Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan baju model off sholder, Uri terlihat begitu menawan di pandangan orang sekitar sehingga menjadikannya pusat perhatian saat di mal. Tangannya terus mengait tangan Dina yang terlihat seperti anak hilang, mata perempuan itu menjelajah seisi mal yang sudah lama tidak dia lihat.

"Enaknya kita kemana dulu ya?" monolog Uri sembari memperhatikan sekitar, lalu pengawal yang ada di belakang menyamakan langkah kedua perempuan itu.

"Maaf Mbak, tapi tolong jangan terlalu lama di sini ya," ucap pengawal tersebut yang membuat Uri cemberut. Perempuan itu kemudian berhenti melangkah dan menatap pengawal yang ada di belakangnya.

"Aku boleh minjem hape kamu nggak?" tanya Uri dengan tangan terbuka dan membuat pengawal Eric kebingungan. "Aku mau telepon Mas Eric."

Mendengar nama bosnya disebut, pengawal itu langsung mengeluarkan ponselnya dan memberikannya kepada Uri. Dengan cekatan perempuan itu mencari nomor Eric dan meneleponnya.

"Mas, ini aku Uri," ucap Uri setelah panggilan itu menyambung.

"Iya, kenapa sayang?"

"Batas aku di mal berapa jam ya? Kata pengawal kamu, aku nggak boleh lama-lama."

Kekehan keluar dari mulut Eric setelah mendengar ucapan Uri, dia hanya tidak ingin Uri kelelahan jika terlalu lama berada di mal. "Terserah sayang, yang penting setelah belanja langsung pulang ya."

"Loh, jadi nggak ada batas waktunya nih?" tanya Uri lagi memastikan, dia tidak mau terjadi salah paham setelahnya dan memutuskan untuk kembali bertanya.

"Iya sayang, yang penting sebelum saya balik dari kantor kamu sudah di rumah."

"Emangnya kamu balik jam berapa?"

Eric terdiam sejenak, sepertinya pria itu tengah berpikir atau melihat sesuatu. "Kayanya jam tujuh nanti saya sudah pulang."

"Oh gitu, ya udah deh. Selamat bekerja."

"Iya, sayang."

Setelah memastikan waktu yang bisa dia gunakan di mal, Uri mengembalikan ponsel yang dia gunakan kepada pemiliknya. Sebelum itu, dia juga berterima kasih kepada pengawal Eric karena mau meminjamkan ponselnya sehingga bisa menghubungi Eric saat itu juga.

Sebenarnya, Uri memiliki ponsel. Namun setelah pulang dari rumah sakit, ponsel itu Eric simpan agar orang luar tidak mengganggunya dan Uri tidak mempermasalahkan hal tersebut.

"Yuk, kita belanja," ajak Uri dengan semangat sembari menarik tangan Dina yang kesusahan mengimbangi langkah perempuan itu yang jauh lebih tinggi darinya.

Sesampai di area perbelanjaan, Uri mengambil sebuah trolly dan langsung membawanya. Mata perempuan itu menjelajah mencari apa yang dia butuhkan terutama camilan.

"Kayanya kita ke sana aja deh." Uri menunjuk sebuah lorong khusus makanan ringan dan langsung berjalan ke sana.

Beberapa bungkus makanan Uri masukkan ke dalam trolly yang dia bawa dan setelahnya beralih ke lorong lain untuk membeli minuman. Setelah semua selesai, Uri langsung mengantri untuk membayar belanjaannya.

"Din," panggil Uri pada perempuan di sisinya.

"Iya, Mbak?"

"Itu semua bahan makanan di rumah belinya dimana?" tanya Uri dengan penuh penasaran. Pelayan di rumah itu tidak pernah pergi berbelanja termasuk Dina, tetapi mereka selalu memiliki stock bahan makanan.

"Oh masalah bahan makanan di rumah, kami tinggal ngambil di gudang, Mbak. Di sana sudah lengkap banget."

"Oh gitu toh, kirain kalian keluar gitu belanja."

Dina menggeleng pelan sembari tersenyum. "Nggak, Mbak. Kita nggak boleh belanja di luar kalau untuk bahan makanan."

Uri mengangguk-anggukan kepalanya setelah mendengar penjelasan Dina. Akhirnya saat mereka untuk membayar semua belanjaan yang ternyata nyaris mencapai 200 ribu.

Saat Uri sibuk membuka dompetnya, tiba-tiba sebuah tangan berada di hadapan perempuan itu, menyodorkan sebuah kartu ATM yang entah milik siapa. "Bayar pakai ini aja, Mbak," ujar pengawal Eric yang langsung diterima oleh kasir.

Setelah selesai, mereka langsung keluar dari area perbelanjaan dan semua belanjaan Uri dibawa oleh pengawal tersebut.

Sebelum kembali pulang, Uri mengajak Dina dan pengawal Eric untuk makan bersamanya. Kartu ATM tadi ternyata milik Eric dan kini berpindah tangan kepada Uri, katanya ATM tersebut untuknya dan Uri menerima dengan senang hati.

"Kita makan dulu yuk, aku laper," rengek Uri dengan wajah melas.

Dina dan pengawal Eric saling bertatapan seakan memiliki pikiran yang sama. Uri yang melihat hal itu langsung menarik tangan keduanya sampai di sebuah restoran cepat saji.

"Kalian mau makan apa?" tanya Uri pada keduanya.

"Terserah aja, Mbak," jawab mereka kompak yang membuat Uri langsung cemberut.

"Ya udah deh, kalian cari tempat duduk gih. Nanti aku ke sana kalau makanannya udah ada."

Karena terusir, Dina dan pengawal Eric langsung pergi mencari meja yang kosong. Setelah menemukannya, Dina langsung duduk. Namun, pengawal Eric kembali mendatangi Uri dan membuat perempuan itu terkejut.

"Astaga, kenapa ke sini lagi?" tanya perempuan itu dengan sedikit kesal.

"Saya mau bantuin bawa makannya, Mbak."

"Oh, ya udah. Bentar ya."

Sebuah nampan kemudian dihidangkan bersama dengan beberapa makanan di atasnya, nampan tersebut kemudian diambil alih oleh pengawal Eric yang langsung membawanya ke meja dimana Dina menunggu mereka.

Ketiga orang tersebut makan dengan santai sembari berbincang. Uri akhirnya tau bahwa pengawal Eric tersebut bernama Damai.

"Dam, kamu sudah lama kerja sama Mas Eric?" tanya Uri di sela makannya.

"Nggak Mbak, baru tiga bulan ini," jelas Damai yang membuat Uri mengangguk pelan.

"Kok bisa kerja sama Mas Eric?"

Pertanyaan Uri membuat Damai terdiam, pria itu kemudian mengambil minumannya dan meneguknya perlahan. Setelah itu mulai menjelaskan. "Sebenernya saya nggak mau kerja sama Mas Eric, tapi saya kepaksa. Karena keluarga saya butuh uang."

"Maksudnya?"

"Iya, Mbak. Saya dari keluarga kurang mampu dan adik saya sekarang tengah berjuang melawan kankernya. Mau tak mau kamu harus bekerja keras untuk mencari uang dan Mas Eric menawarkan pekerjaan ini, tapi saya harus tinggal sama beliau tanpa bisa pulang selama tiga bulan ini."

"Kok gitu sih!"

Damai tersenyum kecil menanggapi gerutuan Uri. "Ya walaupun saya kangen sama keluarga, saya tetep harus ngasih uang ke mereka. Jadi, saya nikmati aja dulu. Lagipula, gaji dari Mas Eric itu gede banget."

"Oh ya? Emangnya berapa?"

"Saya sebulan digaji 10 juta, Mbak."

"Wah, banyak ya."

Sesuai janjinya dengan Eric, Uri akhirnya pulang setelah makan bersama Damai dan Dina. Walau sekarang masih pukul empat sore, tetapi mereka sudah kelelahan dan ingin istirahat.

Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba Uri kembali mengeluarkan suaranya. "Oh iya, aku pengen tanya deh sama kalian."

"Nanya apa, Mbak?" respon Dina yang duduk di sisi perempuan itu.

"Mas Eric berapa saudara sih? Aku penasaran, soalnya pas di rumah utama aku nggak nemuin foto keluarga mereka."

"Oh itu, Mas Eric tiga saudara Mbak, beliau anak terakhir. Yang pertama itu Mas Axel, yang kedua Mbak Cherly dan yang terakhir Mas Eric."

"Oh, pantes aja ada dua rumah lain yang mirip sama rumah Mas Eric ya."

"Iya, di sana saudara Mas Eric tinggal."

"Tapi, pas aku lewat kayanya nggak ada kehidupan tuh di sana."

Memang benar. Saat Uri lewat, rumah-rumah tersebut begitu sunyi seperti tanpa penghuni.

"Iya, Mbak. Mas Axel sama Mbak Cherly lagi keluar negeri. Mas Axel ada pekerjaan dan Mbak Cherly lagi liburan."

"Terus, kalau tentang istri Mas Eric?" tanya Uri dengan hati-hati, dia tau pertanyaan itu sedikit sensitif dan Dina langsung bungkam. "Kamu nggak mau jelasin tentang dia juga? Aku penasaran sama dia."

"Hmm gimana ya, Mbak." Dina terlihat ragu menjawab ucapan Uri, seperti ada yang ingin perempuan itu sampaikan, tetapi terhalang sesuatu.

Belum sempat Dina menjelaskan, mereka ternyata sudah sampai di depan gerbang area rumah Eric. Saat diperiksa, mereka semua langsung terdiam agar tidak dicurigai.

Setelah akhirnya mereka bisa masuk, Uri kembali bersuara. "Kita bahas lagi nanti ya, aku nggak mau kalian kenapa-kenapa."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro