04 | Sepatu Pemikat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cinta tumbuh dari benih yang tertanam di dasar hati, semakin disiram, semakin tumbuh besar. Kagum tumbuh di tepi hati, semakin disiram, semakin menjauh."

Suara dari sepatu high heels seolah menggema akibat terbentur lantai. Norak, begitu bisik-bisik penghuni kampus yang Sangeum lewati. Bukan apa-apa, si pemakainya pun terlihat kesulitan, suara yang dihasilkan menjadi dua kali lipat lebih berisik. Namun, Kim Sangeum yang terlahir tidak pernah peduli pada omongan orang lain terus saja berjalan guna cepat sampai ke tempat tujuan.

Ruangan praktik tata rias! Hati Sangeum demikian bersorak-sorai, lupakan kalau hati Sangeum hanya satu, dan bukan cuma sepatu luarnya yang berisik minta ampun, hatinya juga. Ruangan praktik tata rias! Ruangan....

TLAK!

"Aduh." Kaki kanan Sangeum tertekuk begitu tubuhnya ambruk. Hak sepatunya patah.

Alih-alih mendapat bantuan dari orang sekitar, mereka justru menyempatkan diri mengerem langkah demi melihat Sangeum teronggok di bawah sana.

Dari balik kerumunan itu, Jimin mendesak diri. Cuma Jimin yang kukuh mendekati Sangeum guna menarik lengannya.

"Ish, sakit bodoh!"

Mata laki-laki itu segera tertuju pada kaki Sangeum, secara cepat dapat menyimpulkan bahwa kaki gadis yang baru saja memaki, terkilir. Dengan sabar, Jimin meraih tubuh Sangeum supaya bisa memapahnya, lantas menjauh dari kerumunan usai mengambil sepasang sepatu, dan meninggalkan sebatang patahan high yang menyerupai kayu.

Jimin sebetulnya heran oleh pemikiran kebanyakan orang, mengapa seseorang dari mereka yang membutuhkan bantuan, atau tengah terluka bukan segera ditolong malah diam bak kehilangan separuh kewarasan. Sebegitu Sangeum satu spesies dengan mereka, bagaimana coba sikap mereka ke hewan atau tumbuhan, kalau sesama saja tidak mau membantu?

Duh, semestinya Sangeum memaki 'bodoh' pada orang yang hanya menonton ia kesakitan. Bukan kepada dirinya! Jimin sebal, tapi tetap melanjutkan langkah perlahan untuk mengimbangi Sangeum yang kesulitan berjalan.

Kampus tempat mereka serap ilmu memiliki fasilitas ruang kesehatan, sekaligus untuk praktik anak-anak jurusan kedokteran. Tanpa menunggu persetujuan, Jimin membawa Sangeum masuk ke ruangan itu.

Seorang mahasiswi selesai praktik tak segan membantu Sangeum menaiki brankar, lalu berusaha menulikan telinga kala pasiennya ini teriak-teriak serupa ibu hamil mau lahiran. Padahal kakinya baru disentuh, belum tahap pertolongan pertama.

Beberapa menit terlewat, perempuan berjubah putih itu hengkang usai membebat pergelangan kaki Sangeum, dan menerima ucapan terima kasih dari sosok yang sempat membuat telinga kebas. Benar-benar, Jimin sampai berpikir ingin memplester mulut Sangeum, tapi sudah selesai sebelum niatnya terlaksana.

"Kau tidak tahu kalau tadi sudah mempermalukan diri sendiri? Lagipula ini apa?" Jimin memperlihatkan sepasang sepatu yang awal dipakai Sangeum. Kecerewetan Jimin dimulai dari sekarang. "Kau tidak terbiasa menggunakan ini, mengapa kau menggunakannya?"

"Aku tidak mempermalukan diriku, mereka saja yang kepo. Mereka pikir, aku jatuh adalah tontonan komedi, apa? Walau mereka terlihat tidak tertawa, tapi kuyakin dalam hati mereka mentertawakanku. Kampungan." Kalau soal bicara pedas, tidak ada yang bisa menandingi seorang Kim Sangeum. "Nih ya, aku menggunakan itu untuk memikat Eunkwang oppa."

Jimin menarik napas guna menurunkan intensitas dongkol. "Kau memang tidak tahu apa-apa, Kim Sangeum. Jika kau menyukai seseorang, maka bersikaplah seperti dirimu sendiri sehingga orang yang kau suka menyukaimu apa adanya."

Nah, kalau soal bicara bijak, Sangeum selalu kalah telak dari Jimin. Ia menatap temannya tidak suka. Kalimat itu, menohok Sangeum masalahnya.

"Aku tahu, kok. Mencoba tidak ada salahnya, 'kan?" Kim Sangeum ini memang ratunya keras kepala, bukan cuma ratu rumit kalau sedang menyangkut keidealisan isi pikirannya.

"Tetapi kau keluar dari apa yang bukan dirimu." Menarik kursi yang sejak tadi mematung, Jimin duduk di samping ranjang Sangeum sekaligus melepas keras sepatu dalam genggamannya ke lantai hingga menimbulkan bunyi tidak enak.

"Jangan memakainya lagi." Perintah Jimin tidak akan Sangeum dengar sebagai hal yang patut dituruti, Jimin tahu, makanya ia menambahkan. "Jangan menggunakan apa yang akan membuatmu terluka. Itu salah satu penyiksaan diri, apalagi alasannya hanya membuat laki-laki tertarik."

"Walau begitu aku dapat pengalaman baru dari memakai—"

"Sshh!"

Sangeum menyipit kala Jimin bersama suara desisannya terdengar serius. Baik, mau tidak mau Sangeum memang harus menurut, daripada harus bercekcok mulut terus.

Mengambil handuk putih di atas nakas, Jimin meraih kaki Sangeum yang bebas perban. Gadis itu sempat terkejut, pergerakan Jimin amat cepat, sampai Sangeum tidak sangka kalau sekarang Jimin sedang mengelap telapak kaki miliknya.

"Dan lagi, jika kau berani coba-coba kembali pakai sepatu begituan, aku tidak mau bertemu denganmu. Aku tidak suka kalau seandainya kita bersisian, kau lebih tinggi dariku." Meski sambil bicara, Jimin tidak kehilangan fokus pada kaki Sangeum, tangannya terus bergerak.

"Kau takut tersaing oleh temanmu ini? Ih, aku justru kepingin lebih tinggi darimu," sahut Sangeum, kemudian tertawa kecil. Tingginya hanya mentok di angka 158 cm, dengan berat badan 65 kg, demikian Sangeum terlihat gemuk. Kakaknya bahkan terus-menerus meledek, kalau sebentar lagi Sangeum akan masuk dalam kategori 'orang tergemuk di dunia'. Keterlaluan memang.

Jimin tidak menanggapi apa pun lagi. Namun, siapa duga bahwa dalam diamnya, Jimin tengah merapalkan doa untuk tetap punya kekuatan mengendalikan diri acap kali Sangeum mengeluarkan ekspresi ceria atau tertawa.

Bahkan, posisi dirinya dan Sangeum yang seperti ini saja sudah membuat berolahjantung; Sangeum duduk bersama kaki kanannya yang terkilir tetap di atas brankar, dan kaki satunya dalam pangkuan Jimin. Bagaimana tidak bikin jantungan kalau begini, ya Tuhan!

"Kau segininya untuk memikat Eunkwang seonbae sampai pakai sepatu yang tidak cocok untukmu. Memang, apa yang paling kau suka darinya?" Suara Jimin kembali menyapa, tangan menaruh handuk kecil di tempat awal, setelahnya menurunkan kaki Sangeum perlahan hingga menggantung.

"Tulang pipinya." Ditanya perihal yang disuka, selalu membuat perempuan tertarik plus bersemangat seperti Kim Sangeum. "Eunkwang oppa itu punya tulang pipi yang unik, semacam... bentuk telur? Imut, pokoknya aku suka semua yang ada pada dirinya."

Kenyataan, Jimin salah bertanya. Atau, memang seharusnya Jimin tidak perlu menanyakan hal-hal begitu, dan membikin hati sendiri terkail hingga sobek.

"Eh, kau tahu?!" Sangeum membuat Jimin nyaris tremor ketika kedua bahunya diguncang oleh Sangeum. "DIA BENAR-BENAR MEMESONA, AURANYA ITU LHOOO!"

"Ck." Jimin membuang pandang dari paras Sangeum yang amat dekat.

Jimin tidak tahan, ia takut dinding yang susah payah dibangun roboh. Sebab alasan itu, Jimin berdiri secara mendadak, menyebabkan kedua tangan Sangeum terjatuh.

Memandang Jimin yang kesal, tapi Sangeum selalu melihat perasaan sendiri, tidak pernah mau tahu perasaan orang lain terkecuali ia tertarik, sehingga terkesan tidak peka. Maka demikian, Sangeum tidak ikut merasakan apa yang dirasa Jimin, apa yang menjadi kesulitan laki-laki itu kala berada di dekatnya.

"Apakah perempuan memang dilahirkan berisik? Aku menanyakan satu pertanyaan, dan kau menjawabnya bertubi-tubi. Pakai suara guntur pula." Tubuh itu memutar arah pintu, kakinya mulai melangkah menjauhi Sangeum.

"Hei, Jimin! Kau mau ke mana?"

"Bisakah kau tidak memanggil namaku secara lantang?!" Jimin ikut bernada keras, langkahnya terhenti, tapi kepala tidak menoleh. Hanya dengan begini, Sangeum tidak akan melihat kedua mata Jimin yang sudah merah. Entah mengapa, ada efek panas sekali.

"Jangan memanggilku secara lantang, jika yang akrab dengan hatimu adalah orang lain." Kembali Jimin mengayunkan kaki bersama hati perih menekan. Persetan kalau sebetulnya semua perasaan terproses melalui otak, dan hati hanya lambang untuk mengakui segala hal soal rasa yang kompleks dalam diri.

Sampai di ambang pintu, ekor mata menangkap sosok laki-laki lain. Sengaja, Jimin melaluinya tanpa sapa.

"Dia kenapa, sih? Perasaan tadi baik-baik saja." Cemberut, Sangeum sungguh tidak suka ditinggal sendirian, terlebih di ruangan putih-putih begini. "Jangan memanggil secara lantang? Biasanya juga begini, mengapa sekarang menjadi masalah? Dasar axolotl."

"Permisi...."

Sangeum menelan ludah kala irama dari surga terdengar. Tidak asing. Eunkwang memasuki ruangan, mendekati gadis yang tubuhnya seperti tertimpa hail di brankar ujung tidak tertutup tirai.

Jantung... tolong siapa pun, tolong jantung Kim Sangeum!

Aku tidak ingin jantungku berdetak cepat begini. Nanti kalau meledak bagaimana, saking tidak kuatnya berpacu?

Menurut buku yang kubaca, jatuh cinta itu bikin awet muda, tapi kalau jatuh cinta efek jantung berdebar terus, kira-kira bakal cepat tua dan cepat mati tidak?

Pergumulan batin serta pikiran Sangeum beradu padu, lebih ramai dari luarnya yang bungkam.

"Sangeum-ah, senang bertemu denganmu."

Sangeum-ah?! Girangnya bukan main si ratu cabai. Mengetahui Eunkwang berbicara nonformal, tidak bersikap kaku kayak emping sudah membuat desiran-desiran memenuhi seluruh tubuh.

Laki-laki itu tersenyum sekilas, dan Sangeum bersumpah tidak berkedip sejak Eunkwang datang hingga kini berada di hadapan. "Maksudku, senang punya alasan untuk menemuimu."

Kalau Sangeum lebih dari kata senang!

"Saat aku sedang mencarimu, aku dengar gadis di lorong kampus terjatuh, namanya Kim Sangeum, jadi aku ke sini sesuai informasi yang kudapat." Amat detail. Sangeum semakin suka Eunkwang. "Alasanku menemuimu, aku mau mengajakmu menjadi modelku. Maukah?"

"Mm?" Suara yang keluar terdengar bodoh, tapi Sangeum memang segugup itu, wajar jika responsnya lebih lambat.

"Aku membutuhkan model untuk praktik merias, kurasa wajahmu yang bulat cocok untuk praktik...."

"Tentu saja!" Segera menggigit bawah bibir, Sangeum malu sehabis bernada terlalu antusias. Lupakan soal wajahmu yang bulat, kata itu biasanya bikin Sangeum tersinggung kalau Jimin atau orang lain yang mengatakannya, tapi jika Eunkwang berbeda kasus.

Eunkwang mengeluarkan ponsel. "Kalau begitu, sebelumnya... boleh minta nomormu?"

Oh, kenapa tidak? Rasa senang yang menguar terlalu banyak hingga Sangeum kesulitan bernapas saat perlahan tangannya menerima ponsel Eunkwang.

Menekan digit nomornya, Sangeum sudah mau menulis nama sebagai syarat 'save', tapi Eunkwang keburu bicara, maka jarinya otomatis tertahan di atas layar ponsel yang menyala.

"Tentang ungkapanmu hari itu...."  Eunkwang menggantung kalimat, membikin Sangeum tambah parah gugupnya. "Dari sekarang, ya? Aku akan mencoba mengenalmu perlahan-lahan."

KIM SANGEUM BENAR KEHABISAN NAPAS!

Belum sempat menyimpan nomornya, Sangeum sudah lebih dulu menyerahkan ponsel kepada si pemilik. Itu gerakan spontan Sangeum yang tidak mau cepat-cepat mati akibat napas menipis, tapi setelahnya jadi kikuk, bawaannya serba salah. Alhasil, Eunkwang yang menyimpan nomor Sangeum menggunakan nama dari ide sendiri. Cahaya. Terkesan amat bersinar, seperti nama Kim Sangeum yang membekas bagi Eunkwang.

Getar ponsel Sangeum terasa dari balik celana jin yang dipakai, dan Eunkwang memberitahu bahwa itu nomor dirinya. Mengatur napas sedikit-sedikit, Sangeum mengambil ponsel.

"Kapan... aku menjadi model Oppa?" tanya Sangeum. Suaranya jadi seperti kaset rusak; kresek-kresek serak!

"Sekarang, bisa?" Merasa terlalu buru-buru mengajak, Eunkwang mengalihkan pandang pada jam tangannya. "Apakah siang ini kau ada kelas?"

Sangeum menggeleng, tubuh sudah bergerak, bersiap turun dari brankar.

"Lalu kakimu bagaimana?" Eunkwang terlihat waswas atas pergelangan kaki Sangeum yang berbalut perban.

Sebelum pertanyaan lain terlontar Eunkwang, Sangeum sudah berdiri tegap. Hebat. Untuk taraf terkilir ringan memang mudah sembuh, tapi tetap saja ada rasa nyeri, dan tidak boleh terlalu banyak gerak. Beda dengan Sangeum, gadis itu tidak lagi merasa sakit, apalagi kalau melihat wajah Eunkwang. Toh, menurut Sangeum mengistirahatkan kaki terkilir sesuai arahan medis sama saja memanjakan penyakit.

"Sudah baik-baik saja, kakiku."

Tunggu, omong-omong... Sangeum pakai apa untuk alas kaki? Tidak mungkin menggunakan kembali sepatu tinggi yang haknya sudah patah sebelah.

"Gunakan ini." Eunkwang membuka sepatu yang dipakai kala membaca kebingungan Sangeum menatap lantai. Sebetulnya, titik tepat Sangeum menatap pada sepasang sepatu yang tergeletak sehabis dijatuhkan Jimin, dibanting lebih cocok jika memutar adegan bagaimana Jimin menciptakan suara tadi.

Disodorkan oleh Eunkwang sepatu bertali itu di ujung jari-jari kaki Sangeum.

"Te-terima... kasih, tapi Oppa bagaimana, masa jalannya tidak pakai sepatu?"

"Tidak apa, aku bawa serep." Memangnya ban? Sangeum mengkritik kata yang dipilih Eunkwang. Sebagai mahasiswi jurusan sastra, Sangeum amat kritis terhadap penggunaan kata yang tidak tepat. Namun, karena orang itu Eunkwang, Sangeum hanya berani kritik dalam hati.

"Ayo, aku bantu." Ketika tangan halusnya menyentuh kaki Sangeum, mengarahkannya pada sepatu, dengan posisi Eunkwang berjongkok di hadapan, dari sana Sangeum yakin bahwa beberapa dongeng berunsur roman adalah refleksi dari dunia nyata.

Pemikiran tentang masa depan bersama Seo Eunkwang mulai berkeliaran dalam bayangan Sangeum. Tentu, masa depan ideal sesuai keinginan, tanpa melihat dunia sesungguhnya barang sejenak. Tidakkah Sangeum tahu, bahwa semesta selalu menolak keidealisan penghuni bumi, dan paling senang melihat air mata para manusia bercucuran?

Realitas seperti waktu, selalu lebih unggul selangkah di depan, kemudian mengejek sosok-sosok lengah yang tertinggal di belakang.

.
.
.

Bersambung....

C/A: Aku gagal bikin one shootnya, gaes. Huhu. Ya, tapi seenggaknya nggak gagal apdet dua bagian Silverstar, ehe. Tunggu maleman yawss!

Bogor, 29 Oktober 2020
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro