Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua hari lagi, Mima harus melakukan wawancara pekerjaan. Namun sampai sekarang, omnya belum juga tau mengenai hal itu. Mima bisa saya bertanya pada tantenya karena beliaulah yang mau memberitahu hal tersebut pada suaminya. Sayangnya, suasana rumah masih belum membaik sehingga Mima memutuskan untuk tetap diam.

Kini, Mima mengurung dirinya di dalam kamar karena tadi pagi lagi-lagi Fiona mengajaknya bertengkar. Telinga Mima sudah kebal mendengar teriakan dari sepupunya itu. Namun, hatinya masih terasa sakit jika mengingat semua perkataan dari Fiona.

"Dasar, anak yatim piatu, nyusahin banget sih lo!"

Kalimat itu masih terngiang di telinga Mima. Dia sendiri tidak mau kehilangan kedua orang tuanya. Namun sayang, sepupunya itu tidak pernah memahami perasaannya.

Sudah habis air mata Mima karena menangisi ucapan Fiona hingga tanpa sadar perempuan itu ketiduran dan kemudian dia terbangun karena ketukan bertubi di pintu kamarnya.

"Mim, bangun woy, kebo banget sih lo!" teriak seseorang di balik pintu kamar Mima. Mima jelas tau siapa pelakunya karena suara orang itu begitu dia kenali.

"Iya, Kak. Saya udah bangun kok," jawab Mima dengan suara yang sedikit serak.

"Buka pintunya!" perintah Aska yang malah membuat Mima ketakutan. Padahal perempuan itu belum tau apa maksud Aska meminta dia membuka pintu.

"Kenapa, Kak?" tanya Mima dengan suara bergetar.

"Heh, lo kenapa?" tanya Aska karena dia mendengar suara Mima yang sedikit berbeda dari sebelumnya.

"Nggak pa-pa, kok."

"Kalau nggak pa-pa, buka pintunya!"

Mima sedikit ragu dengan permintaan Aska, dia juga tidak bergerak dari tempat duduknya. Entah kenapa, dia tidak mau membuka pintu kamarnya sekarang.

"Nanti aku keluar, Kak. Aku mau mandi dulu."

Aska tidak langsung menjawab ucapan Mima. Namun, pria itu juga tidak beranjak dari depan pintu kamar Mima.

"Lo yakin?"

Nada suara Aska melemah seakan memastikan bahwa sepupunya itu baik-baik saja.

"Iya, Kak."

"Ya udah, gue tunggu di meja makan."

Langkah kaki Aska terdengar menjauh dan membuat Mima dapat bernafas lega. Dia tidak mungkin keluar dengan wajah acak-acakan seperti ini sehingga dia perlu untuk membersihkan tubuh dan juga wajahnya.

Setelah selesai mandi, Mima menjadi ragu untuk keluar dari kamarnya. Tubuhnya mematung di hadapan pintu dan matanya terfokus untuk menatap ganggang pintu tersebut. Di sana, ada sebuah kunci yang tergantung.

Tiba-tiba memori kenangan masa lalunya dengan kedua orang tuanya datang dan malah membuat air matanya kembali menetes. Belum selesai Mima menghabiskan rasa sedihnya, seseorang kembali mengetuk pintu kamarnya dengan brutal.

"Heh, keluar lo, lama banget sih!" teriak orang dari luar kamar Mima yang membuat perempuan itu ketakutan.

Fiona, orang yang mengetuk pintu itu malah semakin brutal mengetuk pintu kamar sepupunya karena tak kunjung mendapat jawaban dari dalam sana. "Heh, tuan putri, ini udah jam berapa! Lo pikir ini rumah elo apa, seenaknya aja tidur sampe jam segini."

Ocehan yang menyakitkan itu kembali didengar oleh Mima dan entah kenapa perempuan itu tidak membalas ucapan Fiona. Dia malah berjalan menjauh dari pintu kamarnya.

Tak lama kemudian, perempuan itu kembali mendengar suara orang lain yang sepertinya adalah suara Aska. "Lo ngapain sih, dia lagi mandi, tunggu aja dia keluar," bisik Aska yang malah membuat Fiona kesal.

"Kak, lo kok ngebela dia sih!"

"Bukan ngebela! Tapi, gue tadi udah bicara sama dia."

Aska menarik tangan adiknya untuk kembali ke ruang makan. Jika terlalu lama di depan kamar Mima, tentu perempuan itu tidak akan keluar dari sana.

Benar saja, setelah tak lagi mendengar suara Fiona. Mima perlahan membuka pintunya. Dengan langkah pelan, perempuan itu berjalan menuju ruang makan yang sudah penuh dengan penghuni rumah.

Om Raka langsung memanggil Mima untuk duduk di sisinya. "Mim, yuk, sini makan, duduk di sebelah, Om."

Mima mengangguk pelan dan berjalan mendekat ke arah omnya tersebut. Dia kini duduk tepat di hadapan Fiona yang tengah menatap tajam ke arahnya.

Om Raka yang melihat perlakuan buruk Fiona segera menegur anak perempuannya itu dengan tegas. "Fi, jangan natap Mima begitu!"

Fiona tidak membalas ucapan ayahnya dan memutuskan untuk melahap makanan di hadapannya. Di sisi lain, Mima tidak berselera untuk makan dan dia hanya memandangi piring kosong di hadapannya.

Om Raka lagi-lagi menjadi orang pertama yang peka pada sikap aneh yang ditunjukkan keponakannya itu sehingga dia kemudian mengusap lembut kepala Mima sehingga perempuan itu mengangkat wajahnya.

"Kamu nggak papa?" tanya Om Raka dengan suara yang sangat lembut, Mima tidak menjawab dengan perkataan melainkan perempuan itu langsung mengangguk pelan.

Ketika tengah asyik bertatapan, suara Fiona berhasil membuat keduanya mengalihkan pandangan mereka. "Dih, pengen banget diperhatiin."

Mima jelas melihat wajah kesal Fiona yang sama seperti sebelumnya, dia juga tau bahwa sepupunya itu masih sangat membencinya.

Mima tidak menjawab atau juga memberikan reaksi pada ucapan Fiona. Entah kenapa, otaknya tiba-tiba berpikir untuk memberitahu mengenai wawancara pekerjaan yang akan dilaksanakan dua hari lagi.

"Hmm, Om," panggil Mima dengan suara kecil. Namun, omnya masih dapat mendengar.

Fokus Om Raka kemudian kembali ke wajah Mima yang masih menunduk. Beliau tidak mengeluarkan suaranya, melainkan dia menunggu keponakannya itu kembali berbicara.

Semua orang di meja makan kemudian ikut penasaran dengan sikap Mima, mereka juga menatap ke arah Mima, sama seperti Om Raka lakukan.

Mima kemudian mengangkat wajahnya perlahan dan dengan ragu dia menjelaskan tentang wawancara kerjanya.

Hal yang sama seperti Mima pikirkan adalah penolakan dari omnya. Beliau langsung menolak keinginan keponakannya itu.

"Nggak, Om nggak mau kamu kerja. Kalaupun kamu kerja, lebih baik kamu kerja di perusahaan Om. Biar bisa bareng sama Aska."

Mima mengulum bibirnya karena merasa gugup. Namun, tiba-tiba Fiona mengeluarkan suaranya.

"Ya udah sih, Pah. Kalau dia mau kerja, biar nggak jadi beban buat keluarga kita."

Lagi-lagi Fiona berhasil membuat Mima sedih dengan perkataannya. Jadi, selama ini aku beban untuk mereka? tanya Mima di dalam hati.

"Nggak, kamu nggak usah dengerin ucapan Fiona, Om sama Tante enggak ngerasa terbebanin kok," bantah Tante Vita atas ucapan anak perempuannya.

"Iya, Mim. Kami nggak terbebani sama kamu."

Kini, Om Raka lah yang kembali berbicara, beliau memang tidak pernah terbebani oleh Mima. Apalagi Mima adalah keponakannya yang sudah beliau anggap seperti anak sendiri.

"Tapi, Om, saya mau belajar mandiri dengan mencari uang sendiri," jelas Mima dengan pelan walau tak ada semangat di dalam suaranya.

Om Raka dan istrinya saling bertatapan. Sepertinya mereka memiliki pikiran yang sama. Namun, tiba-tiba Om Raka memutuskan untuk pergi meninggalkan ruang makan.

Di sisi lain, Tante Vita ikut beranjak dari duduknya dan berjalan ke belakang kursi Mima. Di pijatnya kedua pundak keponakannya dengan perlahan agar Mima merasa lebih nyaman.

"Maafin Tante ya, harusnya Tante yang ngomong semua ini ke Om. Tapi, Tante lupa sama Kewajiban Tante. Mim, Tante bangga banget sama kamu, soalnya kamu berani buat ngomong semua ini ke Om."

Mima mengangkat wajahnya agar dapat menatap wajah Tante Vita. Beliau tersenyum manis ke arah Mima seperti memberi kekuatan kepada keponakannya itu.

"Kamu boleh kok ikut wawancara kerja lusa nanti, masalah Om, biar Tante yang urus."

Mima mengangguk pelan dan Tante Vita membawa perempuan itu masuk ke dalam pelukannya. "Tante doain, semoga kamu bisa lolos ya."

"Amin, makasih Tante."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro