Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kini Uri harus tidur tepat pukul 10 malam. Walau tidak langsung tidur, tetapi perempuan itu harus berada di atas kasur bersama dengan Eric yang merangkulnya lembut.

Keduanya asyik melakukan deep talk sembari menunggu rasa kantuk menyerang. "Kamu betah nggak di sini?" tanya Eric pada Uri yang membuat perempuan itu menatapnya.

"Betah sih, tapi ... ." Uri sengaja menahan ucapannya karena sedikit ragu untuk berterus terang, dia tidak tau respon apa yang Eric katakan nantinya. Itulah yang membuatnya ketakutan.

"Tapi apa, sayang?"

"Aku bete di rumah terus, seharian ini aku nggak boleh kemana-mana. Mau nyemil juga nggak ada di kulkas, mau keluar dilarang," jawab Uri setelah mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya pada Eric.

Tanpa diduga, Eric malah memeluk erat tubuh Uri sebagai reaksi awal setelah perempuan itu selesai berbicara. "Aku sebenernya nggak mau ngelarang kamu sayang, tapi aku takut kamu kenapa-kenapa kalau di luar. Ya udah, kalau gitu nanti aku suruh pengawal buat jaga kamu ya kalau kamu memang mau keluar."

Mata Uri berbinar setelah mendengar ucapan Eric, dia benar-benar ingin keluar untuk membeli beberapa makanan. "Beneran, Mas?" tanya Uri memastikan dan Eric mengangguk pelan.

"Aku janji, abis belanja langsung pulang!" lanjut Uri dengan semangat.

"Berarti besok aku bisa kan keluar bentar, kan?" tanya Uri lagi yang membuat Eric terdiam sejenak, pria itu terlihat tengah berpikir dan setelahnya bangkit dari kasur.

Uri yang melihat itu kebingungan. Namun, tetap memperhatikan gerak-gerik Eric yang ternyata tengah menghubungi seseorang. Agar tidak diganggu, pria itu pergi ke balkon dan berbicara di sana.

Ditinggal begitu saja dengan Eric, membuat Uri sedikit kesepian. Sembari bersandar, perempuan itu menunggu Eric selesai melakukan panggilan dan tak lama kemudian, pria itu datang dan kembali naik ke atas kasur. "Ayo kita tidur, besok kamu bisa pergi. Tapi sama pengawal saya ya."

"Beneran?" tanya Uri dengan bahagia dan Eric mengangguk pelan sebagai jawaban. "Yeay! Makasih, Mas."

Tanpa aba-aba, Uri memeluk erat tubuh Eric sehingga pria itu terkekeh pelan. Keduanya kemudian tertidur dengan posisi yang sama hingga pagi menyapa.

Sebelum mata Uri sepenuhnya terbuka, tangan perempuan itu perlahan menjelajahi tubuh Eric sehingga membuatnya sedikit geli dan bangun dari tidur pulasnya. "Hei, tanganmu nakal ya," ucap pria itu sembari tersenyum cerah.

Yang dituduh malah langsung menutup penuh wajahnya dengan selimut karena terlalu malu untuk berkata jujur. Uri memang sedikit penasaran dengan porsi tubuh Eric yang ternyata memang sebagus itu.

Perut Eric sepenuhnya padat dengan beberapa pahatan hasil olahraga keras tentunya, hal itu membuat Uri berfantasi aneh padahal mereka baru saja dekat.

Kasur yang ditiduri Uri tiba-tiba bergerak dan membuat perempuan itu menyibak selimut yang menutupi wajahnya. Matanya menangkap sosok Eric yang baru saja bangkit dari kasur. "Mau kemana, Mas?" tanya perempuan itu dengan sedikit panik.

"Mau siap-siap pergi kerja, sayang," jawab Eric sebelum pergi masuk ke dalam kamar mandi.

Lagi-lagi, Uri ditinggal sendirian, tetapi berbeda dari hari sebelumnya. Dia bisa pergi keluar walau harus dijaga oleh pengawal Eric.

Setelah siap untuk pergi bekerja, Eric di antar Uri sampai ke depan pintu rumahnya. Sesampai di sana, pria itu langsung menarik Uri untuk mendekat ke arahnya dan mendaratkan sebuah kecupan di kening perempuan itu.

Perlakuan tiba-tiba yang Eric berikan berhasil membuat Uri mematung kaget dengan mata melotot, Eric selalu bisa membuat Uri merasa bahagia dengan apa yang dia lakukan.

"Saya pergi dulu ya," pamit Eric yang langsung ditahan oleh Uri.

"Bentar, Mas. Aku pengen ngomong sesuatu."

"Ngomong apa, sayang," jawab Eric dengan wajah penuh penasaran.

"Hmm, aku boleh nggak ngajak Dina keluar buat belanja."

Mendengar nama asing di telinganya, membuat Eric terdiam dengan dahi mengerut. "Dina?"

"Iya, pelayan kamu yang kemarin ikut nyambut kita."

Walau tidak tau siapa yang dimaksud dengan Uri, Eric tetap mengiyakan apa yang perempuan itu inginkan agar dia bisa pergi bekerja dengan cepat.

Berbeda dengan Eric, Uri langsung berlari masuk ke dalam rumah setelah mobil pria itu meninggalkan rumah.

Uri berlari sembari berteriak memanggil Dina yang langsung muncul dari dapur. "Iya, kenapa, Mbak?" tanya perempuan itu dengan membawa Sutil di tangannya yang berarti dia tengah sibuk memasak.

"Kamu lagi sibuk ya?" tanya Uri dengan raut wajah bersalah. Namun, Dina langsung menggeleng pelan.

"Nggak kok, Mbak. Saya sudah selesai masak. Tinggal naruh di piring aja buat Mbak makan."

"Wah, masak sarapan ya?" tanya Uri dengan semangat dan Dina mengangguk pelan.

"Aku bantuin ya," tawar Uri. Namun, langsung ditolak oleh perempuan di hadapannya itu.

"Nggak usah, Mbak. Mbak tunggu di meja makan aja, sebentar lagi saya ke sana buat antar makanan."

"Oke deh."

Uri berlari kecil ke arah meja makan. Layaknya seorang anak kecil, perempuan itu duduk dengan sopan di kursi meja makan menunggu Dina datang mengantar makanan.

Sepiring nasi goreng terhidangkan di depan Uri dan membuat mata perempuan itu berbinar, dia baru saja memikirkan tentang makanan tersebut dan Dina tiba-tiba memasaknya seperti biasa membaca pikiran perempuan itu.

"Ih, nasi goreng. Makasih ya," ucap Uri dengan semangat dan perempuan itu langsung mengambil alat makan dan menyuap nasi goreng di hadapannya.

Karena terlalu fokus dengan makanannya, Uri tidak menyadari bahwa Dian tengah berdiri di sisinya. Saat perempuan itu menoleh, dia langsung terkejut. "Eh, kamu nggak makan?" tanya Uri penuh rasa bersalah karena tidak menawarkan perempuan itu.

Dina menggeleng pelan. "Nggak Mbak, saya sudah makan tadi."

"Oh gitu."

Meninggalkan rasa bersalahnya, Uri kembali menyuap makanan yang Dina hidangkan hingga habis tak tersisa dan saat perempuan itu ingin mengangkat piring miliknya, Dina lagi menahan pergerakan perempuan itu.

"Biar saya aja, Mbak."

Tanpa perlawanan, Uri memberikan piring makannya kepada Dina dan mengikuti perempuan itu sampai ke dapur. Saat Dina mencuci piringnya, Uri terus memperhatikan di sisi perempuan itu.

"Din, aku mau nanya deh," ucap Uri tiba-tiba. Dina yang baru saja selesai mencuci piring langsung mengeringkan tangannya dengan sebuah handuk kecil yang tergantung di sisi lemari bawah wastafel.

"Nanya apa, Mbak?"

"Hmm, kamu kok di sini seharian sih? Perasaan pelayan yang lain sering pulang, tapi kamu enggak?" Uri sebenarnya sedikit ragu untuk bertanya akan hal itu. Namun, dia begitu penasaran dengan jawaban Dina. "Maaf sebelumnya, apa kamu nggak punya rumah?"

Dina tersenyum kaku mendengar pertanyaan Uri dan membuat perempuan itu merasa bersalah. "Eh, kalau kamu nggak mau jawab, nggak usah jawab," ucap Uri dengan panik dan Dina langsung menggelengkan kepalanya pelan.

"Nggak pa-pa kok, Mbak. Santai aja. Saya sebenarnya punya rumah, tapi karena utang keluarga saya yang menumpuk akhirnya saya harus tinggal di sini."

"Jadi, maksud kamu, kamu dijual di sini?"

"Bahasa kasarnya sih gitu, sampai utang orang tua saya lunas."

Raut wajah Uri berubah sedih mendengar jawaban Dina, perempuan itu terlihat masih sangat muda. Namun, harus membayar utang kedua orang tuanya.

"Hmm, sebagai pengobat rasa sedih kamu. Gimana kalau kamu temenin aku ke mal? Kita belanja," ajak Uri dengan semangat setelah mengingat janji Eric untuk mengizinkannya pergi.

"Tapi, Mbak ... ."

Keraguan mengitari Dina setelah mendengar ajakkan Uri, selama satu tahun itu dia tidak pernah keluar dari area perumahan keluarga Cameron dan tiba-tiba saja Uri mengajaknya untuk keluar, sebuah kesempatan juga sebuah ancaman yang menakutkan.

"Kamu tenang aja, aku udah izin kok sama Mas Eric. Kita bisa pergi. Ya walaupun harus dijagain sih sama pengawal. Kamu mau kan?"

Jujur, Dina memang ingin sekedar keluar dari rumah mewah tersebut dan hal itu membuatnya semakin bimbang.

"Ayolah, pasti kamu kangen kan keluar?" tanya Uri yang membuat wajah Dina terangkat. "Mau kan?"

Perlahan Dina menganggukkan kepalanya dan Uri terlihat begitu semangat setelah mengetahui bahwa perempuan di sisinya mau untuk pergi bersamanya. "Ya udah, sekarang kamu siap-siap ya. Satu jam lagi kita ketemu di ruang tamu."

"Baik, Mbak."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro