12 - KAPAN BERAKHIRNYA ? (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terkadang sesuatu yang selalu kau cari di hidupmu selama ini ada didekatmu. Namun kau tak pernah menyadarinya, hingga Sang Waktu menunjukkan kepadamu bahwa hal itu ada didepan matamu. -Sisterhood-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Friday, 11 August 2017

Pagi menjelang siang, matahari menyinarkan cahayanya tepat ke wajah Luna.

Membuat gadis berumur 16 tahun itu terbangun akan panasnya.

Ia lalu memandang sekeliling, baju nya kotor oleh pasir, namun ia langsung sadar akan sesuatu.

Tak ada siapapun di dekatnya. Kemana Sofi yang malam tadi tertidur di pangkuannya? Kemana juga Panji yang semalam di sampingnya? Mereka hilang. Meninggalkan Luna dengan burung camar dan matahari yang kian meninggi.

Ia langsung mengecek jam tangannya. Jam setengah sebelas. Luna bangkit, mengibaskan celana nya yang terkena pasir. Ia melongo sendirian, bingung harus kemana. Sebelum tiba-tiba sebuah suara muncul dari belakang.

"Kak! Tangkepin kelinci nya!"

Luna menghela nafas lega. Ia memandang tajam Sofi. "Kamu kemana? Kakak bingung tadi kok kamu hilang tiba-tiba."

Sofi lalu berhenti dari aktivitas mengejar kelincinya. Ia menggaruk-garuk kening tanda kebingungan.

"Hayo! Jujur kamu kemana? Panji juga kemana?"

"A—aku tadi laper, cari buah, iya cari buah. Kalo Kak Panji mah udah gak ada dari aku bangun."

Luna lalu tak ingin menunggu lama, ia langsung menelpon nomor Panji. Walau saat sebelum mengintai, Panji tak bilang dia akan membawa ponsel, tapi Luna tahu bahwa benda itu adalah benda wajib yang harus ada di dekat Panji.

"Yah gak ada sinyal..."

"Ngapain kak?"

"Telfon Panji."

Sofi menepuk dahinya. "Kecapean ya? Kakakku sayangggg udah tau kita di pantai, deket hutan, mana ada sinyal? Rumah aja jarang."

"Oh iya. Terus gimana?"

"Ikutin jejak kaki, liat deh, aku kan jalannya ke hutan tepat belakang kita, sementara itu ada jejak kaki lain yang mengarah ke sisi kiri pantai, hutan juga sih, tapi bukan punya aku." Sofi menunjukkan jejak-jejak di pasir. Luna tak menyangka adiknya bisa berpikir se-kritis itu.

"Pinter juga kamu..."

"Sofi gitu loh...ya udah ayo." Sofi langsung menarik lengan Sang Kakak. Hanya dengan rambut yang digerai, black short pants dan Navy Hoodie Crop dilengkapi sneakers full white, ia mengikuti langkah Sang Adik.

Mereka terus mengitari bagian hutan yang mereka ketahui, tak jarang malah berputar-putar di tempat yang sama. Luna mulai merasa lelah dan malas untuk melanjutkan perncarian Panji. Gimana enggak, ya kali Rascal udah hilang ini Panji ikut-ikutan segala.

"Sofiiiiii capek woy, udah sore nih. Kapan sih nemu nya?"

"Gak tau nih. Mau balik ke villa? Siapa tau dia ada disana."

"Bukannya kamu takut ya?"

"Enggak kok, kan ada kakak!" Dengan mesranya Sofi langsung memeluk Luna. Sementara Luna masih heran dengan tingkah baru adiknya.

Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke villa mereka. Memang agak jauh jaraknya dengan jarak mereka sekarang. Namun, entah kenapa rasa was-was masih menghantui Luna meskipun hari sudah senja.

Mereka sampai di depan villa. Luna kemudian mengetuk pintu depan villa. Tak ada jawaban.

"Panji gak kesini kali."

Lalu mereka merenung. Sebelum sebuah suara dari belakang membuyarkan renungan mereka berdua.

"Ah!"

"Suara, Sof! Ke belakang!" Luna langsung menarik lengan Sofi tanpa basa-basi. Sofi bagai kerbau dicocok hidung, mengikut saja dengan keputusan kakaknya.

"Panji!"

Sontak laki-laki yang membelakangi mereka langsung menoleh. Ia masih memegangi pergelangan tangannya yang sedikit berdarah.

"Lo kenapa? Eh lo ngapain kesini? Itu kenapa?"

Luna langsung menghujam Panji dengan banyak pertanyaan sekaligus.

"Ini tadi kena duri bunga mawar."

"Kak Panji ngapain kesini?" kali ini, Sofi yang gentian bertanya.

"G..gak ngapa-ngapain. Cuma mau ini, nyari petunjuk. Itu."

Luna masih menaruh curiga dengan Panji.

"Ambilin tissue dong! Lo ada yang bawa gak?"

"Aku bawa."

"Sini Kakak aja." Luna langsung mengambil dua lembar tissue yang ada di tangan Sofi.

Ia lalu berjalan mendekati Panji. Melipat tissue tersebut menjadi persegi, kebetulan ada keran air di dekat mereka. Ia membasahi tissue itu sedikit lalu mengelap luka di pergelangan tangan Panji.

Panji bukan malah sibuk melihat lukanya, namun ia malah merasakan ada sesuatu yang masuk begitu saja ke hatinya. Tanpa Luna sadari, Panji memperhatikan setiap inci wajah Luna, lalu tersenyum. Luna itu adalah hadiah spesial untuknya, untuk Rascal, dan untuk Sofi.

"Nih, udah. Harusnya sih pake kapas sama plaster, tapi kita gak ada yang punya, jadi—"

Tatapan mereka bertemu. Bola mata Luna secara tidak sengaja menangkap wajah Panji yang tersenyum-senyum kearahnya. Pupil mata mereka bagai bersangkutan. Sorot heran yang dilemparkan Luna terbalas oleh sorot kagum—atau apapun itu yang berasal dari mata Panji. Namun, rasanya detak jantung mereka berdegup sangat kencang. Adrenalin terbentuk. Rasa sayang perlahan masuk kedalam jiwa Panji. Ia ingin memiliki seorang Luna, tapi apakah mungkin?

"Ehm..udah selesai?"

Luna lalu tersadar, begitu juga Panji.

"Eh—Oh ini udah sih. Eh lo pegang ini, tutupin luka lo pake ini, tahan pake tangan." Luna langsung memberikan satu lagi tissue yang masih kering dan tadi dibentuknya persegi.

Panji hanya mengangguk.

"Abis ini, kita kemana lagi? Masa udah mau malem lagi tapi kita masih disini." Luna kembali mencairkan suasana.

"Boneka nya mana, Lun?"

"Hah?"

Luna baru sadar bahwa boneka teddy itu dari tadi sudah tak berada di tangannya.

"Duh gimana dong? Gue lupa itu boneka dimana."

"Jangan-jangan di rumah Tante Nita, waktu lo berdiri, boneka itu jatuh. Dan waktu kita pergi, bonekanya gak kebawa." Panji mencoba mengingat-ingat.

Sofi menjentikkan jari. "Balik lagi."

Gadis berumur 16 tahun disebelahnya langsung terbelalak kaget. Lalu memasang tampang ogah.

"Ayolah, Kak."

Luna menggeleng. Panji lalu menggenggam erat lengan Luna. "Adek lo bener. Kita harus balik lagi. Ada gue sama dia ini."

Lalu Panji menariknya diikuti Sofi yang mendorong Luna dari arah belakang. Bukan Luna yang berat, tapi keinginannya berat untuk diubah. Jadi ia terseret-seret oleh keduanya.

Tak butuh waktu lama, mereka langsung sampai disana. Di depan rumah Tante Nita. Bulu tangan Luna meremang. Entah kenapa kini nyalinya ciut.

"Balik aja yuk, kemana gitu..." Ia memohon kepada adiknya dan Panji.

"Itu petunjuk satu-satunya. Lo mau Rascal ketemu atau enggak?"

Begitu mendengar nama Rascal, ada semangat tersendiri yang mulai memanas di dalam diri Luna. Ia mengangguk mantap. Sementara Panji menghembuskan nafas khawatir.

"Oke, gue cari di sekitar halaman depan, Sofi cari di halaman belakang, dan lo, Lun, cari disamping. Terutama daerah waktu kita mengintai tuh tante-tante."

Luna dan Sofi mengangguk dan langsung berpencar.

***

18.00

"Mana sih kok gak ketemu..."

Luna sesekali menengok jam ditangannya. Hari sudah mulai gelap, namun ia tak menemukan boneka yang dicari. Sementara suara Sofi dan Panji juga mulai tak terdengar. Ia punya firasat bahwa dua orang itu meninggalkannya. Maka dari itu, karena takut dan sedari tadi Luna bergetar ngeri, ia memutuskan kembali ke halaman depan tempat mereka tadi berkumpul.

"Gue gak ne—"

Kosong. Tidak ada siapapun disana. Hanya angin sepoi-sepoi dingin disana. Luna merinding, sendirian.

"Panji! Lo dimana? Jangan nakutin gue dong!"

Nihil. Tak ada jawaban. Hanya suara jangkrik pertanda malam sudah mau menunjukkan kengeriannya dan rembulan sedikit lagi menampakkan dirinya.

"Sofi? Sofi kamu masih dibelakang?! SOFIA!"

Juga tak terdengar jawaban. Ia benar-benar ditinggalkan sendirian. Luna hanya memutarbalikkan tubuhnya, begitu terus. Ia tak tahu harus kemana lagi mencari keduanya. Mau tidak mau, ia harus siap menerima keputusan terburuk di dekatnya. Yaitu, ada Tante Nita yang muncul secara tiba-tiba.

BRUK!

"Aduh anjir..." Luna mengusap-usap dahinya, ia menabrak sesuatu. Lalu kepalanya mengadah keatas. Dan ia menemukan seseorang yang selama ini ia khawatirkan.

"Halo."

Kembali, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia ingin bangun tapi tak bisa. Pupil matanya membesar, tanda ia ketakutan. Seorang laki-laki bertubuh tegap yang lebih tinggi darinya sekarang berada di hadapannya. Di depan matanya. Namun dengan sorot mata berbeda. Dingin, kulit pucat, diam, tapi menakutkan, terlihat dari senyumnya yang aneh.

Namun akhirnya Luna berhasil berdiri. Ia menepuk-nepukkan tangannya dan celananya agar kotoran dari tanah yang tadi menempel hilang. Ia mencoba membuat tubuhnya serileks mungkin agar tidak terlihat panik, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Luna mundur beberapa langkah.

"Lo—ayo pulang."

"Pulang? Ini rumah saya." Laki-laki itu langsung berputar mengelilingi tubuh Luna sambil merentangkan tangannya. Tangan yang muncul dari balik jubah hitam yang dikenakannya. Kemeja putih, dan dasi kupu-kupu berwarna merah. Ada gigi taring yang sedikit terlihat saat ia berbicara. Luna semakin takut. Apalagi dengan cara bicaranya, yang sudah terlihat seperti bukan orang yang dia kenal dekat.

"G—gak! Lo gila ya? Rumah lo tuh disebrang rumah gue. Pulang ya? Ya?"

Luna masih mencoba memohon, ia tak tahu apakah sahabatnya ini masih sadar atau tidak. Tiba-tiba semua pikiran khawatir mengenai Sofi dan Panji yang hilang begitu saja tadi sudah samar. Tergantikan ketakutan yang ia alami sekarang. Yaitu bertemu dengan orang yang ia khawatirkan sekaligus ia rindukan selama ini.

"Saya bahkan tidak kenal siapa kamu. Tapi kamu sudah berani memasukin pekarangan rumah saya."

Luna terhenyak mendengarnya. Lalu terkekeh.

"Gak kenal? LO BILANG GAK KENAL?! Bener-bener lo ya."

Laki-laki dihadapannya hanya memasang tampang datar.

"Rascal, denger ya, gue sama lo itu sahabat dari kecil! Bahkan lebih lama gue kenal lo daripada Sofi atau Panji. Lo masih bisa bilang gak kenal? Tante Nita ngeracunin lo pake apaan sih? Heran gue." Luna yang awalnya membara menjadi bingung dengan ucapannya. Ia lupa bahwa pemilik pekarangan rumah dan rumah itu adalah Tante Nita. Ia takut kalau si empunya rumah keluar karena mendengar ucapannya barusan.

"Dia pendamping saya! Jangan sembarangan kamu."

Sumpah, ini kapan berakhirnya sih? Capek aing teh. Pengen pulang, bobok cantik, sama bantal guling dan selimut.

Luna melihat Rascal yang menggoyangkan tangannya, dan ditangan itu ia menggenggam sebuah liontin merah. Liontin itu, Luna tahu liontin itu.

"Gue harus cari cara buat ambil itu dan hancurin itu di depan dia." Gumamnya pelan, sangat pelan.

Luna lalu pura-pura memasang tampang menantang. "Oh ya? Pendamping? Berarti dia juga yang ngasih lo kalung itu?" Luna langsung menunjuk apa yang sedang digenggamnya. Laki-laki itu menatap liontin miliknya lalu mengangguk.

"Boleh gue liat? Sehebat apa sih itu?"

"Tidak! Kamu pikir saya semudah itu ditipu?"

Hentakan ucapan dari Rascal membuat gadis didepannya terkaget-kaget. Luna menepuk dahinya. Iya juga, Rascal kan gak sebodoh itu.

"Tante Nita!" Luna menunjuk ke belakang Rascal.

SET!

Dengan secepat kilat, saat Rascal menoleh ke belakangnya, Luna mengambil alih liontin itu. Tangannya terlalu cepat dan cekatan. Laki-laki dihadapannya mengerang, dan Luna bersiap lari darinya. Tanpa arah dan tujuan, tapi yang kini terlintas di benak Luna hanya satu, pantai, laut. Setidaknya, Luna bisa berenang walaupun ia tak tahu di laut lepas sana ada apa, tapi ia yakin, Rascal tak akan ikut dengannya menyeburkan diri ke laut. Barulah setelah ia rasa aman, ia naik kepermukaan dan kembali ke pantai.

Dan Luna memulai aksinya. Ia tidak menggenggam liontin itu, melainkan mengenakannya di leher.

"Berhenti disana!"

Rascal—yang sudah seperti bukan Rascal—terus mengejarnya.

"Gila ih, ini hutan mana ujungnya sih? Rasaan tadi gue juga lewat sini cepet deh." Luna mengumpat namun suaranya dapat terdengar. Ia memang tadi sempat ingat menandai hutan tempatnya dan Sofi menuju villa dengan batu, tapi batu nya seperti sudah diputar-putar oleh seseorang.

Tak terasa, hari juga makin gelap, Luna makin tak tahu arah, tidak bawa senter, handphone nya mati habis baterai, selesai sudah penderitaan Luna. Perutnya juga mulai protes, dan ia baru sadar bahwa dari tadi, dari kemarin malah, perutnya belum juga kemasukkan sedikitpun makanan. Apalagi orang yang dibelakangnya seperti tidak memberikan jeda waktu untuknya mencari buah di hutan.

Tapi Luna tetap tak memperdulikan itu semua, yang ia tahu sekarang hanya berlari, berlari, dan berlari.

DUK!

Ia kembali merasa menabrak sesuatu. Seseorang. Atau jangan-jangan....

Luna mengadahkan kepalanya, suara Rascal masih terdengar, namun ada yang lain lagi di hadapannya, ia mencoba menajamkan penglihatannya. Jubah, sama seperti laki-laki tadi, namun rambutnya panjang terurai...

Luna tak bisa mendefinisikan lebih jelas lagi, ia hanya mundur beberapa langkah, merasakan semua yang dihadapannya berputar-putar seperti...entahlah. Ia benar-benar merasakan sakit kepala yang hebat, keringat dingin dan disertai dinginnya udara malam membuat tubuhnya merasa makin tidak enak, mual.

BRUK!

Hingga akhirnya Luna tumbang juga.

Hal yang dapat ia dengar terakhir kali adalah suara panik orang didepannya, disusul oleh suara Rascal, namun tak terdengar begitu jelas.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

Segini ya, ini udah dicoba buat sekaligus up 2 part nih, hehe, walau ceritanya masih satu judul chapter:v

 To appreciate my story, please give this story likes and comments:)

Dank~~~

JAKARTA, 21 MEI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro