Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sehebat apapun Mima menghindari Raura, perempuan itu akhirnya tak lagi dapat mengelak setelah Raura menemuinya di ruangan tempat Mima bekerja.

Mima tak berani menatap temannya itu yang kini sudah duduk di sisinya menggunakan kursi tak terpakai yang biasa tersimpan di ujung ruangan.

Kaki Raura sudah menyilang dan tangannya juga terlipat di depan dada. Jelas terlihat bahwa kini Raura tengah dalam suasana hati yang buruk.

"Kamu kenapa sih jauhin aku," ucap Raura tiba-tiba setelah lama terdiam di sisi Mima.

Mima sendiri tidak mampu menjawab dan kembali fokus menatap layar komputernya.

"Aku ada salah sama kamu?" tanya Raura yang langsung dibalas gelengan oleh Mima. "Terus, kenapa kamu jauhin aku gini?"

Mima terdiam sejenak sembari berdoa di dalam hati agar Raura tidak marah padanya. "Hmm, sebenernya aku takut kamu marah karena nggak bisa deketin kamu sama kak Aska."

Raura mengerutkan dahinya setelah mendengar penjelasan dari Mima. Dia pikir ada masalah besar yang membuat temannya itu menjauhinya, ternyata hanya masalah Aska. Ya walaupun Raura menyukai pria itu. Namun, dia tidak mau hubungan baiknya dengan Mima hancur hanya karena perasaan.

"Mim, kalau masalah itu nggak usah kamu pikirin, aku nggak maksa kamu kok. Lagi pula, kak Aska juga belum tentu suka sama aku."

Iya, tebakan Raura benar-benar tepat. Namun, Mima tidak mungkin mengatakan hal itu di hadapan temannya.

"Tapi, Ra...."

Raura menghentikan ucapan Mima dengan menaruh telunjuknya di depan bibir temannya itu. "Nggak ada tapi-tapian. Aku nggak mau karena masalah perasaan, hubungan pertemanan kita rusak."

"Maaf ya, Ra."

Raura menggeleng pelan karena dia merasa bahwa temannya itu tidak bersalah sama sekali. "Nggak, kamu nggak perlu minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf karena udah buat kamu kepikiran."

Mima tersenyum kecil dan perlahan mencoba untuk menatap ke arah Raura. "Makasih ya."

"Iya, sama-sama. Lain kali, jangan jauhin aku lagi ya. Aku nggak suka."

Raura membawa Mima ke dalam pelukannya dan hubungan kedua perempuan itu akhirnya membaik. Sebenarnya Mima tidak tau bahwa ternyata Raura lebih mementingkan hubungan pertemanannya. Dia hanya memikirkan Raura akan marah padanya.

Saat pulang, Mima dan Raura berjalan bersama sampai ke lantai dasar. Keduanya asyik berbincang karena sudah lama mereka tidak bertemu.

Tepat di depan gedung perusahaan, Raura pamit pulang terlebih dahulu karena dia harus pergi ke sebuah tempat. Mima tentu memakluminya dan kedua perempuan itu akhirnya berpisah.

Mima sebenarnya belum mau pulang sehingga dia memutuskan untuk pergi ke cafe yang sepertinya sudah menjadi tempat favoritnya. Seperti biasa, dia akan memesan smoothies strawberry dan duduk tepat di tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Perasaannya langsung membaik dan kepalanya yang penat tiba-tiba sembuh. Entah sudah berapa kali dia pergi ke cafe tersebut, dia tidak menghitungnya lagi karena sudah terlalu sering.

Di tengah keasyikannya menatap jalanan yang ramai, tiba-tiba seorang pelayan datang menghampirinya dengan sebuah kue di tangannya. "Permisi, Mbak," sapa perempuan itu yang langsung membuat Mima menoleh ke arahnya.

"Iya, ada apa, Mbak?" tanya Mima dengan wajah bingung.

"Ini, kami lagi acara berbagi kue gratis," ucap perempuan itu sembari menyodorkan kue di tangannya ke hadapan Mima. "Silakan dinikmati."

Mima terdiam sesaat setelah mendengar ucapan pelayan tersebut. Walau sedikit bingung, dia tetap berterima kasih untuk kue yang diberikan padanya. "Makasih, Mbak."

Kue berukuran kecil dengan krim coklat di atasnya begitu terlihat nikmat. Mima mengangkat garpu kecil di sisi kue itu dan mulai memakannya.

Sebenarnya Mima kurang menyukai kue. Namun, tidak untuk kue yang satu ini. Hmm, enak juga, ucapnya di dalam hati.

Kue tersebut tidak terlalu manis dan cocok di lidah Mima. Tak sampai beberapa menit, kue itu habis dia makan.

Setelah menaruh kembali garpu tersebut, Mima memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Smoothies yang dia pesan sebelumnya pun sudah habis dia minum.

Di sisi lain, seorang pria yang sejak awal memperhatikan Mima terlihat tengah tersenyum ketika perempuan itu menghabiskan kue yang dia beri. Iya, pria itulah yang memberinya. Pemilik cafe tersebut, Kenan.

Dengan tangan yang dia lipat di depan dada, Kenan terlihat begitu percaya diri bahwa keputusan untuk mendekati Mima adalah keputusan yang tepat. "Pokoknya, aku harus bisa dapetin dia," ucap Kenan dengan pelan.

Sayangnya, ucapan pria itu di dengar oleh salah satu pegawainya yang bernama Izza dan dia langsung digoda oleh bawahannya itu. "Cie, Pak Bos lagi jatuh cinta ya," ucap Izza dan Kenan hanya menatap dengan tajam.

"Bukan urusanmu," ucap Kenan dengan ketus.

"Yaelah, Pak. Kan tadi sudah saya bantu buat ngasih kuenya."

Kenan memang menyuruh Izza untuk mengantar kue kepada Mima dan tentu perempuan itu tau bahwa bosnya kini tengah memiliki perasaan pada pelanggannya tersebut.

"Iya, saya tau. Makasih."

"Iya, Pak. Sama-sama. Kalau butuh bantuan saya, bilang aja, Pak."

"Iya."

Izza pergi menjauh dari Kenan yang masih setia menatap meja yang digunakan Mima sebelumnya. Dia kemudian bertanya-tanya kenapa Mima sangat menyukai duduk di tempat tersebut. Kenapa harus tempat itu?

Di tengah lamunannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Kenan merogoh kantongnya dan langsung mendesah kesal setelah menemukan nama sang ayah tertera di sana.

"Kenapa, Yah?" tanya Kenan singkat saat panggilan tersebut dia angkat.

"Kamu dimana?"

"Di cafe."

"Ya udah, buruan ke kantor. Ayah ada urusan sama kamu."

Kenan menatap jam tangan yang dia gunakan dan waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. "Ini sudah jam delapan, Yah."

"Ya terus?"

"Oke, oke. Sebentar lagi aku ke sana."

Kenan mematikan panggilan tersebut dengan kasar dan segera pergi ke perusahaan milik ayahnya. Sebenarnya, sekarang sudah waktunya pulang kerja dan hanya ada beberapa orang karyawan yang masih tinggal di kantor. Namun, entah kenapa ayahnya malah menyuruhnya datang.

Sesampai di perusahaan milik ayahnya, Kenan disapa oleh banyak karyawan ayahnya. Memang, Kenan sudah dikenal banyak orang karena dia sering kali datang ke perusahaan tersebut.

Kenan naik ke lantai paling atas perusahaan tersebut dan langsung masuk ke ruangan ayahnya. Tanpa basa basi, Kenan bertanya pada ayahnya yang tengah sibuk dengan beberapa tumpuk berkas di hadapannya.

"Kenapa, Yah?" tanya Kenan dengan malas.

Ayah Kenan yang bernama Tommy kemudian mengangkat wajahnya dan menatap wajah sang anak yang terlihat begitu menyebalkan. "Kamu tidak suka Ayah suruh ke sini?" tanya Tommy sembari bangun dari duduknya.

"Kalau sudah tau, nggak perlu nanya lagi!" tegas Kenan dengan lancang.

"Ken!"

Suara Tommy meninggi dan Kenan menatap tajam ke arah sang ayah. "Kenapa? Apa yang ayah mau dariku?"

"Ayah sudah capek ya sama kamu. Ayah izin kamu buat buka usaha sendiri, ayah izinin kamu nggak nerusin perusahaan ayah. Tapi, begini balasan kamu?"

Kenan mendesah kesal karena mendengar ucapan ayahnya. "Terus, apa yang perlu aku lakukan?"

"Nikahlah secepatnya!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro