19. Tidak Pernah Siap Menghadapi Cewek Sensitif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo! Selamat membaca, jangan lupa menekan tombol vote. (๑•̀ㅂ•́)و✧
Bab ini baru ditulis, bantu saya temukan tipo.

***

Elio.

Aku baru saja menenggelamkan mie ke dalam air mendidih saat tiba-tiba Matthea muncul dari arah ruang tengah. Wajahnya kelihatan seperti seseorang yang enggak sengaja menginjak lego lalu langsung membentur kaki meja.

"Kenap-"

"Dengar, Elio!" Matthea ngegas. "Aku bukan bayi! Kamu enggak perlu mikirin masalahku dengan bedebah Penguasa Laut itu. Jadi, urus saja urusanmu!"

Oh, oke. Aku paham apa yang dia bicarakan.

"Toh, kalau kamu enggak mindahin kutukan itu. Enggak ada ruginya buatku," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat jahat.

Aku mengernyit. "Kamu nguping obrolan semalam?"

Matthea langsung memandang ke arah lain. "Suara kalian keras."

"Kirain kamu tidur semalam. Ganggu, ya?"

Suara dan ekspresinya melembut. "Enggak."

"Baguslah."

"Pokoknya!" Matthea menggebrak kabinet dapur. "Aku setuju dengan Lynn."

Empunya nama langsung memunculkan kepala dari pintu dapur. Nguping juga dia. Cuma pura-pura ngelap pintu pake kaus pas kami menatapnya.

"Kamu enggak usah terlalu mikirin orang lain." Matthea berucap, suaranya lebih pelan. Antara merasa bersalah karena sudah teriak pagi-pagi atau enggak mau Lynn dengar. "Kamu enggak perlu mikirin orang lain. Kamu enggak kenal mereka, mereka enggak kenal kamu. Buat apa? Toh, nanti ujung-ujungnya mereka ngasih kutukan itu ke orang lain."

Aku tidak langsung menjawab, karena Matthea kelihatan masih ingin melanjutkan. Selagi menunggu dia bicara dan mie-ku mendidih. Kupanaskan wajan dan minyak goreng, lalu mulai mengocok telur.

"Kenapa, sih, kamu kelihatannya suka mikirin orang lain? Padahal mereka belum tentu mikirin kamu."

Kami sama-sama diam. Bahkan Lynn udah terang-terangan menguping. Dia bersandar di bingkai pintu sambil melipat tangan di dada dengan wajah yang mengatakan udah dibilangin! Rambut hitamnya berantakan, tetapi didukung wajah-walau masih ada bekas liurnya-ia jadi kelihatan keren sejak bangun tidur. Bangun-bangun minta dimasakin mie, sialan! Untung aku tuan rumah yang baik.

Kutatap Matthea dengan seulas senyum kecil. "Kalau kamu mau bilang, saya enggak seharusnya mikirin orang lain. Itu sama aja kamu minta saya, buat ngilangin satu sifat yang manusiawi," kataku, sengaja mengubah penyebutan diri supaya Matthea mengingat percakapan ini. Astaga, aku merasa keren.

"Coba bayangin, kalau semua orang berpikir." Aku berdeham, membuat suara seperti perempuan pakai suara hidung. "Ngapain mikirin orang lain, toh mereka enggak mikirin kamu atau," atau-nya pakai suara cowok, terus balik suara cewek jadi-jadian lagi. Lynn udah ngakak. "Kamu enggak perlu mikirin orang lain. Mereka enggak kenal kamu, kamu enggak kenal mereka. Buat apa?"

"Kamu mau serius, apa main-main?"

"Dua-duanya." Aku tersenyum cerah sambil menaikkan kedua alis. Matthea udah beranjak dari dapur kalau tidak kutahan "Oke-oke, serius. Sori. Itu mukanya Lynn lawak banget."

"Engga usah bawa-bawa saya." Lynn niru suara cewekku. Kami ngakak, Matthea mau kabur lagi. Mungkin dia heran kenapa bisa seatap sama cowok-cowok enggak waras.

"Sori-sori, jangan pergi. Ini serius sekarang." Kumasukkan telur dalam wajan dan memanggil Lynn buat menggantikanku masak. Bunyi kocokan telur yang menyentuh minyak panas mengudara.

Lynn melintasi kabinet yang membatasiku dan Matthea. Berjalan melewati punggungku, menerima sutil sambil berkata, "Kayaknya kalau aku yang masak, bukan jadi dadar malah telur orak-arik."

"Enggak apa-apa, yang penting kita bisa makan," balasku dengan nada dramatis, seolah kami akan membagi satu telur itu bertiga. Lynn udah mau ketawa, tetapi dia kicep karena Matthea menatapnya kayak preman mau malak.

"Oke, balik lagi ke obrolan yang tadi." Matthea menatapku. "Menurutku pribadi, mikirin orang lain dan dampaknya ke mereka itu hal yang penting. Mungkin kamu dan Lynn mikir, kenapa? Buat apa gitu? Apalagi dalam kondisiku sekarang, mikir lama-lama justru berdampak buruk buat diriku sendiri. Tapi, yah, gimana? Aku enggak bisa tutup mata, pura-pura enggak tahu kalau kutukan ini akan mendatangkan sial buat orang lain. Terus ngebiarin aja orang itu nanggung bebannya. Karena aku ngerasain sendiri Matthea, aku rasain gimana enggak enaknya, dan aku enggak mau orang lain ngerasa hal yang sama."

Aku tersenyum kecil. Teringat wajah ayahku yang dulu berpesan hal yang sama.

"Sama kayak, aku makan sesuatu yang enggak enak. Masa aku biarin kamu nyobain juga? Pasti bakal kularang. Se-simple itu sebenarnya."

"Kamu ngomongin telur orak-arikku?"

"Ssht!"

Matthea tidak menjawab.

"Lalu, soal memikirkan orang yang enggak kukenal. Yah, kita juga awalnya enggak saling mengenal." Aku menunjuk diriku dan Matthea bergantian. "Kalau 'enggak kenal' dijadikan landasan buat enggak perlu mikirin orang lain. Entah apa yang bakal terjadi sama kamu, kalau kutinggal di pantai. Sementara, aku bakalan mati karena enggak tahu apa-apa soal kutukan ini."

Cukup lama dapur hanya diisi bunyi sutil yang mengaduk telur.

"Aku cuma khawatir kamu berubah pikiran dan malah nanggung kutukan itu sendiri." Itu kali pertama Matthea terbuka sama apa yang dia rasakan.

"Aku cuma butuh waktu buat berdamai sama diriku sendiri, Matthea. Aku bakalan ngelakuin sesuatu yang menurutku jahat banget. Ngelakuin ini ke orang yang enggak kukenal. Anggap aja, aku sedang persiapan mental buat mindahin kutukan ini."

Lynn mematikan kompor dan meniriskan telurnya. "Aku ngerti."

"Kamu mau bilang, kalau aku enggak berperasaan. Enggak mikirin orang lain, karena udah mindahin kutukannya ke kamu?"

SUMPAH. Aku takut banget sama cewek yang lagi sensitif. Ini Matthea lagi mode itu. Pasti ini, PASTI. Salah ngomong sedikit, kalau enggak aku yang digas. Matthea yang bakal merasa bersalah, terus badmood, dan jadi makin sensitif. Bersaudara sama Selene membuatku sadar betapa berbahayanya kondisi ini. Lynn di sebalahku udah bergumam, mampus-mampus, sambil mengaduk mie rebus kami.

Pertama-tama, ayo bela diri. "Aku enggak bilang gitu."

Ayo, Elio. Kamu udah terlatih menghadapi Selene.

Kedua ....

Kedua harus ngapain?

Biasanya Selene langsung ngamuk kalau aku membela diri sambil teriak, "IYA! Kamu anggap aku begitu, secara enggak langsung!" Padahal, enggak. Cewek sensitif itu suka buat kesimpulan-kesimpulan. Ngeri.

"Kedua," Lynn menyahut sambil meletakkan mangkok berisi mie di depan Matthea. Ia seolah bisa membaca pikiranku. "Kondisi kamu sama Elio jelas beda. Elio di sini punya perasaan begitu karena dia manusia. Makhluk sosial. Kami ketemu sama banyak orang tiap hari, contohnya aja ibu kantin. Bayangin anak atau suaminya ibu kantin wafat aja, kita bisa ikutan sedih. Padahal enggak kenal, tuh." Dia meletakkan telur orak-ariknya di atas mie. "Sementara, siren makhluk individual yang cuma mikir, gimana caranya supaya enggak jadi siren lagi? dan itu lumrah. Bayangin aja, tiba-tiba kena kutuk lalu satu-satunya hal yang kamu tahu, kamu harus bernyanyi Lagu Kutukan dan memindahkan kutukan siren ini ke manusia. Padahal, itu enggak mudah."

Aku teringat betapa sakitnya ketika tenggelam waktu itu. Sakit yang sama dengan yang dirasakan siren ketika mencoba pergi ke darat.

"Karena itulah, kami tidak bisa mengubah manusia seenaknya. Kesempatan yang kami miliki mungkin hanya sekali selamanya. Tidak semudah itu. Beberapa siren bahkan sudah urung dan memutuskan hidup mengarungi laut."

Suara Matthea bergema dalam kepalaku.

"Jadi, yah ... menurutku, kamu enggak bisa menilai kondisi seseorang dari satu sisi. Hanya karena Elio berbuat seperti ini, lantas jangan membandingkan dengan dirimu yang kondisinya berbeda 100% oke? Diskusi selesai. Sekarang, makan. Apa pun masalahmu, makan jawabannya." Lynn menggeser sepasang alat makan di atas tisu mendekati tangan Matthea.

Matthea memandangi mangkuk makanannya. Aku sudah ketar-ketir-Lynn juga pasti sama-khawatir kalau omongan kami ada yang salah.

"Makasih, ya." Gadis ini menatap kami bergantian.

Aku dan Lynn langsung mengembuskan napas panjang. "Sama-sama."

Hari itu kami makan dengan tenang. Matthea mengajariku bernyanyi sepanjang hari, sementara Lynn keluar mencari si Penguntit berbekal selembar gambar berisi sketsa wajah dari ciri-ciri yang diberikan Matthea. Hasilnya, nihil.

Kami bertiga enggak tahu, semuanya jadi rumit setelah hari itu.

Halo! Bagaimana pendapatnya tentang bab ini?
Pendapatmu tentang Elio, Lynn, dan Matthea? ╭(●`∀'●)╯╰(●'◡'●)╮

Terima kasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro