Bab 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti bulan-bulan sebelumnya, di akhir bulan pekerjaan Mima akan bertambah dan mau tak mau, perempuan itu harus bekerja lebih ekstra dan melupakan keinginannya untuk pulang lebih cepat.

Sebenarnya dia merasa bersalah dengan Kenan karena sudah berjanji untuk menjenguk ayah pria itu. Namun sayangnya, janji itu belum bisa Mima tepati.

Tepat jam 10 malam, Mima akhirnya selesai mengerjakan semua tugasnya di hari ini. Matanya kemudian mengitari ruangan yang tampak sepi. Ya walaupun sebenarnya ada beberapa karyawan lain. Namun, Mima benar-benar ingin pulang dan beristirahat.

Mima beranjak dari meja kerjanya dan berjalan ke arah lift. Sembari menunggu lift tersebut terbuka, Mima menyempatkan diri untuk membalas pesan Kenan yang pria itu kirim beberapa menit yang lalu.

Kenan menanyakan keberadaan Mima sekarang ini dan perempuan itu membalas bahwa dia sedang dalam perjalanan pulang ke kosnya. Setelah memastikan pesan itu benar-benar telah terkirim, Mima kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang dia gunakan.

Sesampai di lantai dasar, Mima menyapa beberapa karyawan yang masih ada salah satunya adalah satpam penjaga pintu masuk perusahaan. Pria paruh bayah itu sering menyapa Mima terlebih dahulu dan beliau memang begitu ramah pada siapapun.

"Malam, Pak," sapa Mima dengan ramah sembari berjalan mendekat ke arah satpam tersebut.

"Malam, Mbak. Baru mau pulang ya?" tanya satpam yang bernama Agus itu.

"Iya nih, Pak. Saya duluan ya."

"Iya, Mbak. Hati-hati ya."

Mima berjalan keluar dari tempat kerjanya dengan langkah yang tergesa. Namun, karena kurang hati-hati. Mima tak sengaja menabrak tubuh seseorang.

Untungnya perempuan itu bisa menahan dirinya agar tidak jatuh ke tanah lagi. "Maaf, maaf," ucap Mima dengan pelan karena sebelumnya dia terfokus pada heels yang dia gunakan.

Wajahnya masih tertunduk saat meminta maaf dan saat wajahnya terangkat dia sangat terkejut karena melihat wajah orang yang dia tabrak sebelumnya.

Tidak hanya Mima yang terkejut. Namun, orang itu juga. Tanpa banyak bicara, Mima segera berlari keluar dari tempat kerjanya agar menghindar dari orang yang tidak pernah mau dia temui lagi.

Biasanya, dia akan menghabiskan waktu 10 menit berjalan kaki untuk sampai ke kos tempat dia tinggal. Namun malam ini, dia hanya menghabiskan waktu lima menit karena dia berlari dengan cukup kencang.

Sesampai di kamar, Mima mencoba memperbaiki alunan nafasnya. Dia kelelahan karena berlari dan hal lain.

Tangannya terangkat dan dia letakkan di dada. Dia bisa merasa detak jantungnya menjadi tidak karuan dan keringat mulai membasahi dahinya.

Dengan cepat perempuan itu masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan shower sehingga membasahi tubuhnya yang masih menggunakan pakaian lengkap.

"Kenapa harus ketemu dia lagi!"

Ucapan itu terus-terusan Mima ulang sembari memukul dinding dengan sekuat tenaga. Apa yang dia lakukan saat ini adalah untuk meredakan amarah yang ada di benaknya.

Sudah bertahun-tahun dia mencoba untuk melupakan kejadian yang mengenaskan itu saat masih di bangku sekolah. Namun sayang, dia akhirnya kembali bertemu dengan orang yang berhasil membuatnya hancur.

Perlahan tubuhnya merosot ke lantai kamar mandi yang begitu dingin. Tangisnya tak dapat dibendung dan akhirnya bercampur dengan air dari shower yang terus menyala.

"Aku benci kamu! Aku benci!"

Setelah cukup lama di kamar mandi, Mima akhirnya keluar dari tempat tersebut. Matanya mulai bengkak memerah dan dadanya terlihat naik turun.

Mima benar-benar terlihat seperti mayat hidup sekarang ini hanya karena seorang pria. Iya, pria. Pria yang menghancurkan hidupnya dulu.

Langkah kaki Mima membawa perempuan itu ke arah kasur dan perlahan dia dudukkan tubuhnya di sisi kasur tersebut. Matanya masih menatap kosong ke depan seperti tidak ada gairah dan tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Mima menoleh ke arah ponselnya yang terletak di atas meja kecil tepat di sebelah kasur. Di sana, tertera nama Kenan dengan jelas.

Mima sebenarnya ingin sekali berbicara dengan Kenan. Namun, dalam kondisi sekarang ini dia menjadi ragu dan memutuskan untuk mengabaikan telepon tersebut.

Mima kemudian membaringkan tubuhnya yang berbalut jubah handuk ke atas kasur dan perlahan masuk ke alam mimpi. Sekarang ini dia benar-benar sangat membutuhkan istirahat dan tak mau untuk berbincang dengan siapapun termasuk kenan.

Sayangnya, di sisi lain. Kenan terlihat begitu khawatir karena Mima tak kunjung menjawab teleponnya.

"Kemana ya dia?" tanya Kenan pada dirinya sendiri. Matanya menatap layar ponselnya yang menampilkan kontak telepon Mima. "Apa dia sudah tidur ya?"

Mata Kenan beralih menatap jam dinding yang ada di ruang rawat ayahnya. Sudah jam 11 ternyata. Hmm, kayanya dia emang sudah tidur deh, tebak Kenan di dalam hati.

Pria itu memutuskan untuk berhenti menghubungi Mima, dia tidak mau mengganggu waktu istirahat perempuan itu dan memilih untuk menghubunginya lagi esok hari.

Keesokan harinya, Mima terbangun dengan kepala yang terasa begitu sakit. Tangannya kemudian terangkat untuk memijat dahinya dengan perlahan. Kepala aku kok sakit banget ya, keluhnya di dalam hati.

Mima sepertinya tidak sadar kalau dia semalam menangis berjam-jam dan malah bertanya mengenai penyebab kepalanya sakit. Perlahan tangannya meraba meja kecil di sisi kasurnya untuk mengambil ponsel yang dia abaikan semalam.

Saat ponsel itu terbuka, dia bisa melihat ada banyak panggilan tak terjawab dari Kenan. Ada rasa bersalah di benaknya. Namun, dia masih belum mau berkomunikasi dengan pria itu.

Melupakan tentang Kenan, Mima kemudian mencari kontak salah satu pegawai HRD di tempat kerjanya dan setelah menemukannya, perempuan itu segera menghubungi HRD yang bernama Ira tersebut.

"Halo, Mbak Ira, ini Mima, Jemima Isha dari divisi keuangan," ucap Mima menjelaskan dengan sekuat tenaga.

Suara perempuan itu masih serak dan tentu membuat Ira kemudian bertanya-tanya. "Iya, Mim. Ada apa?"

"Saya boleh minta izin nggak, Mbak. Saya lagi sakit."

"Iya, boleh kok. Kamu lagi nggak enak badan ya."

"Iya, Mbak."

"Ya udah, cepet sembuh ya."

"Iya, Mbak. Makasih."

"Sama-sama."

Setelah panggilan tersebut berakhir, Mima kembali menatap layar ponselnya. Di sana, Mima memasang fotonya dengan Kenan sebagai wallpaper dan lagi-lagi perasaan bersalah muncul di benaknya.

Jarinya kemudian bergerak menekan nomor telepon Kenan dan menaruh ponsel itu ke dekat telinganya. Dengan cemas Mima menunggu panggilan tersebut diangkat dan tak lama kemudian dia bisa mendengar suara pria yang sudah memiliki hatinya.

"Halo, Mima. Ini kamu, kan? Kamu nggak pa-pa, kan? Kenapa baru nelepon saya sekarang?" tanya Kenan dengan sekali tarikan nafas.

Mendengar pertanyaan bertubi dari mulut Kenan berhasil membuat perasaan Mima sedikit membaik. "Halo, Mas. Iya, ini Mima. Maaf ya semalem saya nggak ngangkat telepon kamu."

"Iya, nggak pa-pa kok. Tapi ... Kenapa suara kamu terdengar serak?"

Mima terdiam sesaat sembari menarik nafas panjang. "Hmm. Saya lagi nggak enak badan, Mas."

"Loh, kok bisa? Pasti kamu kecapekan ya?" Tanpa Mima sadari dia menganggukkan kepala setelah mendengar pertanyaan dari Kenan. "Kamu butuh sesuatu nggak? Biar saya bawain ke sana," ucap Kenan lagi. Namun dengan cepat, Mima menolaknya.

"Nggak, nggak usah, Mas. Lagian ayahnya Mas juga lagi sakit. Aku nggak pa-pa kok." Kali ini Kenan-lah yang terdiam setelah mendengar ucapan dari Mima. "Mas, maaf ya belum bisa jenguk ayahnya Mas."

"Iya nggak pa-pa, Mim. Nggak usah dipaksain kalau nggak bisa."

Mima tersenyum kecut karena merasa bersalah. Tetapi, janji tetaplah janji dan dia harus menepatinya walaupun entah kapan waktunya.

"Makasih ya, Mas atas pengertiannya."

"Iya, Mim. Semoga kamu cepat sembuh ya."

"Iya, Mas. Amin."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro