19 | Enouement

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ada beberapa hal yang mampu mengubah pandangan hidupmu: kata-kata orang lain yang bersifat hangat maupun kasar, lingkungan, pengalaman."


Matahari sudah meninggalkan langit beberapa waktu lalu, kini hanya menyisakan legam pilu. Gerimis tipis-tipis menikam permukaan wajah gelisah. Sakit. Tidak ada kendaraan, tidak pula orang-orang untuk menolongnya. Kim Sangeum tidak tahu pasti dirinya mengapa dan bagaimana bisa berada di aspal sepi bersimbah darah; keluar tidak sedikit dari kepala. Dekat telinga koyak, darah juga mengalir dari sana. Seluruh tubuh kaku, Sangeum terpatri tanpa tenaga.

Kala kesakitan kian menggigit kuat-kuat, sosok itu berlari arah sini. Lampu kuning jalan menyorotnya. Ada ketukan senang, tapi juga sedih sebab tidak bisa mendengar apa yang keluar dari mulut itu selain Sangeum mencoba memahami gerak bibirnya.

Dia memanggil.

Ya. Memanggil nama Kim Sangeum berulang. Kepanikan menyebar di tiap sudut ekspresinya.

Tidak ada yang bisa Sangeum lakukan, tapi air mata terus berbicara tentang kesedihan sehingga melemahkan Sangeum lebih erat dari luka terbuka di tubuh. Bukan cuma tidak bisa mendengar, pandangan turut mengabur ketika sosok beraroma kayu manis telah sangat dekat di posisinya terbujur. Jika ada satu saja yang mesti disyukuri dari lumpuh seluruh tubuh saat ini, itu adalah indra penciuman Sangeum yang tidak tumpul.

Tangan super hangat milik Eunkwang kemudian memindahkan kepala Sangeum dari atas kasarnya aspal ke dalam pangkuan.

Eunkwang memanggil lagi.

Tuli. Percuma Eunkwang berteriak. Gerak bibirnya begitu cepat sambil menatap Sangeum yang berusaha mempertahankan kesadaran, napas satu per satu diembuskan. Lambat, berat, tipis.

Sangeum baru paham bahwa akan lebih baik mendengar tawa Eunkwang, masih merasakan eksistensinya walau hanya tersenyum di depan orang lain. Lalu sekarang? Suara dia tidak bisa terdengar. Tidak ada senyuman. Seo Eunkwang... meraung dalam pandangan Sangeum yang semakin meredup.

Sadar, bukan Eunkwang yang jauh dari genggaman tangannya seperti bintang, bukan Eunkwang pula yang menciptakan jarak dalam hubungan mereka, tapi diri sendiri yang membangun dinding ego sehingga mereka terasa berjauhan. Saat-saat ini, Sangeum ingin menggerakkan seluruh anggota tubuh dan mengaramkan kesedihan Eunkwang, tapi semua terasa mustahil sebab kesakitan terus mengambil alih nikmat hidup yang ia punya.

Sangeum juga paham hal lain: saat waktumu tinggal sedikit, saat napasmu tinggal di penghujung hidung, saat itu momen berharga yang tidak pernah kau anggap akan terbayang menyiksa. Kau mulai berandai-andai balik ke waktu normal yang mana kau tidak berada dalam situasi sekarang. Tidak pernah berada di situ.

Tidak apa-apa jika Eunkwang mau beramah-ramah kepada orang lain, jadi bisakah Tuhan membiarkan Sangeum memperbaiki apa yang rusak? Tidak apa-apa jika Eunkwang baik ke semua orang, itu memang sudah karakternya, Sangeum hanya akan lebih lagi menumbuhkan rasa percaya, maka bolehkah Tuhan memberi satu kesempatan lagi untuk Sangeum melihat secara jelas Seo Eunkwang? Kim Sangeum akan menegur tindakannya di masa lalu. Memberitahu bahwa memutuskan hubungan atas Eunkwang adalah kesalahan.

Tetapi jika Tuhan menolak permohonan Sangeum dalam bisunya diri dan tenggelamnya waktu yang mengikis batas akhir, maka Sangeum ingin Tuhan cepat mencabut nyawanya. Jangan memberi tambahan kesakitan dengan cara memperlihatkan betapa hancurnya Seo Eunkwang sekarang. Tolong....

"Sangeum?"

Suaranya familier, tapi Sangeum cukup mengenal bagaimana nada Seo Eunkwang ketika menyebut namanya. Itu bukan Eunkwang.

"Kim Sangeum, hei...

"Sangeum-ah!"

Seperti dihela paksa dari buram yang penuh sesak, gadis itu membuka mata, menghirup banyak-banyak oksigen yang ada usai tarikan napasnya tersentak barusan. Menatap tepat sosok berjas putih, tengah memandangnya cemas, air tampak menggenang di netra Sangeum.

"Kau bermimpi buruk? Maaf aku membangunkanmu, tapi melihat keningmu berkerut sangat dalam dan gelisah...." Ia tidak melanjutkan kata-kata. Mungkin tindakannya tadi tidak sopan, hanya saja ia pun pernah mengalami mimpi buruk dan itu tidak pernah membangkitkan rasa senang. Justru ketakutan yang terus ikut.

Sangeum belum menanggapi apa pun melalui lisan, matanya lalu meneliti arah ruangan sehingga sedikit cairan yang nyaris meleleh tadi mengering. Tiang infus, nakas besi, gorden putih... ketika Sangeum ingat sepenuhnya tentang alasan ia berada di sini, senyum ceria mulai terpampang apik seraya beringsut duduk sehingga orang di sisi ranjang tidak bisa menebak gerak Sangeum sebelumnya.

"Oppaaa!" Sangeum menyapa gaduh, sudah seperti penggemar bertemu idolanya. Bagian atas tubuh menyerong sehingga mereka bisa saling berhadapan. "Aku senang melihatmu lagi, serius!"

Orang itu ikut tersenyum. Manis. Perasaan serupa yang dimiliki Sangeum juga dirasakannya. Pertemuan antara teman lama memang ada sensasi tersendiri.

"Kau sudah baik-baik saja? Saat aku mendengarmu di sini, aku langsung ingin melihatmu."

"Kurasa sudah baik. Aku juga merasa sangat sehat sekarang. Dokter Lim bagaimana? Kita sudah..."

SREEKK!

Bibir Sangeum masih membuka tatkala sliding door tergeser keras-keras, menimbulkan suara yang bikin rahang ngilu.

Dua orang dalam ruangan telah kompak melihat arah lelaki yang napasnya tidak beraturan, berdiri sedikit bungkuk di depan pintu. Sangeum bahkan lupa apa yang selanjutnya harus dikatakan untuk Lim Hyunsik tadi.

Ah ya, sosok mengejutkan itu: Seo Eunkwang. Dia kemudian berjalan mendekat secara pelan sesudah mengetahui Sangeum duduk di sana. Punggung menegak, perasaan takut yang menggelayut perlahan menemui ketenangan kala melihat gadis itu baik-baik saja.

"Ada tamu." Atensi Hyunsik kembali mengarah Sangeum. "Sebaiknya aku pamit. Setelah kau sehat, aku janji akan mentraktirmu makan, ya? Makanya harus cepat pulih. Aku akan menghubungimu."

Eunkwang menatap interaksi itu seraya mengerem langkah tepat di sisi Hyunsik. Pandangan hangat sang dokter serasa mengecilkan Eunkwang, belum lagi dibalas senyum teramat ceria dari Kim Sangeum.

"Baik, kutunggu. Aku juga akan mengabari kalau sudah sehat, sekalian menagih. Hehe. Oppa juga mesti sehat."

Mata Eunkwang lantas membesar, menatap Sangeum tidak suka. Maksud Eunkwang, dia tidak suka sebutan gadis itu... apa-apaan!

"Siap, Tuan Putri!" Hyunsik secara gamblang menyentuh, bahkan mengacak surai di puncak kepala Kim Sangeum tanpa tahu ada satu orang yang sedang menahan napas. Kesal.

Selesai dengan aksi itu dan mendapati tawa kecil Sangeum, Hyunsik benar-benar keluar dari ruang rawat. Ia sempat memberi gerak menghormati kepada Eunkwang yang cuma diam.

"Kau terlihat dekat sama dokter tadi. Dia yang mengoperasimu?" tanya Eunkwang cepat usai pintu terdengar ditutup.

Sangeum menggeleng. "Dia dokter spesialis mata."

"Lalu mengapa kau memanggilnya 'oppa', dan dia... beraninya...." Eunkwang melihat rambut Sangeum yang acak-acakan oleh tangan lelaki asing; setidaknya bagi Eunkwang. Sementara gadis itu tergiur untuk mengambil stoples berisi kacang atom dari atas nakas bervas bunga tiruan. Ini pasti Ibu yang membawakan.

"Dokter Lim pernah menjadi narasumberku menulis cerita." Membuka tutup stoples, Sangeum fokus pada benda itu tanpa mengalihkan pandang arah Eunkwang. "Lalu kita menjadi teman. Jimin juga mengenalnya. Kami bertiga dekat, makanya tidak salah kalau aku memanggilnya oppa, 'kan? Oppa?"

"Kau memanggilku apa menyebutnya?" Kekesalan Eunkwang menular pada intonasi yang sedikit lebih pekat.

"Memanggil Oppa. Mau?" Sangeum menawarkan kacang atom sambil mengulurkan seperempat senti stoples ke arah Eunkwang.

"Kau habis operasi, memang boleh makan camilan begitu? Sudah buang angin?"

"Sudah." Tahu Eunkwang menolak camilan bulat-bulat ini, Sangeum berhenti mengulurkan si tabung kaca dan menguasai sepenuhnya dalam genggam. Mulut mulai mengunyah kacang yang berhasil disantap. "Setelah obat biusnya hilang langsung bisa buang angin. Memang perutku bekerja sama dengan baik, tidak menginginkan aku mengosongkan dia terlalu lama."

Jika tidak dalam keadaan seperti ini, Eunkwang sudah mencetuskan tawa akibat seluruh kalimat Kim Sangeum.

"Kalau begitu sekarang jelaskan, mengapa kau bisa sampai dioperasi? Bagaimana bisa?"

"Memang apa yang tidak bisa terjadi? Oppa tahu pekerjaanku. Aku seringnya duduk, kebanyakan minum kopi, jalan paling ke mini market. Aku tidak sadar sewaktu wasirnya masih kecil. Eh malah...."

"Wasir?" Eunkwang menyela, tiba-tiba blank. Ingin rasanya menjatuhkan diri ke atas lantai sekarang juga.

Soo Hyun memang hanya mengatakan adiknya menjalani operasi, ia belum bisa pulang sebab masih dalam tahap pengambilan adegan drama di luar kota. Kim Soo Hyun meminta tolong Eunkwang menjaga Sangeum dan Ibu untuk sementara, tapi tidak memberitahu apa penyebab Sangeum dioperasi. Atau belum sempat bilang? Eunkwang terburu-buru masalahnya. Memutus sambungan telepon secara sepihak lebih dulu.

Jujur saja, Seo Eunkwang bahkan berlari panik bak karakter utama film dari pintu masuk rumah sakit Geum, belum lagi pertanyaan tidak sabarnya kepada resepsionis tentang kamar rawat pasien bernama Kim Sangeum, menabrak beberapa orang, dan hanya... WASIR?

Masih mengunyah, Sangeum agak heran melihat ekspresi yang ditampilkan wajah Eunkwang. Ia coba meneliti apa yang tengah lelaki itu pikirkan.

"Wasir, ya?"

"Ada sebesar ini." Sangeum memperlihatkan kacang atom di tangannya. "Wasirku. Aku baru periksa saat buang air besar berdarah, terus dokter kasih rujukan ke rumah sakit, suruh langsung operasi. Ya sudah. Pantas saja kalau duduk di tempat keras terasa sakit, seperti ada ganjalan."

Mengusap wajahnya sejenak untuk lebih tenang, Eunkwang menarik kepala kursi dan duduk berdekatan ranjang Sangeum.

"Aku kira kau... kau mengalami hal buruk, seperti kecelakaan atau... ah, aku tahu itu pemikiran jelek. Maaf."

Mimpi yang terasa nyata sampai Sangeum mengira benar-benar kehilangan napas kemudian membayang. Baik, itu cuma bunga tidur. Sangeum tidak perlu mencemaskan apa pun, kejadian begitu tidak akan hadir sebagai kisahnya sungguhan. Astaga, ini pasti efek dari Sangeum pulas di jam yang bukan untuk tidur.

"Saat aku sedang menunggu keputusanmu soal kita, menunggu setidaknya pesan darimu untuk kita bertemu, kakak ipar justru menelepon dan memberi kabar kau dioperasi pagi-pagi tadi. Aku baru mendapat berita itu sore ini. Aku... tidak bisa menghentikan pikiran negatif."

Lantas Sangeum merasa hatinya menghangat. Jika dekat Eunkwang, ada di waktu bersama Eunkwang dan mendengar suaranya saja sudah membesarkan hati, maka Sangeum cuma mau seperti sekarang. Sebetulnya. Tetapi masih terasa ada yang mengganggu dalam diri Sangeum.

"Oppa," panggil Sangeum, menutup kembali stoples dan mendekapnya. "Seperti Oppa yang selalu memberi banyak kebaikan tulus kepada orang lain. Pernahkah, sekali saja Oppa memikirkanku dengan tulus juga?"

Eunkwang memberi tatapan lembut. Sepasang pupil dan sorot itu... Sangeum selalu menyukainya.

"Tidak pernah satu kali. Aku memikirkanmu dengan ketulusan berulang kali."

"Mengapa?"

Reaksi Eunkwang masih sama, tatapan tetap tertuju kepada Sangeum seolah-olah tidak pernah ada yang menarik kecuali gadis itu.

"Karena aku yang pertama? Aku yang pertama mengungkapkan perasaanku kepada Oppa. Aku yang pertama ingin Oppa dekat denganku. Selalu. Tidakkah... sekali saja Eunkwang Oppa merasa harus melangkah lebih lebar dariku? Aku juga ingin Oppa yang pertama untuk menentukan hubungan kita."

"Selalu pertama...." Eunkwang memikirkan poin itu sejenak. "Lalu saat di ruang kesehatan dulu, saat aku meminta nomor teleponmu, menurutmu itu apa?"

"Itu karena aku yang pertama mengungkapkan perasaanku. Ya barangkali Oppa memang hanya sekadar penasaran dari awal, sebelum terbentuknya rasa kasihan kepadaku."

"Omonganmu berlebihan lagi," balas Eunkwang. Dia terluka, sinar matanya meredup. "Sungguh, Sangeum. Saat itu aku memberanikan diri untuk meminta nomormu. Kau pikir, alasan untuk kau menjadi model tata riasku adalah wajar meminta nomor ponsel sementara kita melakukannya di hari yang sama?"

"Oppa pasti berpikir akan melakukannya esok hari, dan akan mudah menghubungiku, 'kan?"

"Berhenti, Eum-ah." Dia sudah tidak tahan. Jika luka yang sakit ini bisa mengalahkan rasa sayang kepada Sangeum, mungkin Eunkwang tidak akan bertahan di sini. Namun, dengan segala bentuk ingin mengasihi Sangeum senantiasa tidak bisa tertolak hanya dengan luka itu.

"Mari menikah. Aku melamarmu hari ini juga. Menikahlah denganku."

Sangeum menelan ludah. Beruntung tidak sedang mangunyah kacang atom sehingga ia tidak mesti tersedak.

"Kau ingin aku melangkah lebih lebar darimu, 'kan? Kau ingin aku yang pertama menentukan hubungan kita. Baik. Aku sedang melamarmu. Jangan berpikir karena aku merasa tersudut oleh semua kata-katamu.

"Aku memang ingin bersamamu. Jika kau berpikir aku kasihan kepadamu, mengapa tidak kau ubah bahwa aku memang menyayangimu? Jadilah istriku, agar aku bisa terus memberi rasa sayangku untukmu." Dan aku akan memprioritaskan apa yang harus kuprioritaskan mulai sekarang. Aku akan menjaga apa yang harus kujaga. Hatimu, Kim Sangeum.

Setelah lima hari ini, Eunkwang punya pesona lain melalui isi semua kalimat yang terucap. Lelaki yang biasanya cenderung pasif dan tidak akan mengambil tindakan jika diri tidak ingin, sekarang tampak berbeda. Sangeum salah tingkah sesudah itu. Ruangan terasa panas bagi Sangeum, ia ingin menghindari tatapan Eunkwang.

"Mereka bicara ambigu. Melakukannya, melakukan apa coba? Padahal bisa menggunakan kalimat menata rias, 'kan?" Jimin yang tadi telanjur membuka pintu ruang rawat Sangeum, terpaksa menggesernya sedikit hingga tertutup tidak rapat. Kedua telinga begitu penasaran sampai mendengar seluruhnya, tapi Jimin rasa sudah cukup sampai sini.

Jimin menutup pintu lebih rapat, pelan-pelan supaya tidak mencuri perhatian dua insan di dalam. Ia mulai beranjak dari posisi. Kalau dipikir-pikir, cara terbaik mengetahui sesuatu memang lewat menguping. Jimin tidak bercanda, kebanyakan serial televisi itu benar. Buktinya, Jimin sendiri selalu mendengar apa yang semestinya ia tidak tahu. Waktu dulu, ia mendengar percakapan antara ibunya dan Sanghyun, lalu sekarang? Nasibnya serupa Sangeum yang-mari kita pakai kata 'kebetulan', mendengar percakapan Seo Eunkwang bersama perempuan yang menjadi kekasih pura-pura lelaki itu, dan cukup mengguncangkan kisah mereka.

Jimin akui kalau apa pun yang terjadi dalam hidup manusia memiliki makna tersendiri. Seperti apa yang ia alami, membikin fondasi hatinya menguat. Pelajaran yang diterima saat ini akan membawanya ke masa lebih baik, Jimin yakin.

Pundak yang menurun itu kemudian menegak tegap, senyum terlukis dari bibir Jimin. Senyum penuh rasa keberuntungan; ia beruntung mendapat skenario jatuh dari Tuhan sebelum Tuhan tahu bahwa Jimin berhak mendapatkan kebahagiaan sebagai imbalan setara.

"Geurae, aku memang akan tetap menjadi sahabat baikmu, Eum. Sekaligus... saudara yang baik? Aku akan mendukung apa pun seperti sebelumnya, termasuk kau yang akan menikah. Selamat atas lamaran Eunkwang untukmu, Eum-ah. Selamat juga untukku yang dapat melepas tanpa rasa sakit."

Cahaya matahari terakhir sore hari ini tidak akan meredupkan perasaan Jimin lagi. Diri lelaki itu lebih tegar dari sebelumnya, melangkah pelan ditelan lorong panjang rumah sakit. Menikmati tiap langkah bersama rasa lapang menggerumuti.

Di ruang rawat Kim Sangeum, gadis itu masih terdiam. Ia canggung, berharap ada sesuatu atau seseorang yang bisa mengacaukan suasana ini. Namun, di lain sisi pikirannya terus bekerja.

Jika Eunkwang tidak bersamanya, apakah Sangeum sanggup? Akan lebih baik melihat Eunkwang setiap hari mengembang senyum dibanding tidak melihatnya sama sekali, bukan? Sangeum selalu merasa berharga sebab Eunkwang memperlakukannya tidak semena-mena.

Mungkin karena mereka jarang bertemu, maka pertengkaran hebat waktu itu tercipta. Eunkwang jarang berkata panjang lebar, Sangeum jarang bercerita kepada Eunkwang, dan mereka jarang mendiskusikan sesuatu walau sekadar hal ringan. Sangeum tahu dirinya memang akan merasa dicinta hanya dengan kehadiran Eunkwang, tapi ia baru tahu kendati Eunkwang tidak bisa selalu hadir, perasaan lelaki itu senantiasa miliknya. Milik Kim Sangeum. Tanpa pernah surut.

"Aku tidak peduli atas keputusanmu soal hubungan kita." Dominasi percakapan sudah diambil alih oleh Eunkwang. "Tidak apa-apa jika kau tidak mau lagi bersamaku sebagai kekasih, tapi kurasa... kau tidak bisa menolak untuk bersamaku sebagai istri."

"Kesimpulan sembarang." Sangeum berusaha untuk tidak terdengar gemetar di suaranya.

"Kau masih mencintaiku?" Pertanyaan paling serius yang pernah Eunkwang lontarkan kepada Sangeum. "Aku masih mencintaimu, sangat, dan tetap. Jadi jika jawabanmu 'ya', maka terima lamaranku. Sehabis itu aku akan meminta restu pada ayah ibuku, termasuk kakak ipar dan ibumu. Juga... ayahmu."

✳✳✳

Opia

Bagian akhir.

Sebenarnya ada banyak alasan untuk Dav mencintai Nura, atau Nura mencintai Dav. Tetapi, jika pun keduanya tidak memiliki alasan mengapa saling mencintai, mereka akan mencinta karena itu adalah mereka. Hm. Dav mencintai Han Nura sebab itu adalah Nura, dan sebaliknya. Pada akhirnya alasan yang banyak itu menjadi tidak ada.

Dua orang yang menginginkan jalan masing-masing sedikit demi sedikit meruntuhkan itu. Dav tahu tidak ada yang lebih baik di dunia dari mencintai Nura.

"Lalu, apa seterusnya kita bisa selalu bersama? Berjalan beriringan di jalan biasanya?" Nura menikmati embus angin sore itu bersama Dav. Ya. Bersama dia lagi. Mereka memfavoritkan aroma yang dibawa angin kala jingga sudah menjejaki langit. "Kau tahu Dav? Bagiku, tiap orang memiliki pemikirannya masing-masing, kemauannya sendiri-sendiri. Kemauanku belum tentu akan menjadi kemuanmu, jadi apakah kita tetap bisa bersama dengan satu jalan? Atau, kau bisa memberitahuku sesuatu yang lain dari sudut pandangmu?"

"Tentu." Selain menikmati angin, Dav juga menikmati garis-garis wajah Nura kembali. Rasanya tidak ingin melonggar genggaman tangan yang saling terkait. "Kita memang memiliki jalan masing-masing. Meski begitu aku tidak ingin kita berjalan di jalan yang berbeda. 'Aku akan mengikutimu atau kau yang mengikutiku', itu juga tidak akan kulakukan. Daripada membahas jalan yang sama, bagaimana jika aku perjelas bahwa kita akan terus bersama tidak peduli jalan yang berkelok atau berbatu? Itu lebih meyakinkan. Aku akan terus bersamamu tidak peduli bagaimana jalan yang kita lewati."

Mata Dav telah memancarkan segalanya. Lebih panjang, lebih detail dari kata-kata barusan. Nura memahami Dav seperti dahulu, melalui matanya. Itu juga yang Dav lakukan. Tetapi walau kata orang mata tidak bisa berbohong, tetap saja jika tanpa suara, tanpa kejelasan, mereka tidak bisa seperti sekarang.

"Nura, aku harap, sesudah hari ini, atau esok setelahnya, aku bisa terus berbagi cinta kepadamu, tidak peduli hari yang cerah atau mendung, keadaan yang buruk atau baik, aku hanya akan mencintaimu."

Kim Soo Hyun menyungging senyum kala melihat sang adik dari pintu ruang rawat yang punya potongan kaca tidak buram menembus ke dalam, sedang memangku laptop di atas ranjang pasien. Walau punggung tangan masih tertancap infus, jari-jarinya lancar menari di papan tik. Mata terfokus ke layarnya, mulut sedikit terbuka-buka, entah merapal atau bergumam apa, maka Soo Hyun yakin kalau Opia yang nyaris menemui pesan tamat karya Sangeum akan diperbarui sebentar lagi. Memikirkan itu sangat menyenangkan.

Memang sih, hampir tidak ada tempat baku untuk seorang pengarang mengeksekusi ceritanya, sekalipun itu di ruang rawat atau dalam kamar mandi, mungkin yang terpenting suasana tenang. Jadi, Soo Hyun tidak mau mengganggu adiknya.

Berhenti memandang Sangeum dan sedikit menunduk sebelum tubuh berbalik arah, lantas kedua kaki Soo Hyun terpantek tanpa rencana.

Ia tidak mampu berjalan menjauhi ruang rawat Sangeum seperti keinginannya di awal. Melihat sosok rapuh yang menjulang di hadapannya membikin seluruh tubuh menolak habis-habisan pergi dari tempat. Pelengkap keluarga yang hilang, kini Soo Hyun menemukannya.

Tidak ada alasan untuk Soo Hyun maupun Sanghyun membuka bibir masing-masing untuk saling sapa, sampai rupa yang baru saja menginjak ubin lorong mampu menstimulasi perhatian mereka, bersama-sama mengalihkan pandang kepadanya; lelaki berpantofel hitam tanpa kilap.

Ryu Tae Jin.

Manajer Ryu.

.
.
.

Bersambung....

Bogor, 18 Juli 2021
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro