Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk membawa semua pesanan pelanggan, Aura harus meminta bantuan Uri. Mereka masing-masing membawa tiga gelas minuman yang sesuai dengan jumlah tamu di ruangan tersebut.

Saat masuk, tiba-tiba langkah kaki Uri terhenti. Matanya menatap sosok pria yang duduk jauh lurus di depannya. Pria itu memasang wajah serius dengan tatapan tajam ke arahnya. Kok dia di sini?

Di tengah keterkejutannya, Aura kembali datang dan menyadarkan Uri dari lamunannya. "Hei, kamu nggak pa-pa?" tanya Aura dengan wajah khawatir.

Uri menggeleng pelan dan berusaha kembali profesional melakukan pekerjaannya. Satu persatu gelas yang dia bawa berpindah tangan dan sampai di ujung, perempuan itu berhenti dan terdiam sesaat.

"Kita ketemu lagi," ucap pria itu mendahului Uri untuk berbicara. "Kirain kamu masih kerja jadi SPG rokok."

Benar, pria itu adalah orang yang mengirim uang lima juta ke rekening Uri tanpa mengambil satu kotak rokok dari perempuan itu. Sayangnya, uang tersebut sudah habis Uri gunakan dan membuatnya merasa cemas jika pria tersebut akan menagihnya.

Tanpa sadar, perempuan itu mengulum bibirnya yang membuat pria di hadapannya menatap intens. "Kamu menggoda saya?" tanya pria itu dengan salah satu alis terangkat.

Merasa tidak melakukan apa yang pria itu tuduhkan, Uri langsung menggeleng pelan. "Nggak, saya nggak goda, Mas kok."

Mendengar bantahan tersebut, pria di hadapan Uri kemudian memainkan jarinya guna menyuruh Uri mendekat ke arahnya. "Sini."

Tanpa penolakan, Uri mendekat dan tiba-tiba pria itu menariknya hingga terduduk di pangkuan paha tebal milik pria tersebut. "Nama saya Eric," bisik pria bernama Eric itu mengenalkan dirinya ke telinga kanan Uri.

Mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakan, Uri berusaha untuk bangkit. Namun sayang, tangan Eric melingkar di pinggangnya dan menahan pergerakan perempuan itu.

"Hei, kamu mau kemana?" tanya Eric yang membuat Uri menoleh ke arahnya.

"Saya harus kerja, Mas," ucap Uri dengan pelan. Mencoba untuk mendapat belas kasih dari Eric.

"Ngapain sih kamu kerja di sini? Gajinya juga nggak seberapa."

Lagi, Uri lagi-lagi bertemu dengan orang yang menyepelekan pekerjaannya padahal perempuan itu sangat membutuhkan uang. Walau dengan cara melakukan apapun.

Dengan sedikit kesal, Uri pun menjawab, "saya tau, Mas punya banyak uang. Tapi tolong, hargai pekerjaan orang lain!"

Entah dapat kekuatan dari mana, Uri akhirnya bisa lepas dari kungkungan Eric dan saat melihat Uri pergi, Eric terlihat puas dengan senyum tipis di wajahnya. Menarik juga.

Tepat pukul empat subuh, Uri akhirnya selesai bekerja. Perempuan itu benar-benar lelah sekarang dan sudah menganti pakaiannya guna pulang ke rumah. Namun sebelum sampai di pintu keluar, terdengar suara yang memanggil nama perempuan itu.

"Uri, Uri," panggil orang itu dari belakang. Uri pun terdiam dan membalik tubuhnya secara sempurna. Matanya kemudian menemukan sosok Felly yang tengah berlari ke arahnya.

"Iya, kenapa, Mi?" tanya Uri pada Felly yang masih ngos-ngosan karena mengejarnya.

"Gini loh, kamu dapet tawaran nge-date sama salah satu pelanggan di sini."

"Nge-date?" Dahi Uri mengerut saat mendengar kata tersebut, dia baru sehari bekerja dan tiba-tiba mendapat tawaran untuk berkencan.

"Iya, nge-date. Tenang aja, ada bayarannya kok."

Mendengar tentang uang, mata Uri langsung berbinar. Dia harus mendapat uang dengan cepat agar bisa mengganti uang Eric yang dia pakai sebelumnya. "Berapa bayarannya, Mi?"

"25 juta."

"Hah, 25 juta!" pekik Uri tak percaya akan apa yang disampaikan atasannya tersebut.

"Kenapa? Kurang ya? Bisa ditambahin kok entar. Asal kamu bisa nge-treat pelanggan itu."

"Bukan kurang, Mi. Tapi kebanyakan."

"Jadi, kamu mau kan?" tanya Felly memastikan. Namun, Uri terlihat ragu untuk menjawab. "Ya udah, gini aja deh. Kalau kamu mau, kamu bisa hubungin nomor di kartu ini. Bilang aja kamu dapat nomor dia dari Mami."

Sebuah kartu nama kini berpindah dari tangan Felly ke tangan Uri. Kartu nama yang tak biasa itu Uri yakini milik seseorang yang kaya raya. Walau berdesain simple dengan hanya ada dua kalimat di sana.

Cameron Textile President, 08**-***-***, baca Uri di dalam hati setelah mendapat sisi atas kartu tersebut.

Felly mengusap lengan atas Uri secara lembut sehingga menyadarkan pegawainya itu dari lamunan. Mata keduanya bertemu sebelum Felly mengeluarkan suaranya. "Kapanpun kamu siap, kamu bisa langsung hubungi nomor itu."

Ucapan Felly terus terngiang di telinga Uri bahkan sampai di rumahnya, tubuh kurus perempuan itu kini sudah terbaring di atas kasur sembari menatap langit-langit kamarnya.

"Apa aku terima aja ya ajakan itu?" Monolog Uri merasa uang yang ditawarkan dapat dia gunakan. Apalagi dia memiliki hutang yang perlu dibayar pada Eric. Takutnya pria itu kembali datang ke tempat kerjanya.

Walau Uri sudah terbiasa dengan ajakan kencan. Namun, kali ini terasa begitu berbeda apalagi setelah mendengar bayaran yang bisa perempuan itu dapat.

Sangking seriusnya memikirkan tawaran kencan tersebut, kepala Uri tiba-tiba terasa sakit dan perempuan itu memutuskan untuk beristirahat.

Siang harinya, Uri membuat janji dengan Ratna. Dia harus meminta pendapat dari sahabat semasa SMAnya itu. Mungkin setelah berbicara dengan Ratna, Uri memiliki jawaban pasti untuk tawaran kencan tersebut.

Dengan sweater crop top berwarna hitam dan celana jeans  biru muda, Uri menjadi pusat perhatian di kafe tempat dia dan Uri akan bertemu. Sahabatnya itu bilang, dia sudah sampai. Namun, matanya belum juga menemukan Ratna di dalam kafe bernuansa vintage tersebut.

Di tengah kebingungannya, sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel yang ada di genggaman perempuan itu. Uri segera mengangkatnya karena panggilan itu dari Ratna. "Kamu dimana sih?" tanya Uri tanpa aba dengan mata yang masih menjelajah.

"Aku abis dari toilet, kamu dimana?"

"Aku baru masuk kafe nih." Sesaat setelah Uri menjawab, mata perempuan itu mengangkap sosok Ratna yang berdiri cukup jauh darinya. "Aku liat kamu, diem di sana. Aku ke situ"

Sesuai instruksi Ratna terdiam dan ikut mencari keberadaan Uri yang ternyata tengah berjalan ke arahnya. Dengan semangat, perempuan itu melambaikan tangannya dan setelah keduanya bertemu, Uri tanpa ragu memeluk hangat tubuh Ratna. "Kangen banget sama kamu," bisik Uri yang membuat Ratna tertawa kecil.

"Perasaan Minggu lalu kita baru aja ketemu deh," goda Ratna karena memang mereka baru saja bertemu.

Dengan sedikit malu, Uri melepaskan pelukan mereka dan dengan canggung menjawab. "Hehe, iya deng. Lupa."

"Ya udah, kita cari tempat duduk yuk. Aku tau, kamu pasti mau bicara sesuatu yang penting kan?" Kedua alis Ratna terangkat setelah bertanya. Uri yang memahami hal tersebut hanya dapat tersenyum tipis karena sahabatnya itu selalu tau apa yang tengah terjadi padanya walau tak selalu di sisinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro