06 || Penguat Dugaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Even how I felt for you
It's not that I dislike you

***

Waktu masih menunjukkan pukul 8 lewat sedikit saat Fay tiba di Eksotic Point Coffee. Terlalu pagi untuk ukuran pelanggan datang ke kafe yang baru buka pukul 8 tepat. Hanya saja, perempuan dengan terusan abu-abu ini merasa harus segera bertemu dengan Chandra. Semalaman waktunya ia habiskan hanya untuk memikirkan lelaki itu.

Bukan. Bukan memikirkan tentang gombalan Chandra yang selalu membuat Fay berdebar-debar. Melainkan, perihal nama depan Chandra yang membingungkan.

"Pesanan seperti biasa, Kak Fay?" Kali ini barista perempuan yang menyambut Fay di konter pemesanan.

Fay menggeleng. "Caramel macchiato aja, Mbak. Hidup lagi pait. Butuh yang manis-manis."

Barista itu tersenyum mendengar kalimat Fay. "Chandra belum dateng, Kak. Udah siap adu gombal aja, nih."

Benar. Para barista di kafe itu sudah hafal kebiasaan Fay dan Chandra ketika bertemu. Tidak pernah ada obrolan serius yang mereka lakukan, selain hanya berbalas gombal—tentu saja Fay yang selalu mengalah untuk kalah.

"Nanti kalo Chandra dateng dan nggak sibuk, suruh ke atas, ya, Mbak," pinta Fay bersamaan dengan tangannya yang menerima pesanan caramel macchiato pagi itu.

Meja pojok dekat jendela selalu menjadi favorit Fay sejak pertama kali ke kafe ini. Perempuan yang senang melihat ke luar jendela itu selalu mendambakan kebebasan layaknya burung yang bisa terbang ke mana pun mereka suka. Tidak seperti dirinya yang sedang terjebak dengan dua pilihan tak terbantahkan dari sang ibu. Jika memaksakan diri untuk memberontak lagi, bisa-bisa ibunya akan mengecap ia sebagai anak durhaka dan keduanya akan jadi bulan-bulanan keluarga besar—terkhusus keluarga ayahnya.

"Lagian, dikira merintis bisnis gampang gitu? Ya, nggak langsung untunglah!" gerutu Fay mengingat ucapan kakeknya kemarin.

Namun, Fay sendiri sadar bahwa terus berada di jalur ini memang sangat sulit. Persetan dengan para pebisnis yang selalu mengatakan kalau jadi kaya itu mudah dengan tinggal duduk depan laptop dan berjualan online.

"Mudah, Mbahmu!" Rasa ingin mengumpat sudah diujung lidah, tetapi Fay menahan itu karena dirinya sedang di tempat umum. Walau ruangan sepi, rasanya tidak elok mengumpat pagi-pagi di tempat pelarian kesayangannya ini.

Selama beberapa menit, jari telunjuk Fay asyik menggulirkan tombol gulir tetikus sambil menatap situs jualan daringnya. Sesekali, ia membuka aplikasi data untuk melakukan pendataan pesanan yang masuk. Tidak banyak, tetapi tentu harus selalu ia data sebelum mengirimkan pesanan obat-obatan herbal itu. Biasanya, setelah melakukan pendataan dan mengiklankan produk di siang hari, ia akan mulai membungkus pesanan di malam hari. Atau, jika stok pribadinya telah habis, ia akan berkoordinasi dengan penanggung jawab stok dari pusat.

"Kamu cari saya?"

Suara rendah seorang lelaki, disertai ketukan pelan di meja, mengalihkan perhatian Fay. Saking asyik dengan layar, ia tidak menyadari bahwa Chandra sudah berdiri di depannya sejak beberapa menit lalu.

"Hei! Chandra!" Senyum lebar terlukis di wajah Fay. "Sini duduk. Lagi nggak sibuk, kan?"

Lelaki itu menurut dan duduk di hadapan Fay.

"Gimana wawancara kemarin? Lancar?"

Alis Chandra terangkat dan ia tidak langsung menjawab. Bola matanya bergerak cepat dan ia beberapa kali mengerjap. "Ah. Oh, iya. Lancar."

"Kapan pengumuman seleksi?"

"Langsung habis wawancara."

Sontak Fay mencondongkan tubuhnya ke lelaki dengan apron hijau muda itu. "Lulus?"

Chandra menggeleng.

"Ah ... Nggak apa-apa. Masih ada kesempatan lain," hibur Fay sambil menepuk-nepuk pundak Chandra. "Apa gara-gara itu kamu badmood?"

"Badmood? Enggak. Udah biasa."

Fay terkekeh. "Kalo badmood, bilang aja. Nggak mungkin enggak soalnya kamu lemes banget, nggak kayak biasanya. Itu rambut juga diturunin. Eh, tapi bagus, sih, liat rambutmu agak belah di depan gini."

Chandra tampak kaku dan tidak bisa mengikuti pembicaraan perempuan di depannya. Lelaki yang rambutnya terbelah di depan dahi itu hanya mengerutkan alis mendengar celoteh Fay. "Emang biasanya saya gimana ke kamu?"

"Biasanya? Hmm." Fay bergumam dengan menopangkan dagu menggunakan tangan kanan. "Nggak pernah serius, selalu ngegombal tiap ada kesempatan, dan ... Oh! Kok kamu jadi pakai 'saya', sih? Biasanya juga 'aku-kamu' sama aku? Kenapa? Ada alasan lain selain badmood?"

Tatapan Fay menyelidik ke dalam netra Chandra. Jari-jari di tangan kiri yang sempat ia gunakan untuk menghitung perbedaan Chandra hari ini dengan biasanya, kini sudah ikut menopang dagu di atas meja. Sesaat, raut wajahnya yang tersenyum berubah serius.

Apa dugaanku bener? Kayaknya nggak mungkin, deh, batinnya ketika melihat lelaki di depannya masih terdiam dan tak kunjung menjawab.

"Oh, ya!" Tiba-tiba Chandra tertawa. Namun, tawa itu terasa kosong dan dipaksakan. "Ya ampun, maaf, lho, kalo aku bikin kamu ngerasa aneh. Aku kelewat grogi ketemu bidadari yang entah turun dari mana ada di hadapanku."

"Cih." Fay membuang muka. "Muncul juga gombalan basinya. Kasian, bidadari disamain sama aku. Turun kasta nanti mereka."

"Nggak dong. Kan, kamu kasta tertinggi di hati aku."

Keduanya tertawa lepas selepas mendengar kalimat yang berhasil membuat bulu kuduk merinding. Hanya saja, Fay berhenti tertawa lebih dulu dan melirik papan nama Chandra yang terpasang di apron bagian dada sebelah kiri lelaki itu.

"Btw, kenapa namamu disingkat dan cuma diliatin 'Chandra'-nya aja?" ujar Fay mengalihkan topik.

"Oh, ini." Chandra menunjuk huruf L dan S yang ada di papan namanya. "Ceritanya panjang. Satu tentang bapakku, satu tentang ibuku."

"Boleh tau ceritanya?"

Lelaki berhidung besar itu menatap Fay dengan senyum tipis. "Lain kali. Kamu asyik diajak ngobrol. Sering-sering ke sini, ya!"

Dahi Fay berkerut. Bukannya dirinya memang selalu ke kafe ini dan bertemu dengan Chandra?

"Aku emang sering ke sini, kok." Nada bicara Fay merendah.

Tampaknya Chandra menyadari kebingungan Fay atas kalimatnya. Ia langsung melambaikan kedua tangan dan buru-buru meralat, "Iya, tau. Maksudnya ... Ah, itu basa-basi aja, kok. Biar kamu beneran sering ke kafe ini. Lumayan, nambahin pelanggan, nambahin kerjaan aku juga."

Anggukan ragu Fay berikan sebagai respons. "Kalo gitu, mau tahu kepanjangannya aja, deh. L-nya apa, S-nya apa?"

"L untuk Luthfi, S untuk Samudera. Luthfi Chandra Samudera, itu namaku."

Kali ini tentu Fay tidak salah dengar. Telinganya jelas menangkap kalimat itu dengan mantap. Luthfi Chandra, bukan Lyon Chandra. Lalu, kenapa lelaki di hadapannya ini mengenalkan diri pertama kali dengan nama Lyon?

"Luthfi, ya? Tapi—"

"Sorry, aku ke bawah dulu, ya. Masih jam kerja. Kamu ...." Chandra berdiri dan berjalan ke arah tangga, tetapi sejenak berhenti. "Kamu cantik hari ini, Bidadari."

Baik. Gombalan itu sama nyatanya seperti hari-hari sebelumnya. Akan tetapi, jika perasaan Fay tidak salah, suara Chandra sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir. Tidak seperti Chandra biasanya yang selalu mantap dengan segala gombalan basi yang tetap saja mendebarkan bagi Fay.

Namun, hari ini Fay tidak berdebar mendengar kalimat-kalimat itu.

Sesaat Fay memikirkan buku-buku dan materi kuliah yang dibacanya semalam. Kejadian hari ini semakin memperkuat dugaannya bahwa Chandra tidak sepenuhnya Chandra yang ia kenal pertama kali. Jemarinya lantas menari di atas huruf-huruf laptop, mengetikkan beberapa kata di mesin pencarian.

Ketika Fay akan tenggelam dalam bacaan di layar laptopnya, suara derap kaki terdengar menghampiri dari arah tangga.

"Fayza, apa pun pikiran kamu tentang Chandra, tolong jangan jauhi dia. Jangan juga menduga-duga dengan pikiran buruk. Chandra orang baik, begitu juga Lyon. Oke?"

Si empunya suara itu lantas berlari lari menuruni tangga, meninggalkan Fay yang terpaku di posisinya tanpa berkedip sedikit pun.

"Tapi ... itu ... Chandra. Kenapa Chandra ngomongin Chandra? Kenapa dia ngomongin diri sendiri seolah itu adalah orang lain? Aku ...." Fay ragu dengan dirinya sendiri. "Aku beneran nggak salah liat, kan?"

Rasa penasaran dan ketidakpercayaan Fay semakin dalam. Hanya satu cara untuk membuktikan dugaannya yang semakin kuat ini. Dugaan akan kondisi yang sejak dulu sama sekali tak pernah ia percayai dan dianggapnya sebagai omong kosong para ilmuwan.

Fay harus mendapatkan jawaban dari Chandra tentang siapa lelaki itu sebenarnya dan apa maksud dari semua perkataan, serta perilaku Chandra padanya selama ini.

***

Jadi, kamu itu siapa, hei? Pencuri hatiku?

---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro