18. Melarang Ikan Tinggal di Air

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo-halo! (((o(*゚▽゚*)o)))
Selamat membaca. Semoga bahagia dan sehat selalu o(*>ω<*)o

***

Elio.

"Terus gimana?"

Aku menatap Lynn dan menggeleng.

Aku bahkan tidak tahu harus mulai memikirkan dari mana. Tidak kusangka bahwa obrolan dengan penguntit itu berujung pada terancamnya desa ini.

Baiklah, pelan-pelan, Elio.

Pertama, Bangsa Nisnas yang dikatakan penguntit itu ternyata adalah Penguasa Laut atau Dewa Laut dari ras manusia bertubuh ikan. Dengan kata lain, dia adalah siren murni. Berbeda denganku, Matthea, maupun Sarah yang merupakan siren kutukan. Kedua, Ayah Matthea yang disebut-sebut Prodi ... apa gitu ... uh, entah apa yang dipikirkannya sampai menciptakan kutukan siren dan mengutuk anaknya sendiri. Aku diam-diam berharap kalau Matthea bukan anaknya beneran, bisa saja dia salah mengira anaknya, kan? Aku harap begitu. Seorang ayah bisa saja jahat, tetapi sejahat-jahatnya masa mengutuk anak sendiri. Kalau itu ayahku, lebih baik aku mati daripada harus menanggung kutukannya. Dia pasti waras sekali. Ketiga, jika Matthea tidak kembali ke laut atas perintah ayahnya ini, Penguasa Laut akan membawanya secara paksa. Desa Hespia terancam tenggelam, hanya karena seorang gadis manusia ingin tinggal di darat. Itu adalah hal terkonyol yang pernah kudengar. Kalau di balik, ini sama saja dengan melarang ikan tinggal di air.

Kenapa?

Hanya itu yang bisa kupikirkan. Kenapa Ayah Matthea menciptakan kutukan ini? dan mengutuk anaknya. Kenapa Penguasa Laut menginginkannya kembali?

"Apa," Lynn bersuara, membuatku menoleh, "apa Matthea bakalan balik ke laut?"

Aku menggeleng sambil mengusap wajah kasar. "Enggak tahu."

"Aku tidak ingin mempercayainya, tapi takut kalau itu beneran."

"Sama."

Kami sedang duduk di beranda rumahku. Lynn menginap, sementara Matthea ada di dalam. Entah melakukan apa. Dibandingkan kami, dia yang paling bingung dan tertekan. Aku dan Lynn berusaha memberikannya ruang untuk berpikir, pasti obrolan dengan penguntit itu membebani pikirannya. Aku sedikit menyesal karena tidak meminta Matthea untuk langsung menceritakannya hari itu, tetapi diceritakan lebih cepat atau lambat. Toh, ujung-ujungnya aku merasa buntu sendiri. Pada akhirnya, pilihan ada di tangan gadis itu.

"Kamu pengen dia balik?" Lynn menatapku. Ekspresinya sulit terbaca.

Aku menunduk. Tidak yakin dengan apa yang kuinginkan. Awalnya, aku memang menjanjikan Matthea bahwa kami akan sama-sama mencari solusi agar bisa tetap menjadi manusia. Namun, sekarang ... keberadaannya malah membahayakan nyawa banyak orang.

"Aku enggak tahu. Di satu sisi, aku enggak mau Matthea pergi. Dia kelihatan sedih waktu cerita soal motivasi pengen jadi manusia," paparku, mengenang kembali saat-saat berenang bersama Matthea di pantai kala itu. "Di sisi lain, kalau memang ucapan orang itu benar, mempertahankan Matthea adalah hal yang riskan. Aku tidak ingin mempercayainya, tapi juga enggak bisa abai begitu saja."

Lynn tidak menjawab. Keningnya mengernyit dalam, terlihat sedih dan bingung bersamaan. Dia baru bertemu Matthea dua kali, tetapi merasa seberat aku memikirkan semua ini. Maksudku, Lynn boleh saja menunjukku dan berkata, kembalikan cewek terkutuk ini ke laut! Kemudian memimpin sekumpulan warga desa untuk menyerang rumahku dan mengusir Matthea. Alih-alih, di sinilah dia berada. Duduk di sampingku ditemani segelas teh manis hangat dan sisa gorengan. Aku, sih, senang-senang saja punya teman berbagi pikiran. Namun, kurasa Lynn punya alasan sendiri kenapa dia mau melibatkan diri.

"Kayaknya posisi kamu juga enggak diuntungkan," komentarnya.

"Yah, gitulah. Sementara aku mikirin Matthea sama masalahnya. Masalahku sendiri enggak tahu bisa selesai kapan."

"Kutukannya bakal sempurna di kamu, kalau kamu enggak cepat mindahin, 'kan?"

"Yap. Efeknya makin terasa setiap hari." Aku benar-benar ingin memikirkan diriku sendiri. Langkah apa yang harus kulakukan? Pada siapa kutukan ini kupindahkan? Apa suaraku sudah cukup bagus untuk menjebak? Matthea jadi makin manusiawi setiap harinya, sementara aku jadi apa ... sirenawi?

Lynn merangkul dan mengusap-usap punggungku. "Kamu kelihatan pusing."

"Sangat," kataku, kembali membuang napas. "Aku bahkan enggak tahu, harus mikir dari mana. Mikirin Matthea dan konsekuensi selama dia di darat? Atau mikirin diriku yang bisa sewaktu-waktu lupa cara jalan dan kejang-kejang di darat."

Kawanku mengangguk-angguk. "Fokus aja sama diri kamu sendiri," katanya. "Kalau kondisi kamu udah oke. Kutukannya beres, pindah. Kita pikirin soal Matthea lagi bareng-bareng."

"Jujur, aku enggak mau mindahin kutukan ini ke siapa pun."

Demi Tuhan, aku ingin kembali jadi manusia normal. Menjalani kehidupan normal, tanpa harus takut mati kekeringan mendadak atau pikun di usia muda. Namun, membayangkan seseorang harus menjadi wadah baru bagi kutukan ini membuatku merasa berat. Seperti membawa batu di atas kepala.

"Yah, kamu harus tega, sih." Lynn meringis. "Ibuku bisa berakhir bahagia sama ayah, jadi manusia sempurna dan berkeluarga, itu karena dia juga mengubah seseorang, 'kan? Kadang kamu harus tega ... sama orang lain. Elio, kamu enggak bisa mikirin gimana orang lain terus-terusan, sementara kamu sendiri kondisinya bisa jadi enggak ketolong lebih dari sekarang." Dia menatapku lekat-lekat.

"Lynn, kalau kamu di posisiku. Apa kamu bakalan oper kutukan ini?"

"Pasti," jawabnya mantap.

"Aku juga."

Lynn melotot. "Kamu? Kamu udah fiks mau oper kutukan ini?" Dia mengguncang bahuku, tidak bisa menyembunyikan nada semangat dalam suaranya.

Aku tersenyum kecil. "Aku juga pengen ngasih jawaban mantap kayak kamu. Sumpah, Lynn. Aku ingin sekali memindahkan kutukan ini, tetapi semuanya tidak terasa benar. Kamu ngerti? Kayak kamu lagi ujian, terus kamu harus nyontek internet biar jawaban kamu benar. Kamu tahu itu salah dan enggak boleh, tetapi tetap kamu lakukan biar nilai kamu selamat."

"Seperti ... segala hal tentang oper-mengoper kutukan siren ini, harus kulakukan untuk menyelamatkan diriku sendiri. Tapi, aku enggak merasa itu pilihan yang benar. Jauh di sini." Aku menekan dadaku. "Aku ingin dan juga enggak ingin."

Terkadang, aku tidak memahami diriku sendiri dan aku membenci hal itu.

Lynn melepas rangkulannya dan sedikit bergeser menjauh. "Beberapa orang bisa masuk ke dalam koper," katanya tiba-tiba, membuatku mengernyit, "beberapa orang bisa makan bakso pakai sumpit, bisa menggerakkan telinga saat tidur, main harmonika pakai hidung, kebal terhadap cuaca ekstrim." Dia menatapku, tersenyum tipis antara berkata: kamu bodoh banget dan sebenarnya, kamu keren dan aku bangga. "Beberapa orang terlalu enggak sayang diri."

Aku tertawa. "Aku yang terakhir, ya?"

"Menurutmu?"

"Kayaknya yang main harmonika pakai hidung, sih."

Obrolan bergeser ke topik lain. Kami banyak membicarakan hal-hal enggak jelas dan tertawa. Momen-momen menyenangkan bicara sama Lynn, rasanya tidak ingin kulupakan. Walaupun, aku tahu itu mustahil. Setiap harinya, ingatanku jadi makin menyedihkan.

Malam ini akan berakhir, besok pagi, aku akan lupa sebagian besar dari kejadian hari ini. Cuma bisa berharap, bahwa hari-hari menyenangkan bisa berlangsung lagi dan lagi. Hingga lupa pun tidak ada gunanya. Namun, harapan itu terasa kerdil dan naïf sekali. Selama kutukan ini ada padaku, aku tidak akan bisa bahagia dengan utuh. Apa aku menyalahkan Matthea? Tentu saja, tetapi aku juga ingin dia bahagia.

Mataku tertutup. Ngantuk. Aku merebahkan diri di lantai teras yang dingin. Membayangkan, senadainya saja Matthea itu bukan siren atau siapa pun dia yang sebenarnya. Kami bertiga bisa saja bertemu di sekolah. Jadi teman akrab, tanpa perlu khawatir akan jadi manusia setengah ikan atau menenggelamkan desa.

"El."

"Hm?"

"Kalau kita cari penguntit Matthea itu, apa menurutmu dia bisa bantu?"

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini (╯✧∇✧)╯

Menurutmu Elio harus gimana? Pendapatmu tentang Matthea?
Sabar, jangan benci ayahnya dulu.

See you (๑•̀ㅂ•́)و✧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro