10 || Curahan Hati Fay

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I am so tired
All I could do is look up into the sky

***

Lantai dua Eksotic Point Coffee terasa lebih dingin dari biasanya. Dua manusia yang tak saling memandang sedang sibuk dengan aktivitas jemarinya untuk menghilangkan kecanggungan. Meski cerahnya senja terlihat di luar jendela, hal itu tidak membuat wajah dan hati kedua manusia ini cerah seketika. Sama-sama canggung, sama-sama merasa tidak enak, tetapi harus memaksakan diri bertemu.

"Jadi ...."

"Aku ...."

Adegan klasik dalam kebanyakan sinetron dan cerita romansa terjadi nyata pada Fay dan Chandra. Sekalinya dua manusia ingin memulai obrolan memecah hening, justru keduanya bersamaan mengucap kata pertama.

"Kamu dulu aja, Fay."

"Ehm, nggak apa-apa. Kamu dulu aja."

Seperti biasa, senyum yang membuat kedua mata Chandra menjadi segaris dengan bentuk sedikit sabit menghiasi wajah lelaki itu sebelum berbicara. "Kamu yang minta ketemu. Kamu dulu aja yang mulai. Mau ngomong apa?"

Benar. Saking kalutnya dengan Chandra yang pergi begitu saja selepas pertanyaan ketidakpercayaan dari Fay, perempuan ini memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada lelaki itu. Berkali-kali ia mengetik dan menghapus kalimat-kalimatnya, mulai dari meminta maaf, menjelaskan berbagai situasi, menginginkan untuk tahu lebih jauh soal kondisi Chandra, dan berbagai alasan lainnya. Namun, setelah hampir satu jam merevisi kata-katanya, pesan singkat itu menjadi benar-benar singkat.

Chandra, ini Fay. Boleh ngobrol habis kamu shift besok? Aku janji nggak akan kayak tadi.

Lalu, di sinilah keduanya. Dengan minuman yang terus menerus diseruput oleh masing-masing karena kecanggungan yang dirasakan, akhirnya Fay memberanikan diri berbicara.

"Sebelumnya, aku minta maaf soal kemarin," lirih Fay sambil menunduk. "Mungkin, aku terlalu nggak sopan tanya-tanya soal kondisimu padahal kita baru kenal. Aku cuma ... Gimana, ya, jelasinnya. Maaf, tapi, aku termasuk orang yang nggak percaya sama gangguan yang kamu alami walaupun aku pernah kuliah di Psikologi."

Alis Chandra terangkat mendekar kalimat terakhir Fay. "Kamu lulusan Psikologi?"

Perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu mengangguk. "Aneh, kan? Orang lulusan Psikologi, tapi nggak bisa empatik sama gangguan seaneh DID."

"Kamu bilang aku aneh?"

Sial, umpat Fay dalam hati. "Oh, bukan itu maksudnya. Bukan kamu, tapi gangguannya."

"Kenapa?"

Fay mengerjap beberapa kali sebelum menjawab. Ia memutar bola matanya karena memikirkan berbagai skenario jawaban yang mendadak hilang. Padahal, semalam ia sudah merencanakan banyak kemungkinan jawaban. "Aduh, pokoknya aku minta maaf. Aku cuma penasaran, tapi kamu tiba-tiba marah kayak kemarin. Aku jadi ngerasa bersalah banget."

"Aku marah?"

Kini, Fay menatap Chandra. Ia mencoba mengidentifikasi penampilan lelaki itu sore ini. Rambut diturunkan, parfum tidak menyengat, dan sejauh ini belum ada gombalan basi. "Oh, kamu Chandra ternyata," ucapnya sambil menghela napas panjang.

Chandra terkekeh. "Kamu tau? Kemarin aku bingung tiba-tiba ada di taman kota, magrib-magrib, padahal sebelumnya aku masih sarapan. Energiku serasa terkuras. Pas aku pulang dan ngelewatin kafe, aku liat kamu marah-marah sendiri di pinggir jalan sebelum naik ojek yang dateng. Kenapa? Lyon marahin kamu?"

Mata Fay berkaca-kaca. Jarang sekali ada yang menanyakan kondisi dirinya, bahkan ibunya sendiri. Sejak ayahnya meninggal, yang selalu ditanyakan ibunya hanyalah persetujuan dirinya atas keputusan sang ibu. Ibunya tidak pernah menanyakan alasannya, kecuali Fay sendiri yang menjelaskan tanpa diminta.

Namun kini, di depannya, seorang lelaki yang belum lama ia kenal begitu peduli dengan perasaannya. Rasanya, Fay ingin menangis.

"Lho, itu air mata?" Chandra kaget melihat Fay yang tiba-tiba menunduk dan meneteskan bulir bening dari matanya.

"Maaf. Aku emang nggak bakat di Psikologi. Aku nggak peka dan nggak percaya dengan berbagai teori gangguannya. Tapi, kenapa ... kenapa ...."

Chandra berdiri dan turun ke lantai satu. Bersamaan dengan itu, isakan Fay mulai mengguncang bahunya, meski tanpa suara. Saat lelaki itu kembali, ia menyodorkan sesuatu. "Barang kali kamu butuh."

Beberapa helai tisu Fay terima dari Chandra.

"Sepertinya, yang sekarang butuh cerita itu kamu. Bukan aku," ujar Chandra saat Fay mulai sedikit lebih tenang.

"Emang boleh?"

"Why not?" Lelaki berjaket jeans itu mengedikkan bahu. "Itu pun kalo kamu percaya sama aku."

***

5 tahun yang lalu...

Rencana merayakan keberhasilan Fay lulus seleksi masuk jurusan Kedokteran tak disangka berujung maut yang tragis. Dalam perjalanan ke Bukit Gotun yang terkenal dengan lima gundukan berumputnya, keluarga Fay, yang saat itu mengendarai mobil, harus melewati jalan berkelok-kelok. Jalan yang hanya bisa dilewati oleh dua mobil berlawanan arah itu cukup kecil dan perlu kehati-hatian ekstra dalam proses melewatinya.

"Fay, masih mual?" tanya ayahnya yang melirik dari spion dalam.

Fay yang mabuk darat mengangguk pelan.

"Tidur aja, Nak. Masih jauh, nih, kita sampai ke tempatnya," timpal ibunya.

"Enggak. Aku mau liat jalan aja. Nemenin Papa nyetir. Mama aja yang tidur. Capek, kan, semalem nyiapin bekal buat hari ini."

Ibunya berbalik menghadap kursi belakang dan mengelus kepala putri semata wayangnya. "Iya, habis kelokannya selesai, Mama tidur."

Namun, ketika ketiganya sedang asyik mengobrol, tiba-tiba suara benturan keras memenuhi telinga Fay dan menghilangkan kesadarannya. Saat Fay membuka mata, ia sudah berada di IGD sebuah rumah sakit.

Seperti keajaiban, tidak ada cedera berarti dalam tubuh Fay. Ia bisa bangkit, meski sedikit merasa sakit di kaki dan tangan, dan mencari orang tuanya dalam ruangan itu.

Fay mendengar keramaian dari sisi kanan ruangan. Namun, saat ia menghampiri keramaian itu, ternyata para tenaga medis sedang melakukan CPR, berjuang menyelamatkan seseorang yang henti jantung.

Ayahnya. Orang itu adalah ayah Fay.

Lalu, semua terjadi dengan begitu cepat. Fay mendapati ibunya harus mengenakan kruk selama beberapa bulan karena patah kaki dan keduanya berada di pemakaman sang ayah. Satu hal yang Fay sesali saat itu adalah, mengapa hanya dirinya yang baik-baik saja?

Kejadian tragis itu terjadi tepat sebulan sebelum Fay masuk kuliah. Dengan terus berusaha melupakan kejadian itu dan keinginan untuk mewujudkan cita-cita menjadi dokter bedah seperti ayahnya, perempuan berusia 19 tahun ini menguatkan diri untuk melanjutkan kuliah di jurusan Kedokteran.

Namun, tubuh Fay tidak bisa berbohong. Belajar teori, menonton video, dan diskusi hal-hal berbau kedokteran masih bisa ia terima. Hanya saja, ketika diharuskan berhadapan dengan kadaver dalam proses belajar blok anatomi dan neurologi, juga saat kuliah pengelolaan bencana yang mengharuskannya melakukan CPR serta pertolongan pertama lainnya, ia pingsan.

Bayang-bayang wajah sang ayah yang sekarat saat di IGD terus hadir dalam benak Fay. Mungkin, respons mual dan pusing itu biasa bagi mereka yang pertama kali melihat mayat yang diawetkan. Namun, tubuh yang gemetar dengan hebat, keringat dingin yang membasahi tubuh, dan jantung yang serasa mau meledak, tak bisa ditoleransi oleh tubuhnya.

"Secara akademis, Fayza termasuk mahasiswa yang mampu belajar dengan cepat," ujar dosen pembimbing akademik Fay pada ibunya, "tetapi sepertinya Fay tidak bisa bertahan dengan praktikum-praktikum yang melibatkan manusia. Dia selalu pingsan dan mengulur waktu pembelajaran."

Fay hanya tertunduk lesu di samping ibunya. Selepas ujian semester selesai, ibunya dipanggil karena akademik mendapatkan beberapa keluhan dari para dosen.

"Saya rasa, ada kondisi psikis yang memengaruhi Fayza jadi seperti ini. Dan dalam waktu dekat, saya tidak yakin Fayza bisa melanjutkan kuliah di Kedokteran."

***

Chandra memerhatikan Fay yang bercerita panjang lebar dengan serius. Sesekali keningnya berkerut, tetapi ia tak banyak bertanya selama perempuan itu bercerita.

"Habis itu, Mama nyuruh aku pindah jurusan. Seperti yang kamu tau, ke Psikologi," ujar Fay dengan sisa-sisa energinya. "Padahal, aku bisa, kok, terapi dulu biar nggak trauma lagi. Aku juga bisa maksain diri buat belajar. Tapi, kenapa Mama nggak percaya sama aku? Aku kesel, Chan!"

"Mamamu cuma khawatir sama kamu, Fay."

"Ya, tapi harusnya nggak sampai ngancem-ngancem pakai nama Papa dong!"

Chandra menopang dagunya dengan tangan kiri. "Emang gimana ngancemnya?"

"Bilang kalo di psikologi juga bisa kerja di rumah sakitlah, kalo Papa juga seneng aku kuliah dengan tenanglah, kalo Papa nggak suka liat aku menderita dan maksain dirilah. Gitu, deh, pokoknya."

"Tapi akhirnya kamu ambil juga, kan, saran Mamamu?"

Fay mendengkus kasar. "Aku capek berdebat. Jadi, ya udah."

Lelakiyang mengenakan topi itu tersenyum hangat. Ia mengusap pelan puncak kepala Fay. "Wah, hampir kita jadi teman sejawat sesama dokter, ya."

Fay tertegun.

"Kalo kamu sepinter itu, bukannya kamu juga bisa melakukan hal-hal hebat di bidang yang sekarang bisa kamu tekuni?" lanjut Chandra.

"Apa? Jualan obat-obatan herbal?"

Tawa ringan keluar dari mulut Chandra. "Bukan. Di bidang psikologi dong."

"Kenapa kamu mikir gitu? Jadi, aku harus ngelepas mimpiku di jalan kedokteran gitu?"

"Banyak orang yang butuh psikolog-psikolog hebat. Di Indonesia, kebutuhan itu belum terpenuhi. Kamu bisa jadi salah satu psikolog hebat yang membantu orang-orang itu untuk kembali hidup normal."

Fay masih tidak mengerti. "Orang-orang itu?"

"Iya. Orang seperti aku misalnya."

Tampaknya, senja kali ini akan menjadi senja terpanjang dalam hidup Fay. Tidak pernah sebelumnya ia begitu nyaman mendiskusikan perihal masa depan dengan orang lain. Dengan ibunya tentu jangan ditanya. Bisa-bisa adu argumen tidak berhenti meski hari sudah berganti.

Namun bersama Chandra, semua terasa lebih hangat, lebih nyaman, meski kini Fay ingin mengganti topik dulu. "Gantian."

"Apa?" Lagi-lagi Chandra mengerutkan keningnya.

"Ayo, kamu juga cerita."

Kemudian, malam pun menyambut cerita dari seorang Luthfi Chandra Semesta.

***

Ceritanya lagi serius dengerin Fay dan bersiap buat curhat juga. Tunggu bab selanjutnya, ya!

---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro