Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Frans membuat rencana pernikahan semakin jelas bagi Igna dan Leslie. Akhir pekan ini, Frans mengajak mereka ke pameran pernikahan. Leslie tidak terlalu tertarik dengan macam-macam hal yang dilihatnya di sana. Hanya satu benda yang menarik perhatiannya, yaitu gaun pengantin. Dia selalu menatap beberapa detik setiap melewati maneken. Dulu, waktu kedua orang tuanya masih hidup, Leslie senang sekali meminta dibacakan cerita tentang putri-putri Disney. Dia suka baju-baju yang dikenakan oleh mereka, semuanya punya rok megar yang anggun. Melihat gaun-gaun pengantin seolah membawanya ke masa itu.

Di sisi lain Frans, Igna terlihat sudah belajar untuk mengendalikan dirinya. Dia hanya mengangkat bahu berkali-kali ketika ditanyai pendapat. Sesekali ditambah dengan kalimat pendek, "Papa yang pilih saja. Saya yakin pilihan Papa terbaik."

"Kita belum akan memilih gaun, Leslie," ujar Frans mematahkan lamunannya. Gadis itu terpaksa mengalihkan pandangannya dari sebuah gaun bermodel klasik.

"Gaunnya mirip dengan gaun Cinderella," ujar Leslie dengan wajah memerah. "Atau mungkin Snow White, ya? Bahkan tadi aku lihat yang warna kuning seperti Belle. Tapi siapa yang menikah pakai gaun kuning?"

Meskipun tidak mengerti apa yang dibicarakan Leslie, Frans tetap tersenyum lembut. Dimintanya Leslie untuk melanjutkan langkah menuju blok lain untuk melihat-lihat.

"Tentukan dulu tema pernikahannya mau seperti apa. Saya ajak kalian ke sini supaya punya gambaran yang lebih baik soal konsep acaranya. Setelah itu, baru kamu bisa memilih gaun yang sesuai," ujar Frans. "Lagi pula, kamu harus menunggu pertengahan tahun depan sampai wisuda, kan? Tren gaun pasti sudah bergeser."

Leslie tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis.

"Kalau masih lama dan tren berubah, mengapa Papa ajak sekarang?" tanya Igna. Dia kesal karena Frans membatalkan kencannya dengan Karin demi datang ke acara ini. "Kalau hanya konsep acara, semua pernikahan sama saja. Buat apa susah-susah ke sini? Cari di internet juga bisa."

"Kebersamaan tidak bisa didapatkan di mana-mana, Igna. Pernikahan terjadi bukan karena keinginan salah satu pihak. Semua unsur yang ada di dalamnya harus berdasarkan kesepakatan bersama. Kalian bisa saja bertengkar hanya karena memilih konsep," ujar Frans. Igna tertawa sinis.

"Papa saja yang tentukan. Bukannya saya nggak punya hak bicara lagi, dan dia hanya akan jadi perempuan patuh yang mengiakan semua keinginan Papa?" kata Igna. "Maaf, ya, Pa, saya tidak berminat berdiskusi perihal pernikahan yang tidak saya inginkan dengan perempuan lain. Tentukan saja semuanya sendiri. Saya pergi!"

Sebelum Frans sempat menjawab, Igna sudah berlalu dengan wajah kesal. Kalau saja Leslie tidak memegang lengan Frans, sudah pasti lelaki itu akan menyusul Igna.

"Udahlah, Om, nggak apa-apa," kata Leslie. "Mungkin Igna lagi banyak pikiran. Biarin aja."

Kelembutan suara Leslie melunturkan amarah Frans. Baik sekali hati gadis ini sehingga selalu bersabar menghadapi sikap Igna yang semena-mena. Dadanya tiba-tiba dihantam rasa bersalah karena melibatkan Leslie sejauh ini. Namun, lagi-lagi Frans sadar, hanya Leslie jalan keluarnya.

***

Karin memekik riang ketika mendapatkan pesan Igna. Lelaki itu mengajaknya kencan. Rasa kesal karena pembatalan beberapa jam lalu menguap seketika. Karin senang karena Igna mungkin merasa bersalah. Dengan gesit, perempuan itu mengganti pakaian dan berdandan cantik.

"Kamu mau ke mana?" tanya Liana yang masuk ke kamar anak gadisnya.

"Mau ketemu Igna," kata Karin. Wajah Liana berubah cerah.

"Kalian sudah balikan lagi? Si Frans sudah setuju dengan hubungan kalian?" tanya Liana. "Jangan ditunda, Karin. Segera minta mereka datang untuk melamar kamu. Kalau terlalu lama, nanti malah berubah pikiran lagi."

Suasana riang Karin berkurang setengah. Dia duduk di atas tempat tidurnya dan cemberut. "Nggak segampang itu, Ma. Papanya Igna keras kepala. Ini aja Igna baru dari pameran pernikahan sama perempuan itu."

"Kamu tidak berusaha maksimal, Karin!" ujar Liana. "Mama nggak ngerti jalan pikiran kamu dengan berteman dengan tunangan Igna itu. Buat apa? Tinggal suruh dia pergi. Dia bukan siapa-siapa. Kasih saja uang, semua suka uang. Dan gadis yatim piatu miskin itu pasti butuh uang, kan?"

"Nggak semudah itu, Ma," ujar Karin.

"Pokoknya Mama nggak mau tahu. Kamu harus menikah dengan Igna. Tidak ada cara lain menguasai bisnis keluarga mereka kalau kamu tidak menjadi bagian darinya. Hanya kamu harapan keluarga kita. Lihat Silivas, kerjanya hanya main perempuan dan membuka restoran konyol itu," putus  Liana dengan tegas.

Karin hanya mengangguk pelan. Jujur saja, setelah sekian lama menjalankan rencananya bersama Igna, dia belum melihat titik terang. Dia memang berhasil mendekati Leslie, namun Frans tetap tidak tersentuh. Karin hanya bisa bersabar. Baginya, jika Igna masih memilihnya semua akan baik-baik saja.

Karin tahu dia tidak punya pilihan lain. Gadis itu satu-satunya harapan keluarga untuk meneruskan kerajaan bisnisnya. Sejak Silivas menunjukkan tanda-tanda tidak bisa diandalkan, kedua orang tuanya memfokuskan diri padanya. Semua yang dilakukan mereka adalah untuk mempersiapkan Karin menjadi penerus. Mendekati dan menikah dengan Igna merupakan satu dari rentetan rencana itu.

Dering ponsel membuat lamunan Karin berakhir. Nama Igna berkedip-kedip di layar. Dengan segera, gadis itu mengangkat panggilannya.

"Saya sudah sampai. Kita langsung pergi saja. Saya tidak perlu turun," ujar Igna.

"Okay!" sahut Karin, ceria. Gadis itu tidak mau murung karena ucapan mamanya. Waktu bersama Igna sudah sangat terbatas. Sangat tidak bijaksana jika digunakan untuk meratapi nasib. Dia akan bersenang-senang dengan Igna malam ini.

Igna dan Karin pergi makan malam. Karin dengan mudah mengetahui bahwa mood Igna sedang tidak baik. Lelaki itu tidak banyak bicara. Karin ingin bertanya, tetapi dia takut akan membuat semuanya lebih buruk.

"Papa saya benar-benar keras kepala." Igna membuka mulutnya. Karin hanya menoleh dan bertukar tatap sebentar dengan Igna. Lelaki itu tahu bahwa Karin akan mendengarkannya, jadi dia kembali fokus menyetir sambil melanjutkan keluhannya. "Pernikahan saya dan Leslie masih lama, tapi dia sudah mengajak ke wedding fair sekarang. Harusnya saya sudah bisa bersama kamu dari tadi. Benar-benar menyebalkan."

"Mungkin kamu bisa bilang sama papamu bahwa kamu nggak bisa menikah dengan Leslie," kata Karin. "Selama ini kamu cenderung mengikuti semua rencananya. Tapi nyatanya itu tidak membuat rencana kita berhasil. Kamu semakin jauh terlibat dalam rencananya."

"I've said it a thousand times that I want to marry you! But he won't listen!" seru Igna. "Saya bukannya tidak berusaha menyakinkan Papa. Tapi semuanya selalu berakhir dengan bertengkar dengannya. Kamu pikir dengan lebih sering bertengkar dengan Papa, rencana kita akan berhasil? Ingat, rencana kita adalah membuat Leslie mundur karena keinginannya sendiri. Kita akan memperlihatkan kepada dia betapa dekatnya hubungan kita sehingga dia merasa buruk jika berada di tengah-tengah kita."

"Kenapa nggak kamu lawan saja papamu? Atau kamu sudah mulai menyukai Leslie sehingga sulit menolak keinginan papamu?" tanya Karin.

"Saya tidak ingin kehilangan perusahaan Papa. Kalau saya tidak setuju menikah dengan Leslie, Papa akan menyerahkan usahanya kepada gadis bodoh itu. Perusahaan kami bisa hancur di tangannya!" kata Igna. "Listen, Karin! None of these is my will, okay? Bukan hanya kamu saja yang keberatan soal ini. We're in this together, remember? And we will be succeed, I promise."

"Gimana kalau kita sambung ke X2 setelah makan? I need some fun," ujar Karin. Igna tersenyum menyambut usul Karin.

"Sure!"

***

Leslie terbangun karena ponselnya terus berdering. Gadis itu langsung terjaga. Dia sendiri heran mengapa dia tidak mematikan ponsel sebelum tidur tadi. Leslie meraba-raba dalam gelap untuk menemukan ponselnya. Nyawanya langsung terkumpul begitu melihat nama Igna di sana. Dengan ekor mata, gadis itu melirik jam. Sekarang pukul dua dini hari.

Mengapa Igna menelepon di waktu seperti ini? Pikiran Leslie langsung dirudung ketakutan. Igna pasti mengabarkan sesuatu berhubungan dengan Frans. Buru-buru dijawabnya panggilan itu.

"Igna?" sapa Leslie.

"Oh, hai," balas Igna. "Saya bisa minta tolong?"

"Minta tolong apa?" tanya Leslie. "Apa ada sesuatu yang terjadi sama Om Frans?"

"Hm, tidak," kata Igna. Leslie menghela napas lega. "Bukan soal Papa. Uhm, well, saya rasa Papa baik-baik saja."

Leslie hanya diam mendengarkan Igna. Dia benar-benar tidak bisa menebak ke mana arah pembicaraan mereka.

"Leslie, saya cuma mau minta bantuan kamu. Saya tidak bisa membawa Karin pulang ke rumahnya dengan keadaan seperti ini, juga tidak mungkin saya bawa pulang ke rumah. Kamu pasti bisa menebak reaksi Papa kalau saya melakukannya," ujar Igna.

"Ada apa dengan Karin? Dia ke--"

"Dia mabuk parah." Setelah itu terdengar gumaman rendah dan suara orang terbatuk dan muntah. Leslie menebak, itu pasti Karin. "Tolong, Leslie.... Bisakah kamu membuka pintu dan membiarkan kami masuk?"

"Ka-kamu ada di depan?" tanya Leslie.

"Hm." Igna mengiakan. "Saya tidak punya pilihan lain."

"Oke, tunggu aku."

Secepat kilat Leslie keluar dan menemukan mobil Igna terparkir di depan indekosnya. Melihat sosok Leslie, Igna langsung keluar dari mobil, berjalan memutar, dan mengeluarkan Karin dari mobilnya sebelum gadis itu memuntahkan isi perutnya di sana. Leslie membantu Igna memapah Karin masuk ke dalam kamarnya.

Begitu sampai di kamar, Karin terlihat siap untuk muntah. Buru-buru Igna menyeret gadis itu ke kamar mandi yang terletak di sudut kamar.

Leslie berdiri menyaksikan Igna menemani Karin ke dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut berlutut di sebelah Karin sambil memijat lembut tengkuknya. Sementara Karin berjuang untuk mengosongkan isi perutnya. Ketika suara mual itu berhenti, Igna mulai menanyai Karin, memastikan kalau Karin merasa lebih baik setelah muntah. Leslie seolah sadar dari lamunannya menyaksikan sesuatu yang baru dalam hidupnya. Gadis itu berjalan ke arah dispenser dan mengambil minum untuk Karin.

"Thanks," ujar Igna ketika Leslie mengulurkan gelas minum padanya. Igna membantu Karin untuk minum. Karin menangkap sosok Leslie dengan pandangannya yang masih kabur. Ditepisnya tangan Igna yang masih menyodorkan gelas, menyebabkan airnya tumpah di lantai kamar mandi.

"Kamu! Kamu yang menghancurkan semuanya!" jerit Karin sambil menunjuk-nunjuk Leslie.

"A-aku--"

"Mundur!" perintah Igna pada Leslie. Tidak perlu disuruh dua kali, Leslie mundur sejauh mungkin dari Karin yang meracau tidak jelas. Dari intonasinya, mungkin dia sedang mengomel. Igna mencengkram lengan Karin dan menahan gadis itu supaya tidak terjatuh saat mencoba untuk bangun. "Karin, stop! You'll regret this! Please stop!"

"Kamu selalu membela dia. Kenapa? Karena kamu sekarang cintanya sama dia? Iya?" ujar Karin. Air mata bercucuran di wajahnya. Riasan wajahnya sudah luntur, bekas maskara dan eyeshadow sudah tidak lagi pada tempatnya.

"Karin, stop!" ujar Igna pelan, tangannya memeluk Karin.

"Kamu jahat, Igna!" tukas Karin. Suaranya sudah melemah. Tangan yang bebas memukul-mukul dada Igna lalu menangis di sana. Tak lama kemudian, suara tangis itu reda, menciptakan keheningan yang aneh di ruangan itu. Leslie berharap jeritan Karin tadi tidak membangunkan orang lain yang ada di kamar lain.

Igna mengangkat Karin. Dengan refleks Leslie juga bergerak ke arah tempat tidurnya, memberi tempat untuk Karin.

"Aku bisa tidur di bawah," ujar Leslie sambil menyibak selimut.

"Dia perlu ganti baju. Bisa pinjam baju kamu?" ujar Igna. Leslie mengangguk dan berjalan ke lemari untuk mengambil baju untuk Karin.

"Biar aku yang ganti bajunya," tawar Leslie.

"Tidak perlu," ujar Igna seraya mengambil baju yang ada di tangan Leslie. "Saya saja. Tidak apa-apa."

Leslie memalingkan wajah ketika Igna mulai membuka blus yang dikenakan Karin. Dia tidak sanggup menyaksikan hal itu.

Dengan cekatan, Igna menukar baju Karin dengan kaos belel milik Leslie.

"Maaf, saya merepotkan kamu," ujar Igna. Leslie menoleh dan mendapati lelaki itu sudah berdiri di sampingnya. "Saya tidak tahu harus ke mana lagi saat situasi seperti ini. Semoga kamu tidak keberatan."

"Karin temanku juga," kata Leslie. "Nggak apa-apa kok. Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa sampai mabuk begitu?"

Igna memandangi Karin yang terlihat sudah pulas di atas tempat tidur dengan lembut sebelum menjawab pertanyaan Leslie, "Dia memang tidak bisa minum banyak. Tapi tadi dia bersikeras untuk terus minum. Jadi, ya... seperti ini. Untung aku menemani dia."

"Ya, untung ada kamu," ucap Leslie pelan. Dadanya tiba-tiba sesak. Tidak mau berlanjut memikirkan apa-apa lagi, gadis itu segera mengalihkan pembicaraan. "Kamu juga perlu ganti baju. Sebentar, rasanya aku punya kaos yang cukup besar untuk kamu pakai."

Leslie berjalan ke lemari dan mencari-cari barang itu. Sementara Igna sudah bergerak ke samping tempat tidur dan mengusap lembut kepala dan pipi Karin. Leslie mengulurkan sepotong kaos dan selembar kain kepada Igna.

"Kamu bisa tidur di sofa, biar aku yang--"

"No, saya di sini. Kamu saja yang di sana. Saya tidak bisa membiarkan kamu sangat tidak nyaman di kamarmu sendiri," kata Igna. Leslie masih diam tidak bereaksi. "Saya serius, kamu bisa tidur di sofa itu. Lagi pula saya terlalu tinggi untuk tidur di sana, Leslie. Terima kasih."

Akhirnya Leslie bergerak ke arah sofa itu dan berbaring di sana. Igna berjalan ke arah kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Setelah itu, Igna meredupkan lampu kamar. Lelaki itu lantas kembali ke samping tempat tidur, lalu duduk di lantai. Diraih dan digenggamnya tangan Karin, lalu dia membaringkan kepala di dekat tangan Karin.

Leslie mengamati dari tempatnya. Dadanya benar-benar sakit. Dia merasa menjadi orang yang paling jahat sedunia karena merintangi Igna dan Karin. Melihat Igna begitu khawatir pada Karin, menatap semua perlakuan sayangnya pada gadis itu, membuat Leslie semakin merasa bersalah. Mereka berdua tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa padanya. Namun mengapa Leslie menjadi orang ketiga di antara mereka dan membuat kacau?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro