13 - BENANG YANG PUTUS (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Walaupun bibir bisa berbohong, namun sorot matanya tidak akan pernah bisa berbohong. -RASCAL-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Gadis itu mengerjap-ngerjap perlahan. Ia merasa suasana disekitarnya dingin, gelap. Lalu ia sadar dan segera bangkit dari posisi tidurnya. Luna berada diatas sebuah tempat tidur, dengan banyak lilin yang dibuat melingkar diatas meja kecil disamping tempat tidur. Terdapat sebuah apel ditengahnya.

"Gila! Gue mau dijadiin sesajen atau apaan sih ini?"

Luna mengucek-ucek matanya, memastikan apa yang ia lihat benar. Kegelapan, dan hanya sedikit cahaya-cahaya kecil disampingnya. Tiba-tiba, perutnya berbunyi, menandakan bahwa cacing-cacing disana sudah berdemo untuk meminta makanan. Ia lalu melirik ke sebelah kanannya. Sebenarnya Luna sendiri baru sadar kalau disana ada sebuah apel.

"Makan gak ya...laper banget."

Luna masih menimbang-nimbang, antara takut dan lapar.

"Kalo gue makan, nanti gue mati suri kayak Snow White gimana? Gak bakal ada pangeran ganteng yang mau nyium gue juga, entar jadinya gue mati beneran, bukan mati suri. Kan gue gak tau ada apa aja di dalem apel itu, entar ada ulet, atau racun, atau sianida? Atau—"

Luna melirik sesekali, walaupun Luna tipe orang yang jarang makan buah dan tidak terlalu suka mengonsumsi buah, tapi untuk kondisi seperti ini dengan keadaan perut keroncongan siapa yang bisa menolak? Sepertinya tidak ada.

"Makan!"

Tangannya meraih hati-hati apel itu, agar tidak terkena api dari lilin. Setelah dapat, tanpa pikir panjang, Luna langsung melahap apel tersebut. Tak butuh waktu lama, apel itu sudah ludes dimakannya.

"Lumayan sih ganjel."

Matanya langsung mengedar pandang.

Gue dimana nih? Gelap banget ih.

Luna perlahan menurunkan satu persatu kakinya hingga benar-benar memijak lantai yang dingin. Cahaya rembulan masuk ikut menerangi langkahnya. Dengan cepat dan gemetar, tangan Luna mengambil satu lilin diantara kelima lilin diatas meja kecil tadi.

Ia menerangi satu persatu benda didekatnya, lama-kelamaan Luna tahu bahwa tempat yang ia singgahi adalah sebuah kamar tidur.

"Kalo ada kamar tidur, pasti ada pintu buat keluar." Gumamnya pelan.

Luna meraba-raba dinding kamar dengan satu tangannya.

"Ini dia!"

Ia langsung mencari letak knop pintu dan memutarnya. Lalu terbuka!

Pelan namun pasti, kakinya gemetar namun ia paksakan untuk berjalan. Sesekali memegangi perutnya yang sebenarnya masih terasa lapar.

DUK!

"Nabrak lagi kan gue. Haduh haduh." Luna menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu mencoba menerangi sesuatu yang ia tabrak dengan lilin.

Hitam...putih...jubah...gigi taring.

Tanpa aba-aba, begitu melihat senyum ber-lipstick merah dengan noda darah disekitar mulutnya dan gigi taring yang terlihat, Luna langsung bersiap lari.

Namun langkahnya terhenti begitu 'sesuatu' yang tadi ia tabrak menahan kedua bahunya.

"Santai aja..." Kata wanita itu sambil mengambil lilin di tangan Luna dan meletakkannya entah dimana. Ia kemudian mencengkram kedua bahu Luna.

Luna mencoba melepaskan kedua cengkraman itu, namun tidak bisa. Sebelum kemudian, sesuatu itu menariknya menuju suatu ruangan.

"Tan—te...Nita!"

Orang yang dimaksud langsung menoleh. Suaranya ia buat mendayu.

"Iya? Kenapa sayang?"

Luna malah menjulurkan lidah secara diam-diam dibelakang orang yang ternyata adalah Tante Nita.

"Lo mau bawa gue kemana sih?"

Ia masih berusaha melepaskan tangan dingin itu dari salah satu anggota tubuhnya. Namun orang yang dimaksud diam tak bergeming. Ia terus saja menarik paksa Luna. Tiba-tiba langkahnya berhenti. Tangan wanita itu terlihat meraba-raba dinding disamping mereka, lalu menekan sebuah saklar lampu ruangan itu.

Cahaya langsung menerangi satu ruangan, mata Luna berusaha membiasakan diri dan menyapu bersih seluruh ruangan dengan mengedar pandang. Dan ditengah-tengah ruangan, sebuah pemandangan mengerikan terpapar begitu nyata dihadapannya. Seorang laki-laki dan perempuan yang usianya terpaut lebih muda dari Luna terduduk lemas bersimbah darah.

Mata Luna langsung melotot kaget, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bibirnya membisu, diam seribu bahasa. Bagai ada sebuah paku yang menancap di kedua bagian bibir itu, membuatnya terkunci sampai tak bisa berkata-kata. Hanya ekspresi wajah yang mampu ia perlihatkan saat ini.

"Liontin nya." Tante Nita menadahkan tangan ke wajah Luna yang masih kaget.

Bola matanya perlahan bergerak, ditepisnya tangan Tante Nita dari wajahnya, dengan penuh amarah.

"Gue gak akan pernah kasih liontin merah ke Tante, ataupun—"

"Ataupun siapa?"

Sebuah suara berat muncul dari balik tubuh Luna. Ia refleks menoleh dan lebih syok lagi ketika mendapati siapa yang tadi biacara.

"Rascal...Rascal....Membiarkan kamu bekerja sendiri ternyata malah mengakibatkan kecerobohan. Membuat susah." Ujar wanita tadi sambil menggandeng lengan sahabat terbaik Luna.

"Oh, jadi lo yang udah bikin Sofi sama Panji kayak gitu?" Luna menunjuk dua tubuh manusia tak berdaya diatas kursi. Sementara orang yang dia tanyakan hanya mengangguk.

"Gila lo emang, Panji sahabat lo! Inget kek. Dan Sofi itu saudara kandung gue, adik gue! Biarpun—iya gue akuin gue sayang sama lo, tapi gue lebih sayang sama dia!"

"Cinta itu ibarat hati dengan sayapnya, bisa terbang setinggi apapun, namun jika hati sudah retak, sayap pun akan ikut jatuh dan menghancurkan segalanya."

Lalu wajah datarnnya berubah emosional. Ternyata apa yang udah Luna lakukan berbuah manis. Secara tidak sengaja mungkin, suasana menjadi hening. Luna langsung menutup mulutnya menggunakan tiga jarinya.

Bodoh, gue salah ngomong lagi.

"Sayang? Serius?" Nada bicara Rascal tiba-tiba berubah drastis.

"Hah? Itu lo—"

"Maksud dia, kamu benar sayang sama dia? Kan yang kita incar sekarang adalah orang yang ada rasa cinta atu patah hati di dalam dirinya." Tante Nita menjeda ucapan Luna.

Luna menggeleng cepat, ia langsung mengambil liontin merah milik Tante Nita dari lehernya yang ternyata tertutup jaket sedari tadi. Setelahnya ia jatuhkan liontin itu.

"Kamu mau apa?!" Ekspresi Tante Nita berubah garang, Luna takut sih iya, tapi ini mewajibkannya melakukan hal yang sudah sedari tadi melintas di otaknya.

*KRAK*KRAK*

Yap, menghancurkan liontin itu dengan menginjaknya. Ternyata, sneakers yang ia gunakan cukup berat dan liontin merah itu cukup rapuh. Dengan dua kali injakan keras, langsung hancur berkeping-keping.

"Sekarang, lo gak bisa ngapa-ngapain kan? Haha."

Luna merasa menang. Diatas angin. Namun reaksi lain malah muncul dari Tante Nita dan Rascal. Mereka terkekeh geli sekali. Gadis belia itu malah jadi heran dengan tingkah dua orang yang kini berada didepannya.

"Kata siapa? Sebenarnya liontin itu gak ada artinya sama sekali, Luna sayang. Lebih bagus kalo kamu sama kita aja disini, kita kenyang, kamu hidup tenang setelah mati." Kembali teka-teki di kalimat terakhir muncul dari mulut Tante Nita.

Hidup tenang setelah mati? Masa iya gue jadi zombie gitu kan gak lucu.

"Tenang di alam sana." Rascal menimpali. Luna hanya bisa geleng-geleng kepala. Oh kirain.

Kini Luna merasa sudah asing dengan sahabatnya sendiri. Seperti ada jiwa lain yang masuk kedalam tubuh Rascal. Keringat dingin bercucuran di dahinya. Dua orang itu mulai melangkah mendekat, dan semakin dekat.

Luna menoleh kearah jam dinding, berharap pagi cepat datang agar dua orang ini terbakar dan musnah. Namun sayangnya, jarum jam masih menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

Mau tidak mau, harus mau. Luna melangkah mundur, begitu dua orang itu sudah beberapa jengkal jaraknya dari Luna, ia berbalik dan langsung lari.

"LUNA!"

Ia menghiraukan suara seorang wanita dibelakangnya, karena jika Luna merespons, ia bisa saja mati konyol.

"Kalo ini rumah Tante Nita, atau villa nya Rascal, pasti pintu keluarnya di—"

BRAK!

Dan Luna berhasil mendobrak pintu di rumah itu. Ia berlari keluar, kearah hutan, dan harus segera mencari pantai. Masa bodoh dengan batu-batu petunjuk jalannya tadi, tak ada yang benar.

Meskipun kakinya sudah mulai luka-luka kena akar tanaman merambat di dalam hutan, tapi hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk selamat. Lebih baik mati jatuh ke jurang daripada mati di tangan mitos. Itu yang daritadi ia tanamkan di kepala.

Sudah sekitar dua puluh menit ia berlari. Lama-lama kakinya terasa sakit, tapi didepan, sudah terdengar deburan ombak. Namun di belakang, masih terdengar suara kedua orang yang sibuk memanggil namanya dengan marah.

Ia berhasil mencapai pantai. Suara kedua orang itu juga mulai hilang, perlahan, mereda...

Namun ada hal lain yang mengagetkannya.

Banyak lilin diatas pasir. Lilin?!

Dan ditengahnya, ada sebuah boneka teddy bear kecil.

Luna berteriak antusias. Benda yang ia cari-cari, benda yang sangat penting bagi sahabatnya, ada di depan matanya. "Itu kan punya Rascal!"

"Punya siapa?"

Terdengar sebuah suara berat dari balik tubuhnya. Lagi-lagi Luna menoleh kaget karena ia juga merasakan hembusan nafas seseorang tepat di tengkuknya. Begitu ia berbalik, di hadapannya, berdiri seorang Rascal—yang sudah bukan seperti Rascal sahabatnya—menyeringai dengan kedua tangan di dalam jubah hitamnya.

Luna langsung berlari, melompati formasi lilin-lilin itu dan mengambil boneka teddy bear milik Rascal.

"Kalo lo berani macem-macem, gue bakal buang ini ke laut!"

Orang itu malah tertawa keras. "Kenapa? Kenapa harus dibuang?"

"Lagian...liontin merah itu udah gue hancurin, kenapa lo gak balik juga? Kenapa lo gak jadi Rascal yang gue kenal? Gue capek anjir sumpah...gue kangen lo yang dulu." Luna terduduk diatas butiran-butiran halus itu, ditengah-tengah lilin yang mengelilinginya tanpa—sengaja. Ia menunduk lesu, dan hanya bisa memperhatikan boneka yang sekarang berada di tangannya. Juga jam tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit.

"Kangen?"

Luna mengangguk lesu, seperti anak kecil yang habis menangis.

"Liontin itu sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa bagi kami." Suara wanita yang ia benci sedari tadi muncul kembali.

Namun Rascal ikut menimpali. "Ya. Tidak berpengaruh."

"Jadi lo berdua cuma bikin liontin itu pengecoh gue dan temen-temen Gue yang udah pada mati tadi? Gila lo ya emang. Setelah ini, lo juga mau bunuh gue?" Luna berteriak kepada dua orang yang ada beberapa meter jaraknya dengan dirinya sekarang. Ia bangkit lagi dan sudah bersiap membuang boneka itu jauh-jauh ke laut.

"Tidak."

Luna terheran-heran dengan jawaban dari Rascal.

"Maksud lo?"

Rascal maju beberapa langkah kearah Luna. Sementara gadis itu hanya diam di tempat. Ia sudah tak tahu lagi harus apa. Pikirannya buntu, tak bisa lagi melakukan apapun.

"Lo gak usah deket-deket. Ini ada lilin, ada api. Gak liat? Nanti kebakar!"

Laki-laki yang sekarang sudah dekat dengannya—hanya terpisah lilin-lilin kecil itu—tertawa pelan.

"Masih perduli kalo Rascal yang kamu sayang ini terbakar?" Rascal mengamati Luna dengan seksama. Memperhatikan sorot matanya.

Walaupun bibir bisa berbohong.

Luna mulai gugup. "B—bukan gitu."

Sorot matanya tak akan pernah bisa berbohong.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

Ready for the next chapter?

Yes, i'm sooooo ready!!! 

Dank~~

JAKARTA, 23 MEI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro