Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari belum sempurna benar tapi Leslie sudah terjaga. Hal pertama yang dia lihat adalah sosok Igna dan Karin yang masih dalam posisi yang sama seperti semalam. Karin masih terlelap, wajahnya yang terlihat lelah menghadap Igna yang juga masih tidur. Jemari mereka saling tertaut. Hal ini membuat Leslie murung. Dia tidak tahu mengapa dia merasa begitu buruk melihat itu semua. Kalau saja dia menolak permintaan Frans, semuanya tidak akan seperti ini. Dia hanya akan fokus pada tugas akhirnya. Igna dan Karin akan bersama dan memperjuangkan hubungannya di depan Frans. Tanpa Leslie, perjuangan mereka sudah sulit.

Perlahan-lahan Leslie bangun dari sofa. Dia berjalan menuju dispenser dan menyiapkan kopi juga teh untuk tamu tidak diundangnya. Setidaknya dia tetap bisa jadi tuan rumah yang baik.

Igna terbangun karena aroma kopi. Lelaki itu mengangkat kepala dan melihat Leslie sedang menata beberapa cangkir di meja kecil yang tidak jauh dari dispenser. Setelah merenggangkan tubuh pegalnya, Igna beranjak mendekati Leslie. Pergerakan Igna terdeteksi oleh Leslie. Sebelum lelaki itu sampai di dekatnya, Leslie terlebih dahulu menoleh dan tersenyum tipis padanya.

"Morning, Leslie. Maaf, saya merepotkan kamu," ujar Igna. Leslie hanya menggelengkan kepala.

"Bagaimana Karin? Perlu dibangunkan?" tanya Leslie. Igna menoleh ke arah Karin. Lagi-lagi Leslie terpaku pada tatapan sayang Igna pada gadis yang sedang tidur di atas tempat tidurnya. Meskipun hanya berlangsung dua detik sebelum lelaki itu menoleh lagi pada Leslie, hal itu membuat dada Leslie semakin sesak.

"Dia akan bangun sebentar lagi," ujar Igna. "Biarkan dia tidur lebih lama." Leslie mengangguk, gadis itu kembali sibuk dengan cangkir di hadapannya. "Soal semalam...."

Igna menggantungkan kalimatnya, membuat Leslie kembali menatap Igna.

"Nggak apa-apa, Igna. Jangan terus menerus minta maaf. Aku paham," kata Leslie. Gadis itu menyodorkan segelas kopi pada Igna.

"I prefer tea," tukas Igna. Meskipun begitu, pria itu tetap menerima cangkir itu dan meletakkannya kembali ke atas meja. "Soal semalam, Karin tidak serius dengan apa yang dibicarakannya. Dia--"

"Dia mabuk. Aku paham, Igna," potong Leslie. Igna masih menatap Leslie dengan rasa yang tidak bisa dia jelaskan. Yang pasti hatinya tergerak karena kebaikan gadis itu. "Aku cari sarapan dulu. Apa yang bisa aku belikan untuk kalian?"

"Apa saja," ujar Igna. Lagi-lagi lelaki itu menoleh pada Karin yang masih terlelap. "Mungkin sesuatu yang hangat untuk Karin."

Leslie mengangguk. Dia berjalan menjauh Igna untuk bersiap keluar. "Aku sudah buatkan teh. Kalau kamu butuh teh lagi, kantung barunya ada di kontainer di bawah meja."

Igna merogoh kantung celananya untuk mengambil uang supaya Leslie bisa membeli makanan dengan uang itu.

"Tidak perlu, Igna, aku bisa pakai uangku sendiri," ujar Leslie lagi ketika melihat apa yang dilakukan Igna. "Aku pergi dulu ya. Nanti aku sekalian izinkan kalian ke pemilik kos, supaya tidak dimarahi." Igna menghela napas lalu menganggukkan kepala.

Beberapa belas menit kemudian, Leslie kembali. Karin sudah bangun dan duduk di atas tempat tidur. Igna duduk di sebelahnya sambil memegangi secangkir teh. Karin sudah membuka mulut untuk minta maaf pada Leslie, namun si pemilik kamar sudah lebih dulu mencegahnya.

"Jangan minta maaf, Karin. Aku sudah mendengarnya ratusan kali dari Igna," ujar Leslie. "Lebih kamu makan bubur yang aku belikan, sebagai rasa terima kasih. Gimana?"

Karin bertukar pandang dengan Igna lalu mengangguk.

Karin melahap bubur yang dibelikan Leslie dengan lahap. Rasa pengar sudah banyak berkurang karena teh yang dibuatkan oleh Igna. Leslie dan Igna tersenyum melihat tingkah Karin.

***

Tentunya ada yang berubah dari Karin setelah kejadian itu. Gadis itu jadi lebih pendiam. Beberapa hari setelahnya, Karin mengajak Leslie pergi. Meskipun ada Adel dan Mischa, aura Karin memang meredup. Leslie sudah gatal hati ini menanyainya. Namun gadis itu menunggu sampai Adel dan Mischa pulang sementara Karin berniat menunggui Leslie sampai Igna datang menjemput.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Leslie. "Masih mikirin kejadian kamu mabuk? Sudahlah, Karin, nggak apa-apa kok. Aku senang menolong kamu. Kita berteman, ingat?"

Karin memaksakan sebuah senyum. Saat ini kondisi pikirannya sedang kacau. Ketika dia tidak pulang beberapa hari yang lalu, kemudian di pagi hari Igna mengantarnya pulang, Liana tidak henti-hentinya menanyai dia soal apa yang terjadi semalaman dengan Igna. Bahkan ibunya itu berharap bahwa benar-benar terjadi sesuatu yang membuat pernikahan keduanya menjadi kenyataan.

Karin tentu saja tidak setuju dengan kata-kata Liana. Meskipun dia dan Igna sudah pernah tidur bersama, bukan berarti mereka melakukannya tanpa pertimbangan dan perlindungan. Gadis itu tidak suka dengan intonasi Liana yang seakan-akan merelakan anak perempuannya hanya demi bisnis.

"I'm okay, Leslie. Maybe.... I don't know," balas Karin. Ada sorot kesedihan dalam matanya. Senyumnya seolah patah karena sesuatu.

"Kamu bisa cerita sama aku, kalau kamu nggak keberatan. Aku mungkin nggak bisa memberikan jalan keluar, tapi setidaknya aku bisa mendengarkan. Katanya, kalau ada orang yang mendengarkan masalah kita, sebenarnya masalah itu sudah setengah jalan menuju penyelesaian," ujar Leslie. "Jadi, cerita aja. Sepertinya Igna juga masih dalam perjalanan. Tahu sendiri Jakarta di jam-jam segini."

"Sambil minum, yuk!" ujar Karin. Leslie tersenyum dan mengangguk. Dia mengikut langkah Karin menuju salah satu kedia kopi ternama yang letaknya tidak terlalu jauh dari pintu keluar. Karin memilih tempat itu supaya jika Igna datang, lelaki itu tidak terlalu lama menunggu dan mereka tidak perlu jalan jauh.

"Aku akan cerita. Tapi aku butuh kamu janji sesuatu terlebih dahulu," ujar Karin begitu mereka duduk di salah satu meja.

"Janji apa? Jangan bocorin ke Igna?" tanya Leslie sambil tertawa. "Kamu lebih dekat dengan Igna daripada aku, Karin. Dia nggak akan mendengarkanku sekalipun aku cerita."

"Janji kamu benar-benar menjadi pendengar yang baik," kata Karin. "Kamu benar, mungkin jika aku cerita ini ke kamu, masalah sudah selesai setengah jalan."

"Oke," kata Leslie.

Karin berdeham, menjernihkan suaranya. "Ini soal keluargaku. Mereka sangat menginginkan aku menikah dengan Igna. Mama yang paling kaget waktu tahu aku dan Igna memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Belakangan, Mama semakin gencar mendesakku untuk kembali pada Igna. Aku merasa tertekan, dan ini juga sulit untuk Igna. Makanya, Sabtu kemarin, kami menghabiskan waktu di bar setelah makan malam. Hanya untuk mengalihkan pikiran sesaat. Lalu... kamu tahu sendiri apa yang terjadi setelahnya."

Leslie terhenyak di tempatnya. Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkannya untuk menghibur Karin. Dia bukan orang yang tepat untuk melakukan itu. Dialah sumber masalahnya.

"Aku tahu ini bukan salahmu, Leslie. Kamu hanya ingin membalas kebaikan Om Frans," kata Karin. "Tapi ada bagian dari diriku yang merasa kamu terlalu egois mengiakan permintaannya tanpa memikirkan apa Igna sudah memiliki kekasih atau belum."

"Soal itu, Karin.... Aku sudah tahu dari awal bahwa Igna sedang menjalin hubungan," ujar Leslie. Karin hanya tersenyum lemah mendengar jawabannya.

"Itu membuat semuanya terdengar lebih buruk, Les. Tapi aku tahu kamu bukan orang yang jahat," kata Karin. "Kamu hanya terlalu terobsesi untuk membalas kebaikan Om Frans. Padahal, mungkin ada banyak cara yang bisa kamu lakukan tanpa melibatkan Igna, tidak harus ini."

"Aku minta maaf, Karin," ujar Leslie sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Aku--"

"Kamu sudah berjanji akan menjadi pendengar yang baik. Tidak perlu berkata-kata, Les. Terima kasih telah mendengarkanku."

***

Beban yang ditanggung Karin seolah berpindah pada Leslie. Berhari-hari setelah pembicaraan itu, Leslie terlihat kurang bersemangat dan banyak melamun. Dia tidak fokus selama bimbingan sehingga dia perlu menelepon dosen pembimbing untuk menanyakan hal yang sama. Dosen pembimbing memang mengulang semua penjelasannya, tentunya setelah mengomeli Leslie panjang lebar.

Hubungannya dengan Igna pun berjalan di tempat walaupun Leslie bisa merasakan bahwa sikap Igna sedikit melunak padanya. Mungkin karena dia telah membantu Karin tempo hari. Lelaki itu bahkan sesekali mengiriminya pesan. Seperti saat ini.

Leslie nyaris melonjak kaget ketika ponselnya berdenting. Dengan terburu-buru dia mengecek benda tersebut.

Igna: Saya akan berangkat ke Singapura besok untuk bertemu klien asing, durasinya belum dipastikan. Just so you know.

Leslie meletakkan lagi ponselnya. Dia tidak merasa perlu menjawab pesan tersebut. Igna sudah tahu dia sudah membaca pesan tersebut, dan itu cukup bagi lelaki itu. Yang Leslie tidak tahu, bahwa di balik semua pesan-pesan yang dikirim Igna, tidak satu pun berasal dari keinginannya sendiri. Selalu karena Frans menyuruhnya.

Leslie sudah berencana akan bersantai akhir pekan itu. Jumat malam, dia sudah menata tumpukan novel baru yang akan dibacanya besok. Dengan mata berbinar bahagia memikirkan hari esok, Leslie meraih ponsel dan mematikannya. Tambahan dari rencananya baik itu, Leslie berniat untuk bicara pada Frans. Dia akan meminta Frans membatalkan rencana pernikahannya dengan Igna, dan membujuk lelaki itu untuk menerima Karin. Leslie merasa yakin dengan keputusannya. Dia juga punya cukup rasa percaya diri bahwa Frans akan mendengarkannya. Dia sudah punya banyak pengalaman bersama Karin untuk menilai bahwa Karin adalah gadis yang baik. Dan yang terpenting adalah bahwa gadis itu memiliki cinta Igna. Bahwa Karin adalah sumber kebahagiaan Igna. Frans pasti ingin Igna bahagia.

***

"Hai, Leslie! What a surprise!" sapa Frans ketika mendapati Leslie datang.

"Apa kabar, Om? Maaf, aku langsung datang. Tadi sempat jenguk Papa dan Mama sebelum ke sini," ujar Leslie.

"Tidak apa. Masuklah!" pinta Frans. "Igna sedang pergi. Kamu tahu, kan? Dia mengabarimu?"

"Iya, Om, aku tahu. Aku sengaja datang waktu Igna tidak ada. Aku ingin bicara sama Om."

Frans mengawasinya dengan waswas. Ini pertama kalinya Leslie bilang begitu. Entah bagaimana Frans bisa menebak apa yang ingin dibicarakan dengannya. Dengan cepat, pria berusia 49 tahun itu memikirkan argumen yang tepat tanpa terkesan memaksa.

"Bicara apa, Leslie? Kuliah kamu tersedat?"

Leslie tertawa gugup. Berapa kali pun dia berlatih, rasanya tidak sama mengatakannya langsung di depan Frans. Setiap kali Leslie mencoba menatap mata Frans, kilasan peristiwa dengan Frans berkelebat satu per satu dan berhenti pada saat pertama kali Frans mengulurkan tangan padanya. Pertolongan yang tidak bisa Leslie lupakan.

"So-soal aku dan Igna, Om," kata Leslie.

"Kalian kenapa? Ingin mempercepat pernikahan? Itu bukan ide baik, Leslie. Persiapan pernikahan menyita waktu. Tentunya kamu ingin menyelesaikan kuliah kamu dengan baik, kan? Jika dibarengi dengan semua kegiatan itu, fokusmu akan kacau. Percayalah, saya sudah mengalaminya," ujar Frans sambil tersenyum lembut.

"A-aku...." Sungguh Leslie tidak tega mengatakannya. Tapi dia harus mengatakannya. Dia harus membiarkan Igna dan Karin bersatu. Karena dengan begitu, Igna akan bahagia, dan kebahagiaan Igna adalah satu-satunya yang diinginkan Frans.

"Kamu kenapa? Ada apa, Leslie? Igna tidak bersikap baik?" cecar Frans. Leslie menggeleng kuat.

"Aku ingin Om Frans membatalkan pertunanganku dengan Igna dan membiarkan Igna bersama Karin," kata Leslie. Aura Frans menggelap seperti biasa. Bahkan rasanya kali jauh lebih kelam. "Om ingin Igna bahagia, kan? Igna bahagia bersama Karin, Om, bukan denganku."

"Saya tahu apa yang akan terjadi jika Igna bersama Karin, Leslie. Saya sudah mengatakannya padamu. Saat kamu menyetujui permintaan saya, saya pikir kamu juga paham," kata Frans.

"Karin baik, Om. Keluarganya pun begitu," debat Leslie. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Kamu tidak bisa menilai orang dari luarnya saja," ujar Frans. "Mungkin mereka terlihat baik buatmu, atau mungkin mereka bersikap baik padamu. Tapi itu mungkin bukan sifat asli mereka. Kamu sangat polos, belum bisa mengenali hal-hal seperti itu."

"Saya berteman dengan Karin, Om. Bukan satu atau dua kali kami bertemu. Dia bahkan meminjamkan buku-buku kuliahnya untuk bahan referensi skripsiku," kata Leslie. "Kalau dia jahat seperti yang Om bilang, dia nggak akan melakukannya. Dia bisa saja mengusir atau membenciku. Tapi nggak. Dia berteman denganku dan menerima kenyataan."

Frans tertawa pelan. Dia sungguh-sungguh tidak bisa membiarkan Igna bersama Karin. Perempuan itu memainkan perannya dengan sangat baik. Keluarga mereka memang terkenal untuk mengambil hati para korbannya sebelum benar-benar dijatuhkan. Dan hal yang sama sedang terjadi pada Leslie.

"Saya tidak bisa menerima permintaan kamu, Leslie. Kamu sudah setuju dengan rencana ini. Saya tidak ingin kamu mundur. Menurut saya, kamu sudah terpengaruh oleh Karin. Lebih baik tidak perlu berteman lagi dengannya. Bertemanlah dengan teman seperti Yohanna, dia anak yang baik," tegas Frans. Nada suaranya tetap lembut. Pria itu memang tidak pernah menaikkan suaranya di depan Leslie karena dia tahu betapa peka perasaan Leslie. Namun, dia memastikan bahwa Leslie tahu apa yang dia mau.

Leslie diam mendengarkan kata-kata Frans. Sepertinya dia memang tidak punya jalan lain. Dia sudah berusaha, walaupun gagal. Setidaknya ini membuat rasa bersalahnya pada Igna dan Karin sedikit menguap.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro