01 || Pilihan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

When I dream about future each time,

the dream would vanish and I am left by myself

***

Ruang tamu sore itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jemari Fay menari di atas keyboard laptop, mengisi data diri untuk masuk ke sebuah situs. Sesekali matanya melirik ke jam digital di pojok kanan layar, memastikan bahwa memang sudah waktunya untuk membuka sebuah kepastian—yang sebenarnya telah tertebak.

"Yeah! Nggak lolos!"

Bisikan yang lebih terdengar seperti gumaman kasar Fay ucapkan pada dirinya sendiri. Dugaannya tepat. Sebersit senyum hadir di wajah lelahnya yang baru saja selesai mengikuti kelas daring pelatihan pengenalan obat untuk para reseller obat herbal. Lagi-lagi, ia berhasil bebas dari pilihan ibunya.

"Gimana, Fay? Lulus, kan?" Suara seorang wanita terdengar dari arah dapur.

Fay menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dalam pikirannya, ia berusaha untuk merancang berbagai skenario jika ibunya tahu bahwa, untuk kedua kalinya, kelulusan seleksi calon mahasiswa S2 Magister Profesi Psikologi urung didapatkan anak semata wayangnya ini.

Skenario pertama, ibunya akan membiarkannya begitu saja. Menerima bahwa Fay memang tidak ditakdirkan untuk melanjutkan kuliah ke sana karena memang bakatnya bukan di bidang psikologi, lalu membiarkan Fay melanjutkan misi hidupnya. Lagi pula, untuk apa mendengarkan orang berkeluh-kesah layak dijadikan profesi? Memang sedari awal, seharusnya sang ibu merestui dirinya melanjutkan kuliah di jurusan kedokteran.

Skenario kedua, ibunya akan menahan amarah sambil berkata, "Coba lagi tahun depan. Coba terus sampai kamu lulus!"

Ah, ini tidak terlalu rumit. Ia hanya perlu mencoba lagi dan sengaja menggagalkan usaha agar kelulusan itu menjadi kepastian yang nihil didapatkan.

Skenario ketiga ....

"Fay? Kok pertanyaan Mama nggak dijawab?"

Belum sempat Fay memikirkan skenario lainnya, wanita dengan rambut panjang yang digelung ke atas itu sudah berdiri di samping Fay—yang duduk di lantai menghadap laptop di meja tamu.

"Astaghfirullah, Fayza Salma Andriani! Kamu nggak lulus lagi?"

Oh, sial! Sepertinya skenario kedua akan terjadi, batin Fay sebelum melisankan jawabannya, "Ah, iya, Ma. Kayaknya aku emang nggak bakat buat jadi psikolog. Jadi, aku lanjut jual—"

"Kamu, tuh, pinter. Nggak mungkin seleksi kayak gini aja nggak lulus. Kamu juga sering pamit keluar rumah buat belajar. Kok bisa sampai nggak lulus, sih?" Dian menepuk jidat. Ia tidak bisa mempercayai bahwa putrinya bisa gagal dua kali berturut-turut.

Fay menggelengkan kepala dengan kasar. "Emang aku nggak bakat, Ma! Lagian, ngapain, sih, jadi psikolog? Kerjaannya dengerin orang ngeluh terus kayak nggak ada masa depan di hidupnya. Mending aku pakai waktuku buat jualan, cari uang, atau buka jasa cek kesehatan, deh."

Mata Dian memicing. "Lulusan terbaik dari Fakultas Psikologi dengan IPK nyaris sempurna, nggak bakat jadi psikolog? Terus malah mau jualan? Maksud kamu apa? Mama nggak paham."

Salah satu ujung bibir Fay menaik sepersekian detik. Ia memutar tubuhnya yang tadinya menghadap laptop ke arah ibunya. "Gini, lho, Ma. Aku tahu aku memang pinter. Kalo aku nggak pinter, nggak mungkin, kan, bisa masuk jurusan kedokteran? Ya, walaupun akhirnya pindah, sih. Tapi, emang dasarnya aku berbakat di bidang kedokteran. Bukan di bidang psikologi yang harus dengerin orang berjam-jam di ruang konsultasi. Enak jadi dokter. Dengerin keluhan sebentar, kasih obat, beres."

"Kamu masih pengen jadi dokter setelah semua yang terjadi?" Dian mendengkus kasar. "Fayza, kamu itu udah lulus S1 dan bukan dari jurusan kedokteran, tapi dari jurusan psikologi. Udah selayaknya kalau kamu lanjut S2, sekalian ambil profesi. Oke, Mama pikir kamu juga nggak bisa bertahan di jurusan psikologi. Tapi apa? Justru nilai-nilaimu bagus. Kamu juga aktif ikut kegiatan kampus. Mama juga sudah biarin kamu ngapain aja asal nyiapin S2 juga. Mana hasilnya? Nggak ada, Fay. Kayak gini kamu masih mau mikirin jadi dokter?"

"Soalnya, psikologi itu pilihan Mama. Bukan aku!"

"Fayza!"

Untuk sejenak, keduanya terdiam. Hawa dingin berembus ke dalam ruangan meski di luar panasnya matahari sore masih terasa.

"Iya, kan? Aku tahu, kalau di tahun pertama, aku gagal nunjukin bahwa aku bisa bertahan di kedokteran setelah kecelakaan itu. Aku tahu kalau aku sebenarnya cuma butuh diterapi buat ngilangin traumaku sama kecelakaan itu." Fay menekankan beberapa kata dalam kalimatnya. "Aku minta waktu, tapi apa kata Mama? Ambil jurusan lain? Itu Mama yang nggak percaya sama aku!"

"Tapi kamu tetap ambil ...."

"Iya! Aku seleksi lagi buat kuliah di psikologi! Karena apa? Karena Mama bawa-bawa nama Papa. Mama tahu kelemahanku itu Papa. Mama tahu kalau aku nggak bisa nolak saat Mama bilang Papa akan lebih senang aku kuliah dengan tenang, tanpa harus kebayang-bayang sama kecelakaan itu. Aku terpaksa, Ma." Tarikan napas panjang diambil Fay sebelum melanjutkan, "Sekarang aku mau kita gantian. Mama yang nurutin maunya aku untuk lanjutin jualan obat herbal ini. Aku juga bisa, kok, buka jasa cek kesehatan dasar."

"Mama udah kasih kamu kesempatan selama ini. Tapi, nggak ada progres, Nak. Dibandingkan itu, nilai kamu bagus dan layak untuk lanjut S2 di psikologi lagi. Nggak mungkin nilai kamu bagus kalo kamu sebegitu nggak sukanya dengan jurusan psikologi."

"Karena aku cuma mau cepet lulus." Kini suara Fay mulai bergetar. Ia tidak menyangka bahwa untuk menuju skenario dua harus ada adu argumen lagi dengan mamanya. "Karena aku cuma mau cepet-cepet bebas dari jalan yang salah dan kembali ke tujuanku untuk jadi dokter."

Dian tak habis pikir dengan putrinya yang sangat keras kepala ini. Bagaimana bisa putrinya bersikeras menjalani profesi—seperti—dokter, padahal latar belakang pendidikannya saja sudah tidak memungkinkan?

Adu argumen ini tidak akan berakhir jika keduanya sama-sama menarik urat. Harus ada cara lain untuk membuat Fay bungkam dan menuruti pilihannya. Lagi pula, Dian melakukan itu semua demi kebaikan Fay.

Akhirnya, Dian duduk menjajari Fay di lantai. Ia meraih jemari putrinya, menggenggam erat telapak tangan yang terasa dingin itu, dan menatap wajah penuh keringat dengan untaian anak rambut tak beraturan. "Fayza, Mama tahu kamu sangat ingin jadi dokter. Pakai snelli putih, ngobatin orang lain, dan menyelamatkan nyawa mereka seperti Papamu dulu. Tapi, Nak ...."

Fayza tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berlanjut. Ia menarik pelan tangannya dari genggaman sang ibu dan memeluk kedua kaki yang ditekuk di depan tubuh. Iris cokelatnya memantulkan cahaya dari layar laptop. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya tidak.

Iya, dia akan disuruh mencoba lagi tahun depan. Pasti skenario itu yang akan terjadi. Tak apa, ia bisa kembali menggagalkan seleksinya agar mamanya percaya bahwa ia tak berbakat menjadi profesi itu. Segala rencana mulai terlintas untuk menggagalkan seleksi yang bahkan belum ada wujudnya tahun depan.

Dian mengerti reaksi tubuh putrinya. Ia bergeming dengan tetap melanjutkan kalimatnya. "Jadi psikolog juga bisa, kok, pakai snelli, kalau nantinya kamu kerja jadi psikolog rumah sakit. Keduanya sama-sama bantu orang."

Beda, Ma, batin Fayza. Ia lelah memberontak secara lisan.

"Papa juga suka sama dua profesi itu. Papa pasti seneng liat kamu bantu orang, terlepas apa pun profesimu. Iya, jualan obat herbal bisa membantu. Tapi, itu nggak menjanjikan kestabilan, Nak. Kamu jadi psikolog, kamu terjamin secara profesi dan penghasilan. Jadi ...."

Aku bakal gagalin lagi tahun depan.

"Kamu harus lulus tahun depan di S2 profesi psikologi, atau Mama akan jodohkan kamu dengan anak teman kenalan Mama."

Pupil Fay membesar bersamaan dengan alis tebalnya yang terangkat. "Hah? Dijodohkan? Kok jadi gini, sih, Ma?"

Saat Fay kembali menatap Dian, wanita paruh baya itu justru berdiri dan berlalu dari hadapan Fay. Tentunya, tak lupa mengucapkan kalimat pamungkas untuk menutup adu argumen sore itu.

"Mama udah mulai tua, Nak. Mama butuh kepastian kestabilan hidup kamu. Kamu anak Mama satu-satunya. Kalau kamu nggak mau kuliah lagi, nggak apa-apa. Tapi, menikah secepatnya dan Mama yang carikan calonnya."

Ruang tamu sore itu mendingin. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Namun, hati Fay serasa diterjang badai. Bulu kuduknya meremang, matanya berkaca-kaca. Ia tidak pernah membayangkan skenario dua akan ter-upgrade seperti ini.

Dijodohkan? Bisa-bisanya.

Membiarkan diri melewati tekanan batin karena penolakan kuliah di jurusan pilihan ibunya sudah cukup ia rasakan 4 tahun ke belakang. Pun kebebasan masa mudanya tak ingin Fay lepaskan begitu saja dengan menikahi orang yang tak dikenal sama sekali.

Tidak, cita-citanya untuk menikah masih jauh dari rencana. Tidak, sebelum ia berhasil kembali ke jalan kedokteran tanpa gelar sarjana kedokteran.

Sore itu Fay bertekad. Ia akan buktikan pada mamanya bahwa jalan kedokteran adalah takdirnya. Persetan dengan segala trauma yang dimiliki selepas kecelakaan 5 tahun lalu. Fay tidak akan mengambil pilihan dari sang ibu.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro