14 || Skenario Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Actually, I thought of it this morning
I love my dream, I said this to you

***

Fay terbangun dengan hati yang berat. Tubuhnya terasa menempel di kasur dan ia sangat tidak bersemangat untuk berangkat ke rumah sakit. Setengah hatinya masih berada di hari kemarin, hari saat ia melihat sisi terlemah seorang Luthfi Chandra Semesta yang menangis di pelukannya. Jika mengingat kejadian itu, rasanya pipi Fay memanas.

Bagaimana bisa tangannya menarik seorang lelaki yang menangis ke dalam pelukannya?

Seumur hidup, itu adalah yang pertama bagi Fay karena selama ini, ketika ia menyukai seseorang, perasaannya itu selalu bertepuk sebelah tangan. Kalau hampir semua teman-teman di sekolah, bahkan di kampusnya, sudah berpengalaman dalam pacaran, dirinya sama sekali tidak pernah merasakan gejolak muda itu. Hanya sibuk belajar demi segera mengakhiri penderitaannya berkuliah di jurusan yang tidak ia senangi.

Namun, semakin kesini ada sedikit rasa syukur Fay rasakan tersebab pernah berkuliah di jurusan Psikologi. Meski banyak gangguan yang tidak ia percayai kehadirannya nyata dalam kehidupan, setidaknya, otaknya tidak kosong-kosong amat saat bertemu Chandra yang memiliki DID.

Di kasur, Fay terus berguling-guling ke kiri dan kanan. Di satu sisi, ia menyesali perbuatan dan perkataannya pada Chandra kemarin, tetapi di sisi lain ia senang karena bisa menemani lelaki itu di saat terlemahnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika trauma yang dialami Chandra begitu dalam hingga berhasil membuat lelaki itu meledak dan menangis seperti kemarin. Selama ini, ia merasa tidak ada masalah yang lebih berat daripada yang ia alami—harus melepas impian menjadi dokter bedah dan kehilangan ayahnya sesaat sebelum ia melangkah menuju impian itu.

"Apa bener, ya, kalo bagi masing-masing orang, beratnya masalah itu subjektivitas pribadi aja? Yang berat menurutku, mungkin biasa saja buat mereka. Begitu juga sebaliknya. Tapi ...."

Kalimat itu terus Fay tanyakan pada dirinya sendiri. Agak berat rasanya untuk melepas keyakinan yang selama ini ia percayai. Keyakinan bahwa orang lain hanya kelewat lemah dalam menghadapi kehidupan yang kelewat jahat. Keyakinan bahwa hanya dirinyalah yang berhasil bertahan dan kuat meski ibu dan keluarganya merampas impiannya beberapa tahun lalu. Keyakinan itu sudah seperti ukiran prasasti yang sulit terhapus dari hati Fay.

Akan tetapi, Chandra seolah mengukir tulisan baru di hati Fay yang bahkan masih ia pertanyakan kebenarannya.

Hingga tiba di rumah sakit—karena ibunya terus mengomel soal perjodohan jika Fay tidak mau berangkat ke rumah sakit demi persiapan seleksi kuliah lagi—pikiran perempuan yang rambutnya dikepang ke samping ini masih kalut. Sepanjang tugasnya bersama Psikolog Reta, ia tak bisa menghadirkan hati dan pikiran sepenuhnya dalam ruang konsultasi.

"Fay, ini tolong ... Fay? Fayza!"

Fay tersentak saat mendengar suara Psikolog Reta yang sedikit meninggi. "Oh, iya, Mbak. Kenapa?" Ia mengerjap dan menggeleng beberapa kali.

Psikolog Reta memandangnya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengulangi perintah. "Ini tolong dimasukkan ke map di lemari. Sesuaikan dengan nama kliennya, ya. Jangan ketuker. Habis itu kamu istirahat dulu aja. Biar sesi konselingnya saya sendiri aja."

Meski sedikit tidak enak karena tidak bisa fokus saat mendampingi Psikolog Reta melakukan penilaian hasil tes klien sebelum konsultasi dilakukan, tentu saja Fay tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk istirahat lebih awal. Tampaknya, ia harus mengatur pikirannya dulu supaya di sesi siang tidak menyusahkan pekerjaan psikolog yang sudah dengan senang hati menerimanya di sana.

Fay berjalan ke kantin rumah sakit setelah menyelesaikan perintah dari Psikolog Reta. Ia membeli kopi instan dan semangkuk bakso untuk menemani perenungannya.

"Sebenernya apa, sih, yang aku pikirin?" Bahkan Fay sendiri bingung dengan banyaknya simpul-simpul pikiran yang tiba-tiba muncul sejak bangun tidur pagi tadi.

Perempuan berbibir tipis ini akhirnya mengecek ponsel. Namun, tidak ada pemberitahuan atau pesan masuk di sana. Sebenarnya, ia berharap Chandra akan mengirimkan pesan. Rasanya aneh kalau keduanya diam tak berkabar setelah kejadian kemarin.

To: L. Chandra S.
Gimana kondisimu sekarang chan?

Akhirnya, Fay memilih untuk mengirim pesan terlebih dulu. Ia tidak suka memelihara kecanggungan dengan seseorang yang, baginya, sudah terasa dekat. Namun, hingga baksonya habis dan kopinya tersisa beberapa teguk lagi, tidak ada balasan dari lelaki itu.

"Lagi kerja kali, ya? Kok aku jadi kangen gombalannya Lyon." Fay mendengkus kasar dan meletakkan kepalanya di meja.

"Kamu mikirin apa, sih, hari ini? Tumben nggak fokus banget."

Fay mendongak saat mendengar suara wanita di dekatnya. "Eh, Mbak Reta. Konsulnya udah?"

"Udah. Dua hari lagi klien tadi ada konsul lanjutan. Jangan lupa dicatat di penjadwalan, ya."

"Oh, oke, Mbak." Fay membuka aplikasi catatan di ponselnya untuk menuliskan informasi barusan. Biasanya, ia akan mengecek ulang penjadwalan sebelum pulang dan sekalian mencatat jadwal lain di hari berikutnya.

"Jadi, ada yang bisa aku bantu?"

Fay mengerutkan dahi. "Apanya, Mbak?"

"Kamu lagi mikirin apa? Apa mulai jenuh jadi asistenku?" Nada bicara Psikolog Reta sedikit bergurau.

"Ah, itu." Fay membenarkan posisi duduknya. "Gimana jelasinnya, ya?"

"Kalau belum mau cerita juga nggak apa-apa. Aku nggak maksa, kok," ujar Psikolog Reta sambil tersenyum.

"Hmm, Mbak pernah nanganin klien yang punya DID?"

Psikolog Reta memandang ke atas, lalu menjawab, "Sejauh ini belum, sih. Kenapa?"

"Ada nggak, sih, yang ahli soal gangguan disosiatif gitu di Indonesia?"

"Sejauh yang aku tau, kalo gangguan disosiatif kayaknya masih belum ada, sih. Tapi, dulu pernah ada kasus DID pertama di Indonesia dan yang nanganin psikiater yang fokusnya emang lebih umum di psikoterapi sama farmakoterapi. Kalo yang spesifik DID itu belum ada sepertinya."

"Kenapa, ya? Apa karena jarang ditemuin kasus DID?"

Pertanyaan Fay mulai menggelitik titik kritis Psikolog Reta. "Mungkin. Soalnya, diagnosis DID itu sulit, sih. Gejala yang sama, misalnya yang utama itu dissociative amnesia, belum tentu mengarah ke DID. Bisa aja gangguan disosiatif lainnya atau gangguan lain seperti depresi dan lainnya. Belum lagi soal identifikasi alter."

"Karena bisa aja ada yang dibuat-buat?"

"Tentu. Cuma, sebenernya kalo ada yang pura-pura, itu bisa ketauan sama ahli, sih. Ada beberapa checklist yang perlu dipenuhi sebelum menegakkan diagnosis itu. Berhubung di Indonesia memang jarang ditemukan kasusnya, bahkan di dunia pun tergolong sedikit yang bisa ketahuan, edukasi perihal DID nggak semasif yang lain."

"Hmm, gitu, ya." Banyak hal baru yang datang memenuhi pikiran Fay dan membuatnya semakin pusing.

"Kenapa emangnya, Fay?"

"Itu beneran ada? Maksudku, Mbak tau, kan, kalo aku sebenernya nggak mau ada di bidang ini? Menurutku, psikologi itu terlalu abstrak. Nggak kayak kedokteran yang jelas penyakitnya ada, keliatan, dan bisa dideteksi dengan mudah secara fisik. Aku masih nggak percaya aja dengan gangguan-gangguan psikologis itu. Kayak ... Apa, sih? Apa bukan karena manusia aja yang terlalu lemah dan manja ngehadepin realita?"

Psikolog Reta tersenyum. "Menurutmu begitu?"

"Iya. Maksudku, coba, deh, lebih kuat. Lebih nrimo dan nggak lebay gitu bapernya. Pasti nggak bakal ada, kan, gangguan-gangguan itu?"

"Hmm, kalo boleh tau, kenapa kamu akhirnya masuk psikologi?"

Fay bingung karena tiba-tiba topiknya berubah. "Ini Mbak tanya karena pura-pura nggak tau apa gimana, nih? Kayaknya nggak mungkin Mama nggak bilang ke Mbak Reta."

"Tau, sih. Tapi, kan, aku tau dari sisi mamamu. Kalo dari kamu sendiri gimana?"

"Itu mah, Mama aja yang nggak percaya sama aku, Mbak. Kuliah kedokteran emang berat. Aku juga nggak mau lemah di sana. Tapi, aku pun nggak bisa ngontrol diriku. Siapa sangka kalo aku tiba-tiba pingsan atau muntah-muntah. Tapi, menurutku itu wajar, Mbak."

"Sebelum pingsan, ada yang jadi pemicu nggak?"

"Maksudnya?"

"Sesuatu yang kamu liat atau rasakan gitu?"

Sebenarnya, Fay tahu maksud pertanyaan Psikolog Reta. Ia hanya masih enggan untuk menjelaskan tentang kecelakaan keluarga yang terkadang masih terbayang hingga datang sebagai mimpi buruk di malam hari. "Aku cuma inget Papa. Itu aja."

"Fayza," Psikolog Reta melipat kedua tangannya di atas meja. "Setiap orang punya titik lemahnya masing-masing. Mungkin, titik lemahmu ada di papamu dan kamu butuh waktu untuk menerima semua itu. Sama halnya kayak orang lain. Mereka juga punya titik lemah masing-masing."

"Dan aku nggak boleh nge-judge kelemahan mereka?" Sungguh, Fay sebenarnya tahu semua teori ini. Hanya, pikiran dan hatinya masih menolak untuk menerima teori-teori itu.

"Betul. Aku yakin kamu sebenarnya tau. Cuma, karena kamu dipaksa melepas mimpimu sebagai dokter, kamu jadi menolak informasi-informasi lain yang nggak sejalan dengan profesi itu. Ya, walaupun di psikologi sebenarnya ada prinsip kedokterannya juga, sih."

"Oh, soal hormon dan cara kerja otak terhadap perilaku individu?"

"Seratus!"

"Mbak," Fay ragu untuk mengajukan pertanyaan ini. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan menarik napas panjang untuk memupuk keberanian. "Percuma nggak, sih, kalo misalnya aku mau jadi ahli DID di Indonesia, tapi nggak ada kasusnya di sini?"

Pupil Psikolog Reta membulat besar. Wanita dengan snelli itu tersenyum lebar. "Aku bakal dukung seratus persen! Kita nggak tau, kan, masa depan seperti apa?"

"Ehm, sebenernya, aku pengen bisa bantu seseorang."

"Kamu punya teman yang DID?"

Fay mengangguk pelan.

"Jadikan itu motivasi. Kamu tau? Untuk membantu orang lain dan menyelamatkan nyawa orang lain, kamu nggak harus selalu jadi dokter. Untuk pakai snelli ini," Psikolog Reta memegang snelli-nya, "dengan jadi psikolog di rumah sakit pun bisa. Kalo memang itu yang dulu kamu bayangkan saat pengen jadi dokter."

Wajah Chandra tiba-tiba hadir di benak Fay dan membuatnya tersenyum. Imajinasinya berkelana membayangkan Chandra bisa terbebas dari belenggu trauma yang menyakitkan dan hidup layaknya lelaki normal yang lain.

"Orang DID juga bisa sembuh, kan, Mbak?"

"Kamu ingat prinsip di psikologi?"

Fay mengangkat alis dan mengerutkan dahi. "Yang mana?"

"Gangguan mental itu bukan perkara sakit atau sembuh. Sembuh pun bukan berarti semuanya benar-benar hilang. Prinsip kita, meski gangguannya tidak bisa benar-benar hilang, kita sebagai psikolog punya tugas untuk membantu mereka pulih. Artinya, meski memiliki gangguan, hal itu tidak menghambatnya menjalankan fungsi sehari-hari. Dan tentu, kalo bisa benar-benar hilang, itu lebih baik."

"Ah, bener, sih. Aku inget mereka dinamakan gangguan karena mengganggu keberlangsungan fungsi hidup individu. Berarti, yang penting mereka bisa hidup normal tanpa peduli gangguannya hilang atau tidak?"

"Ya, tetep, kalo bisa pulih sepenuhnya dan nggak terdiagnosis dengan sebuah label gangguan itu mungkin bisa lebih menyenangkan mereka, ya."

Fay mengangguk paham. "Oh, ya, sampai kapan aku diminta jadi asisten psikolog?"

"Kenapa emang?"

"Kayaknya, aku butuh waktu buat belajar biar Mama nggak jadi jodohin aku sama orang yang nggak kukenal."

Entah mengapa, kalimat barusan membuat keduanya tertawa. Mereka pun kembali ke ruangan psikolog karena jam istirahat sudah selesai. Namun, pikiran Fay tidak berhenti di sana.

Percakapan siang itu membuat Fay kembali berkutat dengan berbagai skenario. Tentu kali ini, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Chandra. Lelaki yang tanpa disadari sudah semakin dalam masuk ke relung hati Fay dan berhasil membuat perempuan ini tersenyum lebar dengan hati berdebar hanya dengan membayangkan wajahnya.

Ada cita-cita lain yang ingin Fay raih bersama lelaki berkepribadian ganda itu.

Cita-cita yang satu tujuan dengan impian sebelumnya, meski harus beda jalan. Cita-cita yang mungkin sudah terpendam sejak lama, tetapi urung disadari karena ego menguasai. Cita-cita yang akan kembali bersuara setelah lama terdiam di lubuk hati terdalam.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro