomor 30, dia kembali menghubungi Firas. Panggilannya tersambung, tetapi lagi-lagi tidak mendapat respons.

Agus Sinar lekas mengetuk pintu. "Firas," panggilnya.

Dia melakukannya sebanyak tiga kali. Tak lama pintu itu bergerak dan wajah Firas menyembul dari rekahan pintu yang terbuka sedikit.

"Firas, kenapa tidak kau angkat telepon dari saya?"

Firas tercengir. Dia masih mempertahankan posisinya, tidak berniat membukakan pintu, apalagi mempersilakan Agus Sinar masuk.

"Maaf, Pak. Saya ketiduran. Ini baru bangun."

Agus Sinar mendebas.

"Ya sudah." Dia tidak terlalu mempermasalahkan itu. Setidaknya, dia lega melihat Firas ada di hadapannya saat ini.

"Jadi, apa kau sudah siap bicara sekarang?"

Firas lagi-lagi tercengir. "Sebenarnya ... saya berbohong soal itu, Pak."

"Bohong?"

Firas mengangguk. Agus Sinar berdecak kecewa.

"Tapi kenapa? Apa alasanmu berbohong sama saya?" Dia menangih penjelasan yang masuk akal.

"Sa-saya ...," Firas meragu. Bicaranya terbata-bata, memaksa kening Agus Sinar terlipat dalam.

Bola mata Agus Sinar lantas bergerak, menyelisik sesuatu di balik rekahan pintu. Kamar tidur Firas tampak berantakan. Seprainya tercabut.

"Pokoknya, ya, sa-saya nggak pu ... nya informasi soal kasus itu, Pak," tekan Firas lagi.

Agus Sinar memicingkan mata, hendak mengintip lebih jauh. Namun, Firas telah lebih dulu menutup pintu. Dengan begitu keras dan cepat. Agus Sinar sampai tersaruk mundur, terkesiap dibuatnya. Dia memanggil Firas sekali lagi. Namun, tidak ada sahutan. Firas tidak menggubrisnya.

Setelah beberapa waktu berlalu, Agus Sinar memutuskan pergi dari tempat itu. Dia melangkah gontai. Menyusuri selasar berpintu-pintu dengan punggung lesu.

Sampai langkah kaki pria itu hilang di anak tangga, Firas baru beranjak dari balik pintu kamar. Dia duduk di meja belajar. Meraih bolpen dari dalam mug untuk menulis agenda perjalanan pada satu tanggal yang tertera di kalender.

13 Agustus. Pulang ke rumah.

"Bagus,"

Jantung Firas berdentam kencang, seperti hendak pecah dalam rongga dada. Dia tidak sendirian di kamar itu. Di sudut ruangan, ada seseorang yang sedang mengawasinya. Haszni Yusuf.

________________________

16 Agustus 2006

"Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, tidak akan terjadi tanpa adanya campur tangan dari para pendahulu kita-para penemu sebelumnya. Apa kalian tahu, kapan pertama kali DNA ditemukan?" ujar Haszni Yusuf, selaku pembicara dalam forum group discussion (FGD) bersama para mahasiswa Universitas Internasional Batam.

Diskusi tersebut diadakan di sebuah ruangan yang mirip dengan auditorium. Partisipannya tidak banyak. Barangkali, sekitar tiga puluh orang, jika dihitung dari kepala-kepala yang menyembul dalam tampilan video.

Kalimat pembuka yang diucapkan Haszni Yusuf berhasil menarik minat para mahasiswa untuk berlomba-lomba mengacungkan tangan. Pria itu mempersilakan satu dua mahasiswa menyampaikan argumen masing-masing. Haszni Yusuf mengangguk, lalu bertepuk tangan ke arah seorang mahasiswa yang sukses mencuri perhatiannya.

"Siapa namamu?"

"Firas. Firas Tama."

Pria itu berdiri menjulang seraya menggenggam mik. Sesekali dia berkeliling untuk melihat bagaimana reaksi partisipan lain ketika ia mulai memaparkan apa-apa saja kemudahan yang didapat dengan dilakukannya tes DNA.

Gambar dalam video tersebut tidak begitu jernih. Agus Sinar menontonnya di bangku taman, di dekat pelataran parkir Poltabes Barelang. Haszni Yusuf, di mata Agus Sinar, dia terlihat penuh percaya diri. Dia mengenakan setelan jas yang mahal dan sepatu mengkilap.

Pria itu memiliki ambisi besar untuk mendirikan sebuah lembaga penelitian.

Suatu hari, gosip tidak mengenakkan tentang dirinya beredar di kalangan mahasiswa. Penelitian terus berjalan, tetapi dana yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil penelitian yang dilakukan. Beberapa mahasiswa yang turut berpartisipasi dalam penelitian itu mengaku tidak diizinkan campur tangan lebih jauh, kecuali tim inti yang ditunjuk oleh Haszni Yusuf sendiri. Begitulah kabar terakhir yang Agus Sinar dengar seputar perkembangan kasus penggelapan dana itu. Setidaknya sampai Haszni Yusuf dinyatakan tidak bersalah dalam persidangannya.

Kasus itu mulai meredup ketika Haszni Yusuf dinyatan tewas dalam sebuah kecelakaan pada Frebruari lalu. Mobilnya terperosok ke dalam jurang dan ditemukan dalam keadaan hangus terbakar.

Agus Sinar mendapat tugas untuk meliput kasus tersebut pada waktu itu. Seorang kepala Unit Inafis bernama Dahlan memberikan pernyataan di hadapan awak media. Dia mengatakan, jasad Haszni Yusuf bisa jadi ikut terbakar. Katanya, jejak DNA yang tertinggal dalam serpihan jelaga masih dalam tahap pemeriksaan uji laboratorium.

"Apa Bapak yakin soal itu?"

Mendadak Agus Sinar teringat kata-kata Firas dalam sambungan telepon. Firas menduga Haszni Yusuf sengaja merekayasa kecelakaan tersebut. "Dia pasti melakukan itu agar terbebas dari kasus penggelapan dana yang terus menyandung karirnya."

"Apa kau punya bukti?" tanya Agus Sinar serius.

"Polisi tidak pernah kan menyebut soal bekas jasad atau setidaknya ... sisa tulang-belulang Profesor Haszni Yusuf?

"Mereka hanya menyebut soal jejak DNA. Sementara foto di TKP tidak diungkap ke publik. Memangnya, seberapa besar daya ledak mobil itu sampai jasad Profesor Haszni Yusuf tidak bisa ditemukan?"

Firas hendak memberitahukan analisanya lebih lanjut. Tetapi kemarin, mereka tidak jadi bertemu. Lalu, tiba-tiba saja, Firas mengatakan semua itu hanyalah kebohongan semata. Bagaimana mungkin Agus Sinar bisa menerimanya? Ini benar-benar rumit, batinnya.

Sebuah mobil memasuki gerbang markas Poltabes Barelang. Agus Sinar melirik. Mobil itu berbelok, kemudian memarkirkan diri di pelataran parkir. Pintu pengemudi terbuka. Samsuri keluar dari dalamnya. Agus Sinar segera menutup handy cam, lalu membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Dia berlari mengejar Samsuri yang tidak menyadari kehadirannya.

Tepat sebelum Samsuri melangkahkan kaki di pintu masuk Poltabes Barelang, Agus Sinar berhasil meraih tangannya.

"Samsuri, apa kau sibuk?"

Samsuri mengernyit. "Apa yang kaulakukan di sini?" Dia menatap sekeliling, mencari seseorang. "Mana Dimas?"

"Dimas? Untuk apa kau menanyakannya. Tentu saja, dia di rumah."

"Lalu Dimas ... siapa yang menjaganya?" tanya Samsuri lagi sampai-sampai Agus Sinar keheranan dibuatnya.

"Telpon dia sekarang."

Agus Sinar terdiam mendapati reaksi Samsuri yang terlalu berlebihan. Dia tahu persis, ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.

"Menurutmu, sampai kapan kita akan mempermasalahkan ini?"

"Ini bukan sekadar masalah yang harus dipermasalahkan," tukas Samsuri dengan wajah sengit. "Akan jadi bencana kalau kau biar-biarkan terus, Gus. Berhentilah bersikap kolot. Membawanya ke psikolog, bukan berarti dia itu gila. Jangan pedulikan omongan orang lain. Dia hanya butuh disembuhkan. Sesuatu dalam dirinya ... terluka. Kau tahu itu."

"Sudah kucoba," sergah Agus Sinar tak kalah sengit. "Tapi Lydia yang tidak mau. Lalu aku, aku harus bagaimana menurutmu?"

Samsuri mengeraskan kedua rahang. Dia malas berdebat. Ucapan Agus Sinar pada akhirnya cuma dia tanggapi dengan debasan. Samsuri berderap memasuki lobi. Agus Sinar tidak berhenti sampai di sana. Dikejarnya Samsuri hingga mereka tiba di selasar gedung Reserse Kriminal Umum.

"Samsuri!"

"Aku sibuk. Baru pulang dari polda dan ada banyak berkas kasus yang harus kuperiksa."

"Dimas kutitipkan di rumah temannya. Raihana. Apa kau puas?"

Agus Sinar mengucapkan kalimat itu dengan lantang. Mau tidak mau Samsuri berpaling, demi mendapati Agus Sinar yang berdiri dengan raut frustrasi. Dia mengangguk, terlihat sangat bersungguh-sungguh.

"Aku butuh bantuanmu," katanya lagi.

"Soal apa?" Samsuri lekas menarik Agus Sinar duduk di kursi tunggu. Selasar tampak lengang, tidak seperti biasanya. Tak jauh dari mereka, berdiri seorang pria berseragam Unit Inafis. Dia sedang menggunakan telepon umum untuk menghubungi seseorang. Bahu pria itu sedikit berjengit ketika Agus Sinar mengucapkan sebuah nama.

"Firas."

Agus Sinar menunjukkan sebuah foto. "Kurasa ada yang aneh dengan dia."

Sembari mendengarkan Agus Sinar berbicara, Samsuri mempelajari foto itu baik-baik.

"Yang di tengah itu, Firas namanya."

"Dia artis atau bagaimana?" tanya Samsuri kemudian. Kesan pertama yang dia dapati dari foto itu adalah gambaran sosok pria muda yang tampan, tinggi, dengan gaya berpakaian yang sedikit mencolok. Bisa dibilang lebih necis ketimbang penampilan dua pria yang berdiri di kanan-kirinya.

"Yang di sebelah kanan namanya Sidi. Satu lagi Lazuardi. Mereka mahasiswa di Universitas Internasional Batam," jelas Agus Sinar.

"Lalu, kenapa dengan Firas?" Samsuri memandangi wajah kedua rekan Firas. Sidi, pria bertubuh gempal dan berwajah bulat. Sementara Lazuardi, dia terlihat seperti perempuan. Kulitnya sangat bersih.

"Firas tidak bisa dihubungi sejak kemarin."

Samsuri menatap Agus Sinar datar. "Gus, kau yakin, tidak terlalu berlebihan soal ini?"

"Masalahnya, dia itu narasumberku, Samsuri," beritahu Agus Sinar. Nada suaranya terdengar cemas, memantik rasa ingin tahu dalam diri Samsuri lebih jauh. "Untuk kasus yang penting. Bagaimana kalau-"

"Kasus apa, memangnya?"

"Penggelapan dana. Haszni Yusuf."

Samsuri terdiam. Dia menggulir tatapan kepada pria di bilik telepon umum. Pria itu, Dahlan, sedari tadi mencuri pandang ke arah dia dan Agus Sinar. Dahlan tersenyum simpul lantas pergi dengan langkah terburu-buru.

"Baiklah. Kapan terakhir kali kau bertemu dengannya?"

"Kemarin. Aku datang ke kos-kosannya. Dia berjanji akan menemuiku di kedai kopi, tetapi dia tidak datang. Aku menanyainya, kenapa. Dia bilang, dia ketiduran. Apa itu masuk akal?"

Samsuri hendak menimpali, tetapi Agus Sinar tidak memberinya kesempatan berbicara.

Dia berkata lagi, "Aku tahu. Masuk akal, memang. Hanya saja, gaya berpakaiannya saat kami bertemu membuatku jadi tidak yakin. Dia mengenakan jaket merah milik klub basket kampus, celana jins, dan sepatu kets. Untuk apa dia tidur dengan pakaian seperti itu? Sepulang dari kos-kosan, aku terus menghubunginya. Tapi dia tidak menjawab. Sampai detik ini."

Samsuri bangkit berdiri. "Di mana alamat Firas?"

____________________________

Agus Sinar kembali ke kediaman Firas. Dira House, sebuah gedung indekos bertingkat empat yang keseluruhan dindingnya dipulas dengan cat berwarna kuning. Kali ini, dia tidak sendiri. Dia datang bersama Samsuri. Seorang pria berpakaian laiknya petugas keamanan mengadang mereka di pos jaga. Namun, begitu Samsuri menunjukkan lencananya, pria itu langsung memasang wajah gusar.

"Ada apa ya, Pak?"

"Apa Firas ada?"

Pria itu tampak kebingungan. Hampir sepuluh tahun dia bekerja, baru kali ini dia mendapati petugas polisi datang ke Dira House. Dia menatap Samsuri dan Agus Sinar bergantian.

"Kami ingin menemuinya. Apa dia ada?" tanya Samsuri lagi.

"Kemarin saya tidak di tempat. Jadi, saya kurang tahu Firas ada atau tidak."

Agus Sinar angkat bicara. "Apa Bapak penjaga keamanan di sini?"

Pria itu mengangguk. Di dadanya tertulis nama Hamdani. "Ya, saya ditugasi untuk menjaga dan mengurus kosa-kosan ini oleh pemiliknya."

Hamdani mengantar Samsuri dan Agus Sinar ke depan kamar Firas. Mereka mengetuk pintu berulang kali. Dan, seperti yang Agus Sinar khawatirkan, tidak ada siapapun menyahut di dalam sana.

Hamdani turun ke bawah untuk mengambil kunci cadangan. Tak berselang lama dia kembali, lalu menyerahkan benda itu kepada Samsuri.

Setelah berhasil membuka pintu kamar Firas, Samsuri masuk terlebih dahulu. Agus Sinar menyusul belakangan, usai menyelesaikan bincang-bincangnya dengan pria penjaga kos-kosan.

Agus Sinar menghela napas lega. Dia sangat bersyukur Samsuri bersedia membantunya. Andai Agus Sinar datang seorang diri tadi, dia mungkin akan kesulitan mendapat akses masuk ke dalam kamar Firas. Sebab, dia tidak memiliki wewenang untuk itu.

Kamar Firas tidak terlalu besar, seperti kamar indekos pada umumnya. Perabotan di dalam terlihat cukup padat, membuat kamar tampak tidak memiliki banyak ruang gerak. Sebuah ranjang berukuran sedang ditempatkan merapat pada dinding, menghadap ke pintu masuk. Di sebelahnya, berdiri meja belajar. Kamar mandi di sampingnya. Lalu lemari buku dan lemari baju diletakkan saling berdampingan, di seberang meja belajar. Di dekat pintu masuk, terdapat rak sepatu dan sebuah nakas yang di atasnya berdiri lampu tidur dan beberapa pigura. Barang-barang Firas tersusun dengan rapi. Mulai dari peralatan mandi, isi rak sepatu, serta pakaian dalam lemari. Buku-buku Firas juga ditata dengan apik pada lemari dan rak dinding.

Samsuri mendekat pada meja belajar, lalu memeriksa barang-barang yang tergeletak di atasnya. Mug-mug berisi banyak bolpen dari berbagai warna berjajar rapi. Ada sebuket bunga di sana, satu-satunya hal yang terlihat ganjil untuk ukuran kamar seorang pria, terlebih seperti Firas-dia bukan pecinta bunga. Namun, setelah diperiksa, buket itu rupanya hendak Firas hadiahkan pada perempuan bernama Dilara.

Samsuri meraih kalendar duduk di dekat tumpukan buku tulis. Membacanya sekilas.

"Sepertinya dia pulang kampung," ucap Samsuri sambil mengangsurkan kalender itu pada Agus Sinar.

Agus Sinar membaca catatan yang tertera pada kalender. Sebuah tanggal telah dilingkari dengan tinta merah dan Firas menuliskan sesuatu di sana. Pulang ke rumah.

Agus Sinar terduduk di tepi ranjang seraya mengamati kamar Firas. Beberapa pakaian di dalam lemari, terutama yang digantung pada hanger memang tampak tidak utuh sebagian-barangkali mereka dikeluarkan untuk dijejalkan ke dalam tas. Tetapi entah mengapa perasaan Agus Sinar masih saja gusar.

Samsuri mengusulkan sebuah ide. "Kalau kau masih tidak yakin. Coba telepon dia sekali lagi."

Agus Sinar mengangguk. Dia mengeluarkan ponsel lipat dari dalam saku celana, lalu segera menghubungi Firas.

Panggilannya sedang menunggu untuk diangkat.

______________________________

Haszni Yusuf menyakukan kembali ponselnya. Barusan, dia mendapat kabar dari Dahlan. Katanya, saat ini, Agus Sinar sedang berada di Dira House bersama seorang polisi bernama Samsuri.

"Mereka sedang mencari keberadaan Firas. Mungkin, sebentar lagi Agus Sinar akan menghubungi nomornya."

Haszni Yusuf menggeram kesal. Mengapa jurnalis itu terus saja menganggu, pikirnya. Padahal, setahunya, beberapa media telah berhenti meliput kasus penggelapan dana itu sesaat berita kecelakaan tragis yang menimpa dirinya tersiarkan di televisi.

Di mana pun dia berada, selalu dan selalu, akan ada seseorang seperti Agus Sinar yang merasa harus mengorek lebih dalam tentang dirinya. Haszni Yusuf bertanya-tanya, apa yang Agus Sinar dapatkan dari itu semua. Sudah cukup dia dibuat sakit kepala karena berurusan dengan polisi. Sekarang, dia harus berpikir keras untuk mengatasi masalah ini.

Haszni Yusuf menarik pegangan laci, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam sana. Dia mengintip sedikit. Amplop itu bersisi banyak foto, yang begitu dia sebar di atas meja, ternyata memuat aktivitas Agus Sinar berikut orang-orang di sekitarnya.

Foto-foto itu disusunnya dengan rapi. Lantas, diperhatikannya baik-baik.

Haszni Yusuf tersenyum miring. Dicomotnya secarik foto yang terlihat cukup menarik sembari menimbang-nimbang. Dia harus melakukan sesuatu untuk membungkam jurnalis itu. Butuh ide yang lebih segar dari sekadar ancaman biasa untuk membuat Agus Sinar jera. Sesuatu yang dapat membuat pikiran Agus Sinar teralihkan darinya.

"Agus Sinar punya seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar."

Ucapan Dahlan tiba-tiba terngiang dalam benaknya. Senyumnya mengembang semakin lebar. Foto anak itu, kini berada di tangannya.

Benak Haszni Yusuf segera terbuyarkan kemudian. Perkataan Dahlan terbukti benar. Di atas meja, ponsel milik Firas yang dia siagakan berdering dengan nyaring, menampakkan nama Agus Sinar dalam layar yang berkedap-kedip.

Haszni Yusuf beranjak dari kursi, lalu berderap menuju brankas untuk mengambil sebuah pistol.

Dia keluar dari dalam ruangan, kemudian masuk ke sebuah kamar rahasia yang terhubung melalui sisi bawah tangga.

Sementara itu, di balik pintu, Firas segera bersiaga ketika mendengar langkah kaki mendekat. Dia merapatkan diri ke dinding seraya menggenggam plaket kaca berukuran cukup tebal. Dengan jantung yang serasa nyaris pecah, dia menunggu. Menunggu Haszni Yusuf yang semakin dekat.

Begitu pintu dibuka dari luar, dia menyerang Haszni Yusuf. Namun, usaha yang dilakukannya gagal. Dengan sekali tendangan, dia jatuh menyungkur lantai dibuat pria itu.

Firas mengerang kesakitan.

Haszni Yusuf mendengkus. Meremehkan usaha Firas yang bagai sia-sia.

"Kau mau coba-coba kabur rupanya." Haszni Yusuf mendesis. Ditariknya Firas sampai pemuda itu terduduk sempurna.

Pria itu mengokang senjata api di tangannya.

Firas tak bisa berhenti menelan ludah saat Haszni Yusuf menempatkan mulut pistol tepat di tengah keningnya.

"Bicaralah," ucap Haszni Yusuf sembari mendekatkan layar ponsel ke depan muka Firas. "Katakan pada Agus Sinar bahwa kau sedang dalam perjalanan menuju kampung halamanmu."

Usai mendapati anggukan dari Firas, Haszni Yusuf segera menekan tombol terima.

"Firas," suara Agus Sinar terdengar di seberang. Haszni Yusuf mengaktifkan mode pengeras suara dan turut mendengarkan.

"Akhirnya kau menjawab juga. Ada di mana kau sekarang?"

Firas menghela napas panjang. "Saya ... lagi diperjalanan, Pak. Mau pulang kampung. Ada urusan yang harus saya selesaikan."

"Urusan apa?"

Firas menjeda, memilah jawaban yang paling tepat.

"Ibu saya, Pak. Ibu saya sakit."

"Kau ... baik-baik saja, kan?" tanya Agus Sinar lagi.

"Emm," sahut Firas sembari menggigit bibir, menahan isakan. "Sepertinya saya harus pergi. Sebentar lagi saya sampai."

"Baiklah. Hati-hati di jalan."

Haszni Yusuf mengakhiri panggilan.

Firas menatapnya nyalang. Tidak peduli, sekalipun dia tengah berada di bawah ancaman.

"Kau tahu, Firas, akibat ucapanmu, nyawa seseorang mungkin saja dalam bahaya."

Spontan, Firas terperanjat mendengar kata-kata Haszni Yusuf. "Apa maksud ucapan Anda?!"

Haszni Yusuf mendorong pistolnya. Dihantamkannya bagian pangkal senjata api ke kepala Firas hingga pemuda itu kembali mengerang kesakitan.

"Seharusnya kau tahu kapan harus menutup mulutmu."

Haszni Yusuf menyerang Firas lagi dengan satu tendangan di ulu hati, lalu menginjak-injak tubuhnya. Firas terbatuk dan tak berdaya di bawah kakinya.

Setelah merasa puas, Haszni Yusuf mengakhiri aksi kejinya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Dia mengunci pintu rapat-rapat. Tak dipedulikannya Firas yang berteriak-teriak seperti orang gila di dalam sana.

_________________________

Notes:

Dulu, namanya Poltabes Barelang. Sekarang, Polresta Barelang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro