Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketukan demi ketukan Mima dengar dari balik pintu kamarnya, perempuan itu baru saja nyaris tertidur karena kelelahan setelah wawancara pekerjaan. Namun, sepertinya hal itu belum bisa dia lakukan.

Dengan mata yang mengantuk, Mima bangun dari tidurnya dan berjalan ke arah pintu kamarnya. Saat pintu kamarnya terbuka, Mima jelas melihat Aska tengah berdiri di hadapannya dengan wajah yang sedikit menyeramkan.

"Kenapa lo nggak angkat telepon gue!" bentaknya yang membuat Mima terkejut.

"Kakak ada nelepon?" tanya Mima dengan wajah bingung. Perempuan itu kemudian berlari ke kasurnya dan mengecek ponselnya. Ternyata dia lupa menyalakan dering ponselnya sehingga dia tidak tau ada panggilan yang masuk.

Dengan gugup, Mima kembali berjalan ke pintu kamarnya dengan membawa ponselnya sebagai bukti. "Maaf Kak, aku lupa nyalain suara hape aku," ucap Mima sembari menyodorkan ponselnya ke hadapan Aska.

Wajah Aska memerah karena menahan amarah di benaknya, dia benar-benar sangat khawatir pada Mima. Namun, dia juga bersyukur karena sepupunya itu sudah kembali ke rumah dengan selamat.

"Maaf ya, Kak," ucap Mima lagi dengan nada memohon setelah diabaikan oleh Aska.

"Iya, nggak pa-pa. Lain kali, cek hape lo. Jangan buat orang lain khawatir!"

Mima mengangguk paham karena dia tau semua ini adalah salahnya. Dia benar-benar lupa menyalakan dering ponselnya karena saat tengah menunggu panggilan wawancara perempuan itu mematikan suara ponselnya agar tak mengganggu sekitar.

"Iya, Kak. Maaf ya."

"Yaudah kalau gitu, gue balik ke tempat kerja dulu."

Aska ternyata kabur dari tempat kerjanya hanya untuk mengecek keadaan Mima dan setelah bertemu dengan sepupunya itu, dia memutuskan untuk kembali ke kantor. Sebelum melihat wajah Mima, hati Aska benar-benar tak karuan.

Mima hanya dapat mematung sembari menatap tubuh Aska yang perlahan menghilang keluar dari rumah. Lagi-lagi Mima merasa bersalah atas tindakan cerobohnya. Dia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengabaikan hal-hal kecil seperti ini.

Sambil menunggu waktu pengumuman, Mima menghabiskan waktunya dengan belajar banyak hal terutama mengenai pekerjaannya nanti. Selama ini, Mima belum pernah bekerja sehingga dia harus banyak belajar.

Komunikasinya dengan Raura juga berjalan sangat lancar, mereka sering kali bertukar kabar walau hanya dengan pesan singkat. Beberapa kali, Raura mengajak Mima pergi. Namun, perempuan itu selalu menolak dengan berbagai alasan. Padahal sebenarnya Mima masih memiliki trauma untuk bertemu dengan orang baru.

Tepat seminggu setelah wawancara, Mima mendapat sebuah pesan mengenai hasil wawancara dan terkejutnya dia saat mendapati namanya sebagai salah satu orang yang lolos.

Mima yang tengah berada di kamar langsung berteriak sehingga membuat tantenya yang ada di ruang keluarga berlari ke kamar perempuan itu. Ketukan demi ketukan tantenya itu lakukan sembari bertanya mengenai keadaan keponakannya.

"Mim, kamu kenapa? Kamu nggak pa-pa, kan?" tanya Tante Vita yang langsung membuat Mima sadar akan tindakannya.

Dengan pelan perempuan itu membuka pintunya dan tersenyum tipis ke arah Tante Vita. "Nggak pa-pa kok, Tan."

Dahi Tante Vita mengerut karena dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada keponakannya tersebut sehingga membuat Mima berteriak dengan cukup kencang. "Nggak, nggak mungkin, pasti ada masalah kan? Kamu kenapa?"

Mima mengulum bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. Hal itu tentu membuat Tante Vita semakin kebingungan. "Mim," panggil Tante Vita lagi.

Mau tak mau, Mima harus menjelaskan apa yang terjadi padanya. "Aku keterima, Tan," jelas Mima dengan suara kecil. Namun, Tante Vita tidak mendengar dengan jelas ucapan keponakannya itu.

"Apa? Kenapa?"

Wajah Mima yang tertunduk itu, kemudian terangkat. Matanya berbinar sembari menatap ke arah tantenya. "Mima keterima kerja, Tan."

Kali ini perempuan paruh bayah itu mendengar jelas ucapan Mima. Dengan cepat dia membawa Mima ke dalam pelukan hangatnya. "Selamat, Mima. Kamu pantes buat dapet itu semua."

"Makasih, Tante."

Makan malam hari ini menjadi makan malam teramai yang Mima dan keluarga omnya lalui. Sejak awal makan, Tante Vita terus menjelaskan bagaimana Mima berhasil diterima bekerja.

Di sisi lain, Mima terlihat begitu ketakutan karena Fiona terus menerus menatap ke arahnya. Jika tatapan biasa, Mima tidak akan setakut ini. Namun, Fiona menatapnya dengan tajam seperti seekor harimau yang ingin memakan mangsanya.

"Sudah selesai, Bu?" tanya Fiona yang berhasil membuat ibunya berhenti berbicara. Wajah Fiona yang awalnya menatap lurus, kini beralih pada ibunya yang duduk di sebelah kanannya. "Sudah selesai, banggain dia?"

Om Raka yang sejak tadi diam kemudian mengangkat suaranya. "Fiona!" bentak Om Raka dengan tegas.

"Fiona capek, Yah. Capek dengerin Ibu ngomongin Mima mulu!"

Fiona membanting alat makannya dan berjalan pergi dari meja makan. Perempuan yang satu tahun lebih muda dari Mima itu kemudian naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya.

Suara bantingan pintu terdengar sampai ke lantai satu dan membuat suasana meja makan menjadi canggung. Mima yang sedari tadi diam kemudian pamit pergi ke kamarnya padahal belum ada sesuap makanan pun yang masuk ke dalam mulutnya.

"Saya pamit ke kamar dulu ya, Om, Tan, Kak."

Mima bergegas masuk dan mengunci rapat pintu kamarnya. Dia ingin menyendiri sekarang karena jujur perasaannya begitu tersakiti. Setelah mendudukkan diri di atas kasur, air mata Mima menetes. Dia tidak sanggup untuk menahan rasa sedihnya.

Cukup lama Mima menangis bahkan hingga matanya menjadi bengkak. Namun, tak berapa lama kemudian sebuah ketukan terdengar dari pintu kamarnya. Dengan cepat, Mima menghapus air mata yang masih tertinggal di pipinya.

"Iya, sebentar," ucap Mima sembari berjalan menuju pintu kamarnya. Setelah pintu itu terbuka, orang yang mengetuk pintu  pintu itu langsung masuk ke dalam kamar Mima.

Mima cukup terkejut karena kedatangan Aska. Perempuan itu kemudian mengajukan pertanyaan kepada Kakak sepupunya itu. "Ada apa ya, Kak?"

Aska tidak langsung menjawab pertanyaan Mima. Pria itu malah berjalan menuju kasur Mima yang tak jauh dari pintu kamarnya. Perlahan dia duduk di atas kasur yang cukup empuk itu dan menyuruh Mima untuk duduk di sisinya.

"Duduk," perintah Aska yang langsung Mima turuti.

Keduanya terlihat begitu canggung dan Aska tak berani langsung menatap wajah Mima. "Gue mau minta maaf atas kelakuan adek gue."

Mima tersenyum tipis karena mendengar ucapan Aska. Jujur, dia ingin sekali memiliki Kakak seperti Fiona. Sayangnya, dia adalah anak tunggal yang kini tak memiliki siapa-siapa. "Nggak pa-pa kok, Kak."

"Hmm, satu lagi, selamat ya lo udah keterima kerja."

Mima mengangguk pelan sembari menunggu Aska kembali berbicara. Namun, pria itu malah beranjak dari duduknya dan keluar begitu saja dari kamar Mima.

Walau bingung dengan sikap Aska yang suka berubah-ubah, Mima yang penasaran tidak memiliki punya keberanian untuk bertanya pada sepupunya itu.

Sikap Aska memang sangat dingin dan membuat Mima canggung saat bersamanya. Namun, jika Mima boleh memilih, Mima lebih memilih Aska dibanding dengan Fiona. Sifat mereka benar-benar bertolak belakang.

Di saat Mima melamun, tiba-tiba saja ponselnya berdering dan perempuan itu langsung mengangkat telepon yang ternyata dari Raura.

"Iya, Halo, Ra."

"Halo, Mima, gimana, udah dapat pesan dari perusahaan, kan?"

Mima mengangguk pelan sembari memperbaiki duduknya. "Iya, udah kok, syukurnya aku keterima. Kamu keterima juga nggak?"

"Keterima dong!" ucap Raura dengan semangat. "Kita satu tempat kerja, yeay!"

Mima belum sempat menjawab ucapan Raura, perempuan itu kembali berbicara. "Gimana kalau kita rayain? Hmm, makan-makan gitu?" ajak Raura yang membuat Mima bimbang.

"Hmm, gimana ya?"

"Ayolah, cuman makan doang kok."

"Hmm, aku izin dulu ya. Kalau dibolehin aku kabarin kamu."

"Siap! Aku tunggu kabar baiknya."

Panggilan telepon itu kemudian berhenti dan malah membuat Mima bingung. Dia tidak tau harus melakukan apa. Apalagi, setelah kejadian di ruang makan tadi.

"Gimana izinnya ya?" gumamnya dengan bingung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro