10 | Boleh Mengungkap Cinta?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seseorang yang sedang jatuh cinta selalu kalah oleh logika."

"Jarak antara kita berapa kilometer, sih?"

"Tolong ya, jarak rumahmu dan aku saja hanya enam meter. Kalau dihitung kilometer, aku tidak akan bisa melihatmu, begitu sebaliknya. His ampun, sebaiknya kau balik ke bangku sekolah deh, tidak ada cocok-cocoknya jadi mahasiswi."

Merasa dikritik, Sangeum hampir ingin mematikan sambungan telepon kalau tidak ingat ada yang ingin diceritakan kepada Park Jimin.

Sekadar informasi, mereka berdua saling menghadap di atas balkon rumah masing-masing, memandang satu sama lain, tapi sayang Sangeum tidak bisa melihat jelas wajah Jimin dari jarak segitu. Buram, kecuali kalau Sangeum pakai kacamatanya. Sangeum cuma tahu kalau Jimin menggunakan kaus rumah berwarna kuning, dan celana panjang hitam yang samping-sampingnya ada garis putih memanjang: terlihat dari sela-sela pagar balkon Jimin.

"Tadi siang Eunkwang oppa menemuiku, memintaku menjadi model praktiknya. Kau tahu? Dia bilang wajahku bulat!"

"Lalu kau mencakarnya?"

"Mana ada, sembarangan."

"Ani, nae tteuseun¹... kau tidak suka ada orang yang mengatakan wajahmu bulat sekalipun kau tidak pernah peduli omongan orang. Jadi kupikir... yah, bisa jadi, 'kan?"

"Kalau Eunkwang oppa yang mengatakan, jelas beda dong. Pokoknya yang berkaitan sama dia, akan berbeda." Rasa senang sudah menumpuk, dan Sangeum terus membagi rasa itu kepada Jimin guna tidak terlalu meluber. "Dia juga bilang, kalau muka bulat itu awet muda, hehehe...."

"Memang muka bayi," gumam Jimin, terdengar jelas oleh Sangeum yang tidak sedikit pun menjauhkan ponsel dari telinga kanannya.

"Ah, aku penasaran."

Jimin kembali menyimak, telinganya siap mendengarkan; apa pun, asal itu Kim Sangeum.

"Bagaimana kau bisa ada di tempat saat aku jatuh? Kelasmu jauh dari...."

"Tapi dekat kantin, 'kan? Aku kebetulan lewat sehabis mengisi perut. Mengapa?" Park Jimin tidak memberi kesempatan Sangeum menuntaskan kalimat, pun ia seperti berusaha mengambil alih dominasi percakapan.

"Karena aku tidak percaya kebetulan. Apa-apa kebetulan, itu tidak masuk akal."

"Sejak kapan kau berpikir tentang masuk akal?"

Gadis itu tertawa ringan menanggapi sahutan Jimin. Benar, Kim Sangeum tidak pernah berpikir tentang masuk akal atau tidaknya sesuatu. Contoh, saat ia menyukai seseorang, lalu menyatakan perasaan tanpa pertimbangan. Hanya hatinya saja disiapkan agar tidak terlalu terluka kalau ditolak. Beruntung Eunkwang tidak menolak.

Eh, tidak menerima juga, sih. Cuma, Eunkwang bilang saling mengenal dulu, jadi itu berarti, harapan? Sangeum menggelengkan kepala, tiba-tiba merasa pusing sendiri oleh pemikirannya.

"Eum, jujur saja ya, kalau kau tertawa bikin seram tahu. Aku selalu merinding mendengarnya." Tentu saja itu hanya alasan Jimin yang lagi-lagi ketakutan soal tebing pertahanan diri, sementara Sangeum menanggapi dengan decap bibir. "Kupikir tadi kakimu membengkak, tidak bisa pulang. Atau lebih buruk sampai menginap di ruang kesehatan kampus."

"Terus kau tega meninggalkanku," sahut Sangeum. Jelas ia menyinggung tingkah Jimin siang tadi.

"Terpenting kakimu sudah tidak apa-apa, bisa berdiri di sana, spam chat minta diterima panggilan teleponnya, dan memintaku juga berdiri di balkon malam-malam sudah kayak orang patah arang." Satu per satu Jimin beberkan bagaimana Sangeum yang berisik setengah hidup. Tidak bertemu, tidak di chat, Sangeum itu berisik.

"Hehe." Mengikik, Sangeum menganggapnya lucu, sepersekian detik selanjutnya gadis itu bernada serius. "Konon ya, kalau perempuan punya banyak teman laki-laki, itu membahagiakan. Aku bahagia memilikimu, Jim."

Digebuk rasanya dari dalam jantung Jimin. Sebisa mungkin ia menampilkan senyum normal, seolah Sangeum akan melihat senyumannya dengan jelas. Suara yang hampir tidak bisa keluar juga dibikin sebiasa mungkin.

"Memang kau punya banyak teman laki-laki?"

Tawa menggema dari Sangeum, lagi. "Hanya kau sebetulnya."

"Kau bahagia?"

"Sudah kubilang tadi." Sangeum segera menjawab, ia tidak pernah segan mengatakan apa yang dirasa kepada seseorang yang sudah akrab.

"Bagus," tanggap Jimin singkat, jantungnya masih berdebar begitu kuat. Baik, suara dan ekspresi berhasil normal, tapi organ dalam tidak pernah normal jika stimulasi dari Sangeum mulai melanda.

Sekian kali tawa Sangeum terdengar. Ia banyak tertawa malam ini, tanpa tahu Jimin tengah terancam. Bagaimana kalau Park Jimin tidak bisa menahan gejolak perasaannya lagi? Bahaya.

Omong-omong, Sangeum pernah bercerita kepada Jimin, kalau Jimin adalah satu-satunya teman. Selain itu, Sangeum belum pernah berteman dengan sesamanya. Perempuan yang pernah diajak saling sapa, makan bersama, belum tentu Sangeum anggap teman dekat. Sebaliknya, orang-orang yang pernah melalui momen bersama mengeklaim Sangeum teman mereka, lantas seenak ulu hati menuntut ini itu atas nama pertemanan.

Sangeum hanya berpikir, konteks teman adalah seseorang yang bisa dipercaya, bukan asal melabelkan seseorang sebagai teman. Kualitas harus nomor satu bagi Sangeum, makanya ia membagi unsur teman menjadi beberapa bagian guna membedakan tingkat keterbukaan diri; teman paling dekat hanya Park Jimin, teman dekat bisa dihitung tidak sampai lima jari, kalau teman sapa atau kenalan ada banyak. Bukan sombong, apalagi membatasi diri bergaul, Sangeum memang begini.

Ia juga pernah bilang, kalau tidak terlalu nyaman mengobrol bersama perempuan, pasti pembahasannya tidak jauh dari gosip, kegiatan sehari-hari, atau apa saja yang dangkal. Padahal Sangeum membutuhkan seseorang yang bisa diajak membahas hal mendalam. Seperti emosi manusia, misteri di balik dunia, dan hal lain yang orang-orang kebanyakan tidak bisa lihat.

Seperti Jimin.

Sejak Park Jimin menghuni di seberang rumah, Sangeum sudah punya firasat akan dekat dengan si tetangga baru yang awal-awal terlihat pendiam, mungkin juga bisa akrab(?)

Dan memang menjadi kenyataan. Jimin bahkan bisa diajak deep talk, sehingga Sangeum tambah lengket bersama laki-laki yang sekarang terhapus impression pendiamnya. Anggapan Sangeum jelas sudah berubah, Jimin yang ia kenal tidak sependiam itu, dua belasnya Sangeum: cerewet.

Lama hening, Jimin berdeham sebelum membuka kembali obrolan. "Sangeum, pernahkah kau berpikir kalau bisa saja aku menyukaimu? Menyukai dalam taraf jatuh cinta?"

Bodohnya, malah itu yang tersuara. Jimin mengutuk diri, tapi juga lega. Sisi lain merasa menyesal.

"Tidak," jawab Sangeum. Belum sempat Jimin bertanya alasannya, Sangeum sudah memberi. "Kau tahu lebih banyak tentang kejelekanku. Bagaimana ekspresiku jika buang angin, bersendawa, meracau kalau banyak minum soju, dan suka mencakar orang. Kau juga tahu kekuranganku, cepat mengambek. Temperamen negotiatorku jelek, marah tidak bisa ditahan lama-lama."

Seumpama Jimin berada di jarak terdekat dengan Sangeum, ia bersumpah sudah menjitak dahi gadis itu keras-keras.

"Kau benar-benar payah."

"Lho?" Sangeum langsung bereaksi, dan Jimin tidak segera menanggapi.

Sebab itu, Sangeum. Sebab aku mengetahui kekuranganmu, aku menyukaimu... dalam taraf jatuh cinta. Andaikan kalimat ini dapat tersuara melalui lisan dan bukan cuma dalam batin, Jimin ingin memiliki kesempatan mengungkap apa yang sedang hati rasa.

"Saat kau jatuh cinta kepada seseorang, tidak peduli apa kekurangan orang yang kau cinta, kau akan menerima apa adanya. Jika hanya menerima kelebihan, itu kagum, Kim Sangeum." Lantas nada bicara Jimin meninggi. "Jangan-jangan, kau hanya kagum sama Eunkwang seonbae?!"

"Kau gila?" maki Sangeum, lalu mencari apa kekurangan Eunkwang dalam pikiran. "Aku menerima kekurangan dia, kok. Faktanya, aku menerima pipi telurnya."

"Itu kau anggap kekurangan?" Jimin mendesah, sangat percaya bahwa Sangeum memang bodoh. Jimin bahkan masih ingat saat Sangeum berbicara di ruang kesehatan; tentang pipi telur. Jelas-jelas ia mengatakan apa yang disuka dari Eunkwang!

"Tunggu. Jim, lagipula bagaimana bisa aku melihat kekurangan Eunkwang oppa kalau aku jatuh cinta kepadanya? Itu saja sudah menjadi bukti. Bukan hanya menerima, saat seseorang jatuh cinta juga, akan buta terhadap kekurangan orang yang dicinta."

Telak.

Walaupun Sangeum mengatakan paling menyukai tulang pipi Eunkwang, tapi sebetulnya tidak ada yang benar-benar tahu apa alasan ia menyukai Eunkwang termasuk diri sendiri.

Jimin memejamkan mata sesaat, kemudian membungkuk, menumpukan dada sepenuhnya pada pagar balkon, memandang ke arah jalan sepi di bawah. Jika tadi Jimin amat lekat memandang Sangeum, kini ia sudah benar-benar tidak sanggup. Persetan kalau dada terasa kaku akibat tertekan pagar besi, rasanya sesak. Namun, lebih sesak lagi mengetahui gadis itu menginginkan orang lain.

"Kalau begitu," kata Jimin, menegak kembali tubuhnya, tapi pandangan belum mau mengarah Sangeum, justru pijakannya yang menjadi atensi. "Jika suatu saat nanti kau melihat kekurangannya, kau akan menerima? Kau masih... akan menerima dia, seperti saat pertama kau jatuh hati?"

Ada pedih yang terasa, tapi tidak paham mengapa Jimin selalu saja mengorek luka itu walau tahu konsekuensinya.

"Um, tentu saja. Semua orang punya kekurangan, aku akan menerima Eunkwang oppa apa adanya." Amat yakin jawaban Sangeum, seolah ia tidak tahu, bahwa lebih mudah bersuara daripada bertindak. Jika suatu saat mereka benar akan berhubungan lebih dari sekadar saling mengenal, akan ada fase muak menjalin hubungan bersama, saat itu kekurangan pasangan akan sangat jelas terlihat dibanding ketika sedang jatuh cinta. Sangeum tidak berpikir ke sana.

Jimin dan Sangeum kembali menciptakan hening, tapi tidak ada salah satu dari mereka untuk mengakhiri sambungan telepon. Terlalu betah berdiri di tempat masing-masing, terlalu nyaman untuk segera berakhir.

Terlalu sepi juga. Maka Jimin bersenandung untuk mengisi kekosongan sekaligus menyoraki diri, entah mengapa kecerdasan yang dipunya selalu tidak berfungsi jika sedang bersama atau mengobrol dengan Sangeum.

"Wah, bagus." Tanggapan Sangeum usai Jimin menghentikan aksi bersenandung.

"Suaraku?"

"Nadanya." Sangeum terang-terangan sekali, Jimin jadi malu. "Judulnya apa?"

"I Love You." Sesaat mengatakannya, kedua mata kecil itu kembali menatap objek di depan sana. Sosok gadis gempal, rambut belah dua yang terkepang, baju kebesaran berwarna hijau, sepasang pipi gemuk... ah, sekali ini saja, Jimin ingin jujur. Sisi diri kemudian bertanya kepada si empunya rasa; bolehkah? Mengungkap cinta kepadanya, apakah suatu dosa?

"Klise judulnya. Salanghae²?"

Lantas Jimin terpaksa kembali dari dunia batin.

"Kau punya lagunya? Minta, ya. Kirimin habis ini."

"Katanya klise?" Jimin membidik Sangeum balik.

"Terpenting bagus lagunya, aku yakin."

"Bukannya karena aku yang membawakan, jadinya terdengar bagus?"

"Aku akan menilai setelah mendapat lagunya, mendengar secara utuh." Sangeum mencebik arah Jimin. Jelas, Jimin melihat itu. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat.

"Oh ya, siapa penyanyinya?"

"Aku." Semakin menarik ke atas sudut bibir, membentuk senyum sempurna, semakin sakit juga perasaan Jimin. "Aku yang mengarang nada dan judulnya. Tadi itu versi utuh dariku. I love you."

Sangeum tidak tahu kalau ada makna di balik tiga kata terakhir Jimin, toh gadis itu juga tidak merasakan getaran yang mengentak diri sejalan Jimin mengatakan kata itu sepenuh hati.

Park Jimin sedang tidak mengulang judul senandung dadakan yang dikarangnya. Tadi ia sedang mengungkapkan rasa yang diri sendiri tidak tahu kapan pertama kali hadir.

Aku mencintaimu.

.
.
.

Bersambung....

Catatan kaki:

1. Ani, nae tteuseun... = Tidak, maksudku...
2. Salanghae, kalau ini udah banyak yang tau lah ya, hehe. Kalau dibaca 'saranghae' aku cinta kamu. Iyaa, aku mencintaimu, Kwang. Hahaha~

//Napa jadi nyasar ke Kwang #lah// Jim, mending ke sini deh daripada sakit hati, kukasih bonus peluk.

Jim: Author sehat?

Eum: Mabok Bangkwang dia.

Jim: Bengkuang? Wahh... dirujak enak tu.

Hahaha. Oyaa, ampir kelupaan; HAPPY NETES SEMBILAN TAHUN BORN TO BEAT. Awet-awet ya sayang-sayangnya akuuuu~

Bogor, 21 Maret 2021
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro