11 || Tentang Chandra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I told myself I must keep my heart cold towards life

***

Tidak banyak yang bisa Chandra ceritakan—setidaknya untuk saat ini—pada Fay. Ia masih belum benar-benar bisa terbuka tentang diri dan masa lalunya seperti yang dilakukan Fay. Ingatan tentang cara orang-orang memandangnya setelah ia menceritakan rasa sakit yang terpendam membuat lelaki yang beberapa kali membetulkan posisi topinya ini ragu.

"Kamu masih belum percaya sama aku, ya?" tanya Fay saat melihat Chandra hanya berkata bahwa tak banyak yang bisa ia ceritakan.

"Bukan. Aku nggak tau harus cerita apa."

"Boleh aku tanya kalo gitu? Biar kamu nggak bingung."

Lelaki berhidung besar itu mengangguk, masih ragu.

Fay mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Ia pun menyeruput kopi yang tinggal tetesan terakhir sebelum akhirnya bertanya, "Kenapa kamu mau kerja jadi groomer di klinik hewan padahal udah jadi part-timer di kafe?"

Benar. Fay berusaha menghindari pertanyaan yang menyangkut gangguan Chandra. Ia tidak mau lelaki itu tersinggung lagi—walau sebelumnya yang tersinggung adalah Lyon, kepribadian lainnya—dan meninggalkannya sendiri penuh pertanyaan tak terjawab.

"Oh, sebenernya dulu aku dokter hewan."

Fay membelalak. "Oh, ya? Jadi, kamu beneran dokter juga?"

"Iya. Makanya aku sempet bilang kalo kita hampir jadi teman sejawat walau beda fokusan. Tapi, nggak apa-apa. Kita jadi sesama mantan dokter."

"Aku belum pernah jadi dokter, hei! Jangan gitu dong!"

Chandra tertawa. "Bener juga."

"Tapi, kok, mantan, sih? Eh, sebentar. Aku nggak ngerti. Jelasin!" Fay sedikit merajuk dengan suara manja dan kedua tangan yang dilipat di depan dada.

"Ehm, gimana jelasinnya, ya? Intinya, pernah ada kejadian yang bikin aku nggak mau praktik lagi."

"Apa?"

Lelaki di hadapan Fay ini memainkan jarinya di atas meja. Tampaknya, sulit untuk mengingat kejadian itu lagi. Ia menggigit bibir dan sesekali menatap Fay dengan tatapan memohon agar bisa tidak menjawab pertanyaan itu.

"Yah, kalo gini, aku nggak bisa dapet cerita tentang kamu, sih."

"Maaf," lirih Chandra.

Fay menggeleng sedikit kecewa. "Nggak apa-apa. Nggak baik juga kalo aku maksa kamu. Ya udah. Udah makin malem. Pulang aja, yuk!"

Chandra sedikit canggung melihat Fay mengakhiri pertemuan mereka begitu saya. Di satu sisi, ia senang perempuan itu bertanya tentang dirinya. Tak banyak orang yang benar-benar ingin tahu tentangnya. Ya, walaupun ia belum bisa memastikan apakah Fay seperti itu karena benar-benar peduli atau hanya ingin tahu lalu pergi?

"Mau kuantar?" tanya Chandra pada akhirnya. Ia tidak ingin keduanya mengakhiri hari dengan rasa canggung yang semakin menebal.

Namun, Fay menggeleng lagi. "Aku naik ojek online aja. Kamu pasti capek, kan, habis kerja dan dengerin ceritaku yang menyedihkan?" ujarnya diikuti tawa hampa.

Sungguh, Chandra benci situasi ini. Hanya, ia pun belum bisa memaksakan diri untuk lebih terbuka dengan Fay. Keyakinannya belum sebesar itu. Ia takut ditinggalkan untuk yang ke sekian kalinya.

Apa boleh buat?

Keduanya pun berpisah tujuan di depan Eksotic Point Coffee. Meski saling melambai dan berujar, "Sampai jumpa besok!" tak ada raut bahagia akan perjumpaan esok hari yang terpancar dari wajah keduanya.

***

Rencana Fay untuk mengetahui latar belakang Chandra masih belum terwujud. Namun, beberapa hari ini ia malas datang ke Eksotic Point Coffee. Selain karena permintaan ibunya agar ia magang jadi asisten psikolog sudah disetujui dan membuatnya harus bekerja sejak pagi, perempuan yang masih telentang di kasur ini tidak tahu lagi harus bicara apa ke Chandra.

Ah, lelaki itu semakin hari semakin mengisi pikirannya. Rasa penasaran Fay tidak akan bisa hilang dengan mudah kecuali semua hal terjawab dengan jelas. Namun, semesta sepertinya ikut melarangnya untuk mengetahui jawaban dari segala tanya. Sama seperti beberapa hari lalu, pagi ini ia pun harus ke rumah sakit dan mendampingi Psikolog Reta sampai pukul 16.00.

Setengah hati Fay bahagia karena setiap hari ia bisa mencium bau rumah sakit, tempat bekerja idamannya sebagai dokter. Akan tetapi, setengah hati yang lain ingin mengakhiri pekerjaan ini. Ia selalu mengumpat dalam hati setiap kali mendengar keluhan-keluhan klien yang menurutnya tidak seberapa besar.

Cuma putus pacar, stres. Cuma dicuekin, mogok makan. Kalo gitu aja lemah, gimana kamu bisa survive di dunia yang kejam ini? Dasar lemah!

Kurang lebih seperti itu umpatan Fay meski wajahnya tersenyum dan dengan rajin membantu Psikolog Reta melakukan pencatatan data. Meski sebenarnya secara teori, Fay memahami bahwa setiap orang memiliki resiliensi yang berbeda. Hanya saja, perempuan ini masih sering membandingkan penderitaannya dengan orang lain dan merasa tidak ada yang lebih berat dari apa yang ia alami hingga harus melepas cita-citanya sebagai dokter bedah.

"Fay, kita istirahat dulu, ya. Udah jam makan siang," ujar Psikolog Reta usai klien keluar dari ruangan.

Perempuan dengan baju batik dan rok hitam itu mengangguk, lalu bergegas menuju kantin rumah sakit. Ia membeli gado-gado dan segelas kopi dingin, kemudian beranjak ke meja di luar gedung.

"Kan, ternyata bidadarinya nyasar ke rumah sakit."

Baru saja Fay mau menyuap suapan pertama gado-gado yang terlihat menggiurkan itu, suara berat seorang lelaki mengacaukan konsentrasinya. "Chandra? Kok di sini?"

Lelaki itu duduk di samping Fay. "Kerja seharian, mikirin aku seharian juga nggak?"

Oh, tidak. Ini bukan Chandra. Tanpa sadar Fay tersenyum manis. "Oh, jadi kamu bisa terbang ke sini gara-gara sinyal dari otakku yang mikirin kamu?"

"Bukan. Emang hatiku selalu punya peta buat nemuin bidadari yang hilang dari kahyangan."

"Dibilangin, kasian bidadarinya nanti turun kasta kalo disamain sama aku."

"Udah kubilang, kan, kalo kamu kasta tertinggi di hati aku?"

Fay tertawa. "Jadi, kok bisa ke sini?"

"Kamu lupa apa aja yang udah kamu berikan ke aku?"

Kalimat itu sukses membuat Fay tersedak. "Hah? Apaan, sih?"

Lelaki itu mengeluarkan sebuah buku kecil. "Nih, di sini tertulis kalau kamu pernah memberikan seluruh ceritamu padaku. Apa itu bukan berarti kamu menyerahkan seluruh hatimu padaku?"

Baik. Fay kalah. Ia refleks memukul lelaki di sampingnya itu.

"Lanjutin makannya. Nanti kalo udah selesai, aku tunggu di depan rumah sakit, ya!"

Belum sempat Fay bertanya lagi, lelaki itu sudah berlari pergi dan menghilang dari pandangannya. Dengan pikiran yang mulai menyusun beragam skenario alasan Chandra—yang sepertinya sedang dikuasai Lyon—datang menemuinya di rumah sakit, perempuan kelaparan ini segera menghabiskan makanan dan kembali bekerja agar waktu pulang segera tiba.

Usai menyelesaikan tugas, Fay langsung pamit dan berlari ke luar rumah sakit. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari lelaki dengan sweter oranye muda, sepatu sneakers, dan tentunya rambut klimis yang ditata ke atas hingga memperlihatkan dahi lebarnya.

"Ly ... Ehm, Chandra!" Untung Fay segera meralat panggilannya karena lelaki itu sudah mengerutkan dahi mendengar suku pertama nama yang hampir terucap. Bahaya jika ia kembali ditinggalkan tanpa tahu alasan kunjungan mendadak itu.

"Kalo lagi berdua, kamu boleh panggil aku Lyon. Itu pun kalo kamu sadar. Tapi, kami lebih suka dipanggil Chandra. Kecuali, kamu masih ngeliat kami sebagai individu yang terpisah-pisah."

Fay menelan salivanya dengan berat saat mendengar kalimat itu. "Maaf."

"Aku maafin kalo kamu mau nerima aku jadi pacar kamu."

Pukulan keras Fay layangkan ke punggung lelaki itu.

"Duh, bidadari tenaganya kuat banget, ya."

"Udahan dulu gom—"

"Sekuat takdir yang mengikat kita di dunia ini," lanjut Lyon tanpa memedulikan ucapan Fay. Ia tertawa melihat perempuan di sampingnya itu bergidik geli.

"Terserah kamu, deh." Fay sudah lelah mengajak lelaki ini ke dalam percakapan serius. Ia pun melipat tangannya di dada setelah mengikat rambutnya.

Lyon berjalan ke depan Fay dan berdiri menghadap perempuan itu. "Aku mau cerita tentang Chandra. Kamu mau dengerin?"

Langkah Fay terhenti. Netranya menyelidik ke dalam mata lelaki beriris cokelat kehijauan itu.

Lyon menggandeng tangan Fay. "Panjang ceritanya. Chandra nggak bisa cerita karena itu terlalu menyakitkan buat diinget."

Gandengan tangan itu membuat jantung Fay hampir meledak. "Tapi, kamu ... Kok, kamu tau?" ujarnya terbata-bata.

"Karena kami hadir buat bantuin Chandra menghadapi luka-luka itu. Tentu, tanpa disadari sama dia. Cuma, kalo kamu nggak percaya dengan keberadaan kami, ya, sulit." Lyon berhenti lalu menatap Fay. "Walau gitu, kamu tetap manis dan jadi kasta tertinggi di hatiku."

Fay ingin melepas genggaman Lyon dan memukul lelaki itu lagi, tetapi langsung ditahan oleh Lyon.

"Ada kesalahanku juga di sana. Di salah satu luka Chandra," lanjut Lyon. "Dia itu dokter hewan yang keren, tapi hatinya terlalu lembut. Atau lemah? Entahlah. Singkatnya, pas dia lagi ada operasi darurat anjing yang kecelakaan, tiba-tiba aku muncul dan ambil alih tubuh sama waktunya. Otomatis, aku harus lanjutin operasi dia dong? Tapi aku bukan dokter hewan ...."

Baru kali ini Fay mendengar suara Lyon yang ceria mendadak sendu.

"Aku nggak tau apa yang kulakukan, tapi anjing itu jadi cacat. Aku baca ini di buku diari Chandra." Lyon menunjukkan buku catatan yang tadi sempat ia tunjukkan juga pada Fay. "Katanya, seharusnya anjing itu bisa pulih dan jalan dengan normal kalo aku nggak melakukan kesalahan."

Lyon mengembuskan napas berat sebelum melanjutkan, "Wajar, sih, kalo dia nggak terpikir kami akan bertukar saat sedang mengoperasi hewan. Walau aku juga ikut belajar pas dia kuliah karena kalo dia stres kami suka tiba-tiba bertukar posisi, aku bisa menangani kasus-kasus sederhana. Tapi, aku paling nggak bisa lihat darah. Sejak itu, Chandra takut kejadian yang sama terulang. Setelah berkonsultasi dengan senior-seniornya dan mendapat sanksi karena kondisi tak terduga itu, dia memilih berhenti jadi dokter hewan meski baru setahun profesinya itu berjalan."

Ada gelenyar aneh dalam dada Fay. Ia bisa merasakan rasa sakit yang sama seperti saat ia dipaksa melepaskan cita-citanya untuk lanjut berkuliah di jurusan Kedokteran. Perlahan, perempuan berbibir tipis ini melepas gandengan tangan Lyon dan menepuk pelan bahu lelaki di sampingnya itu. "Pasti berat banget, ya, buat kalian."

"Yah, itu baru satu cerita. Masih ada yang mau aku ceritain lagi tentang Chandra."

"Kenapa kamu mau ceritain hal itu ke aku?"

"Karena aku suka sama kamu?"

"Ih, serius!"

Lyon tertawa. Perubahan emosinya memang secepat itu. "Kenapa, ya? Mungkin karena ...."

Kalimat Lyon terhenti. Matanya menatap sesuatu di kejauhan yang membuat keningnya berkerut. Tak lama, ia menarik tangan Fay sambil berbisik, "Ayo lari!"

Fay tidak mengerti apa yang dilihat Lyon. Ia berusaha melihat ke belakang dan memastikan apa yang dilihatnya, tetapi lelaki yang menariknya itu meminta agar ia tidak menengok ke belakang.

Maka, Fay hanya bisa ikut berlari tanpa mengetahui sebab yang membuat telapak tangan lelaki ceria ini mendadak berkeringat, terasa dingin, dan ada kepanikan tergambar jelas dalam raut wajahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro