Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Motor sport berwarna hitam legam itu melaju dengan kecepatan sedang saat sang pemilik mengantar sepupunya menuju perusahaan tempat wawancara pekerjaan digelar.

Di belakang, Mima terus berdoa di dalam hati, bukan untuk wawancara melainkan keselamatannya karena Aska membawa motornya dengan kecepatan cukup kencang padahal sebenarnya tidak.

Sesampai di depan gedung perusahaan berlantai 12 itu, Aska menghentikan motornya dan menunggu Mima untuk turun. Di sisi lain, Mima masih sibuk memperbaiki deru nafasnya.

"Turun!" perintah Aska sembari menoleh ke belakang. Aska bingung dengan sikap Mima yang terlihat linglung.

"Lo kenapa?" tanya Aska lagi yang langsung membuat Mima menggelengkan kepalanya.

Dengan cepat Mima turun dari motor sepupunya itu dan dikembalikannya helm yang dia gunakan tadi kepada sang pemiliknya. Tak lupa Mima mengucapkan terima kasih kepada Aska karena mau mengantarnya.

Perempuan itu yakin bahwa Aska sangat terpaksa melakukan hal itu karena ayahnya yang menyuruh, jika tidak, tentu Aska tidak akan mau melakukannya. Karena mengantar Mima, dia harus bangun lebih awal padahal semalam dia begadang.

"Makasih ya, Kak," ucap Mima dengan wajah tertunduk.

"Percaya diri dikit kek, gimana lo mau keterima kalau lo pemalu gini," ucap Aska yang langsung membuat Mima mengangkat wajahnya.

"Iya, Kak."

"Ya udah, gue pergi ke kantor dulu. Kalau lo udah balik kabarin gue."

Tanpa menunggu jawaban dari Mima, Aska menyalakan mesin motornya dan pergi dari hadapan sepupunya itu. Mima hanya mampu menatap punggung Aska sampai tak terlihat lagi.

Ketika tengah asyik melamun, tiba-tiba ada sebuah tepukan di bahu Mima. Mima yang terkejut langsung menoleh ke samping dan di sana ada seorang perempuan yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Hai, kamu mau wawancara juga?" tanya perempuan itu yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Mima.

"Sendirian aja?" tanya perempuan itu lagi dan Mima kembali menganggukkan kepalanya.

"Mau bareng nggak? Aku sendirian juga nih."

"Boleh."

Perempuan yang belum Mima ketahui namanya itu langsung mengajak Mima untuk masuk ke dalam perusahaan tempat mereka akan melakukan wawancara. Entah kenapa, rasa gugup di benak Mima hilang seketika saat bertemu dengan perempuan yang kini tengah mengaitkan tangannya ke tangan Mima.

Sesampai di ruang wawancara, Mima dan perempuan itu duduk berdampingan. Mima sedikit terkejut karena ternyata ada banyak orang yang ikut wawancara pada hari ini.

"Banyak orang ya ternyata," bisik perempuan di sisi Mima. Namun beberapa menit kemudian, perempuan itu menatap wajah Mima dengan antusias. "Oh iya, kita belum kenalan, nama aku Aurora, panggil aja Raura."

Raura menyodorkan tangannya untuk mengajak Mima bersalaman, dengan perlahan Mima mengangkat tangannya dan langsung disambut hangat oleh Raura.

"Nama aku Jemima, panggil aja Mima."

Raura mengangguk pelan sembari merangkul tubuh Mima. "Sekarang kita temenan ya."

Mima tak mampu untuk menjawab ucapan Raura karena perempuan itu bingung harus menjawab apa. Sifat dia dan Raura benar-benar berbeda, Mima sangat pendiam dan Raura kebalikannya. Sepertinya kedua perempuan itu akan saling melengkapi satu sama lain.

Satu persatu nama dipanggil untuk melakukan wawancara, mereka yang dipanggil kemudian masuk ke dalam ruangan lain. Sepertinya tempat khusus untuk melakukan wawancara.

Mima terlihat antusias melirik ke arah ruangan yang cukup jauh itu dan Raura ikut menatap ke arah yang sama.

"Kamu baru pertama kali ikut wawancara ya?" tebak Raura yang membuat Mima merasa malu.

Raura tersenyum kecil sembari menepuk tangan Mima yang dia taruh di atas pahanya. "It's okay, kamu pasti bisa kok. Aku juga pas pertama kali wawancara gugup kaya kamu, tapi sekarang udah enggak."

Mima mengangguk pelan karena menurutnya semua ucapan Raura itu benar.

Tak lama kemudian, nama Mima dipanggil dan dia langsung berjalan menuju ruang wawancara. Raura yang masih duduk kemudian memberi semangat pada Mima dengan mengepalkan tangannya.

"Semangat!" bisik Raura yang membuat Mima tersenyum tipis.

Dengan hati berdebar, Mima berjalan pelan memasuki ruang wawancara. Saat masuk dia melihat ada beberapa orang yang duduk sejajar dan di hadapan mereka ada sebuah kursi kosong.

Mima paham jika dia harus duduk di sana. Namun, perempuan itu tidak langsung duduk melainkan dia menunggu pewawancara yang ada menyuruhnya duduk.

"Silakan duduk," suruh salah satu pewawancara tersebut.

Mima kemudian duduk dan mulai diberi beberapa pertanyaan. Syukurnya, Mima dapat menjawab semua pertanyaan karena kemarin dia sempat mempelajari beberapa soal di internet dan nyaris semua pertanyaan yang diberikan sama seperti pertanyaan yang dia dapat sekarang.

Kini Mima jelas melihat beberapa pewawancara di hadapannya tengah menulis sesuatu di kertas. Tentu Mima sangat penasaran dengan apa yang mereka tulis. Namun, tak lama kemudian salah satu pewawancara mengeluarkan suaranya. "Wawancaranya sudah selesai, silakan keluar. Nanti kami akan hubungi mengenai hasilnya dalam beberapa hari lagi ya."

Mima mengangguk paham dan berterima kasih pada pewawancara yang ada. "Baik, terima kasih."

Saat keluar, Mima tidak melihat keberadaan Raura dan entah kenapa perasaan perempuan itu merasa sedih. Sebelum benar-benar keluar dari perusahaan itu, Mima tiba-tiba bertemu dengan Raura yang baru saja keluar dari toilet.

"Mim, udah selesai?" tanya Raura yang langsung dibalas anggukan oleh Mima. "Syukurlah, hmm, kalau boleh, aku minta nomor telepon kamu dong, biar kita bisa saling chattingan."

Mima mengangguk pelan sembari mengeluarkan ponselnya. Kedua perempuan itu kemudian saling bertukar nomor telepon dan Mima yang sudah selesai wawancara pamit untuk pulang ke rumah.

"Ra, aku balik duluan ya."

Raura mengangguk pelan sembari menepuk pundak Mima. "Iya, hati-hati ya."

Raura menjadi teman pertama Mima setelah kejadian lima yang lalu. Sejak saat itu, Mima memutuskan untuk menjauhi orang-orang di sekitarnya begitu pula dengan teman-teman sekolahnya.

Mima mengirimi Aska pesan karena pria itu menyuruhnya untuk memberitahu saat selesai wawancara. Namun, Mima tidak mau merepotkan Aska lagi sehingga setelah mengirim pesan. Mima memutuskan untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi.

Mima kembali ke rumahnya dengan selamat dan langsung disambut oleh Tante Vita. "Gimana wawancaranya tadi? Lancar?" tanya Tante Vita yang sebelumnya sedang duduk di teras rumah.

Mima mengangguk pelan sebagai jawaban dan Tante Vita kemudian mengajak keponakannya itu untuk masuk ke dalam rumah. "Yaudah, yuk kita masuk, kamu pasti laper kan habis wawancara. Yuk, makan siang dulu."

Waktu memang sudah menunjukkan pukul satu siang dan Mima menerima ajakan tantenya dengan senang hati. Saat makan, Tante Vita memberi beberapa pertanyaan pada Mima dan mereka kemudian larut dalam perbincangan.

Setelah selesai makan, Mima pamit untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia harus mandi dan beristirahat. Jujur, energi dia sudah habis karena wawancara tadi.

Sesampai di kamar, Mima langsung menaruh tasnya ke atas kasur dan pergi mandi. Dia memang setidak peduli itu pada ponselnya yang sejak tadi menyala.

Di sisi lain, Aska terlihat begitu khawatir sembari terus menghubungi Mima. "Kemana sih, ini anak," gumamnya sembari Memperhatikan ponselnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro