19 || Selalu Kamu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Other happy couples are hugging
As with us, I am always behind you

***

3 tahun kemudian...

Tidak pernah terpikir dalam hidup Fay bahwa ia akan menjalani wisuda yang kedua kali, terlebih lagi wisuda dengan status sebagai Psikolog tersumpah. Jika mengingat perjalanannya hingga saat ini, rasanya semua tampak mustahil. Cita-citanya sebagai dokter bedah yang harus ia relakan begitu saja tersebab trauma dan masalah keuangan membuatnya harus menjalani hari-hari sebagai mahasiswa psikologi dengan terpaksa.

Penolakan-penolakan yang selalu Fay ucapkan pada dirinya sendiri selama belajar di jurusan psikologi akhirnya mampu ia terima setelah hatinya menyadari bahwa menjadi dokter bukanlah satu-satunya jalan. Ditambah lagi, hal itu terbukti saat ia menjalani Praktik Kerja Profesi Psikolog, biasa disingkat PKPP, yang dilakukan sebagai syarat ujian HIMPSI—ujian dari Himpunan Psikolog Indonesia untuk mendapatkan izin praktik dan sebutan resmi sebagai psikolog.

Selama PKPP, Fay tidak hanya menemukan sosok yang memiliki luka sama dengannya—trauma masa lalu yang menghambat diri melangkah menggapai mimpi—tetapi juga berbagai permasalahan yang mengganggu keberlangsungan hidup seseorang. Semakin hari, perempuan berambut seleher ini semakin menyadari bahwa setiap orang memiliki titik lemahnya masing-masing dan tidak ada yang bisa dibandingkan satu sama lain.

Namun, ada sedikit penyesalan dalam hati Fay. Ia belum menemukan sosok seperti Chandra selepas kepergian lelaki itu.

Ada harapan dalam hati Fay bahwa saat PKPP ia bisa bertemu dengan seseorang yang memiliki gangguan DID agar ia bisa memenuhi salah satu tujuannya—membantu orang seperti Chandra yang memiliki DID juga. Bukan berarti ia berharap kasus DID di Indonesia meningkat, sama sekali bukan. Ia hanya ingin belajar dan mempraktikkan ilmunya yang sudah dikembangkan selama berkuliah S2. Khususnya, untuk gangguan disosiatif seperti DID.

Meskipun demikian, Fay tidak pernah menyesali keputusannya untuk berkuliah dan mengambil kesempatan mendapatkan sebutan psikolog. Setidaknya, banyak proses yang telah ia lalui dan membuatnya lebih mampu menghargai keilmuan yang dulu ia benci karena terpaksa menjalaninya.

"Bisa dibilang, saya bukan orang dengan penuh empati," ujar Fay pada pidatonya sebagai lulusan terbaik saat wisuda berlangsung. "Dulu, saya selalu menolak segala teori yang saya pelajari di Psikologi, bahkan meremehkan permasalahan orang lain. Sama sekali bukan sosok yang pantas mendapatkan sebutan sebagai psikolog. Tapi, hari ini, saya mendapatkannya. Aneh 'kan?"

Hadirin tertawa mendengar kalimat Fay.

"Lucunya lagi, sekeras apa pun mama saya menyadarkan saya, saya sangat keras kepala. Maaf, ya, Ma, kalo putrimu ini sangat menyebalkan dan keras kepala."

Semua mata tertuju pada ibu Fay yang duduk di barisan orang tua sambil tertawa pelan.

"Kalau saja Tuhan tidak mengirimkan saya seorang teman yang menyadarkan potensi ini, mungkin saat ini saya tidak akan berdiri di hadapan teman-teman dan Bapak-Ibu dosen." Fay tersenyum pada hadirin. "Saya sangat berterima kasih pada teman saya yang kini mungkin sedang berproses menjadi lebih baik juga dalam hidupnya."

Netra Fay jauh memandang ke barisan belakang. Membayangkan, kalau saja ayahnya dan Chandra ada di sana melihat dirinya, bagaimana ekspresi mereka? Bangga dengan senyum lebar? Atau justru menahan malu karena pidatonya yang absurd?

Ah, dan bagaimana kabar Chandra saat ini? Apakah ia sudah mengalami penyatuan? Atau masih bersama Lyon dan kepribadian lain?

Pikiran-pikiran itu beberapa kali terlintas dalam benak Fay selama sesi wisuda berlangsung. Masih Chandra, dan selalu Chandra yang teringat. Mungkin memang karena lelaki itulah yang menjadi perantara Fay menemukan titik balik dalam hidupnya.

"Terakhir, pengingat untuk saya dan kita semua yang telah memilih jalan ini, semoga kita bertanggung jawab atas pilihan ini dengan sepenuh hati. Mengutip perkataan teman saya, ada banyak cara untuk membantu orang lain mendapatkan kehidupan yang lebih baik, salah satunya dengan profesi sebagai seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi." Fay tidak lupa bahwa yang diwisuda saat itu tidak hanya dari S2 Magister Profesi Psikologi, tetapi juga dari S2 Magister Psikologi.

Fay melanjutkan, "Apa pun profesi kita, jangan pernah berhenti untuk membantu orang lain. Juga, pastikan bahwa keputusan ini murni dari hati dan diri masing-masing, bukan untuk pembuktian atau apresiasi dari orang lain. Karena jika orang lain menjadi sebab dari impian dan tujuan kita, semua itu akan menjadi tidak berarti jika orang lain menghilang. Sayang, kan, kalau kita harus melepas impian dan tujuan hanya karena orang lain?"

Kadang, Fay merutuki dirinya yang kurang pandai merangkai kata-kata. Kadang, ia pun khawatir penyampaiannya membuat orang lain salah paham karena dirinya pun masih belajar untuk bisa berbicara dengan penuh empati.

"Intinya, teruslah berkarya dan bermanfaat dengan atau tanpa apresiasi dari orang lain. Mulailah dari diri sendiri yang mengapresiasi segala usaha serta jerih payah kita hingga saat ini. Sekian dan mohon maaf jika saya ada salah kata. Terima kasih!"

Tepuk tangan menjadi pengiring Fay turun dari podium dan menyalami para dosennya. Ia pun kembali duduk di barisan wisudawan sembari mengarahkan pandangan ke kursi ibunya. Meski dari jauh, perempuan bertoga ini bisa melihat mata ibunya yang berkaca-kaca sembari tersenyum penuh getar. Fay ingin segera memeluk ibunya dan berterima kasih sebanyak-banyaknya karena telah sabar dengan dirinya. Namun, masih ada beberapa prosesi dan agenda wisuda yang harus dijalani hingga selesai.

Sesi foto bersama menjadi penutup acara wisuda lulusan S2 Magister Profesi Psikologi dan S2 Magister Psikologi. Lulusan terbaik tidak menjadi satu-satunya predikat yang Fay miliki saat ini. Akan tetapi, ia pun menjadi salah satu yang paling populer di antara teman-teman seangkatannya karena keterampilannya dalam bergaul. Tidak heran jika selepas wisuda, banyak yang menghampirinya dan memberi selamat dengan berbagai bingkisan juga buket bunga.

"Fay, Mama tunggu di kantin aja, ya, sekalian makan ini," ujar Dian menunjuk nasi kotak yang menjadi bingkisan konsumsi untuk orang tua. "Kamu puas-puasin aja foto sama temen-temenmu."

Fay mengangguk. Melihat raut bahagia di wajah ibunya memunculkan kelegaan dalam jiwa. Jika mengingat bagaimana penolakannya dulu terhadap pilihan sang ibu, sungguh, ia merasa sangat durhaka.

Mungkin emang definisi yang terbaik itu nggak langsung kita tau saat itu juga. Kadang, butuh waktu sampai akhirnya sadar kalo pilihan itu emang yang terbaik, batin Fay sembari memandang ibunya yang menjauh dari kerumunan.

"Fay, ayo foto bareng!" Segerombol perempuan menghampiri Fay.

"Udah wisuda dua kali, kok, masih belum punya gandengan, sih, Fay?"

"Iya, lho. Aneh banget orang gampang gaul kayak kamu masih belum punya pawang."

Ucapan teman-teman perempuannya itu hanya membuat Fay tertawa. "Pawang, pawang. Dikira aku hujan apa sampe kudu ada pawangnya?"

"Emang nggak ada gitu yang bikin hati kepincut?"

"Ada."

Semua pasang mata membelalak. "Serius? Siapa?"

Fay mengangkat alisnya. "Kamuuu!"

Teman-temannya mendesah kesal dengan jawaban itu. Meski mereka sudah tidak aneh dengan tanggapan Fay yang kadang garing, bahkan absurd itu, tetap saja mendengarnya berulang kali membuat jiwa-jiwa julid geregetan.

"Fay, boleh foto bareng?"

Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mendekat ke kerumunan perempuan itu. Sontak mata teman-teman Fay melirik nakal. "Ini, nih, pawangnya," celetuk salah satu dari mereka.

Fay tidak ambil pusing. Ia hanya memasang wajah mengejek dan tetap bersikap biasa saja meski teman-temannya meninggalkan dirinya berdua dengan lelaki itu.

"Selamat, ya, akhirnya jadi psikolog juga."

"Makasih, Reksa! Ayo, katanya mau foto bareng."

Reksa pun memanggil seorang temannya untuk mengambil fotonya dengan Fay. Lelaki berkemeja biru muda dengan rambut cepak itu sudah lebih dulu menjadi psikolog dan wisuda di periode sebelumnya. Banyak yang menjodoh-jodohkan Fay dengan lelaki ini selama masa perkuliahan karena keduanya terkenal sebagai mahasiswa teladan dengan nilai mendekati sempurna. Tak hanya itu, di periode lalu, Reksa pun menjadi lulusan terbaik seperti Fay saat ini.

Hanya saja, Fay sama sekali tidak terpikir untuk menjalin hubungan selama kuliah. Ditambah lagi, ingatannya masih belum melepas Chandra sepenuhnya. Sebenarnya, Fay ada rencana untuk datang ke negara tempat Chandra menjalani pengobatan dan terapi usai dirinya menjadi psikolog, setidaknya untuk pamer tentang profesi barunya. Ia bisa meminta bantuan Om Asep untuk itu, kan?

Lagi pula, Fay tidak pernah melupakan letak rumah paling besar yang pernah ia kunjungi seumur hidupnya—rumah Om Asep tentu saja.

"Mama kamu mana, Fay?" tanya Reksa usai keduanya berfoto.

"Oh, ke kantin. Mau makan katanya."

"Kamu ada yang mau ditemui atau diajak foto lagi?"

"Enggak, sih," lirih Fay yang tiba-tiba teringat akan keinginannya mengabadikan momen wisuda bersama Chandra. Namun, tentu saja hal itu tidak mungkin karena selama ini keduanya sudah putus kontak.

"Ya udah. Yuk, samperin mama kamu. Kasian kalo makan sendirian." Reksa sudah menggendong lagi ranselnya yang sempat ia letakkan saat berfoto dengan Fay. "Ini aku bantu bawa juga, ya. Berat pasti."

"Eh, nggak usah. Aku bisa sendiri, kok."

"Nggak apa-apa, sini—"

"Fay! Ada yang nyari, nih!" Seorang teman perempuannya mendekat ke arah Fay dan Reksa.

"Siapa?" Fay membalikkan badan dan mengarahkan pandangan ke sosok yang ada di belakang teman perempuannya itu. Sat itu juga jantungnya serasa berhenti.

Tidak. Dunia ini serasa berhenti.

Mata itu, senyum itu, dan tentu saja rambut klimis yang ditata ke atas, Fay masihdan sangat mengenalnya. Netranya menatap lekat lelaki berkemeja putih dengan jashitam yang tersampir di lengan kirinya. Sedangkan di tangan kanan, lelaki itumembawa sebuah buket bunga yang juga berisi beberapa makanan ringan.

Meski Fay tidak yakin, hanya satu nama yang mampu menerobos keluar dari lisannya. "Chandra?"

"Hai, Fayza. Lama nggak ketemu."

Kalau saja bukan karena keramaian wisuda dan keharusan Fay menjaga gengsi di depan teman-temannya, mungkin ia sudah berlari menghampiri lelaki itu. Memeluk sosok yang sangat ia rindukan hingga ke dalam mimpi-mimpi di setiap malamnya.

Chandra ada di hadapannya.

Apakah, lagi-lagi, ini sebuah mimpi?

***

Ya, gimana Fay nggak dag-dig-dug kalo Chandra kayak gini. Aku aja speechless...

Menuju tamat di Bab 20~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro