11 | Have a Nice Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hal terburuk dari perpisahan, adalah tidak bisa saling melupakan."

"Oey, Jelek!"

Menarik napas pendek serta dikeluarkan secara kasar, orang yang disapa pura-pura tidak mendengar walau sudah melihat sosok Jimin di depan pagar rumah seberang, melambai ceria, bersama tas cokelat serut yang menggantung di punggung. Lagipula itu tadi tidak terdengar seperti sapaan, Sangeum malas menanggapi.

"Mau ke mana?" tanya Jimin, mengekor Sangeum yang masih mengenakan pakaian rumah, makanya Jimin yakin gadis itu tidak akan pergi jauh. "Aku mau ke klinik, mau ikut? Kalau kau tidak ada deadline menulis."

Masih sama, Jimin tidak mendapatkan respons. Maka dengan langkah lebar, ia mengadang jalan Sangeum, sehingga spontan kaki gadis itu berhenti bergerak. Tatapan Sangeum sudah runcing menghantam Jimin.

"Mukamu semakin jelek tahu kalau ditekuk begitu. Mengabaikanku, akan lebih jelek lagi mukamu."

"Apa hubungannya, hah? Minggir!" Sangeum mendorong Jimin ke sisi. Tenaga Sangeum termasuk kuat, padahal masih pagi.

Kembali ia ayunkan kakinya lurus ke depan. Sepanjang perumahan, Sangeum cuma berniat berkeliling, ia memang tidak punya tujuan sejak keluar rumah.

"Sebagai orang tampan aku pantang diabaikan, jelas ada hubungannya tahu. Nanti kau terkena kutukan jelek." Kemudian Jimin baru mengingat sesuatu, biasanya Sangeum tidak seperti ini kepadanya kalau tidak ada yang terjadi. "Kau marah karena komentarku di Garamins?"

"Akan kulaporkan kau atas pengubahan nama aplikasi," sahut Sangeum. Kali ini ia membiarkan Jimin mengimbangi langkahnya yang melambat. Bersisian, seolah-olah mereka sedang jalan santai bersama.

"Tuh benar, kau marah karena itu." Terkesan sembarang menyimpulkan, tapi ada benarnya. Yah, komentar Jimin menyumbang sekitar enam puluh persen kegalauan Sangeum kemarin.

"Aku tidak tahu ada polusi cahaya atau tidak, yang pasti di dalam drama selalu ada bintang jika memang tokohnya ingin melihat bintang, tidak peduli kalau sekitarnya banyak lampu berpijar."

Jimin hanya mendengarkan, tatapan tetap memerhatikan Sangeum, persetan jika seandainya akan tersandung. Lantas wajah Jimin mulai serius saat Sangeum menyinggung hal lain.

"Lebih tidak logis drama, atau aku yang melepas ikatan hatiku sesuai saranmu? Atau... lebih tidak logis mana Eunkwang oppa membantu seseorang untuk menjadi pacar pura-puranya?"

Tiap Sangeum mabuk, Jimin tahu benar kalau gadis itu akan meracau, tapi selalu ingat perihal apa yang dikatakan diri sendiri sekaligus orang lain kepadanya. Demikian, tidak heran kalau Sangeum ingat kalimat Jimin. Yang Jimin heran, secepat itukah? Ini belum ada satu minggu, terlebih apa kata Sangeum tadi?

"Pacar pura-pura?"

"Malam mingguan sama pacar pura-pura kayaknya memang lebih enak," kata Sangeum, sarkastis. "Tapi tidak apa, itu bisa jadi alasan kuat aku memutuskan hubungan sama Eunkwang oppa. Aku benar, 'kan? Apa yang aku lakukan, tidak salah, 'kan?"

Tergantung. Jimin merasa miris kala Sangeum tertawa keras-keras seolah berhasil melepas seluruh beban hati. Masalahnya, dalam tawa itu ada kesakitan yang menguap tidak leluasa, menimbulkan titik air di pelupuk mata, dan Sangeum tidak membiarkannya jatuh.

"Jim, apa yang kulakukan... itu benar, 'kan?" Sekali lagi, Sangeum meminta keyakinan, sekali lagi pula, Jimin menggumam 'tergantung' dalam hati.

"Sakit atau tidak?" Bukannya Jimin tidak mau menghibur teman yang bersedih habis putus cinta, tapi ia akan mengemukakan pendapat jika sudah mendengar jawaban Sangeum.

Langkah Sangeum berhenti disusul Jimin. Ia menggambarkan segala macam makian melalui sorot mata. Jimin tahu, Sangeum tidak senang atas pertanyaannya barusan.

"Jika kau sakit, seberapa parah sakitnya? Jika amat menyakitkan, keputusanmu hanya bumerang."

"Tetapi kau yang menyarankan aku."

"Dirimu sendiri yang meyakinkan." Jimin menyerang Sangeum balik.

Perlu diingat, Park Jimin adalah orang yang tidak mau disalah-salahkan, itu alasan pertama. Kedua, Jimin tidak suka Sangeum kesakitan, berakhir menyesali keputusannya, lalu Jimin juga jadi menyalahkan diri.

"Saran tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keyakinan dalam diri untuk bertindak. Hanya dirimu yang bisa menjawab, benarkah keputusan yang kau ambil. Terluka parah tidaknya dirimu."

Sangeum mendesah kecewa, ia hanya ingin Jimin mendukungnya, atau paling tidak meyakinkan diri ini kalau tindakannya telah benar. Namun, meski Jimin meyakinkan Sangeum, apakah Sangeum akan puas? Apakah kesakitan Sangeum akan musnah?

Tidak. Jawaban paling tepat atas semua pertanyaan yang berasal dari pikirannya.

"Kau tidak mau ikut denganku ke klinik, 'kan? Kalau begitu sebaiknya kau pulang, kompres matamu dibanding jalan-jalan di sekitar rumah begini. Aku pergi." Niat Jimin memang pamit, tapi entah mengapa Sangeum selalu merasa ditinggal kalau Jimin yang lebih dulu melangkah menjauh darinya.

Kesekian kali Kim Sangeum mengakui kalau tidak suka ditinggal, kecuali kalau ia memang butuh waktu sendirian. Sisi lain, ia juga tidak mau bergantung lebih banyak pada orang-orang terdekat. Jadi mau Sangeum apa? Gadis itu menertawakan diri dalam hati. Sama, seperti keadaannya sekarang; ia bebas bisa lepas dari Eunkwang, tapi ada rasa tidak rela mengelati.

Masih di posisinya berdiri, kaki Sangeum belum mau diajak bergerak. Mata masih tertuju pada punggung Jimin yang kian tipis terlihat. Sementara sambil berjalan, Jimin mengutuk Sangeum yang jelas-jelas terluka, seakan-akan ia yang dicampakkan, seakan-akan bukan Sangeum yang mengakhiri hubungan.

"Bodoh," gumam Jimin. Tidak lagi mengutuk Sangeum yang telah jauh tertinggal di belakang, melainkan pada diri sendiri. Ia kembali merasa perih mengetahui Sangeum begitu terluka atas keputusannya meninggalkan Eunkwang.

Jauh sebelum hari ini, Jimin memahami yang semestinya melepas ikatan hati adalah dirinya, bukan Sangeum, tapi ia justru melampiaskan seluruh pemikiran terkait hati kepada gadis itu.

Park Jimin selalu lupa, kalau ia dan Sangeum sampai kapan pun tidak pernah menjadi 'kita' dalam balutan manis sepasang kekasih. Ada alasan kuat mengapa ia harus segera mengubur rasa cintanya kepada Sangeum, selain gadis itu yang amat menyayangi Seo Eunkwang.

✳✳✳

"Bos?"

Eunkwang terperanjat, lalu menoleh, mendapati laki-laki lain yang menatapnya ganjil.

"Iya? Ada apa? Pelembut rambut habis? Atau...."

"Tidak," sahut Han cepat, memotong apa yang akan Eunkwang tanyakan. "Bos tidak tahu aku datang, ya?"

Mengusap wajahnya menggunakan satu tangan, Eunkwang masih duduk di tempat sama sejak semalam; menatap arah cermin, walau bukan fokus melihat pantulannya. Kepala terlalu banyak awan gelap, sehingga Eunkwang tidak bisa berjalan menuju rumah. Sekarang pun, Eunkwang belum melakukan apa-apa untuk membersihkan diri.

"Eoh... aku, ah... kapan kau datang?" Eunkwang berdiri, kedua kakinya masih terasa lemas.

"Sekitar dua puluh menit. Kupikir Bos datang lebih dulu makanya pintu sudah tidak terkunci. Tetapi kurasa... Bos menginap?" Pertanyaan ragu itu hanya dibalas senyum tipis, lalu anggukan karismatik khas Eunkwang.

"Aku bersih-bersih dulu, ya." Eunkwang menepuk bahu Han guna menyemangatinya bekerja hari ini. "Jika kau belum sarapan, sarapan dulu sebelum bekerja." Eunkwang selalu begitu, tidak pernah lupa mengingatkan.

SeO punya prinsip untuk para pekerjanya, bahwa sebelum memulai kegiatan, mesti mengisi perut. Biar tidak keroncongan jika menghadapi pelanggan, suasana hati bagus, dan berenergi. Namun, Eunkwang melanggar penerapan yang dia bangun sendiri.

Eunkwang menolak mengisi perut, dia hanya mencuci muka dalam ruangan pribadi, berkumur. Tidak perlu salin baju, seragam SeO masih melekat di tubuh Eunkwang. Rasanya, mulut saja tidak bisa diajak ceria, dia tidak mampu tersenyum kepada diri kala melihat bayangannya di cermin kotak yang melekat dinding atas wastafel. Bukan cuma kurang tidur, saat bangun, Eunkwang tidak merasakan hati penuh seperti biasa.

Mungkin, ini tahap baru dimana Eunkwang tidak boleh mengharap ada celoteh Sangeum melalui telepon serta pesan singkat, atau mengharap segera ada hari mereka bisa menghabiskan waktu bersama dalam putaran sibuknya mencari uang.

Sepanjang jam bekerja, Eunkwang turut membantu pegawainya. SeO kebanjiran pelanggan, percakapan orang-orang bersahutan, membaur oleh suara alat kecantikan dan mesin pengering rambut. Semua sibuk, Eunkwang sibuk, pikiran sempat teralihkan dari kejadian kemarin.

Namun, saat jam dua siang tiba, saat seluruh pelanggan SeO sudah membubarkan diri satu per satu, saat para pegawai bisa mengisi waktu itu untuk istirahat sambil menyantap hidangan siang, Eunkwang kembali ke dalam ruangannya.

Fisik sudah tidak lagi sibuk, tapi pikirannya kini mengambil alih. Lagi-lagi, Eunkwang tidak punya keinginan makan. Apakah Sangeum bisa menjalani hari ini dengan baik? Apakah Sangeum juga merasakan apa yang Eunkwang rasa? Mungkinkah Sangeum juga kehilangan selera makan? Semua pemikiran itu berkelebatan. Eunkwang sakit kepala. Tidak punya jawaban dari diri sendiri.

Jika sudah sampai hari itu, di lima hari kemudian, Sangeum akan berubah pikiran, 'kan? Pertanyaan ini, juga turut membuat sakit. Eunkwang menyatukan dahi pada meja, terpejam guna menenangkan pikiran. Belum lama, ponselnya bergetar dalam saku celana, berhasil membuat kepala Eunkwang terangkat. Tangannya mengambil ponsel.

Dalam layar, tertera nama seseorang yang tidak disangka-sangka.

Kakak Ipar memanggil....

Tidak mau membuang waktu untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan, Eunkwang menerima panggilan masuknya.

"Adik Ipar, apakah aku menelepon di waktu sibukmu?"

"Tidak, Hyung. Kebetulan lagi istirahat, waeyo?"

"Kau selalu cepat ingin tahu ke inti, ya? Hehe. Pernah tidak kau berpikir, kalau seandainya aku menelepon hanya memang ingin meneleponmu tanpa alasan?"

Sedikit Eunkwang membiarkan sunyi mengambil alih sebelum tawa kecil tercetus selewat. "Tidak mungkin. Soalnya aku tahu, Hyung tidak akan membuang-buang waktu untuk tanpa alasan meneleponku."

"Ya ampun, terus terang sekali," tanggap Soo Hyun, lantas turut tertawa yang membuat Eunkwang kembali memperdengarkan tawanya.

Begini rasanya terpaksa tertawa, pikir Eunkwang.

"Kapan-kapan, aku akan meneleponmu karena memang ingin meneleponmu. Serius. Sayangnya, sekarang memang ada alasan aku meneleponmu. Malam ini, kau ke rumah ya? Ibu memberitahuku kalau masak banyak, walau Sangeum bisa menghabiskannya, ibu ingin makan malam bersamamu. Bisa, ya?"

Berdeham, tenggorokan Eunkwang seperti ada ganjalan. Eunkwang memang seperti itu sejak dahulu kalau gugup atau merasa tidak tenteram.

"Hyung tidak akan memberi pilihan untukku menolak?"

"Jelas tidak."

Senyum itu terukir, Eunkwang tersenyum sedikit lebar walau tidak ada yang bisa melihat. Kecuali kalau punggung pintu memiliki sepasang mata, dan merasa Eunkwang tersenyum padanya.

"Baik, aku ke sana."

"Oke, aku juga akan pulang awal untuk menyambutmu. Semoga harimu menyenangkan, Adik Ipar!"

Usai kata pamit berpisah, sambungan telepon terputus. Eunkwang melihat daftar nama panggilan masuk. Seketika bibirnya kembali menyungging senyum.

'Kakak Ipar', nama itu yang mereka sepakati bersama sejak pertama kali Eunkwang dikenalkan oleh Sangeum kepada keluarganya. Ibu, dan kakak laki-laki yang saat itu baru saja mendaki karier, berperan kecil sebagai karakter pendukung. Ingat sekali bagaimana Eunkwang canggung, bahkan agak takut saat menghadapi Soo Hyun seorang diri walau sang ibu amat memperlakukan baik Seo Eunkwang.

"Aku menyukaimu, kau tampan."

Kepala Eunkwang yang awal menunduk, spontan terangkat. Kedua tangannya masih bertaut, mata menatap Soo Hyun ragu.

"Tetapi bukan alasan tampan aku menyukaimu, kau punya sesuatu yang tidak dipunya lelaki kebanyakan. Percaya?"

Mana bisa? Eunkwang sulit menanggapi, jadi dia hanya tersenyum kaku. Bahkan Soo Hyun tidak memberitahu 'sesuatu' itu kepada Eunkwang.

"Mana nomormu," pinta Soo Hyun, tangan kanannya menjulur arah Eunkwang. Menunggu ponsel laki-laki itu sampai di telapakan.

Dari sana, mereka bertukar nomor telepon, dan Soo Hyun yang lebih dulu mengatakan hal menyentil hati.

"Simpan nomorku dengan nama 'Kakak Ipar'. Kau sudah kutetapkan sebagai adik ipar detik ini. Apakah aku memberatkanmu sebab panggilan itu?"

Menggeleng singkat sebagai jawab, sejujurnya Eunkwang senang. Diterima oleh keluarga kekasih yang amat dicinta, Eunkwang senang.

Seo Eunkwang hanya mulai tidak senang, kala melihat kegagalannya menjaga hubungan bersama Kim Sangeum.

.
.
.

Bersambung....

Bogor, 26 Maret 2021
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro