07 || Konfirmasi Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I will need to change myself
without your knowing it

***

Netra Fay terus mengikuti pergerakan Chandra setiap kali lelaki itu mengantarkan pesanan ke lantai dua. Meski Chandra pun selalu melihat ke arahnya lebih dulu dan tersenyum sangat manis, perempuan dengan rambut dikucir konde ini tidak balas tersenyum. Jika Chandra menghilang dari pandangannya, ia melanjutkan aktivitasnya dengan layar laptop.

Sudah beberapa jam Fay terus berselancar di dunia maya. Membaca-baca artikel yang menguatkan, pun melemahkan dugaannya. Sejak dugaannya menguat, rasanya ia tak bisa tidur dengan tenang dan terus menggali informasi untuk mengonfirmasi dugaannya. Akan tetapi, memang hanya satu hal yang ia butuhkan agar semuanya terjawab.

Fay butuh Chandra yang berbicara dengan mulutnya sendiri.

Selama beberapa hari ini, Fay datang ke Eksotic Point Coffee tanpa meminta Chandra untuk menemuinya. Seperti CCTV, saat objek prioritas masuk ke radar penglihatannya, ia langsung memerhatikan tanpa henti. Fay sudah merencanakan beberapa skenario untuk mendapatkan konfirmasi dari Chandra dan hari ini adalah hari semuanya harus berjalan dengan benar.

"Mas, mau mozzapasta satu, ya." Fay memesan makanan tambahan di konter pemesanan lantai satu. Tentu saja dalam perjalanannya menuju konter, ia tetap waspada dengan gerak-gerik Chandra—jika lelaki itu masuk dalam radar penglihatannya.

"Pedes nggak, Kak?"

Skenario pertama, Fay harus memancing Chandra dengan hal yang biasa ia gunakan sebagai bahan gombalan.

"Enaknya pedes nggak, ya?" tanya Fay dengan suara keras saat melihat Chandra sibuk membuat pesanan kopi. Biasanya, Chandra yang ia kenal akan menimpali apa pun yang Fay ucapkan menjadi sebuah gombalan.

Nggak usah pedes. Nanti kalo kamu makin hot di mata aku gimana?

Seperti itu misalnya, walau Fay sendiri bergidik ngeri membayangkan Chandra mengucapkan gombalan semacam itu. Namun, apa yang dipikirkannya tidak terjadi.

Hening.

Chandra terlihat fokus dengan pekerjaannya meski sesekali melirik dan tersenyum pada Fay. Kondisi itu membuat perempuan berkaus abu-abu ini sedikit memiringkan kepala.

"Nggak pedes, deh, Mas."

Bukan menyerah, tetapi Fay tidak enak membuat pelanggan lain di belakangnya menunggu terlalu lama. Tidak mungkin juga ia memaksakan diri menunggu untuk mendengar gombalan absurd dari Chandra, kan?

Skenario kedua, meminta Chandra untuk menemuinya habis shift selesai. Biasanya, kondisi itu sering Chandra manfaatkan untuk melontarkan gombalan.

"Chan, kalo udah selesai shift, temenin di atas, ya!" ujar Fay dengan energik dan sedikit harapan untuk adu gombal dengan lelaki dengan apron hijau muda itu.

"Oke."

Singkat, padat, jelas. Mengapa akhir-akhir ini ia tidak mendengar gombalan basi nan menyebalkan yang penuh kebahagiaan dari seorang Chandra? Apakah ditolak menjadi pet groomer membuat emosinya seburuk ini?

Entahlah. Fay hanya mampu mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya ke lantai dua. Kalau dipikir-pikir, semua skenario yang ia buat mayoritas untuk membuat Chandra mengucapkan gombalan. Perempuan ini jadi mempertanyakan urgensi dan tujuan skenario yang dibuatnya. Apa hubungannya gombalan dengan konfirmasi yang ia ingin dapatkan dari Chandra?

"Bodo, ah!" Fay menggerutu pada dirinya sendiri. Ia sedikit membanting diri saat kembali duduk di bangkunya dan memilih untuk meletakkan kepala di atas meja dengan lengan sebagai bantalannya.

Ketika hari semakin gelap, pengunjung Eksotic Point Coffee tidak semakin sedikit. Justru sebaliknya. Namun, meski pelanggan yang datang sudah silih berganti, Fay yang tertidur pulas masih menetap di meja, menunggu kedatangan Chandra.

Fay mulai tersadar dari tidurnya saat ia merasakan geli di sekitar pelipis.

"Udah bangun?" lirih Chandra. Suaranya terdengar begitu berat. Mungkin karena lelaki ini berbisik di dekat telinga Fay.

"Kamu ngapain?" Fay bertanya balik dengan suara yang sedikit serak. Ia mengerjap dan menyipitkan matanya saat memandang jemari Chandra yang berhenti di dekat pelipisnya.

"Oh, ini." Chandra buru-buru menarik tangannya dan duduk di depan Fay. "Tadi nyingkirin rambut di depan mata kamu. Takutnya, kamu kelilipan pas bangun."

Fay menguap dan meregangkan tangannya yang pegal. "Udah mau pulang?"

"Baru selesai shift. Tadi katanya kamu minta ditemenin. Mau begadang lagi?"

Berdiam di Eksotic Point Coffee sampai larut memang Fay lakukan akhir-akhir ini. Sepertinya, kafe itu sudah menjadi rumah barunya meski tanpa kasur dan kamar mandi pribadi. Lagi pula, ibunya pun tidak mempermasalahkan dirinya yang beberapa hari ini pulang malam karena alasan 'lagi belajar keras' cukup ampuh membuat ibunya diam.

Fay tidak berbohong. Ia memang sedang belajar keras untuk memahami situasinya dengan Chandra. Selama itu pula, perempuan yang belum berhasil membesarkan bisnisnya ini justru lupa dengan bisnisnya. Pikirannya sedang penuh dengan Chandra.

"Sebenernya, aku mau pulang juga," ucap Fay sambil menutup laptopnya, "tapi, ada yang perlu aku omongin sama kamu."

"Apa?"

Jika perhitungan Fay tidak salah, ini adalah pertama kalinya suasana serius hadir di antara dirinya dengan Chandra. Hari-hari sebelumnya selalu penuh gurauan dan adu gombal. Meski ia merasa, gombalan Chandra akhir-akhir ini terkesan dipaksakan.

"Tumben kamu bisa serius dalam waktu lama? Biasanya, nggak ada celah buat nggak ngegombal."

Chandra tampak tenang di hadapan Fay. Lelaki itu tersenyum. "Kamu suka kita adu gombal, atau suka digombalin, atau gimana, Fayza?"

Jantung Fay serasa berhenti. Itu panggilan dengan vibes yang sama seperti pertama kali lelaki itu membuat jantungnya tak karuan. Mungkin lebih baik, Fay tidak berlama-lama. Ia harus menjalankan skenario ketiga.

"Namamu Luthfi Chandra, bener?"

Si pemilik nama mengangguk. Mungkin Fay tidak tahu, tetapi lelaki itu pun sedang berusaha mengontrol debaran jantungnya.

"Tapi, kenapa pertama kali kita kenalan secara resmi, kamu mengenalkan diri sebagai Lyon? L untuk Lyon."

Chandra menunduk, tetapi ia tersenyum. Dirinya sudah menduga pertanyaan ini akhirnya terucap dari lisan perempuan yang selama beberapa hari sukses membuat harinya kembali berwarna. "Sebelum aku jawab, boleh aku sampaikan pengantar?"

Fay tertawa. "Kayak kuliah aja pakai pengantar. Siapa yang perlu diantar emangnya?"

"Kamu."

"Aku? Kenapa?"

Chandra menarik napas. "Makasih, udah sedikit ngeluwesin suasana dengan pertanyaan antar-mengantar itu. Tapi, aku perlu serius sekarang."

Fay tertegun. Ia menelan salivanya dan mengerjap beberapa kali. Baru ini netranya menangkap sosok Chandra yang ... Ah, mungkin hanya perasaannya, tetapi lelaki ini penuh dengan karisma yang sulit diabaikan.

"Mungkin setelah kamu tau, kamu akan pergi, seperti orang kebanyakan. Mungkin setelah kamu tau, kamu akan bergidik ngeri dan ngejauh dari aku kayak orang kebanyakan. Tapi, aku masih berharap kamu nggak kayak gitu. Aku berharap, kamu bisa seperti rekan kerjaku di sini. Aku nggak akan berbuat hal-hal yang membahayakan kamu seperti yang mungkin pernah kamu baca di internet. Kalo boleh memuji diri sendiri, aku orang baik."

Seketika Fay teringat dengan Chandra yang membicarakan dirinya sendiri beberapa hari lalu. Kalimat yang sama, tetapi dengan hawa berbeda, kini kembali ia dengar. "Emang kenapa kamu pikir aku bakal ngejauh dan pergi?"

Chandra tersenyum. "Aku senang mengenalmu. Beberapa hari ini, rasanya jadi lebih hidup dan berwarna, walaupun aku masih ngerasa canggung. Dan untuk antisipasi supaya aku nggak nyesel, aku mau bilang kalo ...."

Fay mendelik. Menanti kalimat selanjutnya.

"Ah, gini. Iya, aku sempat liat apa yang kamu cari dan pelajari akhir-akhir ini. Jadi, sepertinya tanpa aku bilang dengan gamblang pun, kamu udah tau."

"Jadi, kamu beneran ...."

Chandra mengangguk. "Dan kayaknya kamu suka sama Lyon, deh. Bukan sama aku. Kayaknya, aku harus negosiasi sama Lyon kalo aku juga jadi suka sama kamu."

"Sebentar." Fay menggelengkan kepalanya. "Aku nggak percaya. Kupikir, nggak ada hal semacam itu di dunia ini."

"Ada, banyak. Tapi yang berhasil diketahui dan didiagnosis itu nggak banyak karena kondisi ini rumit."

"Boleh kuminta kamu bicara dengan jelas?"

Lelaki dengan rambut terbelah di depan dahi itu mencondongkan wajahnya. Dengan setengah berbisik dan menundukkan kepala, ia berkata, "Yes, I'm a system."

Kalau jantung Fay adalah kembang api, sepertinya detik itu juga sudah meledak dengan bunga-bunga api yang berwarna-warni. Ia masih tidak mampu mempercayai apa yang didengarnya barusan.

Sebuah sistem. Itu adalah sebutan bagi seorang individu yang memiliki kepribadian ganda atau alter ego. Seorang individu dengan beberapa sosok lain dalam dirinya yang tidak terpisah dari individu itu sendiri. Terkadang, kepribadian lain muncul dan menggunakan tubuh individu utama. Kepribadian lain bisa dikatakan menjadi penguasa waktu saat mereka mengambil alih karena si pemilik tubuh sedang tenggelam ke dasar diri yang lain. Para ilmuwan menyebut mereka sebagai sebuah sistem individu.

Ya.

Luthfi Chandra Semesta memiliki dissosiative identity disorder atau lebih dikenal dengan gangguan kepribadian ganda. Sebuah gangguan disosiatif yang hanya Fay temui dalam buku-buku kuliahnya dulu dan tidak pernah ia percayai, bahkan hingga detik ini.

***

Sejujurnya, aku deg-degan ngepost bab ini. Tapi, dari sinilah cerita Fay dan Chandra akan semakin berkembang. I hope.

Buat kamu yang baca, pernah tau gangguan bernama DID atau kepribadian ganda? Boleh, dong, share di komen tentang apa yang kamu ketahui tentang itu. Kali aja nanti Chandra bantu jawab pertanyaan-pertanyaanmu :)

See you next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro