15 || Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

As I look at the sky above me
I will forget and stop chasing an empty dream

***

Putih.

Hanya pemandangan itu yang Fay lihat di sekitarnya. Namun, tak lama muncul jalan setapak yang seolah memintanya untuk menyusuri jalan itu. Perempuan berhidung kecil ini tak tahu di mana dirinya sekarang. Mungkin, jika ia mengikuti jalan setapak yang tiba-tiba muncul di ujung kakinya, jawaban akan ia temukan.

Akan tetapi, betapa terkejutnya Fay ketika mendapati sosok seorang pria yang begitu ia rindukan di ujung jalan.

"Papa," lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Apa kabar, putri kesayangan Papa?"

Tanpa pikir panjang, perempuan ini berlari dan langsung memeluk pria itu. Aroma parfum yang amat dikenalnya memenuhi indera penciuman dan merasuk dalam jiwa. Sungguh, ia sangat merindukan pria ini hingga tanpa sadar, air matanya mulai menetes satu per satu.

"Hei, kok, nangis?" tanya papanya sembari melepas pelukan perlahan. Pria itu mengusap air mata yang ada di pipi putrinya dengan lembut.

"Fay kangen banget sama Papa. Fay ... Maafin Fay. Fay nggak bisa jadi dokter kayak Papa. Fay terlalu lemah."

"Sst." Pria dengan rambut pendek yang sedikit bergelombang itu kembali memeluk putrinya yang mulai sesenggukan. "Nggak apa-apa kalo sesekali melemah. Fay juga manusia, kan? Yang penting, Fay nggak putus asa untuk meraih tujuan awal ketika ingin jadi dokter."

"Buat nolong banyak orang?"

"Betul. Dan Fay pasti tau, banyak jalan bisa ditempuh buat nolong banyak orang. Jadi Psikolog pun salah satu jalannya."

"Fay nggak bakat dengerin keluhan orang, Pa," ujar Fay yang semakin membenamkan wajahnya dalam pelukan sang ayah.

Pria berbusana putih itu mengelus puncak kepala Fay. "Bukan nggak bakat. Fay perlu membuka diri untuk menerima jalan itu dulu."

"Caranya?"

"Hm, mungkin dimulai dari memperlakukan orang lain seperti Fay ingin diperlakukan saat berada di titik terendah?"

Belum sempat Fay meneruskan percakapan itu, bunyi alarm ponsel membangunkannya. Ia mengerjap beberapa kali dan mendapati matanya basah, begitu pula guling yang dipeluknya.

Kata-kata dan wajah ayahnya masih teringat jelas meski itu hanyalah mimpi. Kalau Fay tidak salah ingat, baru kali ini ayahnya mengunjunginya dalam mimpi. Tentu saja Fay menyadari bahwa mimpi adalah asosiasi dari pikiran-pikirannya beberapa hari ini. Tampaknya, ia begitu ingin mendengar pendapat ayahnya perihal keputusan yang akan diambil.

Menjadi dokter adalah cita-cita Fay karena melihat sang ayah begitu keren dengan profesinya dalam menolong orang yang sakit. Namun, menjadi psikolog adalah paksaan karena kegagalannya meneruskan kuliah di jurusan kedokteran. Apa pun itu, ia mulai menyadari bahwa tujuannya bukan pada profesi apa yang akan ia geluti, tetapi lebih besar dari itu.

Cita-cita Fay adalah menolong orang lain mendapatkan kehidupan yang lebih sehat agar maksimal dalam menjalankan fungsi hidupnya.

Dan benar, mungkin dengan menjadi psikolog dan meneruskan pendidikan yang sudah ia tempuh beberapa tahun lalu bisa menjadi cita-cita baru di jalan yang baru.

Perlahan, Fay bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju papan tulis gantung yang menampakkan sisi berupa kalender bulanan. Ia menurunkan papan tulis itu dan membaliknya.

Menuju 2030 jadi dr. Fayza Salma Andriani, Sp. B!

Fay tersenyum melihat tulisan itu. Mungkin, ini saatnya mengubah jalan impiannya. Maka, diambillah sehelai tisu basah yang ada di meja belajar, lalu dengan perlahan tangannya bergerak menghapus tulisan itu.

Papan tulis kembali bersih. Namun, tidak dalam waktu lama karena sesaat setelah semua tulisan terhapus, Fay langsung mengambil spidol dan menulis tulisan baru.

Menuju 2025, Fayza Salma Andriani, M. Psi., Psikolog (Ahli Dissociative Disorder)

Tepat saat spidol terangkat dari papan tulis, suara ketukan pintu terdengar.

"Fay, kamu nggak ke rumah sakit? Udah siang, lho."

Fay membuka pintu dan mendapati ibunya berdiri di sana dengan apron cokelat penuh terigu. Sepertinya, ibunya habis membuat kue kering pesanan tetangga lagi.

"Ma, jangan jodohin aku sama siapa-siapa, ya," lirih Fay dengan suara yang serak.

Dian mengerutkan kening. "Emang Mama mau jodohin kamu sama siapa?"

"Ih, kan, Mama yang bilang kalo aku harus milih lanjut S2 atau dijodohin sama anak temen Mama."

Wanita dengan apron cokelat itu tertawa. "Oh, itu. Kenapa emangnya? Kamu lagi suka sama cowok, ya?"

"Apa, sih, Ma!"

"Terus?"

Fay mengangkat papan tulis dengan tulisan baru yang masih basah. "Doain aja. Kali ini aku beneran bakal serius ikut seleksinya biar lulus. Aku juga sekalian cari beasiswa biar Mama nggak usah pusing nanggung biaya kuliahnya. Oke? Oke. Ih, jangan liatin aku kayak gitu, ah!" rengek Fay melihat perubahan sinar mata ibunya, "Bikin pengen nangis lagi, kan."

Sontak Dian memeluk erat putrinya dan mengelus rambut panjang yang masih berantakan selepas bangun tidur itu. "Wah, akhirnya kamu mau membuka diri, ya? Kesambet apa, nih?"

Sejujurnya, Fay sebal karena ibunya masih meledek dirinya padahal kedua mata sudah berkaca-kaca. Sepertinya, ibunya menahan diri untuk tidak menangis, entah mengapa.

"Jadi, aku izin sama Mbak Reta buat nggak ke rumah sakit lagi. Mau belajar dulu sambil cari-cari beasiswa yang masih buka," terang Fay setelah ia dan ibunya masuk kamar, lalu duduk di kasur. Ia pun sudah menceritakan tentang kunjungan sang ayah ke dalam mimpinya.

"Lho, padahal sekalian kamu belajar dari pengalaman langsung, Fay. Kan, seleksi butuh skill dari pengalaman nangangin klien juga."

"Iya, sih, Ma. Tapi, ntar, deh. Kata Mbak Reta, kalo aku mau dateng lagi, tinggal ngabarin dulu aja. Cuma mungkin nanti nggak di rumah sakit lagi."

"Terus di mana?"

"Di bironya Mbak Reta aja biar lebih leluasa katanya."

Dian mengangguk. "Oke kalo gitu. Perlu Mama tinggal biar kamu belajar serius lagi? Atau butuh camilan? Ada kue lebih, tuh, di dapur."

Fay menggeleng sambil tersenyum. "Aku mau belajar di luar aja, ah! Udah, Mama lanjut bikin kue aja. Aku mau beres-beres."

Dian tersenyum melihat putrinya sudah mendapatkan semangat baru untuk menempuh pilihan barunya. Ia pun meninggalkan putrinya yang sedang semringah karena ingin keluar rumah. Mungkin memang benar, putrinya itu sedang menyukai seseorang karena rasanya mustahil jika Fay tiba-tiba berubah hanya karena sebuah mimpi.

Tak peduli dengan anggapan ibunya, Fay telanjur asyik mempersiapkan diri. Rasanya, ia ingin segera ke Eksotic Point Coffee dan memberitahu Chandra perihal keputusan barunya. Tentu saja ia pun ingin berterima kasih karena Chandra juga berperan dalam pengambilan keputusan itu.

Kalau bukan karena takdir mempertemukannya dengan Chandra, sepertinya Fay tidak akan pernah selapang ini untuk mengambil keputusan yang pernah dibencinya. Dari sekian banyak skenario yang ia buat selepas berdiskusi dengan Psikolog Reta, membantu Chandra dan menemaninya hingga mengalami penyatuan adalah skenario paling tinggi yang Fay pikirkan.

"Duh, kamu jangan mikir aneh-aneh dulu, Fay! Perjalanan masih panjang. Itu juga kalo nggak bertepuk sebelah tangan lagi," gerutu Fay pada dirinya sendiri sambil menepuk-nepuk pipi.

Usai bersiap, perempuan yang rambutnya dikucir setengah ke belakang itu langsung memesan ojek online menuju ke Eksotic Point Coffee. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mampir ke tempat pelarian terbaiknya itu sejak sibuk menjadi asisten psikolog di rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang tatkala ia tiba di depan pintu kafe. Tarikan napas panjang pun diambilnya sebelum melangkah dan membuka pintu.

"Selamat pagi! Eh, Kak Fay, udah lama nggak ke sini!" sambut Dodi, salah satu barista yang, seringnya, bertugas di konter pemesanan setiap kali Fay datang berkunjung.

"Iya, nih. Pesen latte no sugar kayak biasa, ya, Mas!" Meski sikapnya terlihat fokus memesan kopi, tetapi mata Fay celingukan ke dalam.

"Chandranya lagi cuti, Kak," ujar Dodi seolah tahu apa yang sedang Fay cari.

"Cuti? Kenapa? Dari kapan? Berapa lama?"

"Wah, nggak tau kalo berapa lamanya. Dari kapan, ya?"

Sebenarnya, Dodi hanya berpaling sejenak untuk menanyakan ke rekan kerja lain perihal sejak kapan Chandra ambil cuti. Namun, Fay sudah tidak fokus dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh barista itu.

Fay mengecek ponselnya dan menyadari bahwa pesan singkatnya ke Chandra masih belum berbalas hingga sekarang. Tiba-tiba, rasa khawatir menyelimuti hatinya.

Bagaimana bisa Chandra tidak ada di saat penting seperti ini?

***

Cek hp-nya, dong, Mas Chandra. Ada yang galau, nih :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro