13 | Enam Menit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ada dua pilihan saat ego mendominasi cinta. Melepas, atau bertahan di tempat."

Dispenser sedikit bergeser sesaat Sangeum menaikkan galon ke atasnya. Usai menghabiskan dua piring nasi dalam porsi besar, Sangeum melihat diri sendiri sebagai Black Widow dalam dunia nyata; amat berenergi. Kalau saat sama Jimin di kedai waktu itu Sangeum cuma galau tingkat rendah, kini ia sedang galau tingkat tinggi, jadi nafsu makannya bertambah, bukan lagi tidak mau makan. Dalam pikirannya, Sangeum juga sedang merencanakan menyantap camilan apa yang enak siang-siang bolong begini.

Ibu memuji kekuatan Sangeum, dan anak gadisnya merasa bangga. Sangeum bahkan tidak mengandalkan Soo Hyun untuk mengganti galon yang sudah kosong, tidak perlu meminta tolong kepada bibi Cha yang sering sakit pinggang akibat menua. Jika ingin minum, Ibu tidak akan kerepotan sebab ada Kim Sangeum.

"Oh iya, Ibu akan masak banyak buat makan malam." Mendengar kata 'makan' paling membahagiakan buat Sangeum. Ibu memang pengertian, tahu saja kalau dirinya baru sembuh dari sakit dan akan segera pulih kalau makan banyak. "Ajak kekasihmu ke sini, ya. Sekalian Ibu mau mengucapkan terima kasih. Dia sudah merawatmu sampai pagi, Ibu rasa dia tidak bergerak sama sekali dari tempatnya duduk selain mengganti air kompresan."

Membisu. Bola mata Sangeum terpaku pada badan galon. Tidak ada yang menarik, tapi melihat galon lebih baik daripada mendengar kalimat Ibu yang membuat badan kaku.

"Siapa tahu saja dengan makan bersama lagi, Ibu semakin dekat sama Eunkwang. Barangkali cepat jadi menantu."

"Tapi, Bu...."

"Apa?"

Rapat lagi bibirnya. Sangeum yang baru menatap Ibu kembali mengalihkan pandang pada galon. Ingin mengatakan dirinya bersama Eunkwang sudah putus, entah mengapa terasa sulit. Lagian Ibu terlalu memupuk harapan besar kalau hubungan mereka akan berhasil ke jenjang pernikahan. Sangeum tidak tega mematahkan harap itu.

"Ajak pokoknya, oke?"

"Kalau dia tidak bisa?"

"Paksa," sahut Ibu, kemudian tertawa kecil, meninggalkan Sangeum bersama nyalinya yang menciut. Mati aku!

Seandainya hubungan mereka tidak rusak, Sangeum mudah saja memaksa Eunkwang. Toh, walau tidak dipaksa, laki-laki itu akan mengiyakan jika diajak ke rumah. Bilang saja Ibu yang meminta, pasti Eunkwang menyanggupi. Dia sangat menghargai permintaan orang tua, entah itu orang tuanya atau orang tua dari kekasih, bahkan... dari orang lain?

Sangeum mendesis, mengingat akar masalah mengapa hubungannya berakhir begini. "Dia memang selalu baik dan perhatian, 'kan?" Sehingga hubungan pribadi telantar.

Sangeum ingin menertawakan hal itu, sungguh.

✳✳✳

Bukan cuma nafsu makan yang meningkat, biasanya ide menulis juga mengalir deras jika Sangeum sedang galau. Cuma sekarang ia jadi panik sendiri. Gelisah, kakinya tidak mau diam bergerak atas bawah meski tengah duduk di depan meja belajar, berhadapan laptop yang menyala; menampilkan aksara acak, belum menjadi paragraf. Jangankan paragraf, kalimat saja belum.

Bola mata bergerak ke samping, arah ponselnya berada. Kim Sangeum tidak bisa. Gadis itu memejamkan mata, membenturkan dahi ke meja berulang kali secara pelan. Sangeum belum gila menyakiti kepalanya sendiri meski sedang pusing setengah mati.

Sangeum tetap tidak bisa.

"Alahhh, masa bodoh!" Beranjak dari kursi, Sangeum berniat tidur saja. Namun, hal lebih buruk terjadi.

"Sangeummm! Sudah mengabari Eunkwang belum?!"

Tuh, suara ibunya sudah mengudara dari luar. Ibu memang niat sekali membikin Sangeum tersudut. Maksudnya, sangat niat mengajak Eunkwang makan malam!

Karena tidak ada jawaban, Ibu mengetuk pintu kamar Sangeum, sementara anak gadisnya menutupi diri menggunakan selimut tebal. Menimbun telinga pakai bantal guling, berharap tidak mendengar. Namun, namanya orang tua, kian diabaikan justru semakin bersemangat membuat gaduh supaya mendapatkan atensi segera.

"Kim Sangeummm!"

Bagus sekali. Pintu kamar tidak dikunci, Ibu menarik paksa selimut, bantal guling juga ikut tergeser ke bawah kaki. Sekarang Sangeum telentang sambil menampilkan wajah menekuk di depan Ibu.

"Waeee?" Nada merengek Sangeum tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Alih-alih dielon, Ibu menarik lengan anak gadisnya hingga tubuh itu terduduk.

"Sudah mengabari Eunkwang belum? Kok malah tidur?" Setidaknya Ibu tidak curiga kalau Sangeum sengaja menghindar.

"Nanti."

"Nanti itu tidak pasti, Sangeum. Mana deh nomor Eunkwang, biar Ibu saja yang menghubungi pakai telepon rumah."

"Mengapa Ibu sangat tidak sabar?" Sangeum hampir menangis, perasaannya kian kacau. "Nanti juga akan kuhubungi, Ibuuu...."

Melihat anaknya penuh emosi begitu, Ibu mengalah. Pikirnya, seseorang yang baru bangun tidur memang tidak punya suasana hati baik kalau bangunnya dipaksa seperti barusan.

"Tapi benar ya kabari Eunkwang, jangan lupa. Kalau lupa malah mubazir makanannya."

Keluar dari kamar, Ibu menutup kembali pintu sambil menggerutu diam-diam; andaikan ia bisa menggunakan ponsel. Dari dulu, Ibu selalu mengandalkan telepon rumah. Sampai saat ini, jangankan seperti ibu-ibu modern yang sudah pakai android, Ibu bahkan tidak pernah pegang ponsel layar mini berkeypad sekalipun.

Tidak tahu mengapa, perasaan Ibu mengatakan ada kejanggalan sama sikap Sangeum. Padahal cuma disuruh mengabari Eunkwang soal makan malam, biasanya anak itu paling cepat. Lihat sendiri, Sangeum malah menunda-nunda.

Hingga sore menerjang, Sangeum belum juga menghubungi Eunkwang. Pun, tidak memaksakan diri untuk mencoba menekan nomor yang masih tersimpan di kontaknya.

"Aku pulaangg!" Suara Soo Hyun terdengar. Tidak seperti Ibu yang menanggapi meski sedang sibuk di dapur bersama ahjumma Cha, Sangeum yang tengah berbaring miring atas sofa menghadap televisi mengabaikan Soo Hyun. Dia hanya memandang lekat-lekat ponsel, padahal benda itu dalam keadaan sleep mode.

"Senang tidak, Kakak pulang awal?"

"Kau tidak sepenting itu," sahut Sangeum, mata tetap pada objek sebelumnya. Sama sekali tidak mau melihat Soo Hyun walau laki-laki itu berada di balik sofa dengan wajah menonjol dekat kepala Sangeum.

"Tidak sopan, galak, sinis, kau ini sebenarnya mengikuti tabiat siapa? Beruntung adik!" Menoyor kepala Sangeum dari belakang, sang adik kemudian mendengkus kasar. Segera ia duduk dan menoleh tegas, matanya melotot.

"Apa? Apaaa? Matamu mau keluar, huh?" Soo Hyun menantang dari raut wajahnya.

Malas bertengkar, Sangeum memilih membelakangi Soo Hyun sambil bersila, kembali pada kegiatannya semula.

"Daripada kau menatap ponsel seperti menatap kekasihmu, lebih baik bantu Ibu di dapur. Setidaknya perhatikan cara memasak. Besok-besok kalau punya suami jadi bisa masak, mau dikasih makanan cepat saji terus suamimu, heh?" Si adik tetap menjaga sikap kalem, tapi tidak lama, saat Soo Hyun mengatakan sesuatu yang membuatnya kembali melotot. "Kakak sudah mengajak adik ipar, dia akan datang buat makan malam bersama. Mandi sana kalau tidak mau ke dapur. Santai terus kerjaanmu."

"KAKAK!"

Soo Hyun yang hendak melangkah menuju kamar, urung. Soo Hyun mengira, gadis itu pasti tidak suka atas ceramah dirinya tadi. Tubuh Sangeum bahkan sampai ikut menghadap Soo Hyun walau masih di atas sofa.

"Mengapa diberi tahuuuuu?!"

"Apanya?"

"Eunkwang oppa... mengapa Kakak beri tahu...tidak, mengapa Kakak ajak-ajak diaaa?" Sangeum masih saja pakai nada panjang saking kesal.

"Ibu menelepon Kakak kalau masak banyak, lagipula Ibu memang mau makan bersama adik ipar, 'kan?"

"Aish!"

"Aish? Hei, dasar kurang cuka!" Lantas mata Soo Hyun mengikuti kepergian Sangeum, menaiki tangga. Benar-benar, kalau tidak sayang, Soo Hyun sudah menukar Sangeum dengan adik orang lain yang lebih patuh dan lembut.

✳✳✳

Suasana makan malam terasa hangat, bagi Soo Hyun, Ibu, dan Eunkwang yang amat akrab. Berbeda Sangeum yang membangun dinding kutub es; diam sejak pertama Eunkwang datang, lalu hanya fokus makan.

Bertemu Eunkwang lagi, memang menimbulkan rasa yang orang sebut rindu. Namun, tidak. Sangeum tidak boleh goyah.

Isi piring Eunkwang habis, laki-laki itu menengkurapkan sendok garpu, dan mulai memaku pandang arah Sangeum.

"Mari bicara."

Soo Hyun menoleh Eunkwang, begitu pula Ibu yang sampai terhenti acara menyuap nasinya. Pandangan Eunkwang tetap mengarah pada sosok di hadapan.

Tidak mendapatkan respons dari orang yang diajak, kemudian Eunkwang meminta izin kepada Soo Hyun di samping dan Ibu yang duduk di kursi ujung meja untuk mengajak Sangeum mengobrol, sekaligus meminta maaf karena dia makan selesai lebih dulu. Amat santun, berbanding jauh sama Sangeum.

"Aku belum selesai." Sangeum masih memandang piringnya. Hanya tersisa satu sendok nasi.

"Kau cuma memperlambat makanmu. Enam menit saja, mari kita bicara."

Mendongak, Sangeum memandang enggan Eunkwang. "Enam menit." Lantas Sangeum berdiri lebih dulu, meninggalkan ruang makan, disusul Eunkwang.

Sementara di posisinya, Soo Hyun menyimpulkan sesuatu. Ia dan Ibu kompak saling tatap.

"Apa yang... Ibu pikirkan?"

"Seperti yang kau pikirkan."

Meringis, Soo Hyun menaksir jika itu benar, berarti kesimpulan serta pola pikir Ibu dan dirinya serupa.

"Sedang bertengkar." Ibu memperjelas.

"Wah, aku memang anak Ibu." Soo Hyun menanggapi jenaka. "Biarlah, paling sebentar lagi juga berbaikan."

Ibu setuju atas pendapat Soo Hyun, tapi tidak ada jaminan hubungan yang terlanjur pecah akan membaik walau sudah dilekat semen.

Di samping rumah, Sangeum tidak menawarkan Eunkwang duduk kendati ada bangku tanpa punggung yang tertanam pada tanah, begitu apik. Eunkwang juga tidak masalah jika harus menghabiskan enam menit berdiri di hadapan Sangeum.

"Enam menitmu sedang berlangsung," kata Sangeum mengingatkan. Sebetulnya, ia sudah tidak tahan ditatap penuh kerinduan oleh Eunkwang.

Pernah, mereka tidak menghabiskan waktu bersama hingga belasan hari akibat kesibukan masing-masing, saat bertemu lagi Eunkwang tidak memberi tatapan begitu. Mengapa sorot rindu baru tampil sekarang?

"Aku masih tidak menerima alasanmu ingin putus karena itu."

"Aaaah!" Sangeum tiba-tiba tertawa, tapi tidak terdengar menyenangkan. Wajahnya amat antusias yang jelas dibuat-buat. "Aku baru sadar, saat Oppa menerimaku, itu juga karena kebaikan Oppa, 'kan? Makanya kita berakhir pun karena Eunkwang Oppa terlalu mengagungkan kebaikan."

"Sangeum...." Superego Eunkwang mulai terusik, dia berniat menghentikan kalimat Sangeum yang kenyataan masih berlanjut.

"Oppa merasa tidak enak, tidak bisa bicara kasar, atau sedikitnya bilang tidak untuk menolak. Apa benar perasaan Oppa sama denganku? Oppa menerimaku, apa benar Oppa menyukaiku, dan bukan karena merasa tidak enak? Oppa bilang mencintaiku, hanya karena tidak mau berselisih, 'kan?"

"Kau tidak bisa mengukur dalamnya perasaanku untukmu," tanggap Eunkwang. Napasnya mulai mencepat, Sangeum berhasil menularkan sisi emosional yang bergejolak kepada Eunkwang. "Rasa itu terus meluber tiap waktu, kau tidak tahu."

Omong kosong. Sangeum menatap tidak berminat Eunkwang yang masih menuturkan kata.

"Memang menurutmu, siapa yang akan menghabiskan tiga menit menatap petak chat hanya untuk menunggu pesannya dibaca? Bukankah orang itu amat istimewa? Apakah itu tidak cukup menggambarkan perasaanku? Coba kau mengenang, kita sudah berjalan sejauh ini. Sudah bertahun-tahun, Eum."

"Lalu apa masalahnya jika sudah bertahun-tahun?" Sedari awal, Sangeum bicara nada tinggi. Padahal Eunkwang pakai intonasi biasa walau perasaan sudah hampa. "Pasangan yang lanjut usia pun bisa berpisah jika mereka mau. Ini bukan fiksi, tidak mudah mengembangkan cinta hingga tua!"

"Jadi apa kau pikir putus adalah hal mudah?" Eunkwang bertanya serius. Dalam pandangannya, Sangeum membuang wajah, enggan menatapnya lagi.

"Kita juga tidak semudah itu jatuh cinta. Saat pertama kau menemuiku, kau tidak serta-merta langsung datang, kau memerhatikanku lebih dulu dari kejauhan. Kau yang mesti menungguku, aku yang mencoba mengenalmu. Aku membahas ketidakmudahan, Eum. Jika jatuh cinta saja sulit, maka putus bukankah akan meninggalkan sakit?"

Hati Sangeum sudah dongkol hebat, bersiap menumpahkan makian. Semua kata yang keluar dari mulut Eunkwang terasa buruk bagi Sangeum.

"Aku memang begini, Kim Sangeum. Aku memang seperti ini. Mengapa aku mengekspresikan diri sendiri salah di matamu? Kau membuatku iri kepada mereka yang mampu berpura-pura menjadi orang lain untuk bisa diterima. Aku nyaman menjadi diriku, mengapa kau malah seolah-olah memaksaku berhenti menjadi diri sendiri?" Suaranya bergetar, Eunkwang menumpahkan semua. Beban perasaan memang sedikit berkurang selesai bicara, tapi sedih? Tetap memenuhi diri.

"Kalau begitu seperti ini benar, kita memang harus berpisah. Jadi Oppa bisa tetap melanjutkan menjadi diri sendiri."

"Bagaimana kalau aku tidak bisa? Aku mencintaimu, bagaimana aku bisa lupa kepadamu? Memikirkan bagaimana... aku tanpamu itu sudah terasa menyedihkan, Eum-ah."

"Saat ada seseorang yang baru, Oppa akan mudah melupakan semuanya. Sama, sepertiku. Oppa bisa bersama orang yang lebih memahami Oppa. Hati manusia tidak sebodoh itu untuk terus mengenang masa lalu, pikiran manusia tidak sebeku itu untuk terus memutar kejadian yang telah lalu." Kim Sangeum ingin menumpahkan tangis, ada selapis bening yang menghias mata, tapi terus-menerus menahan seakan-akan tak peduli. "Enam menit Oppa sudah habis."

"Aku tetap menunggu keputusanmu di hari itu. Waktumu tinggal empat hari, renungkan tentang kita sekali lagi." Berbalik, Eunkwang yang lebih dulu menjauh. Dia menyadari kalau langkahnya mengajak Sangeum bicara kurang hati-hati, mestinya Eunkwang bisa tahan diri, menunggu. Ini tidak seperti Eunkwang biasanya, yang selalu memperhitungkan segala sesuatu sebelum bertindak.

Sangeum tidak menatap punggung Eunkwang atau memerhatikannya. Ia cukup lelah sehingga tubuh dengan mudah meluruh; berjongkok, menyembunyikan wajah di kedua lengan yang menangkup lutut.

"Jika karenaku kau kehilangan dirimu, mengapa kau mengungkit hubungan yang telah pupus? Bagiku kita sudah berakhir...." Ia bergumam, tapi isak jelas terdengar. Sangeum merasa dadanya nyeri, begitu intens, seperti ada yang merobek-robek bagian dalam secara keji.

Sementara Eunkwang menghabiskan waktu sebelum pulang dengan bercengkerama bersama Ibu dan Soo Hyun, Sangeum tidak ikut menimbrung. Sehabis menyeka seluruh air mata yang berhasil tumpah, Sangeum cepat-cepat menuju kamar, menutup pintu dan mematikan lampu.

Dalam kamarnya suram seperti hari lalu, dan Sangeum menangis lagi.

.
.
.

Bersambung....

C/A: Aish = Sial.
Memang Sangeum paling kurang asem.
Btw gaes, pas adegan di samping rumah antara Sangeum sama Eunkwang puter lagu ini deh....

https://www.youtube.com/watch?v=604pagAksLo

Dijamin nyangkut, hahaha. Ngepas gitu. Tadinya mau ditaruh di tengah situ, tapi nggak bisa buat sambil baca. Yauda sini aja, hahaha. Dah yaa, sampai ketemu lagi~

Bogor, 11 April 2021
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro