SHD-2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matthew memperhatikan ruang kerja ayahnya yang kini sedikit berbeda dari biasanya. Sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan, hanya saja foto besar yang terpajang di belakang tempat duduk ayahnya membuatnya sedikit terganggu. Foto itu seolah-olah mendiskriminasikan dirinya dan juga ibunya. Hal itu dikarenakan tidak ada wajahnya ataupun ibunya di dalam foto keluarga tersebut. Dulu foto itu hanya ada dirinya, ayahnya, dan ibunya . Ibu kandungnya. Namun, sekarang dirubah total oleh Rose.

"Apa kabar, Nak?" Tanya Rizal penuh semangat saat masuk ke dalam ruang kerjanya dan mendapati Matthew di sana. Ia lalu memeluk Matthew.

"Kabar baik, Pa." Matthew balas memeluk ayahnya erat.

Rizal menepuk-nepuk punggung Matthew bangga terhadap pencapaian anaknya. "Papa dulu ragu kamu bisa masuk ke sana tapi ternyata tekad kamu kuat juga. Kerja bagus, Nak." Rizal melepas pelukannya dan melangkah mendekati kursi dibalik meja kerjanya lalu mendudukinya.

"Mungkin karena itu satu-satunya cara untuk menjauh Pak. Bukan tekad." Matthew tersenyum namun tidak bisa menutupi raut wajahnya yang bertolak belakang. Ia menarik kursi yang ada di depan meja ayahnya lalu mendudukinya.

"Papa tahu perbuatan Rose menyakiti kamu. Papa tahu semuanya," ucap Rizal terlihat kasian dengan putra kesayangannya itu.

"Aku tahu Papa tidak bisa berbuat apa-apa dengan semua itu. Namun, aku tidak menuntut pembalasan atas semuanya. Aku baik-baik saja sampai saat ini." Matthew tersenyum lagi. Ia tidak ingin ayahnya lebih kejam lagi pada Maria.

Matthew tahu keluarganya saat ini tidak baik-baik saja. Sialnya yang menjadi korban adalah Maria dan dirinya yang tidak tahu apa-apa. Pembalasan di rumah ini sudah menjadi hal yang lumrah. Ayahnya akan memperlakukan Maria sama seperti ibunya Maria memperlakukan dirinya. Seperti itu hingga saat ini. Pembalasan demi pembalasan terjadi seiring dengan tumbuhnya mereka. Mental mereka pun secara tidak langsung dilatih untuk selalu kuat.

"Kamu ingin mengganti itu?" tanya Rizal yang sejak tadi memperhatikan Matthew yang terus-menerus menatap foto di belakangnya.

Matthew menggeleng. "Tidak apa-apa. Terlihat bagus, Pa."

"Kamu yakin? Papa tidak apa-apa jika kamu ingin menggantinya dengan foto lama." Rizal mengerti sampai saat ini Matthew masih belum menerima posisi Vina-istri pertamanya diganti oleh Rose. Ia tahu Matthew sedikit tersiksa dengan perlakuan Rose yang terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Matthew. Ia tidak akan menerima keberadaan Maria selama Rose masih belum menerima Matthew. Itu akan terus berlangsung sampai kapan pun.

Memang pernikahannya dan Rose berdasarkan cinta namun cinta saja tidak cukup jika tidak sesuai harapan. Ia menikahi Rose karena berharap Rose bisa menjadi pengganti dari Vina namun Ia sadar tidak ada yang akan bisa menyamai seseorang. Manusia yang satu dengan yang lain tidak akan pernah sama. Maka dari itu, jangan pernah berharap seseorang yang sama akan datang dua kali dalam hidup. Jika seseorang itu adalah yang terbaik maka pertahankan lah walaupun sudah tidak berwujud lagi jangan mencoba menggantikannya jika tidak ingin kecewa. Terimalah orang baru tanpa mencoba menggantikan orang lama.

"Papa?" Panggil Matthew ketika ponsel milik Rizal bergetar namun tak kunjung pria paruh baya itu mengangkatnya.

"Iya, Nak."

"Sepertinya ada yang menelpon," ucap Matthew melirik ponsel ayahnya yang berada di atas meja.

"Oh." Rizal mengambil ponselnya lalu menjawab panggilan telpon tersebut. "Iya, Maria. Ada apa?"

"..."

"Oke." Rizal kembali meletakkan ponselnya lalu menatap Matthew yang terlihat penasaran dengan obrolannya dengan Maria.

"Kenapa Maria menelepon, Pa?" tanya Matthew tidak bisa membendung rasa penasarannya.

"Dia meminta izin untuk menginap di rumah temannya," jawab Rizal lalu memeriksa beberapa berkas yang ada di atas mejanya.

"Papa mengizinkannya? Sampai kapan?" Raut Matthew berubah serius.

"Tentu saja. Bukan urusan Papa untuk mengurus dia. Papa yakin dia meminta izin kepada Papa karena tahu  Rose tidak akan mengizinkannya. Anak itu sepertinya akan berulah," komentar Rizal masih sibuk dengan berkas-berkas tersebut.

"Kenapa papa mengizinkannya?" protes Matthew.

"Tentu saja papa mengizinkannya. Dia bukan urusan Papa," jawab  Rizal terlihat santai dengan apa yang dilakukannya.

"Aku pamit, Pa." Matthew beranjak dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya.

Matthew mempercepat langkahnya, menuruni anak tangga hingga sampai di lantai dua. Ia segera mendatangi kamarnya dan mendapati Maria sudah selesai bersiap untuk pergi.

"Kamu tidak diizinkan untuk pergi." Matthew merampas ransel yang dipegang Maria.

"Aku cuman pengen menenangkan diri." Maria terlihat tidak ingin berdebat dengan kakak laki-lakinya itu. Ia terlihat pasrah membiarkan Matthew merampas ranselnya dengan mudah.

"Kalau begitu kakak Ikut. Kakak akan menyewa villa untuk kita," saran Matthew.

Maria menggelengkan kepala. "Biarkan aku sendiri," singkatnya lalu mengambil tas ranselnya dari tangan Matthew dan melangkah keluar dari kamar Matthew.

"Kamu yakin, dek?" tanya Matthew terlihat mengkhawatirkan Maria sambil mengikuti Maria dari belakang.

"Yakin. Aku punya orang diluar sana yang lebih menyayangi aku dibandingkan orang-orang di rumah ini."

Matthew menggeleng. " Okay, jika papa atau mama tidak menyayangi kamu tapi jangan samakan mereka dengan aku. Aku sangat menyayangi kamu," tegas Matthew.

Maria berhenti melangkah dan berbalik menghadap Matthew. Terlihat garis lengkung dibibirnya. "Aku akan sangat percaya kalimat itu jika kamu membiarkan aku pergi. Tenang saja, aku hanya sebentar. Aku akan kembali sampai aku bisa menelan fakta pahit tersebut."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro