03 | Melepas Ikatan Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Manusia terkadang terlalu angkuh untuk mengakui kelemahannya, dan mereka terlalu merendah untuk diakui orang lain."


"Anda benar-benar memiliki bentuk wajah yang bagus." Sesudah kalimat itu terucap, Eunkwang tersenyum arah kaca untuk meneliti hasil tangannya sejenak. Sosok di bangku terlihat berkilau penuh daya tarik yang kental.

Merasa dipuji, perempuan itu mesem sebelum membalas kalimat Eunkwang. "Memang tidak pernah salah aku memilihmu untuk merias, apalagi pada hari penting seperti sekarang."

Tanggapan Eunkwang tidak jauh dari senyum, toh dia tidak punya alasan untuk menyangkal kalau si pelanggan puas oleh hasil kedua tangannya.

"Oh ya, sekitar jam setengah tujuh kau bisa ke tempat acara? Untuk merapikan lagi, adikku tidak akan membolehkanku pulang kalau acara dia belum selesai, sampai tengah malam soalnya."

"Karena ini hari Sabtu," sahut Eunkwang, secara tidak langsung menyanggupi. Sebab bukan baru sekali Nam Nauna datang ke salon Eunkwang, ia pasti mengetahui jadwal buka atau tutup SeO.

"Akan kukirim alamatnya ke nomormu."

Sejalan Eunkwang menyentuh wajah Nauna kembali, juga senyum yang terus terkembang ada hati yang patah di balik pintu masuk berbahan kaca bening salon SeO. Kedua tangan Eunkwang beralih menyempurnakan rambut si perempuan, begitu terampil dan hati-hati.

Kim Sangeum cukup tahu, Eunkwang tengah bekerja, Sangeum bukan anak-anak yang tidak mengerti bahwa Eunkwang sedang menerapkan profesionalitas. Namun, haruskah laki-laki itu membutakan hari demi pelanggan?

"Kau selalu saja pamer pesona." Sangeum beranjak menjauh dari bangunan SeO, tidak jadi mengajak Eunkwang pergi. Hari Sabtu, semestinya SeO tutup sebelum jam sembilan malam. Niat awal, Sangeum akan menunggu sampai Eunkwang selesai pukul tujuh, tapi sudah lebih dulu kepanasan.

"Dia pasti memilih bekerja, paling kalau kupaksa akan keluar kata, lain hari, kuluangkan waktu banyak untukmu. Cih, kapan coba 'waktu banyak' itu?"

Bualan. Kata waktu banyak senantiasa menjadi andalan Eunkwang kala tidak bisa bersama Sangeum, dan belum pernah terwujud. Paling-paling tidak sampai tiga jam, Eunkwang sudah pamit berpisah lebih dulu sebab mesti menyiapkan kebutuhan salon.

Sangeum mengeluarkan ponsel usai puas menggerutu. Ia mengirim pesan kepada Jimin untuk bertemu dengan dalih makan.

Jim:

Sudah menjelang sore ini.
Memang kau tidak malam mingguan?
Gagal lagi?

"Hiss, apakah sejelas itu?" gumam Sangeum, kemudian kembali mengetik.

Eum:

Mau tidak?

Jim:

Iyaaa.

"Rancu." Sangeum mendesah atas kepayahan Jimin menjawab. Sudahlah, terpenting artinya Jimin setuju, tinggal mengirim lokasi tempat di mana mereka akan makan.

✳✳✳

"Jim."

Sosok yang dipanggil terdiam, batal meneguk air mineral dan memilih memerhatikan Sangeum.

"Jimmm...."

"Mabuk." Jimin menghela napas, lantas meminum air yang sempat tertunda, mana sudah memegang gelasnya juga.

Melirik arah tiga botol soju yang telah kosong, Jimin menaruh gelas di atas meja bundar. Sangeum tidak makan apa-apa selain minum alkohol. Jimin jadi heran, padahal gadis ini sendiri yang mengajak makan, tapi makanannya tidak tersentuh, sampai sudah mendingin. Lagipula, kehilangan selera makan, itu sama sekali bukan ciri Kim Sangeum. Pasti sedang galau.

"JIMIINN!"

"Aih!" Jimin menutup mulut Sangeum seraya menoleh arah berlawanan, ia menunduk sopan sekaligus mengucap maaf atas terganggunya pasangan di kursi sebelah.

"Aku di sini, jangan memanggilku keras-keras begitu," desis Jimin, kembali memberi kebebasan mulut Sangeum. Ia tidak malu atas racauan Sangeum, hanya saja tidak enak hati sama pengunjung kedai. Ah, tidak ada yang benar menghadapi orang mabuk!

"Menurutmu, apakah Eunkwang oppa... benar menganggapku sebagai kekasihnya?"

Bungkam. Entah, Jimin hanya tidak ingin menjawab, terlebih Jimin mana tahu soal isi hati Eunkwang, 'kan?

"Dia selalu saja ramah kepada orang lain, saking ramahnya mengumbar senyum sana sini seolah bibirnya tidak pernah pegal, terutama kepada pelanggannya. Oppa juga sering mengorbankan hal pribadi untuk memenuhi inginnya orang lain!" Sangeum menggeram usai berhasil membanjiri telinga Jimin dengan nada tinggi, lalu memperlihatkan kuku-kukunya yang belum digunting. Kedua tangannya dengan angkuh mengacung, sikut bertumpu meja.

"Perkataanku semasa kita kuliah terbukti." Senyum tidak menyenangkan itu tampil dari Jimin. "Dia terlalu baik."

"Apa karena mereka cantik, Eunkwang oppa selalu menuruti mereka? Di sisi lain... aku merasa tidak apa-apa Eunkwang oppa begitu, tapi aku tidak mengerti, mengapa... mengapa rasanya sakit di sini?" Gadis itu mulai anarkis memukul rongga dada, yang lantas Jimin tahan sebelah tangannya.

"Sangeum." Jimin gemas sendiri akan ucapan melantur Sangeum, pun tingkahnya kepada diri sendiri. Terus terang, Jimin tidak menyukai Kim Sangeum seperti ini, akan lebih baik jika Sangeum menggunakan ringan tangannya untuk memukul Jimin, memaki, atau melontarkan kata-kata sarkas jika tidak menyetujui suatu pendapat.

Iya, Sangeum mabuk, Jimin paham. Namun, biasanya apa yang diucapkan kala mabuk senantiasa delapan puluh delapan persen dari lubuk hati terdalam. Hal begini saja mampu membuatnya juga kesakitan, bukan cuma Sangeum.

"Dengar, Kim Sangeum. Saat ini kau sedang memandang rendah diri sendiri, jika kau sudah tidak kuat, maka lepaskan ikatan hatimu."

Gadis yang sempat tertunduk mengangkat wajah, menatap tepat ke dalam mata Jimin. Pasang mata laki-laki itu menyiratkan luka, tapi Sangeum tidak tahu, tidak akan pernah tahu. Tangannya masih Jimin pegang sebagai penyangga guna berjaga-jaga kalau kepala Sangeum terantuk meja.

"Melepas... ikatan... hati...ku?" Kemudian, Sangeum benar-benar jatuh, bukan berbenturan meja, melainkan dalam dekapan Jimin yang sedari tadi sengaja memosisikan diri duduk di sebelah Sangeum.

"Bodoh," gumamnya. "Ketika ikatan hatimu kian menguat, kau tidak akan bisa bernapas, maka satu-satunya solusi kau harus melepas."

Tubuh Jimin masih kuat menahan Sangeum, tangan Jimin masih tegar memegang punggung gadis itu. Demikian, selama Park Jimin masih kuat dalam segala hal terkait Sangeum, ia tetap akan berada di sisinya walau harus menceburkan diri ke dalam kesakitan yang kian menyesak.

Coba bayangkan, tangan mana yang akan membantu bangkit kala Sangeum tengah terpuruk? Bahu mana yang akan bersedia menjadi sandaran kala air mata Sangeum tidak bisa terhenti, dan kehadiran siapa yang bakal tersaji kala Sangeum sedang patah seperti sekarang jika bukan Jimin?

Jangan salah paham, bukannya ingin menyombongkan diri, tapi Jimin memang dibutuhkan oleh Kim Sangeum.

Lantas, ia selalu bertanya-tanya, mengapa hati Sangeum juga tidak turut membutuhkannya? Mengapa bayangan Jimin tidak pernah tampak dalam mata gadis ini?

Andaikan Jimin dapat berbicara pada hati Sangeum, ia ingin sekali memberitahu; bahwa hatiku yang terbaik, hatiku yang mampu mengisimu melebihi siapa pun.

✳✳✳

Sore kian meredup, terganti malam bersama lampu-lampu yang turut membantu penerangan di luar. Lagu yang entah apa-Eunkwang tidak hafal, terdengar keras dari acara pertunangan. Dia menunggu pelanggannya di bangku belakang dalam ruangan besar, sudah ada lima belas menit.

Tersadar akan sesuatu, bola mata Eunkwang menurun, tertuju pada gantungan bintang-bintang yang menjadi penghias meja. Satu tangkai kayu buatan, tergantung origami bintang berwarna-warni, sinar dari bohlam kecil dalam vas menguar ke atas; memberi efek bersinar, seolah bintang-bintang itu berada di atas langit.

Tidak tertarik oleh lagu atau perpaduan percakapan para tamu, Eunkwang memotret bintang-bintang di depan mata menggunakan kamera ponsel.

Mencari kontak bernama 'Cahaya', Eunkwang mengirim gambar yang baru saja dia jepret bersama teks: Aku selalu mengingatmu kalau melihat bintang, padahal aku yang menjadi bintangmu, kan? Hehe....

Centang satu.

Eunkwang menatap layar ponselnya yang masih menampilkan hal sama selama tiga menit, belum terbaca oleh orang yang dimaksud.

"Cahayaku sedang dalam dunia imaji sepertinya." Eunkwang berkesimpulan demikian, sebelum menempatkan kembali ponsel dalam saku celana dan kembali menunggu si pelanggan.

Tak lama, Nam Nauna tampak, berjalan anggun mendekat Eunkwang.

Laki-laki itu segera berdiri, mengambil kotak rias berwarna perak cerah di atas meja-bersiap untuk melakukan pekerjaannya.

"Sehabis membereskan riasanku, maukah kau membantuku?"

Eunkwang mengembangkan senyum, lalu mengangguk. Mata tersorot fokus terhadap Nauna seorang. Ini yang membuat siapa saja nyaman dekat-dekat Eunkwang, dia karismatik, tatapnya lembut....

"Jadilah kekasihku, hanya untuk malam ini."

Dan mudah diminta tolong.

"Sekadar formalitas di hadapan keluarga tunangan adikku, ya?"

Saking mudahnya, nyaris dimanfaatkan.

Sikap alami dari Seo Eunkwang; tidak bisa menolak permintaan tolong walau hati memberontak, juga selalu mengiyakan permintaan tolong sebelum mengetahui apa yang harus ditolong.

.
.
.

Bersambung....

C/A: Terkadang, bingung aku ini nulis apaan. HAHA. Um, sekadar mau kasih tahu, kalau minggu depan Silverstar nggak update dulu yaa. Anu, akunya ada proyek bikin oneshoot, pingin fokus ke situ dulu. (Halahe, padahal banyak naskah terbengkalai, huh). Nah, jadi pas minggu depannya lagi, aku apdet dua bagian ya, biar bayar hutang #EH

Semoga kalian sehat selalu!

Bogor, 15 Oktober 2020
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro