02 || Selewat Tidak Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Please understand me
I'm telling you that it was a difficult decision

***

Gelap.

Hanya itu yang Fay lihat saat ia membuka matanya. Tangannya meraba-raba, barangkali menggenggam sesuatu yang bisa dijadikan penerangan.

"Fay! Sini!"

Sebuah suara perempuan menggelitik dari samping kanan, lalu Fay merasakan tangannya digandeng.

"Itu, teman-teman ada di sana. Kamu jangan nyasar, dong, pas kita lagi coba praktek!"

Alis Fay terangkat. Praktek apa?

Tak lama, cahaya memenuhi tempat Fay berdiri. Ia bisa melihat teman-temannya tak jauh di depan sedang mengerubungi sesuatu dengan wajah semringah. Saat menengok ke belakang, ia melihat sebuah gunung yang tinggi menjulang, menjelaskan bahwa kini dirinya sedang berada di sebuah kaki gunung.

Ah, Fay ingat! Mereka sedang kuliah lapangan bersama untuk modul pengelolaan bencana. Sebagai mahasiswa kedokteran yang nantinya akan menjadi dokter, tentu belajar menjalin kerja sama dengan tenaga medis lain sangat diperlukan. Kali ini, pembelajaran mereka sampai di modul pengelolaan bencana.

"Ayo, Fay! Giliran kamu coba praktekin CPR."

Cardiopulmonary resuscitation atau resusitasi jantung paru-paru adalah pertolongan pertama Bantuan Hidup dasar pada orang yang mengalami henti napas karena sebab tertentu. Dalam area bencana, hal itu tentu bisa saja terjadi.

Senyum tersungging di wajah Fay. Jelas, dia sangat percaya diri untuk hal-hal berbau kedokteran karena sejak kecil dirinya memiliki mentor seumur hidup—ayahnya yang juga seorang dokter. Melakukan CPR bukan hal yang sulit, terlebih Fay sering membaca berbagai teori dan mempelajarinya jauh sebelum hari ini.

Fay mendekati alat peraga CPR—seperti boneka dengan bentuk mirip manusia—dan mulai mengambil posisi untuk melakukan CPR. Namun, senyum yang terlukis di wajahnya memudar. Keringat bermunculan di dahinya bersamaan dengan tangan yang gemetar.

"Papa ...," lirih Fay.

Tiba-tiba kepalanya pusing, pandangannya menguning, dan Fay merasakan tubuhnya oleng ke kanan.

"Fay! Kamu kenapa? Fay!"

Suara teman-temannya samar terdengar di telinga. Kepala Fay sakit, pandangannya kini menjadi gelap lagi. Jantungnya berdebar begitu cepat serasa ingin meledak.

Sedetik kemudian, Fay memaksakan diri untuk membuka mata.

"Ah, mimpi," gumam perempuan yang seluruh tubuhnya basah oleh keringat tersebab mimpi tak mengenakkan itu. Ada sedikit kelegaan ketika ia menemukan atap kamarnya saat membuka mata. Di sampingnya, alarm dari ponsel terus berbunyi dengan tulisan Siap-siap Pelatihan!

Fay menegakkan tubuhnya dari kasur dengan malas. Memorinya mengingat mimpi barusan dan adu argumen akan pilihan hidup yang kembali ditentukan oleh sang ibu. Semua itu membuatnya kehilangan separuh jiwa. Namun, masih ada kesempatan satu tahun lagi untuk membuktikan bahwa pilihannyalah yang tepat—membangun bisnis jualan obat herbal dan membuka jasa cek kesehatan sederhana.

Dengan gontai, Fay melangkah mendekati lemari baju dan mengambil celana jeans, serta kemeja kotak-kotak. Hari ini masih ada pelatihan dan ada sesi sharing dari para reseller obat secara daring. Tidak mungkin Fay lakukan itu di rumah mengingat ada kemungkinan gangguan dari sang ibu. Ia pun bersiap untuk pergi dan sebelum keluar kamar, matanya tertuju pada papan tulis yang gantung di salah satu sisi kamarnya.

Papan tulis yang terbuat dari karton dengan sisi kotak-kotak yang menggambarkan sebuah kalender terisi penuh dengan rencana-rencana harian Fay. Hanya saja, matanya bukan terpaku untuk melihat agenda yang ditulisnya hari ini, melainkan untuk melihat sesuatu di sisi sebaliknya.

Sisi papan tulis kosong tanpa kotak, bertuliskan:

Menuju 2030 jadi dr. Fayza Salma Andriani, Sp. B!

Mata Fay mulai berkaca-kaca melihat impiannya yang tak mungkin lagi tercapai. Kecelakaan 5 tahun lalu yang merenggut nyawa ayahnya, tepat sebulan sebelum ia resmi berkuliah sebagai mahasiswa jurusan kedokteran, masih membayanginya hingga sekarang.

Fay tidak ingat jelas kejadiannya seperti apa. Hanya suara benturan keras yang membuatnya hilang kesadaran dan saat matanya terbuka, ia sudah berada di sebuah rumah sakit. Mirisnya, saat ia memalingkan wajah ke samping kiri, wajah ayahnya terpampang jelas dengan kucuran darah dari berbagai sisi. Terakhir yang diingatnya, tim medis sedang melakukan CPR dan suara dengungan keras membuatnya kehilangan kesadaran lagi.

Perempuan yang senang menggelung rambutnya ini tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Mengingatnya akan membuatnya kembali merasa bersalah pada dirinya sendiri karena gagal bertahan di jurusan kedokteran tersebab trauma yang tak disadarinya itu. Saat ingatannya mulai semakin liar, alarm ponsel kembali berbunyi.

Waktunya berangkat atau Fay akan terlambat menghadiri pelatihan daring.

"Ma, aku pergi."

"Ke mana?" Ibunya yang sedang sibuk membuat kue kering pesanan tetangga setengah berlari dari dapur.

"Biasa," jawab Fay malas.

"Beneran belajar?"

Perempuan berbaju kotak-kotak yang sedang memakai sneakers-nya hanya mengangguk pelan. Benar-benar malas menjawab. Ia tidak berbohong kalau dirinya ingin belajar. Hanya saja, belajar versi ibunya dengan versi dirinya tentu berbeda.

Tanpa banyak bicara lagi, Fay langsung keluar rumah dan menunggu ojek online pesanannya sampai untuk mengantarkan ke kafe baru yang ingin ia kunjungi.

Eksotic Point Coffee.

Begitu tulisan yang terpampang jelas di papan nama kafe tujuan Fay. Perempuan berhidung kecil ini memang senang mengeksplorasi kafe-kafe di sekitar kota tempat tinggalnya. Sebenarnya, hal itu dilakukan untuk mendapatkan pelarian terbaik dari rumah. Namun, belum ada kafe yang membuatnya betah terus-terusan berdiam di sana. Maka, eksplorasi kafe masih berlanjut hingga hari ini di Eksotic Point Coffee.

"Latte no sugar-nya satu, ya, Mas," ucap Fay pada barista kafe yang siap melayani dengan ramah. Ada keinginan untuk minum yang manis-manis, caramel macchiato misalnya. Akan tetapi, lisannya lebih lancar menyebut Latte ketimbang minuman manis lain. Mungkin hal itu jadi representasi sepahit apa perasaannya saat ini.

Usai membayar, Fay berjalan gontai ke lantai dua. Malas sebenarnya, tetapi lantai satu terlalu ramai. Entah memang dirinya yang kesiangan datang atau orang-orang itu hobi ke kafe dari pagi. Beruntung, lantai dua masih sepi. Hanya ada seorang lelaki di pojok ruangan dan seorang perempuan yang sedang asyik melakukan panggilan video di pojok satunya.

Fay memilih duduk di samping si lelaki yang memakai hoodie hijau tua. Lebih tenang karena ia tidak akan terganggu oleh suara-suara lain saat fokus ke pelatihan.

Saat menunggu laptopnya siap—proses dari halaman starting windows sampai masuk ke desktop cukup lama karena usia laptop pun hampir 7 tahun—mata Fay melirik ke meja sebelah. Lelaki berjaket hijau tua itu tampak serius membaca sesuatu di layar laptopnya. Fay bergeser sedikit lebih mendekat karena ia merasa familier dengan beberapa kata yang tertangkap netranya.

"Mas, lagi baca apa?" Akhirnya Fay tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Lelaki yang masih fokus membaca itu bergeming. Sepertinya tidak mendengar suara Fay yang ada di sampingnya.

Fay berdiri dan menjajari lelaki itu. "Oh, veterinary medicine. Masnya dokter hewan?"

Lelaki itu masih diam tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

"Hm, maaf, deh, kalo ganggu."

Fay kembali duduk dan mendapati laptopnya sudah siap. Ia membuka aplikasi rapat daring dan merogoh tasnya, mencari sesuatu. Matanya membesar saat ia tidak menemukan sesuatu yang dicarinya.

"Ya ampun, masa ketinggalan di kasur? Kayaknya tadi udah kumasukin, deh!"

Tas ransel berwarna cokelat tua itu pun dibongkar oleh sang pemilik. Memastikan bahwa yang dicarinya benar-benar tidak ada di sana, dan ternyata memang tidak ada. Namun, mata jelinya melihat sesuatu.

"Mas, maaf banget, nih, kalo ganggu." Dengan keberanian penuh, Fay menjawil lelaki yang sejak tadi tidak bereaksi meski dirinya berulang kali mengajak bicara.

Lelaki itu menoleh. "Bicara sama saya?"

Iya. Dari tadi, duh! batin Fay kesal. Namun, di luar, ia tampakkan senyum semanis mungkin. "Iya. Maaf, ya, kalo ganggu. Tapi, ini darurat. Boleh pinjem headset-nya?" Telunjuk Fay mengarah ke benda berkabel warna hijau muda di samping laptop si lelaki.

"Oh, iya, iya. Pakai aja."

Setelah memberi izin, lelaki itu kembali fokus dengan layar laptopnya.

Mendapatkan benda yang dibutuhkan, Fay langsung memasang headset dan bergabung dengan pelatihan daring sesuai rencana. Untung saja ada yang mau meminjamkan headset. Kalau tidak, rasanya tidak mungkin Fay membiarkan pelatihan daringnya terdengar seantero ruangan, pun kembali pulang hanya dengan alasan mengambil headset. Tuhan Maha Baik!

Beberapa jam pelatihan berlangsung, akhirnya mencapai akhir. Fay mulai membereskan barang-barangnya, tetapi alisnya menyatu saat melihat meja sampingnya sudah kosong.

"Mas, liat cowok pakai hoodie hijau tua yang rambutnya agak ponian, nggak? Tadi dia di lantai dua," tanya Fay pada barista yang berjaga di bawah setelah mendapati dirinya tinggal sendiri di lantai dua.

"Oh, iya, tau. Dia udah pergi, Kak. Kenapa, ya?"

"Ini, saya tadi pinjam headset-nya. Mau saya kembalikan."

"Titip sini aja, Kak. Besok pagi dia ada shift di sini."

"Lho, dia barista juga?"

"Iya."

Fay terdiam. Berpikir apakah akan melontarkan apa yang ada dipikirannya atau tidak. "Namanya?" Ia memilih untuk melontarkan. Toh, tidak salah, kan, menanyakan nama seseorang yang telah membantunya?

"Chandra, Kak."

Tiba-tiba, ide hebat terlintas di benak Fay. "Oke, besok saya ke sini lagi aja. Kalo dia nanyain, tolong bilangin nanti headset-nya saya balikin sendiri, ya. Makasih, Mas!"

Entah mengapa rasanya Fay menemukan tempat yang selama ini dicarinya. Mungkin ia tidak harus mencari-cari kafe yang nyaman untuk melarikan diri lagi.

Mungkin.

Ia masih harus memastikannya besok.

***


Chandra? Apakah ini kamu?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro