16 || Ingin Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

All that I had prepared to say turned backwards

***

Meski Fay berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan dan materi-materi yang perlu dipelajari, pikirannya masih saja berkelana di luar Eksotic Point Coffee. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali dirinya bertemu Chandra dan bolak-balik ke kafe itu lagi demi bertemu lelaki yang dihadapkan, tetapi nihil. Pesannya tak berbalas, tak ada kabar. Bahkan rekan kerja Chandra pun tak tahu berapa lama lelaki berhidung besar itu cuti.

Rasanya, semangat Fay mulai turun untuk memaksimalkan usaha untuk seleksi beasiswa sebulan lagi dan seleksi S2 sekitar empat bulan lagi. Sosok yang memotivasinya hilang tanpa jejak di saat ia sudah memutuskan untuk mengambil jalan ini demi keduanya.

"Bosen," gerutu Fay sambil meletakkan kepalanya di meja. Telinganya tersumpal headset yang sedang mengalirkan suara seorang podcaster radio bertema psikologi untuk membantunya belajar dengan cepat. Tangan kanannya yang memegang pulpen mulai melemas hingga pulpen terlepas dari genggaman.

Sepertinya, tidur di saat bosan memang enak. Kecuali, ada Lyon di depannya yang bisa menemaninya adu gombal atau sekadar mencairkan suasana.

Membayangkan hari-hari lalu bersama Chandra-dan Lyon yang selalu ceria setiap menguasai tubuh Chandra-membuat Fay tersenyum merindu. Ke mana kiranya lelaki itu tak berkabar hingga dua bulan?

"Ah, siapa juga aku? Bukan siapa-siapa. Cuma selewat dalam hidupnya. Iya, kan?" Fay berusaha menghibur dirinya sendiri dengan menggumam pelan dan memejamkan mata. Kadang-kadang ia terpikir bahwa dirinya dan Chandra mungkin memang tidak akan pernah bertemu lagi. Yah, seperti biasa, bertepuk sebelah tangan dan ditinggalkan sebelum perasaan diutarakan.

Setelah siaran radio psikologi berakhir, Fay mengangkat kepala sejenak untuk mengubah daftar putar di ponselnya. Ia ingin mendengarkan lagu-lagu melow dan mencari daftar putar berisi lagu dengan genre tersebut. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, perempuan yang melepas ikatan rambutnya itu kembali meletakkan kepala di meja, lalu memejamkan mata.

Alunan musik dari headset memenuhi telinga Fay dan berhasil membuatnya bernostalgia. Mungkin karena sebelumnya ia selalu gagal mendekati lelaki yang disukai, saat bertemu Chandra yang mau dekat dengannya menjadi kenangan manis yang paling baru. Walaupun akhirnya lagi-lagi Fay yang ditinggalkan, ingatan tentang lelaki itu masih hangat. Garis senyumnya, matanya yang sedikit membentuk sabit jika tersenyum lebar, dan suaranya yang menenangkan semakin jelas tergambar dalam benak Fay seiring terputarnya lagu di ponsel.

Namun, saat sedang asyik bernostalgia, Fay sedikit tersentak saat merasakan ada yang mengambil headset yang terpasang di telinga kanan.

"Dengerin apa, sih, sampe kayak orang stres gini?"

Sungguh, Fay sangat mengenali suara itu. "Chandra!" teriaknya sambil menggebrak meja.

Lelaki di sampingnya menutup bibir Fay dengan tiga jarinya. "Jangan berisik, ada yang lagi wawancara," ujarnya sambil melirik seorang perempuan di kursi pojok dekat tangga.

"Chandra! Kamu ke mana aja astaga!"

Jelas saja Fay tidak bisa menahan rasa kaget dan kerinduannya. Matanya membulat seperti boba dan ia terpaku menatap wajah lelaki yang sudah duduk di sampingnya sambil memandang ke luar jendela mendengarkan musik dengan seksama.

"Beneran Chandra, kan?" tanya Fay masih tidak percaya dan menepuk-nepuk pelan pundak lelaki itu.

Chandra akhirnya tersenyum dan memandang Fay. "Iya, ini Chandra. Bukan Lyon."

Hati Fay mendorongnya untuk memeluk lelaki itu, tetapi otaknya melarang. Perempuan macam apa tiba-tiba memeluk lelaki yang bukan siapa-siapanya. Ah, tiba-tiba Fay teringat saat ia memeluk Chandra di rumah Om Asep.

"Kamu kaget banget, deh, kayak ketemu setan," ujar Chandra yang menumpu kepalanya dengan tangan kanan, menatap Fay.

"Ya, gimana nggak kaget? Kamu ke mana aja coba dua bulan nggak bisa dihubungi? Ya, aku tau, sih, aku bukan siapa-siapa. Tapi, plis, deh, Chan. Nggak enak banget terakhir kali ketemu kamu di kondisi kayak begitu terus tiba-tiba kamu ilang!"

Lelaki dengan kemeja putih bergaris ini paham kondisi yang dimaksud Fay. Tentu saja karena keduanya memang belum bertemu lagi sejak itu. "Maaf, ya. Aku nggak di Indonesia dua bulan ini."

"Maksudnya?"

Chandra melirik gelas kopi Fay yang sudah tinggal seteguk. "Aku pesenin minum dulu, ya. Habis itu kita ngobrol."

"Eh, tapi ...."

Chandra sudah telanjur melangkah ke tangga dan menghilang dari lantai dua, sedangkan Fay masih berusaha mencerna keadaan. Kalau lelaki itu tidak di Indonesia, lantas ke mana?

"Caramel macchiato, karena kayaknya hari ini kamu butuh yang agak manis dibanding latte." Suara Chandra begitu menenangkan saat mengucapkan kalimat itu sambil meletakkan sebuah nampan berisi dua gelas minuman dan sepiring spicy wings. Ia memilih duduk di kursi depan Fay supaya bisa lebih nyaman mengobrol berhadapan dengan perempuan itu.

"Jadi, kamu ke mana?"

"Sabar, aku mau tau kabar kamu dulu."

"Ih, nggak, nggak. Ceritain ceritamu dulu, baru aku yang bakal cerita. Gara-gara kamu ngilang, ceritanya jadi numpuk, kan."

Chandra tertawa pelan mendengar Fay menggerutu. "Aku nggak di Indonesia, makanya nggak bisa bales chat kamu. Sebenernya, aku mau bales sebelum berangkat karena pas kamu chat itu pas aku lagi di bandara. But, yeah, I couldn't help it. Bisa-bisa aku ketinggalan pesawat kalo bales chat kamu dulu."

"Nggak lucu. Jangan ketawa," ketus Fay saat melihat Chandra masih bisa tertawa di kondisi ini.

Saking gemasnya, Chandra tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Fay. "Lucu banget, sih, kalo lagi ngambek."

Tentu saja setelah itu Fay merasa pipinya memanas. "Jangan cubit-cubit," elaknya, "mending lanjutin ceritanya. Kenapa kamu pergi dari Indonesia? Ke mana? Kok lama?"

Setelah menarik napas panjang, Chandra melanjutkan, "Habis kejadian di rumah Om Asep, banyak yang terjadi dalam dua hari. Apa yang Lyon liat waktu dia ngajak kamu kabur ternyata nggak salah. Dini hari, orang itu ke rumah dan bikin keributan. Dia nggak sendiri. Entah dari mana dia bawa orang sebanyak itu buat ngepung rumah Om Asep dan mereka bawa benda tajam. Dia ngancem Om Asep untuk serahin aku atau mereka bakal nyerang rumah."

"Preman banget! Kenapa jadi minta kamu?"

"Karena orang itu mau balas dendam. Entahlah, aku nggak tau. Saat itu aku cuma bisa ngurung diri di kamar karena ... Ya, kamu taulah. Dan tiba-tiba pas aku bangun besok paginya, aku beneran nggak inget apa-apa lagi sampai aku baca semua yang ada di sini." Chandra mengeluarkan buku catatannya.

"Kamu nyuruh aku baca?"

Chandra mengangguk.

Fay pun membuka lembar demi lembar buku catatan itu. Kadang, ia bolak-balikkan lembar satu dengan yang lain karena mendapati tulisan tangan yang mirip, tetapi berbeda.

"Yang ini tulisan Lyon. Yang ini Ksatria. Ini tulisanku. Kalo Bunda May ... Kayaknya, ada di catatan satu lagi, bukan di sini." Seolah menyadari kebingungan Fay, Chandra pun memberi petunjuk.

"Kamu hafal tulisan mereka?"

"Jelas, dong. Dulu, sejak aku didiagnosis DID dan bisa nggak inget sama apa-apa, aku komunikasi sama mereka lewat catatan ini. Pokoknya, dulu aku pernah nulis, minta mereka buat catet apa pun yang terjadi dan siapa pun yang ditemuin biar aku nggak bingung kalo tiba-tiba balik lagi setelah mereka ambil alih tubuhku."

"Wah, kamu pinter juga. Kok kepikiran cara ini."

"Kalo nggak pinter, aku nggak bakal jadi dokter hewan."

Fay tertawa. "Iya, iya. Terus, mana yang harus aku baca?"

Chandra pun membuka sebuah halaman bertanggal kejadian malam itu. Setelah ia menyodorkan catatannya pada Fay lagi, perempuan bermata besar ini mulai membaca.

=======================
Chandra, maaf.

Saya harus ambil alih tubuhmu buat melawan mereka. Maaf juga, kamu jadi sedikit terluka karena saya harus menahan mereka sampai polisi datang. Untung tidak parah dan sudah diobati Om Asep. Kamu tidak usah khawatir. Orang itu sudah ditangkap lagi di hari kebebasannya.

Saya dan Om Asep sepakat, untuk sementara waktu kita tidak bisa tinggal di sini dulu. Silakan diskusikan lebih lanjut jika kamu sudah baca ini. Kalau Lyon yang bangun, jangan cari perkara dulu. Demi keamanan Chandra, stay di rumah dan turuti Om Asep.

Terima kasih.
=======================

"Biar kutebak. Ini pasti Ksatria," lirih Fay sambil berusaha menyamakan tulisan tangan itu dengan yang sempat ditunjuk Chandra sebagai tulisan Ksatria.

"Yap. Betul."

"Jadi, karena ini kamu pergi?"

"Iya. Dan ...." Chandra ragu untuk melanjutkan kalimat ini. Padahal, ia sudah berulang kali mengulang hal yang ingin diucapkannya pada Fay sebelum semua terlambat. Namun, ia tak sanggup dan mengganti kalimatnya. "Gimana kabarmu?"

"Ah! Kamu harus tau! Akhirnya, aku mutusin buat serius lanjut S2 di mapro psikologi!" Mata Fay berbinar-binar saat menginformasikan hal yang sudah lama ia pendam untuk Chandra. "Tebak karena siapa!"

Chandra tersenyum begitu manis dan hangat. "Siapa?"

"Kamu." Tentu saja Fay tersipu saat menjawab.

"Oh, ya? Kenapa?"

"Karena ...." Nggak, jangan sekarang. Nggak pas tempat dan waktunya buat bilang suka kalo sekarang, batin Fay menahan ucapannya pada Chandra. "Karena aku juga bisa nolong banyak orang kayak kamu buat kembali pulih ke kehidupan normalnya lagi."

Fay tidak berbohong, meski bukan itu alasan yang sebenarnya.

"Bagus." Chandra lagi-lagi mengusap puncak kepala Fay. "Aku ikut seneng kalo kamu akhirnya punya cita-cita yang mau kamu perjuangin lagi. Bisnismu gimana?"

"Ah, skip dulu kayaknya. Aku harus fokus sama seleksi beasiswa juga. Kasian kalo Mama harus bayarin kuliah lagi. Ya, walaupun katanya ada, sih, biayanya. Tapi, tetap aja." Fay mendengkus pelan. "Doain, ya!"

"Pasti. Yang terbaik buat kamu."

Rasanya, Fay mulai terbiasa dengan belaian lembut Chandra di puncak kepalanya. Sungguh, ia merasa begitu disayang walaupun mungkin itu hanyalah gestur biasa. Siapa tahu memang Chandra biasa melakukan itu pada orang lain, kan?

Fay tidak mau banyak berharap lagi. Sekarang, ia sedang menyusun skenario untuk menyatakan perasaannya. Setidaknya, meski berakhir ditinggalkan, perasaannya sudah tersampaikan. Meski sejujurnya, ia tidak menginginkan opsi ditinggalkan lagi.

"Kamu mau main, nggak?" tanya Fay tiba-tiba.

"Main? Ke mana?"

"Ke EduPark yang baru dibuka itu!"

"Emang ada?"

Fay merengut. "Ada. Dibuka pas kamu ngilang soalnya."

Chandra terkekeh. "Boleh, kapan?"

"Hm, nanti malem kukabarin. Aku atur jadwal dulu, ya! Kita butuh main dan seneng-seneng, kan, habis melalui hari-hari berat? Berat karena belajar," tunjuk Fay pada diri sendiri, "Berat karena kangen sama aku yang selalu ada buat kamu," ujarnya menunjuk Chandra.

"Nggak salah? Bukannya kamu yang kangen? Tapi, kamu kayaknya kangennya sama gombalan Lyon, sih."

"Kok gitu?"

"Soalnya, barusan kamu ngegombal."

Keduanya hanya tertawa tanpa lebih lanjut saling tunjuk siapa yang merindu lebih dulu. Chandra tidak salah. Di saat seperti ini memang Fay merindukan gombalan absurd dari Lyon. Namun, tidak masalah baginya siapa pun yang ada di hadapan. Semuanya adalah Chandra dan tentang Chandra.

Dan Fay ingin menghabiskan waktu bersenang-senang dengan lelaki itu, tanpa menyiapkan skenario lain selain melepas rindu serta menyatakan perasaan dan rencana-rencananya di masa depan untuk seorang Luthfi Chandra Semesta.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro