Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di tengah kerumunan orang yang cukup banyak itu, ada sebuah tangan yang melambai ke arah Mima. Lambaian tangan itu berasal dari Raura. Mima sangat bersyukur karena dia bisa kembali bertemu dengan Raura.

Awalnya Mima tidak yakin akan mendapatkan izin dari omnya. Tetapi, setelah Tante Vita turun tangan untuk membantunya. Mima akhirnya diberi izin dengan syarat dia harus ditemani Aska. Syukurnya lagi Aska mau menemani Mima untuk menemui Raura.

"Mima!" pekik Raura setelah Mima sampai di mejanya.

"Maaf ya, Ra. Tadi sempet salah tempat," ucap Mima pelan dengan perasaan malu yang cukup mengganggu. Mima dan Aska memang mereka salah masuk cafe sebelumnya sehingga mereka harus telat bertemu dengan Raura.

"Iya, nggak pa-pa. Silakan duduk."

Mima duduk di hadapan Raura dan Aska duduk di sisinya. Beberapa kali Raura terlihat melirik ke arah Aska. Namun, Mima tidak menyadari hal itu. Perempuan cantik itu terlihat begitu asyik memilih makanan yang akan dia santap. Tanpa peduli dengan apa yang temannya lakukan.

Tak lama kemudian seorang pelayan datang untuk menulis pesanan mereka. Setelah selesai menyebutkan pesanan makanannya, Mima beralih menatap ke arah Aska.

"Kak Aska, mau makan apa?" tanya Mima dengan pelan.

"Samain aja," jawab Aska singkat sembari fokus menatap ponselnya.

Sembari menunggu makanan mereka datang, Raura asyik mengajak Mima berbincang walaupun perempuan itu hanya menanggapi dengan senyuman atau kata-kata sederhana. Karena memang, Mima jarang berbincang dengan orang lain.

Di tengah kegiatan Raura dan Mima berbincang, Aska meminta izin untuk pergi ke toilet dan kedua perempuan itu ditinggal bersama.

Setelah tubuh Aska tak terlihat lagi, Raura segera memberi Mima pertanyaan mengenai pria itu. "Dia siapa kamu?" tanya Raura dengan penuh penasaran sembari memajukan badannya mendekat ke arah Mima.

"Dia siapa?" tanya Mima balik dengan wajah polos sehingga membuat Raura mendengus kesal.

"Itu, Aska."

Mima akhirnya paham maksud pertanyaan Raura. "Oh, Kak Aska."

"Iya, dia kakak kamu?"

Mima mengangguk pelan. "Iya, dia kakak sepupu aku."

Mendengar jawaban Mima, hati Raura menjadi lega karena sebenarnya perempuan itu tertarik pada Aska. "Kalau boleh tau, Aska punya pacar nggak?" tanya Raura lagi.

"Kurang tau."

Raura masih ingin bertanya pada Mima. Namun, Aska tiba-tiba sudah kembali dari toilet. Wajah pria itu sangat datar, tapi itulah pesonanya sehingga membuat Raura tertarik padanya.

Raura kembali mengajak Mima berbincang walau harus memutar otak, mencari pembahasan lain agar Aska tak curiga.

Setelah selesai makan, ketiga orang itu memutuskan untuk pulang. Raura pulang sendirian menggunakan kendaraan pribadinya dan Mima ikut dengan Aska, menggunakan motor milik sepupunya itu.

Selama di perjalanan, keduanya tidak saling berbincang dan Mima terlihat sibuk memperhatikan jalanan karena dia sangat jarang keluar rumah. Aska memperhatikan sepupunya itu dari kaca spion motornya dan tiba-tiba memperlambat laju motornya.

Mima yang bingung kemudian bertanya, "Kok lambat banget jalannya, Kak?"

"Nggak pa-pa, pengen aja," jawab Aska dengan singkat.

Sebelumnya mereka harus memakan waktu sekitar 20 menit untuk perjalanan dari rumah ke cafe tempat mereka bertemu dengan Raura. Tapi kini, mereka nyaris menghabiskan waktu satu jam untuk perjalanan pulang.

Sesampai di rumah, Tante Vita sudah menunggu mereka di depan rumah dengan tangan terlihat di depan dada. Wajahnya terlihat sedikit menakutkan sehingga membuat Mima gugup.

"Kenapa baru pulang?" tanya Tante Vita dengan suara yang tegas.

Mima yang baru saja turun dari motor segera berjalan ke arah tantenya itu. "Maaf, Tan ... ."

Belum selesai Mima menjawab, Aska tiba-tiba berlalu di hadapan ibunya dan Mima. "Nggak usah bawel deh," ucap Aska singkat yang langsung membuat ibunya murka.

Tante Vita mengejar Aska yang sudah nyaris sampai di tangga menuju lantai dua. Keduanya kemudian bertengkar dan Mima menjadi bingung.

Mima masih setia memperhatikan kedua orang itu sembari berharap pertengkaran mereka selesai. Seperti jawaban dari doa Mima, Om Raka datang dan melerai pertengkaran antara istri dan anaknya.

Setelah pertengkaran itu selesai, Om Raka melihat Mima tengah berdiri tak jauh dari tempat dia berdiri. "Loh, kenapa belum masuk kamar, Mim? Kamu pasti capek kan habis jalan? Masuk gih ke kamar, istirahat yang banyak."

Mima mengangguk pelan dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak tau harus berbuat apa lagi sehingga lebih baik dia tidak ikut campur dengan masalah keluarga omnya.

Suasana rumah menjadi sedikit berbeda belakangan ini, karena pertengkaran sering kali terjadi. Entah antara Fiona dan Mima, Fiona dengan Ayah dan ibunya, atau malah Aska dengan Ayah dan ibunya.

Semakin lama, Mima menyadari bahwa kebanyakan masalah yang ada terjadi adalag karena dirinya. Apalagi jika berurusan dengan Fiona.

Beberapa hari lalu, Mima mendapatkan kabar mengenai jadwal masuk kerjanya. Dia akan bekerja pada awal bulan depan dan entah kenapa tiba-tiba dia memiliki keinginan untuk ngekos. Mungkin setelah dia pergi suasana rumah omnya akan menjadi lebih baik lagi.

Sayangnya, keinginan Mima membuatnya harus memutar otak untuk mencari cara mendapatkan izin tinggal sendiri dari omnya. Sebelumnya dia berhasil mengenai pekerjaan. Namun, entah bagaimana dengan masalah satu ini.

Mima yang tengah berbaring terlihat begitu asyik menerawang langit-langit kamarnya. Perlahan, langit-langit berwarna putih itu menampilkan bayangan sosok kedua orang tua Mima yang sudah meninggal setelah kejadian naas yang menimpa perempuan itu.

Seperti kata pepatah 'sudah jatuh, tertimpa tangga pula' begitulah keadaan Mima saat itu. Dia yang saat itu baru saja menjadi korban pemerkosaan, harus rela kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan.

Semuanya seperti mimpi bagi Mima dan dia merasa begitu terpuruk, untungnya ada Om Raka dan Tante Vita yang mau membantunya hingga sekarang.

Bayangan kedua orang tua Mima berhasil membuat perempuan itu terisak. Dia tidak menyangka bahwa orang tuanya sudah meninggalkannya lebih dari lima tahun.

Suara isak tangis Mima berhasil membuat Tante Vita yang baru saja lewat di depan kamar keponakannya itu bingung. Perlahan Tante Vita mengetuk pintu kamar Mima sembari bertanya mengenai keadaan keponakannya tersebut.

"Mim, kamu kenapa? Kok nangis?" teriak Tante Vita dari luar kamar Mima. Sang pemilik kamar kemudian menghapus air matanya dengan cepat dan beranjak dari kasur.

Perlahan dia membuka pintu kamarnya walau matanya masih memerah karena tangis. "Aku nggak pa-pa kok, Tan," jawab Mima dengan singkat sembari tersenyum tipis.

Tante Vita tidak akan percaya begitu saja dengan ucapan Mima sehingga dia memutuskan untuk mengajak Mima berbicara empat mata. "Tante boleh masuk?" tanya Tante Vita yang langsung membuat Mima membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

"Boleh, silakan masuk, Tan."

Tante Vita berjalan masuk ke dalam kamar Mima dan duduk di atas kasur perempuan itu. Tante Vita juga mengajak Mima untuk duduk bersamanya. "Yuk, sini. Duduk sama Tante."

Mima mengikuti perintah tantenya dan entah bagaimana mata kedua perempuan itu tiba-tiba saling bertatapan. Namun, Mima menjadi orang pertama yang memutus tatapan tersebut.

Tangan Tante Vita kemudian terangkat untuk mengelus pipi Mima. "Kalau ada masalah, cerita aja, Mim. Tante siap kok dengerinnya."

Wajah Mima terangkat dan matanya perlahan kembali memerah. "Tan, maaf ya, Tan. Aku minta maaf."

Lagi-lagi isak tangis Mima pecah saat perempuan itu kembali mengeluarkan suaranya. Hal itu membuat Tante Vita bingung. "Minta maaf buat apa?" tanya Tante Vita dengan dahi mengkerut.

"Maaf karena sudah menjadi masalah di rumah ini."

"Kamu ngomong apa sih!" bentak Tante Vita karena dia merasa Mima sangat aneh.

"Aku selalu jadi masalah buat keluarga, Tante sama Om. Aku minta maaf, Tan," mohon Mima lagi sembari menggenggam kedua tangan tantenya.

"Mim, kamu nggak salah apa-apa."

Mima menggeleng dengan cepat sebagai penolakan dari ucapan tantenya. "Aku salah, Tan. Aku salah."

Tante Vita sudah tak mampu lagi berbicara dan dia kemudian membawa keponakannya itu ke dalam pelukannya. "Mim, Tante nggak tau harus ngomong apa lagi. Kamu nggak salah sama sekali kok, tapi kalau memang kamu ngerasa bersalah, apa yang mau kamu lakuin untuk memperbaiki itu semua?"

Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Tante Vita. Tiba-tiba saja otak Mima bekerja dengan sangat baik. Dia yakin bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakan keinginannya.

"Aku mau hidup mandiri, Tan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro