20 || Aku, Kamu, Kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

As I look into the sky and our dream, I promised you
You'll never be alone again

***

Ketika Tuhan menjawab doanya untuk menghadirkan satu dari dua lelaki yang Fay harapkan di wisuda keduanya, ia justru sulit berpikir jernih. Untung saja situasi wisuda sudah mulai sepi dan setidaknya Fay ada alasan untuk menghindari Reksa. Dengan tidak tahu dirinya, ia juga memesankan taksi online agar ibunya bisa pulang terlebih dulu. Tentu saja supaya bisa lebih lama bertukar sapa dengan lelaki yang dirindukannya tanpa harus membiarkan ibunya menunggu.

"Mas, nanti pas nyampe rumah, bantuin mama saya nurunin semua ini, ya," ujar Fay pada sopir taksi yang membantu memasuk-masukkan bingkisan, buket bunga, dan toga wisuda yang sudah dilepas Fay. "Makasih, Mas. Titip mama saya selamat sampai rumah, ya!"

Namun, setelah taksi yang membawa mamanya pergi, Fay kembali bingung. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana memulai obrolan dengan Chandra? Mengapa semuanya terasa canggung? Padahal, biasanya berkenalan dengan orang asing sekalipun, Fay tidak mengenal rasa malu apalagi canggung.

"Kamu kaget, ya?" ujar lelaki itu tiba-tiba.

"Ah! Ehm, lumayan. Kamu mau liat-liat kampus? Yuk, jalan dulu aja keliling." Fay masih belum mau menatap Chandra sepenuhnya.

"Kalo kamu nggak keberatan dan nggak ada agenda lain, sebenernya aku mau ngajak kamu ke tempat lain."

"Nggak ada. Ke mana?"

"Sebelum itu, apa ada yang bakal marah kalo aku ngajak kamu pergi hari ini? Pacar atau ... Mungkin suami kamu?"

Fay tertawa. "Apaan, aku belum nikah. Sibuk belajar nggak sempet mikirin kayak gituan."

"Jadi, belum ada?" Gelengan kepala dari Fay membuat Chandra tersenyum hingga matanya tampak segaris dan sedikit melengkung seperti sabit. Ia pun meraih tangan Fay dan menggandengnya menuju tempat parkir motor. "Yuk!"

Respons yang sama masih diberikan oleh tubuh Fay setiap kali lelaki itu menggandeng tangannya. Perempuan yang rambutnya diurai ini hanya mampu menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kelewat panas karena darah seluruh tubuhnya sedang terpompa lebih cepat. Meski sempat terlintas ingatan tentang perpisahan yang menyedihkan, hari ini Fay mengabaikan pikiran itu. Ia hanya ingin fokus pada momen bahagia yang sedang terjadi di hadapannya detik ini juga.

Sepanjang perjalanan, keduanya sama-sama diam. Arah yang dituju oleh Chandra dengan motor besarnya terasa familier bagi Fay. Jangan-jangan, ini jalan ke ...

Dugaan perempuan yang masih memakai kebaya terusan berwarna krem itu terbukti benar ketika keduanya sampai di tempat parkir taman bermain. Tempat terakhir mereka bertemu. Tempat terakhir yang menyaksikan perpisahan mereka.

Selama berdamai dengan kehilangannya pasca kepergian Chandra, ia juga sering ke sini dan merenung sendiri di dalam bianglala. Sejak berproses selama kuliah S2, mengekspos diri dengan kenangan menyedihkan bisa membuatnya semakin menerima kenyataan dan berusaha melihat sisi baik dari kesedihannya itu.

"Gimana kabarmu, Fay?" Chandra membuka obrolan setelah keduanya masuk ke taman bermain.

"Seperti yang kamu lihat."

"Keliatannya, sih, baik. Beneran baik?"

Fay terkekeh. "Iya, baik. Kamu sendiri gimana? Oh, ya, apa kamu udah jadi satu-satunya dalam tubuh itu?"

Chandra sudah menduga pertanyaan itu. Lagi pula, wajar jika Fay menanyakan perihal kondisi dirinya yang pergi tiba-tiba dengan alasan pengobatan. "Sempat udah, lalu terpecah lagi."

"Kok bisa?"

Chandra mengedikkan bahu. "Kenapa? Kamu pengen ketemu Lyon biar bisa adu gombal?" godanya.

"Emang bisa?"

Lelaki itu menggeleng sambil melepas jas yang ia pakai saat mengendarai motor. "Udah enggak. Mereka yang pernah kamu temui dulu, sekarang udah nggak ada. Tapi, ada satu yang muncul lagi. Namanya, Dareen."

Fay mengerutkan dahi. "Dan tugas dia adalah?"

"Menyeimbangkan diriku, mungkin? Aku tenang, dia sangat bersemangat. Aku gampang down, dia optimis banget. Cuma, aku tipe yang rapi, dia nggak beraturan. Kadang sebel kalo pas aku bangun, kamarku kayak kapal pecah."

Keduanya tertawa. Fay bisa memahami kondisi itu. Ia pernah membaca bahwa ada seorang dengan DID yang sudah mengalami fusion atau penyatuan, tetapi karena satu dan lain hal kepribadiannya terpecah lagi dan menjadi sebuah sistem dengan kepribadian lain. Mungkin, itu yang sedang dialami Chandra.

"Berarti, kamu udah sharing memory sepenuhnya sama alter yang sebelumnya?" tanya Fay lagi.

"Udah. Aku udah inget semuanya. Dan, ya, kalo boleh memilih, aku lebih pengen nggak inget sama sekali, sih. Tapi, proses terapiku di sana bikin semua itu terjadi."

"Dan perasaanmu sekarang gimana?"

"Aku kangen kamu."

Fay berhenti melangkah. Ia tidak mengekspektasikan jawaban itu dari seorang Chandra. Lain halnya jika Lyon yang sedang berada di hadapan. "Kamu jadi bisa gombal juga kayak Lyon?"

"Kamu pikir aku nggak bisa?"

"Ya, aneh aja, sih."

Chandra mengelus lembut puncak kepala Fay, lalu mengecek ponselnya yang tiba-tiba bergetar. "Naik itu lagi, yuk!" Ia menunjuk ke bianglala yang ternyata sudah dekat dari tempat mereka berdiri. Tentu saja Chandra tidak menunggu persetujuan Fay dan langsung menarik tangan perempuan itu. Di hari kerja, taman bermain sepi sehingga keduanya tidak perlu mengantre untuk menaiki bianglala.

"Kamu mau membuka luka lama, mau ngucapin perpisahan lagi, atau apa, nih? Aku jadi parno sendiri kalo kamu ajakin naik bianglala," sindir Fay ketika mereka sudah menaiki salah satu kabin.

"Nggak semuanya."

"Terus?"

"Aku mau minta maaf."

"Buat?"

"Karena udah pergi dan mengacaukan perasaan kamu. Bahkan, waktu itu aku nggak nemenin kamu yang nangis gara-gara aku. Egoisnya, aku juga sengaja nggak ngehubungin kamu. Untung sampai sekarang kamu belum ada yang punya."

"Loh, kok kamu tau aku nangis?"

Chandra mengeluarkan buku catatan dari saku dalam jas yang ia letakkan di paha. "Lyon bilang di sini dengan segala umpatan buat aku," jawabnya sambil tertawa.

"Mana liat?"

Chandra menggerakkan tangannya dengan cepat untuk menghindari Fay yang ingin mengambil buku catatan itu. "Bukan di buku yang ini. Ngapain aku bawa-bawa buku yang udah penuh catatannya?"

"Ya, sengaja biar aku baca mungkin?"

"Pede banget kamu," lirih Chandra yang kembali mengusap kepala Fay dan melihat ke luar kabin. Saat menyadari keduanya hampir berada di puncak bianglala, ia berkata, "Fay, liat ke sana, deh!"

"Udah sering liat. Kamu nggak tau, kan, kalo aku sering—"

Chandra meraih kedua pipi Fay dan menggerakkannya untuk menengok ke sebuah arah.

"Wah, ada yang lagi lamaran bukan? Lucu banget itu tulisannya. Dari bunga, ya, itu? Atau apa?" Fay melihat tulisan 'Marry Me' yang ada di kejauhan dan terpana karenanya.

"Bagus, ya? Kalo kamu yang dilamar, mau nggak?"

Kepala Fay berpaling ke arah Chandra. "Maksudnya?"

"Mungkin ini klise, tapi, tiga tahun ini aku nggak bisa lupain kamu. Pulang ke Indonesia pun aku ragu. Pikiran mungkin kamu udah punya pacar atau bahkan mungkin kamu udah menikah bikin aku takut. Tapi, ya, memang itu konsekuensi buat aku yang ninggalin kamu begitu aja. Tapi ...."

Jantung Fay berdebar cepat.

"Untung kamu masih sendiri." Chandra tersenyum.

"Jadi, maksudnya ...."

"Aku mungkin bukan laki-laki yang sempurna. Kamu tau kondisiku kayak gimana, tapi, bukan berarti aku mau manfaatin kamu. Aku cuma ...." Mendadak, segala kata yang sudah Chandra siapkan sepanjang perjalanan menghilang. "Aku cuma sayang sama kamu nggak nggak mau kehilangan kamu lagi, Fay."

"Terus, dulu kenapa pergi?"

"Karena," Chandra menimbang-nimbang kalimatnya selanjutnya, "kupikir aku bakal jadi beban buat kamu."

"Sekarang kamu nggak ngerasa jadi beban?"

Chandra terkekeh. "Ya, nggak juga. Tergantung kamu nganggep aku beban atau enggak. Aku mikirin kata-kata Lyon yang bilang kalo aku bodoh banget ninggalin orang yang beneran tulus sama aku. Dan aku sadar kalo aku nggak bisa lupain kamu. Jadi, aku modal nekat aja karena takut kehilangan kamu lagi."

Sejujurnya, Fay bingung harus merespons situasi ini seperti apa. "Nggak kebalik? Kan, aku yang nggak mau kehilangan kamu buat yang kedua kalinya. Untung, ya, aku belum nikah."

"Jadi?"

Keduanya hanya berbalas senyum dan memalingkan wajah ke luar kabin demi mengontrol perasaan yang bergejolak. Masing-masing sibuk menikmati pemandangan di luar. Keheningan mengisi kabin hingga keduanya tiba kembali di titik awal.

"Kamu tau? Kayaknya kamu perlu nyiapin berbagai jawaban buat ngadepin interogasi dari mamaku." Kini, Fay yang memulai percakapan selepas keduanya turun dari bianglala dan berjalan pulang.

"Pasti tentang kondisiku, kan?"

Fay mengangguk. "Dan mamaku sangat memperhatikan pendapat orang lain. Jadi, pikirin aja cara yakinin Mama kalo gimana pun kondisimu, kamu nggak bakal biarin kita jadi bahan omongan orang lain, terutama keluarga Papa."

Chandra menghentikan langkahnya. Ia menggenggam erat tangan Fay. "Bukannya kita nggak bisa nutup mulut semua orang?"

"Bener, sih."

"Kamu malu dengan kondisiku?"

Fay menggeleng. "Aku cuma ngingetin aja. Mamaku itu keras kepala. Kita perlu mikirin cara supaya keras kepalanya luluh."

"Pantes, ternyata kamu nurun dari mamamu." Jawaban Chandra membuatnya mendapat pukulan di lengan. "Tenang, Fay. Kalo aku sendiri, mungkin nggak bakal menguatkan. Makanya, aku pun butuh bantuan kamu. Dari pada aku dan kamu sendiri-sendiri, bukannya lebih baik kita yang berjuang bersama?"

Pipi Fay memanas lagi mendengar ucapan itu. "Oke. Nggak ada sendiri-sendiri lagi. Nggak ada aku atau kamu ...."

"Tapi, kita," ucap keduanya bersamaan lalu tersenyum dan melangkah pulang dengan keyakinan penuh.

Taman bermain yang menjadi saksi perpisahan mereka, kini menjadi saksi pertemuan kembali untuk awal yang baru. Terlepas dari bagaimana hasilnya nanti, setidaknya, baik Fay atau Chandra, sama-sama mengetahui bahwa keduanya tak lagi sendiri menghadapi tantangan dalam kehidupan.

Tidak ada lagi aku atau kamu. Semua akan menjadi tentang kita.

***

Kadang yang kita lihat, bukan impian sesungguhnya, tetapi hanya wajah luar dari impian itu. Chandra bikin aku menyadari arti dari impian yang sesungguhnya, walaupun sebenernya Mama udah sering ngingetin. Menjadikan orang lain sebagai motivasi itu nggak salah, tapi jangan jadikan satu-satunya motivasi. Biar kalo mereka hilang dan pergi, motivasi kita nggak sepenuhnya hilang.

Makasih, Chandra, aku sayang kamu!

Fayza Salma Adriani

***

Luka hadir bukan untuk dibiarkan, tapi untuk diobati. Perih memang, apalagi jika sendiri. Meski sendiri, bukan berarti ia tak bisa terobati. Namun, jika ada support system di sisi, tentu itu lebih baik. Setidaknya, aku punya psikiater yang menemani proses awalku menyembuhkan luka. Lalu, Tuhan kirimkan Fay sebagai pelengkap. Apa pun trauma kami, kami nggak takut lagi. Menghadapi itu dengan berani, ternyata membawa kami menjadi sisi terbaik diri.

Hai, Fayza, semoga kita bisa terus berjuang bersama menghadapi segala tantangan dari semesta di kapal bernama rumah tangga, ya!

Luthfi Chandra Semesta

***

Terima kasih untukmu yang sudah menemani perjalanan Fay dan Chandra dalam Silent Dream! Semoga ada hal baik yang bisa kamu dapatkan dari cerita ini, ya!

Mari kita tutup dengan foto tampan dari Chandra XD

Sampai jumpa lagi di cerita berikutnya!

Oh, butuh extra chapter, nggak? Wkwkwk

salam,
anisanza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro