10 - INTAI (LUNA POV)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena yang sudah terlanjur dimulai, harus segera diakhiri. -SISTERHOOD-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

21.00

"Gue udah bawa senter, handphone gue dua dua nya, pulpen..."

"Pulpen buat apa?" sergah Panji ke gue. Ih bawel, kan bisa aja berguna, misalnya kayak buat nulis petunjuk di kertas atau apa gitu.

"Gak tau. Tapi itu wajib ada di tas gue. Terus gue bawa jedhay..."

"Tap.."

"Shut up! Gak boleh protes. Gue bakal selempangin Polaroid gue, terus gue bawa teddy mini dan kalungnya. Itu barang bakal gue masukin ke tas sling bag gue. Kalo Sofi bawa apa? Panji juga bawa apa?"

"Bawa tali tambang, cat astro kecil, sisir kecil, gunting, handphone, sama gantungin DSLR."

"Ini lagi. Lo mau ngintai orang apa mau camping di gunung sih pake bawa tali tambang segala."

"Ih Kak Panji, siapatau ini berguna. Kan kita gak tau. Apa yang akan terjadi nanti." Sofi sok menceramahi.

"Yaudah lah terserah kalian. Gue sih bawa handycam, handphone, lensa handycam infra merah. Udah, untung gue bawa tas pinggang."

"Kita mau jalan sekarang atau tunggu maleman nih?" tanya gue ke mereka berdua.

"Ya sekarang lah!" balas Panji. Tumben kali ini dia mau semangat bantuin gue.

Kalo gue boleh jujur, yang paling wajar bawa barang itu cuma si Panji. Hal-hal yang dia bawa itu masuk akal. Lah gue apaan. Apalagi Sofi. Astage.

***

"Lun, boneka nya lo bawa gak?," Panji berbisik saat kita sudah sampai di depan kaca jendela. Jendela di dapur, yang lumayan besar ukurannya.

Gue agguk-angguk aja lah ya. Hanya keheningan dan ketegangan yang kita rasakan disini. Tepat, tak ada hal lain lagi.

Setelah beberapa menit gue cuma diam dan memperhatikan struktur bangunan itu, sepertinya villa yang di tempati Tante Nita ini mirip sekali dengan villa yang waktu itu Rascal kasih tau ke gue lewat video call.

"Lun, bukannya kata lo tadi lo nemu boneka itu di kamar Tante Nita ya?"

Gue langsung menjentikkan jari. "Pinter lo. Otw sekarang." Saat gue bilang kayak gitu, Panji terlihat seperti langsung mengerti maksud ucapan gue. Dia senyum, senyum yang gak pernah gue liat dari dia sebelumnya. Senyum yang manis banget.

"Yaudah cepet, Lun kalungin tangan lo ke leher gue, lo Sof, pegang pinggang Luna, jangan ada satupun dari kita yang berpencar." Perintah Panji sambil...megang tangan gue dan diarahin ke lehernya.

Tunggu, ini perasaan gue doang atau emang waktu gak sengaja tangan gue kena dadanya, ada dag dig dug gitu ya? Bukan gue, tapi asalnya dari tubuh dia.

Ah, itu gak penting. Yang penting sekarang itu Rascal.

Kita pun langsung berputar ke arah sebaliknya. Memasang mata burung hantu di kala malam. Menatap jendela yang berukuran kecil itu untuk menemukan petunjuk. Yap.

Gue lihat sesuatu.

"Eh, itu bukan nya Rascal? Itu-itu!" Tunjuk gue antusias. Berarti, selama ini, dugaan gue gak meleset. Sama sekali gak meleset.

Panji dan Sofi langsung mencari asal mata gue menangkap sosok Rascal. Mereka langsung mengangguk sambil menampakkan wajah khawatir. "Terus gimana? Kita gak bisa langsung masuk dan ambil dia gitu aja dong." Panji berbisik.

"Bisa mati kita." Tambah Sofi.

Gue, Sofi, dan Panji akhirnya mencoba untuk berpikir. Siapatau dibalik renungan malam ini ada yang dapet ide bagus dan berguna.

"Kak." Sofi tiba-tiba mencubit pelan pinggang Panji. Cowok itu sedikit mengaduh.

"Apaan?"

"Masih bisa naksir sama TANTE Nita?,"

Sofi bilang kayak gitu sambil menekankan kata 'tante'. Entah kenapa gue jadi ngerasa lucu aja.

"Kenapa? Naksir sama gue?"

"Najis."

"Udah-udah. Malah debat. Mending kita liat apa ya—"

Belum sempat gue kembali menoleh ke dalam kamar, Rascal dan Tante Nita sudah tak ada.

"Tuh kan, dapur-dapur!" Ada yang terlintas di pikiran gue. Gue langsung mengarah ke jendela dapur yang tadi diikuti Sofi dan Panji. Rencana dadakan satu, kalau mereka hilang tiba-tiba, pilihan nya kalau bukan jendela kamar, ya jendela dapur. Itu rencana dadakan, cuma gue yang bikin, soalnya itu yang tiba-tiba terlintas di otak gue.

Kita bolak balik dapur-kamar-dapur. Gue capek sih ini, nyampe Lombok langsung nyari dia, bukan istirahat bener.

Gue tetep cari dia apapun yang bakal terjadi. Gue gak perduli. Lagian sih, orang aneh, pake jalan-jalan jauh pas hari sekolah, jadi sendirian kan.

Orang mah kalo mau jalan nunggu liburan, biar ada temen nya. Kalo ada temen nya kan gak akan kejadian kayak gini. Gue capek, udah konflik batin kemarin gara-gara dia sama Sofi, ada lagi masalah baru. Masalah gue gak abis-abis apa ya? Gue sih berharap kali ini gak ada hubungannya sama hati.

Pengen tidur, pengen main HP, pengen istirahat dulu lah intinya. Tapi kok gak bisa? Gue juga gak tau. Gue takut aja, gak tau apa yang gue takutin. Mungkin takut ada yang terjadi sama dia.

Dulu gue anggep lo itu kakak, sekarang gue tau kalau ternyata lo itu sahabat gue. Ya sudah sepantasnya sahabat itu saling tolong menolong kan?

Gak semua orang bakal lakuin apa yang gue lakuin. Gak semua orang bersedia ngeliat keadaan sahabatnya sendiri setelah sahabatnya itu kecewain dia.

Tapi gue, bisa ngelakuin semua itu.

"Lun, liat!" Tiba-tiba Panji menepuk pundak gue. Iya, gue tadi lagi melamun.

Gue langsung menengok. Rascal ada di depan mata gue. Dia diatas kursi, pingsan. Diiket sama banyak tali, dengan keadaan mulut yang di tutupi oleh solasi. Tunggu, ada satu yang bikin gue bingung. Kursi, meja makan, dan segalanya mana?

Disana kosong.

Gue, Panji, dan Sofi langsung memasang gendang telinga. Berharap mereka mengatakan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Dan berharap, Rascal bangun.

Harapan gue tepat. Perlahan, mata itu terbuka. Mata yang warna pupil nya selalu gue suka. Yang bikin siapapun merasa tenang saat menatapnya.

Dia bangun, gak langsung ngomong apa-apa. Dia masih mengerjapkan mata. Lalu sadar bahwa tubuhnya terikat oleh tali.

"Hmmph!"

Rascal kelihatannya mencoba untuk memberontak. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya.

DUK! DUK!

Kursi yang ia duduki pun bergoyang ke kanan dan ke kiri. Tante Nita yang memunggungi Rascal terlihat tak menyadari nya. Posisinya ada di belakang Rascal. Entah sedang melakukan apa, tak ada yang tahu. Sepertinya, karena Rascal terlalu menggoyangkan kursi itu, kursi itu nyaris...

SET!

"Hmmph!!"

HAP!

Jatuh.

Namun tertahan.

Oleh Tante Nita.

Gue dari tadi cuma bisa menahan nafas, berharap ia tak jatuh, namun berharap ia bebas. Pengen banget bantuin tapi bukan ini saatnya.

"Udah bangun, sayang? Mimpi nya puas?"

"Sayang?!"

"Sstt!"

Justru gue kaget dengan ucapan Tante Nita, Panji malah memasang wajah sok serius, namun tidak terlihat serius. Sementara Rascal sedikit terlonjak dengan asal suara itu.

Tante Nita membuka solasi yang menutupi mulut Rascal. Seperti membiarkan laki-laki itu untukberbicara.

"Siapa lo?"

"Sstt...masa gak inget? Itu loh yang waktu itu."

Wajah Rascal kelihatan memerah. Gue harus bantuin dia, tapi gue gak tau dengan cara apa atau harus apa.

Ia bernafas tak teratur. Dada nya naik turun. Entah karena panik, takut, atau digandrungi sesuatu.

"Gue gak pernah kenal siapa lo!"

Tante Nita berputar mengelilingi Rascal sambil menyentuh bahu nya. Tindakan yang terlihat tidak sopan sama sekali.

Hati gue lagi gak karuan. Degup jantung gue juga lebih cepat dari biasanya. Dan gue rasa, bukan cuma gue yang lagi ngerasain situasi ini.

"Lo mau apa, hah?!"

"Ushh! Jangan berisik, nanti ada yang denger bahaya loh kamu. Hahah." Suara tawa nya seperti penyihir. Gak bohong.

Telunjuknya sengaja ia tempelkan ke bibir Rascal.

Duh doi gue.

Doi-doi an maksud nya.

"Kamu tau gak? Tadi siang, ada tiga remaja kayak kamu yang datang kesini loh. Saya sih gak kenal sama mereka, tapi saya tau siapa salah satu diantara mereka."

"Ngomong apa sih lo?!"

Gue seakan menghiraukan ucapan Rascal dan malah terfokus dengan perkataan Tante Nita. Gue, Sofi, dan Panji saling pandang.

"Siapa anjir..."

"Kak Luna?"

"Kayak nya gue deh. Kayaknya firasat gue bener, kalau sampai orang yang dia maksud itu gue, udah pasti seseorang dibalik jubah itu dia!" Gue mencoba menghubungkan dengan kejadian waktu itu.

Biarkan saja berlalu seperti angin. Sekarang, kita harus dengerin apa lagi yang akan mereka omongin.

"Ini ada hubungan nya loh sama kamu dan teddy kamu. Saya rasa sih dia temen kamu, cewek cantik, tinggi nya sekitar seratus enam puluh tiga senti, rambut nya panjang terus ada abu-abu nya, bawa adik dan seorang temen cowok. Salah satu diantara mereka udah nyuri boneka punya kamu."

"Persetan sama boneka. Siapa cewek itu?!"

"Namanya kalo tante gak salah itu—Lun...Luna."

KREK!

Karena gue gak enak sama posisi berdiri gue, saat gue mau pindah, gue injak ranting.

Mereka menoleh ke asal suara.

Panji dan Sofi secara bersamaan langsung menekan kepala gue kebawah untuk menunduk.

Syukurlah, dia gak ngeliat gue ataupun Sofi, Panji. Malah langsung kembali ke topik pembicaraannya dengan Rascal.

Rascal nya gue :(

Tapi tunggu, berarti benar. Rambut gue ombre abu-abu, walaupun cuma segaris.

"Ah, dari pada kelamaan dan ketahuan sama orang lain, kita to the point aja deh. Saya cuma minta setitik darah kamu aja kok. Gak butuh yang lain."

"Hah?"

"Oke oke, saya jelasin scenario yang udah saya siapin dulu deh. Kamu tahu legenda drakula kan? Saya memang bukan drakula, tapi saya sejenis itu. Lalu, saya membutuhkan darah seorang laki-laki yang tinggal sendirian disini. Dan dengan dia yang masih punya perasaan bimbang diantara dua orang."

Ngomong apa sih.

"Gue gak ngerti maksud lo. Hubungannya apaan anjir." Rascal berucap dengan wajah cuek. Tapi gue tau, dia pasti ngerti apa yang tadi dia denger. Gitu-gitu dia gak sebodoh yang kalian pikir.

"Saya yakin kamu mengerti. Saya juga tau, kamu punya dua orang di hati kamu. Kamu mencintai dua-dua nya. Kamu terlalu tidak bisa memilih. Sehari atau dua hari lalu, kamu baru bertemu dengan mereka. Terjadi kesalahpahaman diantara kamu dengan salah satunya karena seorang penyebab."

Rascal terdiam. Hanyut dengan perkataan Tante Nita barusan.

Begitu juga gue, gue tau arah perbincangan ini kemana. Apa bener dugaan gue?

Semoga enggak.

Semoga dua orang itu bukan gue dan Sofi.

"Maka dari itu, dari pada kamu bingung memilih, lebih baik kamu dengan saya. Menggantikan posisi suami saya yang sudah musnah karena ulah bangsamu. Kamu menjadi pendamping saya, mencari mangsa-mangsa bimbang ataupun patah hati yang baru, dan memasukkan jiwa mereka ke liontin merah saya. Cukup satu tetes darah dengan satu gigitan." Tante Nita mengangkat dagu tegas cowok itu.

Gue tau apa yang akan dia lakukan ke sahabat gue.

"Denger, saya sengaja sandera kamu waktu kamu video call biar teman-teman kamu itu tertarik dan panik karena kamu hilang tiba-tiba. Karena apa? Saat kamu sudah menjadi makhluk seperti saya, kamu akan lupa segalanya, termasuk memori kamu, kecuali kalau ada yang bisa kembali membangkitkannya. Korban pertama kamu adalah korban emas mu, saya yakin, salah satu diantara teman-teman kamu ada orang yang benar-benar kamu cinta atau mencintai kamu. Jadi saya jadikan kamu alat menarik mereka kesini, agar kamu bisa menjadikan perempuan itu mati. Jiwa orang yang terisi rasa cinta, atau bahkan rasa sakit—yang mati—dapat berguna ketika jiwa itu masuk ke liontin merah. Saya, bisa hidup kekal karena liontin yang terisi itu. Kamu jadi gak usah repot-repot buat milih salah satu diantara mereka, cukup bunuh salah satunya—oh lebih bagus mereka berdua, dan kamu milih saya, semua urusan selesai."

"Sayang, liontin merah itu hilang bersamaan dengan boneka kamu."

"Lepasin gue! Gue gak mau dijadiin alat semata-mata cuma untuk keuntungan lo! Gak ada guna nya juga lo bikin gue mati, jatohnya gue bakal tetep nahan diri buat gak celakain cewek itu. Lagian urusan lo sama penjelasan lo muter-muter, gak ngerti kenapa harus gue yang dipilih, gue gak ada salah apapun juga sama—" Rascal mulai berontak. Lagi. Ia menggeser-geser kursi itu dengan tubuhnya, membuat Tante Nita harus tetap memegangi kursi itu agar Rascal tidak jatuh dan tali ikatannya tidak terlepas. Wajahnya mulai terlihat geram dengan kelakuan cowok itu.

"DIAM!"

Tante Nita. Suaranya sama persis dengan orang yang menyergap Rascal waktu video call. Ini tidak salah. Ini kenyataan.

Tante Nita terlihat padam akan perkataan Rascal tadi. Ia segera mengambil solasi tadi dan menempelkannya kembali ke mulut Rascal. Membuat cowok itu diam seribu bahasa, padahal bukan keinginannya.

Wanita itu, mendekati wajah Rascal, dari mulutnya, seperti ada...gigi taring yang sangat runcing. Jadi intinya disini ternyata, Rascal itu alat Tante Nita buat ngambil jiwa salah satu diantara gue dan Sofi—karena gue gak tau yang beneran disukai Rascal itu gue atau adik gue sendiri. Nah nanti jatuhnya Rascal juga jadi 'makhluk' itu, kenapa harus dia? Selain karena dia satu-satunya orang yang tinggal sendirian disini, juga karena mitos yang pernah gue denger sih drakula, vampire, atau semacamnya itu ada hubungannya sama perasaan dan nafsu, mungkin Tante Nita mau manfaatin perasaan bimbangnya Rascal, dan bikin Rascal terpengaruh buat musnahin gue, atau Sofi, atau malah kita berdua biar jiwa kita masuk ke liontin itu dan Tante Nita dapet keuntungan—hidup abadi.

Caranya dia buat bikin gue atau Sofi itu musnah adalah dengan menarik perhatian gue dulu, dengan semacam menculik Rascal. Supaya gue dateng cari cowok itu, dan penasaran akan apa yang terjadi. Kalaupun Panji tak tertarik ke rumah Tante Nita saat itu, tetap saja kita akan kesana, biarpun cuma untuk bertanya informasi tentang remaja laki-laki yang hilang. Jatuhnya tetap tempat itu akan mengarahkan kami kesini.

Yang masih gue bingung, bukannya kalo gue kena infeksi nya drakula itu, gue bisa aja jadi drakula juga? Kok ini malah—ah gak usah dipikirin, gak penting.

"Gak bisa didiemin anjir!"

Panji mengumpat kecil. Gue cuma menoleh dan kembali terfokus kepada Tante Nita. Otak gue harus muter lagi nih, ah lagian sih pake acara pergi-pergian, hancur kan semuanya.

"Sebenernya gue masih kurang ngerti sama apa yang dia maksud."

Gue masih mikir, sumpah. Efek kemaleman harus mikir jadi otak gue buntu.

"Rencananya gimana? Gagal dong?"

"Gue gak tau..."

Gue reflek menoleh kearah Panji dan Sofi yang sekarang keadaannya bersebelahan. Mereka bisik-bisik, rencana apa?

Gagal kenapa?

"Apaan sih?"

Mereka menggeleng. Kayak ada yang disembunyiin tapi gue gak ngerti apa yang mereka debatin. Ah, akhirnya gue balik lagi menatapi sahabat gue di dalem. Sementara Rascal disana masih berontak, tak membiarkan sedikitpun sentuhan dari Tante Nita mengenai tubuhnya.

Yang harus gue lakuin cuma ambil alih dia, dan langsung bawa dia pergi dari tempat ini, apapun caranya.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

I'M Back.

Otak muter muter sumpah.

Hope u enjoy it, quys! :)

Kamsahamnida~~ 

JAKARTA, 23 MARET 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro