18 || Tujuan Awal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I don't understand, Stop this! I'm a person too!
I know you know what I'm feeling

***

Atas permintaan Lyon, mau tidak mau, Fay pun berusaha menahan diri untuk tidak menghubungi Chandra yang sedang sibuk mempersiapkan kepindahannya. Meski sebenarnya alasan yang disampaikan tidak masuk akal, perempuan yang masih berselimut ini ingin mencoba menghargai keputusan mereka.

"Yang aku tau, karena sejak beberapa bulan lalu memori Chandra juga terbagi ke kami, dia beneran suka sama kamu. Kayak aku," ujar Lyon sore itu saat air mata Fay mulai reda. "Lagian, kayaknya kami semua emang suka sama kamu, sih."

"Suka sebagai teman, kan? Aku tau nggak bakal lebih dari itu juga," timpal Fay dengan suara serak.

"Aku, iya. Chandra, kayaknya lebih dalam dari itu, sih. Cuma emang dia bodoh aja malah ngelarang kamu suka sama dia dan nyuruh kamu cari cowok lain. Nggak waras emang."

"Ya, kamu juga bagian dari ketidakwarasan Chandra, sih."

Lyon tertawa. "Bodoh, tapi pergi untuk ngeliat kamu lebih bahagia dengan orang yang waras tanpa peduli sama perasaannya sendiri, menurutku itu sedalam-dalamnya rasa sayang, lho."

"Cih. Siapa kalian yang bisa nilai kebahagiaanku ada di mana?"

"So, mungkin ini terakhir kali aku gombalin kamu. Aku nggak tau setelah pengobatan di sana nanti, apakah kami akan jadi satu atau gimana. Kalo jadi satu, artinya aku bakal hilang. Tapi aku yakin, hati kamu buat aku bakal tetap sama. Iya, kan, bidadari kasta tertinggi?" Lyon menatapnya dengan tatapan yang hampir sama seperti saat Chandra mengucapkan perpisahan. "Aku nggak peduli apa yang terjadi saat pengobatan nanti, tapi aku yakin itu salah satu cara untuk bikin Chandra bahagia juga. Makanya, kalo kamu ngehubungin, takutnya dia nggak jadi pergi karena nggak mau ninggalin kamu."

Omong kosong! batin Fay menghindari tatapan Lyon saat itu.

Sampai hari ini, Fay membenci kedua tatapan yang ditujukan padanya. Meski dari orang yang sama, mereka tidaklah benar-benar sama. Fay akan kehilangan Chandra dan mungkin juga Lyon—jika semua alter mengalami penyatuan. Dulu, ia sangat mendukung proses penyatuan ini. Akan tetapi, kini ia ragu. Benarkah penyatuan menjadi pilihan terbaik dan akan membuat Chandra bahagia?

Fay menarik selimutnya hingga menutup kepala. Berusaha melupakan kejadian sore itu dengan memejamkan mata. Ia berharap bisa tertidur lagi dan hari-hari akan berlalu semakin cepat tanpa ingatan tentang Chandra dan semua alternya.

"Fay, kamu belum bangun?"

Suara ibunya terdengar dari balik pintu, tetapi Fay urung menjawab. Ia justru sibuk memikirkan jawaban-jawaban apa yang akan ia utarakan jika ibunya bertanya tentang persiapan seleksinya atau tentang dirinya yang sudah lama mendekam di rumah.

"Mama masuk, ya."

Pintu kamar terbuka perlahan dan Fay masih tetap menutup diri dengan selimut. Ia mampu merasakan langkah ibunya yang semakin mendekat ke tempat tidur, lalu tak lama wanita itu duduk di pinggir kasurnya.

"Tumben kamu nggak keluar? Biasanya jam segini Mama udah sendiri di rumah," ujar Dian membuka obrolan sembari menyentuh pelan kaki putrinya.

"Nggak apa-apa."

"Kamu nangis? Atau habis nangis? Kok suaranya gitu?"

Gejolak dalam hati Fay tak lagi bisa dibendung. Ia ingin menangis lagi, tetapi lebih daripada itu, kemarahannya di ujung tanduk.

Dian tersentak saat putrinya tiba-tiba membuka selimut dengan kasar dan memukul-mukul kasur. Rambut panjang putrinya itu sudah tidak karuan, entah karena pergerakan selama tidur atau memang sengaja diacak-acak oleh si pemilik rambut.

"Kenapa, sih, Ma?!" teriak Fay tiba-tiba.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa gitu tiap aku udah semangat ngelakuin sesuatu, ada aja yang bikin down? Kenapa kita harus kecelakaan sesaat sebelum aku kuliah? Kenapa Papa pergi dan bikin kita harus pusing mikirin keuangan dan aku harus ngelepas impianku jadi dokter? Dan kenapa sekarang, saat aku udah bisa nerima untuk lanjut di psikologi, orang yang bikin aku milih keputusan ini juga pergi? Kenapa semuanya pergi di saat selangkah lagi aku mulai ngejar impianku?"

Pertanyaan-pertanyaan putrinya membuat Dian mengerutkan dahi. "Siapa yang pergi juga?"

"Chandra."

"Dan Chandra adalah?"

"Orang yang bikin aku sadar bahwa nolong orang nggak harus dengan jadi dokter. Orang yang aku libatin dalam rencana baru yang aku buat. Orang yang ...." Fay mulai berkaca-kaca lagi. "Orang yang jadi alasanku buat jadi psikolog supaya aku bisa nyembuhin dia."

Bahu Fay mulai bergetar. Sejujurnya, ia lelah menangis terus. Namun, rasa sakit di hatinya seolah bertumpuk-tumpuk. Ditinggalkan oleh orang yang disayangi dalam kondisi sedang mengukir memori bahagia, justru membuat rasa sakit itu berlipat ganda. Mengapa akhirnya harus menyedihkan jika diawali dengan kebahagiaan? Ayahnya pun pergi saat mereka sekeluarga akan piknik untuk merayakan keberhasilannya masuk ke Fakultas Kedokteran. Semua terasa tidak adil bagi Fay.

Perlahan, Dian memeluk putrinya yang mulai menangis. Ia membelai lembut puncak kepala Fay dan merapikan rambut yang berantakan. "Wah, ternyata bener, ya, ada orang yang lagi kamu suka."

"Jangan ngeledek, Ma."

"Mama nggak ngeledek. Cuma penasaran aja, orang itu kayak gimana, sih, sampai berhasil bikin kamu berubah pikiran? Mama yang dari dulu ngebujukin kamu saja mental, nggak mempan." Dian melepas pelukannya. "Boleh, dong, Mama diceritain tentang orang itu."

Meski awalnya malu karena takut diejek oleh ibunya, Fay akhirnya menceritakan segala hal tentang Chandra dan gangguan DID yang dimiliki lelaki itu. Mulai dari awal pertemuan, hingga kalimat-kalimat perpisahan yang Chandra ucapkan pada Fay. Perempuan yang mengenakan baju tidur berwarna krem ini pun menyebutkan rencana-rencana yang sudah ia siapkan saat memutuskan untuk melanjutkan S2 profesi psikologi.

"Tapi, jadinya semuanya percuma kalo Chandra juga pergi. Iya, kan, Ma?" ujar Fay menutup ceritanya yang menghabiskan waktu hampir dua jam.

Tentu saja tidak hanya Fay yang berbicara. Ibunya pun beberapa kali menanggapi dengan menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti seperti hal berkaitan dengan gangguan DID yang dimiliki Chandra dan cara Fay menghadapi berbagai kepribadian yang muncul dari diri Chandra.

"Mama justru setuju sama Chandra," jawab Dian.

"Bagian mana?"

"Soal jangan bikin impian karena orang lain. Menurut Mama, itu yang bikin kamu nge-down kayak gini."

"Kok, Mama jadi belain Chandra, sih. Jelas-jelas dia yang ninggalin aku setelah bilang suka. Apa coba maksudnya? Kan, sakit, Ma, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya."

Dian tertawa mendengar kalimat tak terduga dari putrinya. "Dasar, gitu, ya, kamu kalo lagi suka sama orang. Baru ini Mama liat kamu kayak gini."

"Ah, nggak tau, ah!" Fay merajuk dan kembali membaringkan tubuhnya di kasur.

"Fayza, kamu adalah kamu. Orang lain adalah orang lain. Impianmu adalah apa yang ingin kamu capai dengan atau tanpa orang lain. Semakin dewasa, kita harus bisa ambil keputusan atas diri kita sendiri, bukan karena orang lain." Dian mendekat ke kepala Fay dan mengusapnya perlahan. "Mama setuju sama Chandra karena kalo kita mengejar impian demi orang lain, tujuan kita akan hilang seiring hilangnya orang itu."

"Ya, makanya, harusnya dia jangan pergi, dong!" sergah Fay kesal.

"Fay, di hidup ini nggak ada yang abadi. Ada manusia yang datang dan pergi. Ada yang datang untuk membersamai, ada juga yang datang untuk sekadar jadi perantara. Ketika tugasnya sudah selesai, ya, mereka akan pergi dari hidup kita. Itu hukum alam, Nak."

Fay menarik selimutnya hingga menutupi hidung.

"Meski Chandra pergi, di luar sana masih banyak orang yang butuh bantuan kamu. Kalo Mama baca-baca, kebutuhan psikolog di Indonesia lagi banyak banget."

"Kebutuhan dokter juga."

Dian menghela napas panjang. "Kamu masih mau debat soal dokter atau psikolog?"

Fay sudah membuka mulutnya untuk memulai debat, tetapi ia menahan diri. Terlalu lelah untuk debat kusir lagi dengan ibunya di kondisi seperti ini. Ibunya tidak akan mengerti perasaannya.

"Mungkin kamu mikir, Mama nggak ngerti perasaanmu. Ya, memang, tapi Mama juga berusaha memahami itu, dan ...." Dian menahan kalimatnya karena ia pikir tidak ada gunanya juga menjelaskan alasannya ke Fay yang sedang keras kepala seperti sekarang ini. "Udah, kalo sekarang kamu butuh waktu sendiri buat mikir, Mama nggak akan ganggu. Kamu bisa jadikan Chandra motivasi buat tetap kuliah. Siapa tau, nanti kamu akan ketemu Chandra-Chandra lain yang juga butuh bantuanmu sebagai psikolog setelah lulus S2."

Setelah ibunya keluar kamar, Fay kembali memasang headset dan memutar lagu favoritnya untuk menenangkan emosi. Namun, belum lama musik terputar, ia sudah terpejam dan masuk ke alam mimpi.

Lagi-lagi, Fay berada di tempat asing. Ia tidak tahu dirinya ada di mana, tetapi begitu banyak orang yang mengantre di depannya.

Fay menelusuri antrean itu hingga barisan terdepan dan mendapati sebuah pagar dengan sebuah papan besar bertuliskan,

Orang tidak sehat mental dan orang dengan gangguan mental dilarang masuk agar tidak mengganggu ketenteraman wilayah serta kehidupan orang-orang normal!

"Ini antrian apa, ya, Mbak?" tanya Fay pada seorang wanita di dekatnya.

"Kami mau hidup tenang di seberang. Tapi, kami dilarang masuk karena terdeteksi tidak sehat mental. Ini pada ngantri karena katanya bakal ada tenaga kesehatan yang bisa bikin kami hidup normal lagi."

"Mana tenaga kesehatannya?" Fay celingak-celinguk, tetapi tidak menemukan siapa pun selain dirinya dan antrean yang begitu panjang ini.

"Nggak tau. Kami cuma mau hidup normal, tapi nggak ada yang bantu."

Hati Fay serasa teriris tatkala ia kembali melihat dengan saksama siapa saja yang ada di barisan itu. Memang, tidak ada yang dikenalnya. Hanya saja, tidak hanya orang dewasa yang ada di sana, melainkan seorang remaja dan anak-anak pun mengantre dengan raut wajah sedih. Bahkan, beberapa dengan tatapan kosong memandang langit.

"Kamu nggak mau bantu mereka Fay?"

Sebuah suara yang sangat familier di telinga Fay terdengar dari balik punggungnya. "Chandra?"

"Mereka butuh kamu, Fay. Bukan hanya aku."

"Tapi, aku butuh kamu juga buat nemenin aku dan liat perkembanganku, Chan. Aku bisa kayak gini juga karena kamu yang nyadarin aku."

Lelaki berbaju hitam dengan garis-garis putih itu menggeleng. "Bukan aku yang nyadarin kamu. Tapi, diri kamu sendiri sebenarnya paham apa yang perlu kamu lakukan. Aku hanya perantara aja."

Fay mendekati lelaki itu. "Jadi, menurutmu aku harus bantu mereka?"

Chandra tersenyum. "Tanyakan itu ke hatimu sendiri, Fay. Apa tujuan awalmu pas kamu pengen jadi dokter? Apakah tujuan itu cuma bisa didapat dengan jadi dokter?"

"Aku tau. Tapi, aku juga pengen bantu kamu."

"Banyak orang seperti aku yang perlu kamu bantu. Jangan bergantung sama aku, Fay. Dengan atau tanpa aku, aku yakin kamu bisa bantu siapa pun yang butuh kamu."

"Tapi, Chandra ...."

Mata Fay terbuka saat ia menolak untuk melihat kepergian Chandra yang kedua kali dalam mimpinya. Namun, kesadaran itu justru membuatnya terus teringat dengan wajah-wajah mereka yang mengantre di depan pagar terlarang. Bagaimana bisa orang-orang mengelompokkan siapa yang bisa hidup normal dan siapa yang tidak? Bukankah hidup normal itu hak setiap orang? Dan bukannya orang dengan gangguan mental pun bisa hidup normal jika dibantu?

Selama beberapa menit, Fay merenungkan mimpinya dan kata-kata Chandra sembari menatap langit-langit kamar. Saat ia menyadari kamarnya mulai gelap, tubuhnya pun bergerak untuk turun dari tempat tidur untuk menutup korden. Ternyata, senja sudah tiba. Entah berapa lama Fay tertidur dan terjebak di alam mimpi.

Memandang senja melalui jendela lagi-lagi mengingatkannya dengan Chandra saat mereka mengobrol di Eksotic Point Coffee setiap Chandra selesai shift. Banyak hal terlintas dalam pikirannya, banyak rencana yang tiba-tiba terpikirkan. Perempuan yang belum mandi seharian ini pun menuju meja belajarnya dan membuat buku catatan.

Tekad Fay sudah bulat. Ia harus mengubah rencana-rencananya yang tadinya berfokus pada Chandra menjadi fokus pada tujuan awal jauh sebelum dirinya bertemu dengan lelaki itu.

Dengan atau tanpa Chandra dalam hidupnya, Fay akan terus memperjuangkan dan membantu orang lain mendapatkan kehidupan yang normal melalui profesinya nanti sebagai seorang psikolog.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro