18 | Mengenang, Mengenal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Semua orang punya rahasia yang ingin mereka sembunyikan; secerewet, seterbuka, seperiang apa pun diri mereka. Lantas segenap dunia selalu punya senjata menyingkap rahasia manusia."


Pelan-pelan angin iseng meraba gelung rambut Sangeum hingga per helainya beterbangan. Alih-alih terganggu, gadis itu hanyut oleh sensasi segar yang tercipta dari memandang hamparan rumput; mengelilingi jalan setapak menuju teras rumah. Juga tanaman hias di sisi-sisinya, menambah hiburan bagi sepasang mata.

Selesai makan ditemani Hayan, Sangeum masih betah singgah, memilih duduk manis di kursi besi berpunggung sehingga ia bisa bersandar nyaman. Jika ditilik dari sudut kesederhanaan tanpa melihat halaman, kediaman Eunkwang mirip seperti rumah lama Ibu. Tiba-tiba saja Sangeum merindukan rumah mereka sebelum Soo Hyun mencicil hunian di Mauram.

Sedang asyik-asyiknya menikmati semua hal yang alam perbuat, kisah lama mulai menghinggapi diri. Mungkin ini berkaitan soal Sangeum yang sempat memikirkan tempat ia dibesarkan sewaktu dulu. Gemuruh meraung dalam dada terasa ngilu, entah kenyataan memang begitu atau cuma buah dari pikiran Sangeum yang mulai tidak keruan. Pandangan Sangeum lalu berpindah kepada sosok lelaki, melewati daun pintu sambil membawa dua cangkir teh hijau yang nangkring di atas nampan, asap mengepul dari sana.

"Menurut Oppa, keluarga itu apa?"

Tangan Eunkwang tertahan sebentar tatkala hendak memindahkan satu cangkir ke atas meja bundar berkaca.

"Bukankah sudah jelas?" Senyum Eunkwang menjadi panah andalan yang menciptakan perasaan damai; terkhusus untuk Sangeum. "Keluarga adalah satuan yang terdiri dari ayah, ibu, anak... iya, 'kan?"

Terus terang, Eunkwang masih menerka inti pembahasan Sangeum, tapi dia tetap menjawab menggunakan cara yang baik kendati isinya terlalu universal.

Dua cangkir beralas pisin sudah berada di tempat seharusnya, nampan sengaja Eunkwang pangku dan lekas melepaskan diri duduk di samping Sangeum; tersekat meja.

"Saat aku baru masuk sekolah dasar, aku menangis keras."

Eunkwang siap menjadi pendengar, membiarkan Sangeum memandang ke depan seperti semula. Tidak tahu pasti apa yang ia tatap, Eunkwang rasa ada banyak gelintir getir memancar dari mata gadis itu.

"Aku masih ingat bagaimana ibu mesti menemaniku di kelas. Ibu pernah menceritakan kisah itu saat aku berhasil lulus JHS, dan ibu menyimpulkan kalau aku tidak bisa menyesuaikan diri karena di umurku tujuh tahun baru masuk kelas satu sekolah dasar. Ibu tidak tahu alasanku sebenarnya... aku takut kalau guru di depan papan tulis saat itu mendadak bertanya tentang ayah, atau bisa jadi meminta seluruh anak murid menceritakan bagaimana sosok ayah mereka.

"Anak-anak di kelas tentu punya cerita tentang itu, lalu aku? Apa yang harus kuceritakan dari orang yang meninggalkanku, ibu, dan kakak? Tapi ternyata, guru tidak meminta seperti apa yang aku pikirkan. Hanya saja bukan berarti aku terhindar dari bayang-bayang dia." Kedua tangan Sangeum saling bertaut, meremas, dan keluar keringat yang tak sedikit dari telapak tangannya.

Kecemasan menyerang Sangeum. Tetapi seperti punya kekuatan lebih berada dalam lingkaran keberadaan Eunkwang, Sangeum berani menyibak peti lukanya.

"Saat mendaftarkanku sekolah dasar, ibu hanya menuliskan namanya tanpa nama ayah, tapi aku terus mengingat nama itu. Padahal aku sendiri tidak mampu menuliskannya. Anak-anak sekelas senang memamerkan ayah mereka. Sehabis libur sekolah, mereka akan menceritakan bagaimana menghabiskan waktu liburan bersama sosok ayah. Aku juga ingin bebas menyebut atau menuliskan nama ayahku tanpa harus merasa berat. Pada akhirnya aku menyimpan iri kepada teman-teman sekelas. Tapi sekarang... aku justru iri sama Eunkwang Oppa."

"Wae? Apa yang membuatmu iri padaku?" Tanggapan super cepat dari Eunkwang. Dia bergerak, tubuh semakin menyerong arah Sangeum yang kini berganti menatap dirinya kembali.

"Oppa yang menyayangi ibu Oppa, aku iri. Terlihat sekali. Bagaimana bisa orang ini sangat menyayangi ibunya, aku penasaran."

"Aku rasa semua anak memang sayang kepada ibunya, 'kan? Memang kau tidak menyayangi ibumu?"

"Mustahil kalau aku tidak menyayanginya, tapi sayang ibu kepada ayah lebih besar. Bukti nyata, ibu terus memasak tiap hari walau sudah ada yang bekerja untuk tugas itu. Memang sepele, semua ibu di rumah bisa jadi memasak. Tapi aku tahu alasan ibuku begitu untuk jaga-jaga kalau Kim Sanghyun pulang. Kata kakakku, ibu selalu memasakkan makanan untuk ayah sambil menunggu kepulangan dia, tidak pernah sekalipun ibu tidak masak. Mengapa ibu begitu menyayangi seseorang yang sudah meninggalkan bahkan mengkhianatinya? Apakah kehadiranku bersama kakakku saja tidak cukup?"

"Sayang orang tua pada anak dan pasangan beda kasus, Eum. Tidak bisa dibandingkan, karena pasti beda cara memberi kasih. Juga... kehadiran antara anak dan pasangan itu berbeda posisi. Barangkali ibumu merasa terpenuhi berkat kehadiran anak-anaknya, tapi ruang kosong di hatinya, belum lagi luka-luka yang terdapat di sana, ibumu mesti berjuang sendiri untuk memplester itu." Diam-diam, Sangeum menyetujui sudut pandang Eunkwang.

"Kalau begitu, aku iri sama keluarga Oppa yang baik-baik saja. Kedua orang tua Oppa akur, suka berkumpul... aku iri. Rumput Oppa benar-benar subur."

"Anggapan apa itu?" Eunkwang mengulurkan tangan, sebisa mungkin menggapai sebelah pipi Sangeum untuk menyeka air yang berhasil tumpah dari mata. Kekasihnya tidak sadar sudah menangis.

"Aku sering beda pendapat sama ibu dan ayah, bahkan kami pernah saling mendiamkan diri. Kau tidak tahu kalau ibu dan ayahku sempat ingin bercerai, 'kan? Seperti ibumu yang senang menceritakan kisah lama, ibuku juga pernah bercerita kepadaku soal apa yang pernah dialami." Eunkwang menerawang, membuka buku kenangan. "Mereka batal pisah setelah aku lahir. Terkadang, aku memikirkan bahwa mereka berdua kesakitan harus terus bersama karena diriku. Aku merasa bersalah dan menuntut jawab dari pertanyaan 'mengapa aku harus lahir?'. Hanya saja sekarang aku memahami, kalau mereka memang sudah berdamai dan lebih dewasa. Aku yakin, ibumu juga akan berdamai dengan keadaan sekaligus dirinya sendiri. Mengakui kalau... beliau mesti menjalani hidup di masa sekarang."

Sungguh, Sangeum akan menutup muka dan menangis kencang-kencang kalau Eunkwang tidak segera beranjak ke hadapan, memberi pelukan paling hangat. Punggung Sangeum menegak, tak lagi nyaman bersandar. Toh kenyamanan telah terganti oleh tubuh di depannya ini.

"Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membuatmu terluka dan berakhir tidak menghargai diri sendiri, Sangeum. Tidak pernah ada kisah yang sempurna. Kau melihat rumput lain yang lebih subur karena belum pernah merawat rumput itu. Coba kalau rumputmu, kau sudah menyayangi, berjuang, dan tetap membiarkannya tumbuh. Rumputmu juga tidak kalah cantik, Eum-ah. Mau percaya?"

✳✳✳

Search...

Risiko dari menikah bersama sepupu

Mengalami masalah genetik pada keturunan.

Dilansir dari Popular Science, empat hingga tujuh persen anak dari pernikahan sepupu akan mengalami kecacatan lahir seperti hidrosefalus yang ditandai membesarnya ukuran kepala, gangguan pendengaran dini, keterbelakangan mental, perkembangan terhambat, kelainan darah bawaan (thalasemia), hingga kematian bayi. Sejumlah risiko kesehatan ini sudah terbukti secara ilmiah melalui berbagai riset.

Penyebab mengapa ada risiko jika menikahi sepupu?

Risiko kesehatan akibat pernikahan bersama kerabat atau keluarga, termasuk sepupu, terjadi karena ada struktur genetik yang serupa. Jika pernikahan bersama sepupu terjadi, maka persamaan genetik atau DNA antara 'pasangan keluarga' semakin besar. Saat unsur genetik orang tua memiliki banyak kemiripan, keduanya akan memperburuk keadaan.

Jimin berhenti menatap komputer dan memutar kursi belajar, lebih sudi menghimpun atensi arah jendela kamar di beberapa langkah dari posisinya sekarang. Ia lelah. Sayangnya kelelahan yang menerjang tidak bisa hilang hanya dengan tidur seharian penuh.

Soal pencariannya barusan, sebelum itu Park Jimin tahu benar kalau pasti akan ada akibat kurang menyenangkan timbul, walau dalam agama yang ia percayai menghalalkan saudara misan seandainya menikah kendati masih tabu. Bahkan di negara tempatnya tinggal tidak pernah disarankan secara hukum. Jika Jimin terus memaksa kehendak ingin bersama Sangeum, yang akan dirugikan adalah anak tidak berdosa, bukan? Terlebih, Sangeum termasuk sepupu dekat. Pun, pasti banyak pertentangan yang bakal bermunculan.

Iya, memang. Jimin terlalu berpikir jauh, menerjang segala ketidakmungkinan. Tetapi bagi pribadi Jimin, manusia memang mesti tahu apa yang menjadi kendala saat memutuskan sesuatu. Ketika ada sebersit harapan bahwa mungkin mereka bisa bersama, Jimin hendak memutuskan untuk tetap membiarkan perasaan yang dipunya tumbuh. Hanya saja bayangan kala mengetahui Sangeum saudaranya senantiasa melekat tidak tahu diri. Ditambah fakta hasil bacaannya tadi, harapan itu terkikis sudah.

"Kau saja yang tidak punya cermin."

"Aku pernah mengatakan kalau kau tidak cocok bersamanya. Dari sudut Eunkwang seonbae yang terlalu baik, sekarang dari sudut dirimu. Seharusnya kau tidak perlu sampai semarah ini."

Cercaan dari mulut sendiri terus berputar dalam kepala, tidak peduli kalau sekarang sudah sampai rumah dan sedang melepas sepatu. Hati Jimin telah terbebani oleh rasa bersalah lantaran mengolok-olok Sangeum habis-habisan, lalu rasa itu kian membesar sebab alasan baru; menyukai Kim Sangeum.

"Aku cuma bertanya." Nahee mengekor Sanghyun hingga ke ruang keluarga yang terdapat dua sofa dan televisi sebagai pelengkap. "Waktu itu aku benar-benar tidak bisa menghadiri pernikahanmu. Aku juga belum pernah lihat calon... tidak, istrimu. Kakak masih tidak mau mengenalkannya?"

"Mengapa kau baru penasaran sekarang?" Menghadap sang adik, Sanghyun merasa risi atas berbagai hal yang dikatakan Nahee. "Di hari sebelum aku melangsungkan pernikahan, kau berjanji akan datang. Lalu tepat di hari pernikahanku, kau justru bilang tidak bisa hadir karena Park Jitae bekerja. Jika dia bekerja maka kau tidak bisa pergi. Padahal apa sulitnya bertandang sebentar? Dari Cheongju ke Seoul tidak membutuhkan berminggu-minggu perjalanan." Membuang muka seraya mengembuskan napas kesal, lantas mata Sanghyun terpantek pada gambar yang tersaji di layar kaca televisi.

"Karena itu aku minta kirim foto pernikahanmu lewat pos, 'kan? Tapi apa? Tidak ada kiriman apa pun darimu. Terus tahu-tahu kau mengabariku dengan nada super heboh kalau istrimu hamil. Mana? Sampai saat ini kau tidak memperlihatkan gambar...."

"Dia. Aku tidak perlu memperlihatkan gambar apa pun kepadamu."

Mengerutkan kening, Nahee meneliti apa makna kata itu sambil melempar tatapan ke arah serupa; televisi yang tengah menampilkan iklan minyak rambut. Model lelaki muda yang punya senyum menawan. Lelaki yang belakangan ini namanya cukup banyak dibicarakan di kalangan remaja perempuan.

"Kim Soo Hyun, anakku. Keponakanmu."

Jimin menghentikan langkah tepat di sisi lemari hias. Seharusnya percakapan dua orang dewasa itu tidak menarik, tapi isinya begitu menyentil Jimin.

"Aigooo, Kakak bercanda?" Lantas tawa ejek dari Nahee tercetus bertepatan iklan berganti. "Semua orang yang sudah menikah pasti ingin punya anak mirip Kim Soo Hyun. Termasuk Kakak. Aku tidak sangka Kakak penggemarnya."

"Bercanda itu menimbulkan lucu. Menurutmu, apa aku terlihat sedang melucu?" Tanpa kehendak, air mata membasahi kedua pipi sosok yang tidak lagi muda. Tidak, ini terasa salah. Di umurnya segini, semestinya Sanghyun tidak terlihat setua itu kecuali dari pancaran suasana hatinya yang rusak. Nahee bisa melihat betapa berat 'sesuatu' yang dipikul Sanghyun, tapi tidak mampu memahami.

"Dia anak yang kutinggalkan."

Kedua kaki Jimin terasa seperti agar-agar sekarang. Perasaan dan pikiran berlomba-lomba mencetuskan respons negatif. Tangan Jimin yang menenteng sepasang sepatu mengerat guna tidak jatuh dan menimbulkan suara. Mendapati kata-kata itu terasa mimpi buruk di siang bolong bagi Jimin. Masalahnya, Jimin tahu Kim Soo Hyun kakak dari Sangeum. Jika Soo Hyun putra Sanghyun, itu artinya... ya Tuhan, bagaimana mungkin?

"Aku juga meninggalkan adiknya. Adik dari perempuan selain kakak iparmu. Padahal dia masih kecil. Dalam keadaan kacau... aku menitipkannya kepada istriku seperti sebuah barang. Aku bejat sekali, ya?"

Jimin akui bahwa diri tidak pernah kuat mengulang-ulang adegan itu dalam kepala, tapi otaknya seperti menertawakan rasa yang Jimin miliki tanpa secuil iba.

"Jimin! Jimin-ah! Kim Sangeum datang ini. Turun cepat!"

Bubar.

Semua adegan itu lari menjauh sejalan Jimin beranjak dari kursi. Bayangan menyakitkan hirap bersama langkah yang dibawa menuruni tangga. Melihat ibunya sejenak yang berjalan dari pintu utama menuju dapur, jantung terasa berdebar lebih cepat kala melihat Sangeum lagi. Melihat gadis yang beberapa hari ini berusaha ia lupakan, tapi sisi lain juga ia rindukan. Terlebih tubuh berdiri di hadapan Sangeum, rasanya Jimin ingin menghambur dan memeluk erat-erat gadis itu.

Memberikan kembali mantel yang telah dicuci, dilipat rapi, Sangeum agak ragu ketika mendapati ekspresi Jimin yang tidak bisa ditebak.

"Rasanya aku menjadi orang paling penakut kalau tidak menemuimu." Sangeum berbicara sejalan Jimin menerima barang dari kedua tangannya. "Walau aku sedih karena kata-katamu, tetap saja...."

"Maaf."

Sangeum cepat-cepat mengukir senyum. Satu ucapan itu yang ia nantikan dari Jimin. Pancingan Sangeum memakai kalimat tadi sukses.

"Aku sudah keterlaluan kepadamu. Maafkan aku. Walau nantinya aku tidak bisa mengendalikan perkataanku seperti waktu itu, tapi untuk yang sudah terjadi... maafkan aku."

"Kukira kau tidak pernah mau minta maaf, tapi sepertinya kau masih ingin pertemanan kita berlanjut sampai masa depan, 'kan?"

"Mulai deh. Kau memang pintar menganalisis perkataan orang."

Sangeum mendekat Jimin satu langkah. Mereka cukup berjarak barusan, dan Sangeum selalu tidak bisa bicara berjauhan. Sementara dari jarak sedekat ini, hati Jimin melambung tinggi.

"Kecuali kata-katamu saat itu. Aku tidak mengerti apa yang sebetulnya kau pikirkan sampai sebegitu kasarnya."

"Masih belum cukup dirimu membuatku merasa salah?" Jimin tahu kalau Sangeum tidak akan pernah lupa secara instan soal kejadian itu, tapi Jimin juga tidak ingin Sangeum mengungkit-ungkit dan bikin Jimin menyesal terus. Ia sudah meminta maaf padahal.

"Baik, aku akan berhenti membahasnya." Kemudian tawa menguar bebas dari Sangeum sebagai perayaan rasa senang hubungan mereka membaik. "Hei, Jim... sudah empat hari tidak bicara denganmu, seperti empat kali lipat tahunnya. Aku bahkan tidak bisa cerita. Aku ingin bercerita banyak kepadamu. Salah satunya... aku sudah ke rumah Eunkwang oppa! Keren, 'kan?"

Seserius itukah hubungan mereka? Baru saja Jimin terhibur sebab kehadiran Sangeum, sekarang dari orang yang sama, hati Jimin kembali jatuh, pecah, terserak sembarang, dan Jimin tidak yakin akan menemukan kepingan hatinya lagi.

"Kapan-kapan kalau ada waktu, bergantian aku yang ajak Eunkwang oppa ke rumahku. Hehe."

Tanpa merasa berdosa, Sangeum berbagi cerita seperti biasa selayaknya mereka di hari-hari yang pernah terlewat. Hanya saja Sangeum tidak tahu bagaimana menjadi Park Jimin saat ini. Jimin juga butuh bercerita, tapi pada siapa? Bisakah mereka tukar posisi saja? Lantas Jimin segera mengenyahkan pemikiran itu.

Sangeum tidak akan sanggup menjadi seorang Park Jimin. Lagipula Jimin tidak akan tega memberikan sakit yang ia derita kepada Sangeum.

"Kalau begitu semoga lancar." Jimin menarik sebelah pipi Sangeum guna mengalihkan pemikiran buruk yang berkelebat tak sedikit. "Mengapa kau semakin chubby, hm?"

"Makanya berhenti tarik-tarik pipiku, nanti makin melar!" Sangeum memukul punggung tangan Jimin yang tertawa. Terdengar sumbang, tapi Sangeum merasa itu tawa murni kegembiraan dari temannya.

Melepas pipi Sangeum perlahan, tangan Jimin jatuh menggantung. "Aku mau istirahat, tugasku banyak sekali tadi. Besok kita mengobrol lagi. Ke kampus bersama?"

"Memang besok kelasmu siang?"

Jimin mengangguk dua kali guna menjawab yakin.

"Oke, setuju!" Sangeum bersama perangai riang juga ramainya, ia tidak pernah membagi sisi itu kepada orang lain kecuali Jimin, atau orang terdekat seperti Eunkwang dan keluarganya.

Jimin merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari Sangeum. Bisakah ini saja cukup? Bahkan jika ia memutar kembali waktu dan mencegah Sangeum mengenal Eunkwang, mereka akan tetap pada posisi sama; sebagai saudara. Jalannya memang sudah seperti ini sejak awal. Sejak Tuhan menulis takdir mereka jauh sebelum keduanya menapak dunia.

Memandang punggung Sangeum yang menjauh dari teras, gadis itu menoleh sebentar demi melambaikan tangan. Tidak tahu kalau tatapan Jimin berubah kuyu. Setelah tidak lagi ada figur itu, Jimin memilih segera memasuki rumah.

"Temanmu?"

Langkah Jimin tertahan, menoleh arah suara dari sosok yang berdiri di punggung jendela dekat pintu.

"Mm." Jimin menanggapi sekenanya, hampir ingin lanjut melangkah kalau tidak ada pertanyaan lain dari Kim Sanghyun.

"Tidak diajak masuk?"

"Sangeum cuma mau mengantar mantelku." Jimin memandang pergerakan Sanghyun memutar tubuh, menghadap arahnya, menurunkan tatap pada mantel yang kini dalam dekap.

"Kapan Paman kembali ke Indonesia?"

"Mengapa?" Dengan sekali kedip, pandangan Sanghyun berpindah kepada Jimin.

"Kupikir Paman akan bersembunyi lagi di sana. Dalam waktu dekat aku ada riset di Indonesia. Jika Paman mau kembali, kita akan pergi bersama."

Bukankah lebih baik jika Jimin tidak setiap hari bertemu Kim Sanghyun setelah kepulangannya dari Indonesia seorang diri? Setidaknya Jimin ingin merasa nyaman dekat Sangeum walau mengubur rasa cinta untuk gadis itu.

"Bersembunyi? Kau tahu?"

Jimin menampilkan senyum kecut. Pertanyaan itu tembakan balik untuk kalimatnya barusan.

"Mengapa aku tidak belajar jadi detektif saja, ya?"

Mendadak, dingin seolah-olah menyerang tempat mereka berdiri dengan Sanghyun yang menjadi es batu.

"Aku selalu penasaran dari mana Sangeum mendapatkan senyum dan wajah semanis itu. Ternyata dari Paman. Saat pertama aku membuka pintu untuk Paman, saat pertama kita makan bersama dan berinteraksi, aku betah dan nyaman dekat Paman. Sebegitu aku baru mengenalmu. Sama, seperti rasa nyamanku dekat Sangeum.

"Aku cuma tidak tahu dari mana dia mendapatkan sikap seperti kucing kerasukan singa kalau tidak suka sama sesuatu. Sifatnya keras, tapi anehnya dia mudah menangis. Menangis sudah seperti hobi, sensitif sama perasaan sendiri daripada orang lain." Jimin sengaja membeberkan fakta gadis itu di depan Sanghyun secara gamblang.

"Kau sangat mengenalnya." Itu pernyataan. Sanghyun tidak tahu harus menanggapi situasi sekarang bagaimana. Terlalu perih dan mengundang duka.

"Mungkin lebih kenal dari Paman yang hanya memerhatikan Sangeum diam-diam dari jarak terjauh."

Kembali melangkahkan kaki usai melempar tatapan tombak arah Sanghyun, percakapan itu belum menimbulkan kepuasan dalam diri sang paman atas dari mana Jimin tahu kalau Sangeum putrinya. Asumsi Sanghyun, Jimin mendengar seluruh fakta yang belum lama ini ia singkap kepada Kim Nahee. Termasuk mengakui bahwa ia bersembunyi alih-alih merantau.

Biar saja Kim Sanghyun berasumsi atau berkesimpulan sedemikian rupa. Itu bukan urusan Jimin. Sekarang, Park Jimin hanya harus menata hati yang tidak lagi utuh untuk bisa terus melanjutkan hidup besok, besoknya lagi, dan lagi.

.
.
.

Bersambung....


Sumber artikel dan riset tentang menikahi sepupu:

1. IDN TIMES; https://www.idntimes.com/health/fitness/izza-namira-1/menikah-dengan-sepupu/1

2. POP BELA; https://www.popbela.com/relationship/married/windari-subangkit/hukum-menikah-dengan-sepupu/full

3. ALODOK; https://www.alodokter.com/risiko-kesehatan-menikah-dengan-sepupu-yang-perlu-dipertimbangkan

Terima kasih untuk artikel terkhusus di atas, dan sebetulnya masih ada beberapa referensi lagi yang jadi sumber dasar riset. Karena aku nggak eksekusi semua, dan cuma yang di atas ini aku kutip isi artikelnya. Terima kasih banyak sekali lagi. Bermanfaat sekali.

Tebak deh, ending Silverstar di part berapa? Wahahaha. Kalau tebakannya tepat? Kukirim cium jauh campuran ciuman Bang Eka juga:"

Bogor, 11 Juli 2021
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro