13 || 5 in 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

It is opened for us and you are here by my side

***

Fay menunggu di depan pintu hingga Chandra terlihat lebih tenang. Awalnya, ia ingin menerobos masuk ke kamar lelaki itu, tetapi rasanya tak pantas. Siapa dia? Meski Om Asep sudah memberi pengantar tentang kondisi Chandra dan masa lalunya, hal itu tidak lantas membuatnya pantas untuk berbuat sesuka hati pada lelaki yang sedang rapuh itu.

Sambil menimbang-nimbang saat yang tepat, perempuan berbaju batik ini mencoba mengetuk pintu. Memastikan agar Chandra mengetahui keberadaannya.

Mendengar suara ketukan, isakan Chandra perlahan berhenti. Fay bisa melihat gerakan tangan lelaki di dalam kamar itu yang mengusap wajah dan bangkit perlahan.

"Kamu di sini?" ujar Chandra dengan suara bergetar.

Fay melangkah masuk. "Boleh ikut duduk di sebelahmu?"

"Ah, maaf. Kamarku berantakan."

Netra Fay berusaha mengobservasi perilaku lelaki di depannya dan ia bisa memastikan bahwa Chandralah yang ada di hadapannya. Bukan Ksatria, apalagi Lyon.

"Gimana perasaanmu sekarang?" Fay tidak tahu harus memulai percakapan dari mana selain menanyakan hal itu. Rasanya, ia ingin langsung mewawancara Chandra dengan beribu tanya yang sudah terpendam lama. Namun, mata dan hidung Chandra yang masih memerah, pipi yang masih terlihat bekas air mata, dan senyum yang dipaksakan itu membuat Fay mengurungkan niatnya.

"Kalo boleh jujur, sama sekali nggak baik," jawab Chandra dengan tawa kecil.

"Kenapa?"

"Kamu nggak takut sama aku?"

Fay mengerutkan dahi mendengar pertanyaan itu. "Kenapa harus takut?"

"Biasanya, mereka yang udah ketemu dengan alter yang lain, semakin menjauh dan pergi. Mungkin, kamu emang baru ketemu Lyon dan Ksatria—aku baca dari catatan Ksatria di sini." Ia melirik ke buku catatan yang tergeletak dekat tembok. "Entah kalo sama yang lain."

"Emang masih ada lagi?"

Chandra mengangguk. "Kamu mau tahu ada berapa lagi?"

"Kalo boleh, tentu."

Chandra menekuk kedua kakinya di depan dada dan meletakkan lengan kiri di atasnya. Ia mengangkat tangan kanan dan mulai menghitung dengan jari, dimulai dari jari kelingking. "Aku, Lyon, Ksatria, Bunda May, Axel. Sejauh ini yang pernah diketahui baru mereka."

"Nggak akan nambah, kan?"

Chandra tersenyum. "Kupikir kamu yang lebih tau soal itu. Kira-kira, bakal nambah nggak?" Kini, Chandra meletakkan kepalanya di atas kedua lengan yang ditumpu kaki dan menoleh ke arah Fay. Menatap perempuan itu dalam.

Tentu saja Fay bingung menjawab pertanyaan Chandra. Mana mungkin dirinya tahu? Gangguan yang dialami Chandra saja bukan sebuah gangguan yang ia percayai, bahkan meski saat ini keraguannya mulai berkurang setelah melihat apa yang terjadi pada Chandra.

"Kok bengong?"

"Aku nggak tau." Fay mendengkus kasar. "Kamu tau, kan, kalo aku masih nggak percaya dengan DID dan aku nggak seminat itu dengan Psikologi."

"Walaupun udah ketemu dan liat apa yang kualami?"

Fay merasa tertampar. "Kalo gitu, buat aku percaya. Semua masih kerasa ...." hampir ia sebutkan kata 'aneh' sebelum akhirnya meralat dengan, "Mustahil."

Lelaki yang matanya mulai kembali normal ini mengangkat kepala. "Aku nggak bisa maksa kamu buat percaya. Tapi, otak manusia emang unik. Saat seorang anak kecil seharusnya bisa tumbuh dengan satu identitas yang normal, stres dan trauma yang mengharuskannya nyari jalan keluar sendiri justru bikin dia terpecah dari beberapa identitas."

Tak perlu ditanya siapa yang Chandra bahas melalui kalimat-kalimat itu, Fay paham. Kalaupun bukan diri Chandra sendiri, tentu orang dengan DID secara umum dan Fay pernah baca tentang itu.

"Tapi aku ngerasa beruntung. Karena Lyon yang mengharapkan kebahagiaanku, aku jadi bisa bergantung sama dia pas lagi sedih. Ksatria, jangan ditanya. Kamu pasti bisa liat seberapa gagahnya dia jadi bodyguard walau aku cuma tahu tentang kegagahannya dari Om Asep dan psikiaterku."

"Aku kayaknya belum pernah ketemu sama ... Siapa tadi namanya? Alex?"

"Axel." Chandra meralat dengan senyum lebar di wajahnya, seolah tak terlihat bahwa ia habis menangis tersedu-sedu beberapa saat lalu.

"Ah, Axel. Dan ... Bunda ... Bunda May."

"Bunda May."

Fay dan Chandra menyebut nama itu bersamaan, lalu keduanya tertawa.

"Ceritain tentang mereka," pinta Fay.

"Axel itu anak kecil. Kata Om Asep, Axel pernah keluar pas ulang tahunku. Dia ngajak Om Asep main seharian dan nggak habis-habis tenaganya." Chandra terkekeh.

"Aku ngebayangin kamu jadi anak kecil pas Axel keluar. Pasti lucu."

Chandra mengangkat kedua alisnya, lalu melanjutkan, "Bunda May katanya sosok yang bijak. Dia kayak sosok ibu yang sayang sama anaknya—aku atau Axel, ntahlah. Kata Om Asep, Bunda May pinter masak dan selalu bilang kalau aku dan Lyon adalah orang baik yang nggak perlu ditakuti."

"Sebentar. Kayaknya aku pernah ketemu Bunda May."

Chandra memutar tubuhnya menghadap Fay. "Oh, ya? Kapan?"

Perempuan yang rambutnya dikucir kuda ingin melihat ke atas. Mengingat-ingat situasi yang familier dengan deskripsi Chandra tentang Bunda May. "Oh! Habis kita kenalan secara resmi. Pas aku tau kalo namamu itu Luthfi Chandra."

Wajah Chandra tampak kebingungan. "Oh, sorry. Seingetku habis itu aku turun buat kerja lagi."

"Iya, tapi, kamu balik lagi dan di situlah aku bingung kenapa seorang Chandra nyuruh aku jangan ngejauhin Chandra dan Lyon yang dibilang sebagai orang baik."

Memori itu masih belum hadir di benak Chandra dan Fay tampak memahami kondisi tersebut.

"Sejak kapan kamu tau kalo kamu punya DID?" Akhirnya, Fay memilih untuk mengganti topik. "Ah, itu juga kalo aku boleh tau."

"Kamu tipe yang penasaran banget, ya?" Chandra mengelus puncak kepala Fay tanpa ia ketahui bahwa gestur itu berhasil membuat perempuan di depannya ingin melonjak karena debar jantung yang tak keruan. "Kata Om Asep, beliau mulai ngerasa aneh saat aku nggak bisa inget hal-hal yang, katanya, aku lakukan sebelumnya."

"Kayak yang barusan kuceritain? Bunda May?"

"Ya, semacam itu. Aku merasa nggak ada memori soal itu. Kamu tau, kan, tentang disossiative amnesia?"

Fay mengangguk. Kali ini ia tidak ragu karena dirinya tahu dengan jelas salah satu ciri orang dengan DID yang disebutkan Chandra itu. Amnesia disosiatif, kondisi saat pemilik tubuh sama sekali tidak ingat dengan apa yang dilakukan oleh kepribadian lain yang menguasai tubuhnya. Terkadang, pemilik tubuh hanya bisa ingat kondisi sebelum mereka berganti kepribadian dan bisa saja mendapati dirinya berada di tempat yang tidak seharusnya, atau pesan makanan yang tidak disukai, atau hal-hal semacam itu.

"Sejak merasa ada yang aneh, Om Asep mulai bawa aku ke psikiater. Banyak tes dan observasi lanjutan yang dilakukan psikiaterku. Aku lupa berapa lama sampai akhirnya diagnosis DID itu dikasih ke aku."

"Gimana rasanya pas kamu balik lagi setelah kemunculan mereka?"

"Capek. Energiku kayak terkuras gitu." Chandra menatap Fay dengan sedikit menyelidik. "Jadi, ceritanya kamu mau wawancara aku sampai berapa pertanyaan?"

"Hm, terakhir, deh. Aku penasaran banget sama ini." Fay menarik napas panjang. "Apa kamu nggak mau jadi satu Chandra aja?"

Pertanyaan itu membuat Chandra berpaling dan berdiri. Ia berjalan menuju jendela dan menatap ke luar selama beberapa saat dalam diam.

"Aku baca katanya kamu bisa jadi normal lagi kalo nyatuin semua kepribadianmu, semua altermu dan jadi satu-satunya Chandra. Hm?" Fay ikut berdiri dan berjalan ke samping lelaki itu.

"Iya, aku tau." Suara Chandra melemah. "Tapi, aku masih nggak mau kehilangan mereka. Aku takut. Penyatuan nggak semudah itu. Kamu tau, kan, efek samping dari penyatuan itu?"

Oh, tidak. Tampaknya, Fay belum baca perihal efek samping yang dimaksud Chandra. Terakhir yang ia baca hanyalah penyatuan bisa membuat kehidupan seorang dengan DID menjadi normal kembali dan memiliki kuasa penuh atas tubuh, waktu, dan memorinya.

"Aku nggak siap mengingat dan menerima apa yang pernah terjadi dulu," lanjut Chandra.

"Maksudnya?"

Chandra hanya tersenyum tanpa jawaban. "Kamu nggak pulang? Mau kuantar?" Lelaki itu berjalan ke arah pintu.

"Kenapa tadi kamu nangis?" Fay tidak menunjukkan ketertarikan untuk pulang. Ia masih ingin menggali lebih banyak cerita tentang Chandra.

"Nggak apa-apa, cuma keinget sesuatu."

"Apa yang kamu pikirin? Kejadian di koran itu?"

Chandra mematung di tempatnya. Ada rasa sakit yang kembali menyelinap di dalam hati dan membuat dadanya sesak. Tampaknya, ia akan menangis lagi. "Maaf, boleh kamu pulang? Tadi kamu udah bilang pertanyaan terakhir."

Fay terkejut saat Chandra menarik lengannya dan menyeret pelan keluar pintu. "Chandra, kenapa?" Ia tak sadar suaranya sedikit meninggi. "Apa kamu setakut itu sama orang tuamu makanya pas Lyon liat orang yang mirip ayahmu dia langsung panik banget?"

"Jangan sebut orang itu di depanku!" Teriakan Chandra menggema di dalam rumah.

Om Asep yang mendengar teriakan itu terlihat lari terburu-buru menuju kamar Chandra. Namun, langkahnya terhenti saat melihat keponakannya terduduk di lantai dan menangis hebat. Pria ini urung mendekat saat ia menyadari seorang perempuan berbaju batik ikut duduk di depan Chandra dan menarik lelaki itu perlahan dalam pelukannya.

"Maafin aku, Chan. Maaf, aku nggak tau. Maafin aku," lirih Fay menyesali pertanyaannya yang kelewat batas. Sungguh, ia hanya ingin tahu, tetapi mungkin rasa ingin tahunya sudah berlebihan.

Chandra kembali menangis. Namun kini, ia tak sendiri. Fay, perempuan yang berbeda dari kebanyakan orang, hadir di hadapannya dan tak tampak akan menjauh. Meski lukanya tergores lagi tersebab pertanyaan perempuan itu, ia tidak bisa menolak Fay yang bersedia menemaninya.

Selama beberapa saat, Chandra membenamkan kepalanya di bahu Fay dan merasakan kehangatan dari tangan perempuan itu yang mengelus punggungnya perlahan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro