Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah kejadian lima tahun yang lalu, Mima sapaan akrab Jemima Isha mulai menata hidup barunya kembali. Dia tentu tidak mau menjadi beban omnya yang sejak orang tuanya meninggal, membiayai kehidupan Mima.

Kini, Mima tinggal bersama dengan keluarga dari kakak ibunya yaitu keluarga Om Raka. Beliau memiliki seorang istri cantik bernama Tante Vita. Om Raka juga memiliki dua orang anak yang bernama Aska dan Fiona.

Mima tinggal dengan mereka dan juga beberapa pembantu di rumah tersebut. Keseharian Mima hanya dihabiskan dengan kegiatan membosankan. Namun, beberapa waktu yang lalu dia memutuskan untuk mengirim lamaran ke sebuah perusahaan tanpa omnya tau.

Sebuah panggilan telepon masuk ke dalam ponsel Mima yang tengah dia taruh di atas paha kanannya, perempuan itu menunduk untuk melihat siapa yang tengah meneleponnya. Namun, dahinya tiba-tiba mengerut bingung karena mendapati sebuah nomor yang dia tidak kenali.

Wajah Mima kemudian terangkat sembari memperhatikan Om dan keluarganya tengah fokus dengan tontonan di hadapan mereka sehingga Mima memutuskan untuk pergi ke kamar dengan niat mengangkat panggilan yang masuk tersebut.

Tubuh Mima baru saja terangkat untuk berdiri. Namun, tiba-tiba omnya mengeluarkan suaranya sehingga membuat tubuh perempuan itu menegang.

"Mau kemana, Mim?"

Tubuh Mima berbalik dengan sempurna untuk melihat wajah omnya tersebut. Dengan canggung, dia kemudian menjelaskan tujuannya berdiri.

"Hmm, aku mau ke kamar, Om."

"Loh, filmnya belum selesai loh," ucap Om Raka dengan wajah yang bingung sembari menunjuk televisi berukuran besar di hadapannya.

"Iya, filmnya nggak bagus ya. Atau mau nonton yang lain?" tanya Tante Vita yang mengira bahwa Mima mau pergi karena tidak menyukai film yang tengah tayang.

Mima menggeleng dengan kuat untuk memastikan bahwa ucapan Om dan tantenya itu salah. "Nggak kok, filmnya bagus. Cuman... Kepala aku tiba-tiba sakit, aku pengen rebahan aja di kamar, Tan, Om."

Om Raka terlihat mengangguk pelan sepertinya beliau memahami maksud ucapan keponakannya itu. "Ya sudah kalau gitu, jangan lupa minum obat ya."

"Iya, Om. Aku permisi dulu ya."

Mima segera berlari memasuki kamarnya yang tak jauh dari ruang keluarga tersebut. Entah kenapa dia tidak mau berkata jujur, mungkin dia takut dimarahi padahal jelas dia tidak tau siapa penelepon tersebut.

Tangan kanan Mima terangkat untuk melihat nomor yang meneleponnya tadi, panggilan tersebut sudah berhenti dan mungkin akan menelepon lagi.

Benar saja, setelah Mima duduk di atas kasurnya. Panggilan tersebut kembali masuk. Dengan cepat Mima mengangkat panggilan tersebut. "Halo, ini siapa ya?"

"Halo, Mbak, selamat sore. Saya Diva HRD dari Perusahaan Lilo. Apakah benar ini dengan Mbak Jemima Isha yang pernah memasukkan lamaran ke tempat kami?"

Mima mengangguk dengan semangat padahal jelas HRD tersebut tidak melihat apa yang dia lakukan. "Iya, benar, saya sendiri."

"Baiklah, saya cuman mau ngabarin, Mbak. Kalau Mbak lolos tahap pertama penerimaan karyawan baru di perusahaan kami. Untuk jadwal selanjutnya adalah interview, jika berkenan Mbak bisa hadir pada tanggal 7 Desember nanti ya. Untuk waktunya pada pukul 8 pagi."

Mima kembali mengangguk setelah mendengar penjelasan Diva. "Baik, Mbak. Hmm, apa ada yang perlu saya bawa untuk persiapan nanti?"

"Bawa saja berkas lamaran yang sama seperti sebelumnya dan juga berpakaian rapi."

"Baik, Mbak."

"Apakah sudah jelas?"

"Sudah, Mbak."

"Baik, saya akhiri ya. Sampai bertemu nanti saat interview."

"Baik, Mbak. Makasih."

Setelah panggilan itu berakhir, jantung Mima tiba-tiba berdetak tak karuan. Ini adalah kali pertama dia untuk melakukan wawancara pekerjaan dan tentu Mima sangat antusias juga sedikit takut.

Belum selesai rasa senangnya datang, dia kemudian mengingat bahwa omnya belum tau mengenai hal tersebut. Sejak dulu, omnya melarang Mima untuk bekerja. Namun, Mima ingin memiliki penghasilan sendiri dan tidak membebani omnya tersebut.

Jujur, Mima merasa bahwa dia sudah terlalu lama menjadi beban bagi keluarga tersebut. Dengan wajah yang berubah sedih, Mima berusaha memikirkan cara untuk memberitahu omnya.

"Gimana cara ngasih taunya ya?" monolog Mima dengan wajah tak bersemangat.

Saking kerasnya Mima berpikir, kepalanya menjadi benar-benar sakit. Dia memutuskan untuk tidur dan berharap jika bangun nanti, dia akan mendapat ide untuk memberitahu omnya mengenai wawancara kerjanya yang akan dilaksanakan seminggu lagi.

Matahari kini berganti menjadi bulan di langit, Mima masih tertidur pulas tanpa ada yang mengganggu. Dia memang menyukai hal itu. Namun, dia juga tidak mau dijadikan ratu di rumah omnya sehingga sebisa mungkin dia menjaga sikapnya.

Mata Mima perlahan terbuka dan wajahnya terlihat begitu terkejut saat menatap jam dinding di kamarnya. "Hah, udah jam tujuh!" pekik Mima sembari berlari keluar dari kamarnya.

Di luar, Mima jelas melihat ada keluarga omnya tengah asyik berbincang di ruang keluarga. Om Raka yang melihat Mima keluar dari kamarnya langsung melambaikan tangan ke arah keponakannya tersebut.

"Mim, ayo sini gabung," ajak Om Raka yang langsung membuat Mima berjalan ke arah ruang keluarga.

Mima duduk di sisi Tante Vita yang kosong, perempuan paruh bayah itu kemudian mengelus kepala Mima dengan lembut. "Gimana, kepala kamu udah baik baikan?"

Mima mengangguk pelan sembari tersenyum. "Udah kok, Tan. Maaf ya, tadi aku ketiduran."

Tante Vita tersenyum kecil sembari mengusap lengan atas Mima. "Nggak pa-pa kok, lagian kamu kan lagi sakit."

Mima tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya saat ini karena bukan hanya ada Om Raka dan Tante Vita di ruangan tersebut. Namun, juga ada Aska dan Fiona yang sudah pulang dari kegiatan mereka masing-masing.

Sejak dulu, Mima tau bahwa Fiona membencinya karena orang tua perempuan tersebut lebih menyayangi Mima dan untuk Aska, pria itu tidak terlalu peduli dengan sikap kedua orang tuanya pada Mima.

Seperti biasanya, ruang keluarga tersebut begitu sepi tanpa ada suara yang mengganggu. Beginilah kehidupan Mima sejak kedua orang tuanya tiada. Dia menjadi sangat pendiam dan lebih banyak memendam semuanya.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Tante Vita mengajak keluarganya juga Mima untuk makan malam.

Di rumah tersebut, semuanya sudah teratur dan Mima sudah mulai terbiasa dengan semua itu.

"Yuk, kita makan malam," ajak Tante Vita sembari berdiri dari duduknya.

Satu persatu keluarganya ikut berdiri dan yang terakhir adalah Mima. Setelah semuanya duduk di kursi meja makan, beberapa pembantu mulai menata makan malam dan mereka mulai makan dengan hikmat.

Tidak ada pembicaraan dan semua fokus pada makanan mereka masing-masing. Beberapa kali Mima melirik ke arah omnya sembari berpikir cara untuk memberitahu omnya tersebut. Namun, tiba-tiba sebuah ide muncul dan Mima kemudian dengan cepat menghabisi makan malamnya.

Setelah makan, keluarga omnya pergi ke kamar masing-masing. Namun, Tante Vita tidak langsung masuk ke kamarnya melainkan ke dapur. Seperti biasa, beliau akan memeriksa bahan makanan yang mungkin sudah habis.

Mima mengikuti beliau dari belakang dan menunggu saat Tante Vita tengah senggang. Beberapa kali Tante Vita bolak-balik di hadapan Mima yang kini tengah duduk di kursi meja makan pembantu rumah tersebut dan saat istri dari omnya itu menyadari kehadiran Mima. Beliau langsung duduk di sisi Mima.

"Loh, kamu dari tadi di sini?" tanya Tante Vita sembari menarik kursi untuk dia duduki. Setelah duduk, perempuan paruh bayah itu kemudian menatap dalam wajah Mima yang kini terlihat begitu gugup. "Kamu kenapa? Ada yang mau kamu omongin?"

Seperti tau isi pikiran Mima, Tante Vita berhasil membuat keponakannya terkejut. Dengan ragu, Mima menjelaskan apa yang dia ingin sampaikan.

"Hmm, gini Tante, aku ada masukin lamaran ke perusahaan gitu dan keterima. Minggu depan aku harus datang buat wawancara," jelas Mima dengan wajah tertunduk. Namun, Tante Vita tak langsung memberi jawaban atas ucapan keponakannya tersebut.

Wajah Mima terangkat untuk melihat wajah istri dari omnya itu. Jelas terlihat bahwa kini, wajah Tante Vita sedikit membingungkan.

"Tan," panggil Mima yang berhasil membuat Tante Vita sadar dari lamunannya.

"Hah, maaf, tadi Tante ngelamun."

"Iya, nggak pa-pa, Tan."

Mima tersenyum kecil walau ada rasa gugup di benaknya. Mata Tante Vita tak kunjung lepas untuk memperhatikan keponakannya tersebut.

Tangan beliau kemudian terangkat untuk mengelus pundak Mima dan membuat perempuan berumur 20 tahun itu menatap ke arah Tante Vita.

"Tante nggak yakin, Om Raka ngizinin kamu kerja. Tapi ... biarin Tante ngomong dulu ya ke Om kamu."

Mima jelas tau apa maksud ucapan tantenya tersebut karena Om Raka adalah orang yang cukup keras apalagi untuk kehidupan Mima.

"Kalau emang nggak dibolehin, nggak pa-pa kok, salah aku juga karena masukin lamaran tanpa ngasih tau Om sama Tante."

Mima berusaha kuat sekarang. Sayangnya, matanya tidak bisa berbohong. Ada rasa tak rela di matanya setelah mengucapkan hal tersebut.

Tante Vita nyaris menangis melihat sikap Mima yang terus tersenyum guna menutupi perasaannya. Beliau kemudian segera menarik tubuh Mima untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya.

"Tante usahain ya, biar Om kamu ngebolehin."

Mima mengangguk pelan sembari membalas pelukan tantenya. "Makasih ya, Tan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro