15 - DITEMBAK ?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalo ada orang yang lo suka, lo harus jaga perasaannya dong! -Aluna Z.A.-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

2 Days later ...

"Ma, gak usah. Aku kan gak suka pesta-pesta topeng kayak gitu. Boros ah."

Dara yang kini berusia 17 tahun itu merajuk kepada sang bunda agar ulang tahun nya tak perlu dibesar-besarkan.

Ia sudah terlalu bangga karena kemarin berhari-hari Rascal membuat kejutan yang benar-benar spesial.

"Pokoknya, mama mau buatin kamu pesta. Kebetulan kan papa dapet bonus dari kantornya, jadi bisa dipake untuk kamu."

"Tapi kan ma..."

"Shut up! Mom have a nice plan for you. Lagian, undangan udah keburu disebar kan tadi di sekolah sama aku, Rascal, Panji? Masa mau dibatalin gitu aja." Sela Sofi. Sang adik memang paling bisa membuat suara kakaknya kalah banyak dengan mama mereka.

"Argh."

Lalu ia kembali naik ke kamarnya.

Pagi-pagi bikin mood ancur aja sih.

Karena diserang rasa bosan, Luna memutuskan untuk menulis sesuatu di diary nya. Sekedar untuk meluapkan emosi nya dengan hal lain.

Isinya :

Dear, you.

Someone can make 'nothing' be 'something' in my life.

Aku akan tetap sabar menanti. Menanti hal bodoh yang bahkan pastinya saja aku tak tahu. Mungkin sebuah keberhasilan, atau malah kegagalan.

Namun aku berharap,

Aku percaya,

Bahwa kelak kau akan menyadari seruan tiap-tiap sudut hatiku ketika bersamamu.

Menyadari setiap getaran yang selalu muncul ketika kau ada di sisiku.

Dan, menyadari betapa takutnya aku kehilangan senyum yang biasa menyinari setiap waktuku.

To : You.

Dari windowseat nya, ia melihat seseorang menghampiri rumahnya di kejauhan. Iya, jauh di mata, namun dekat di hati.

"Rascal ngapain kesini?"

Ia lalu berfikir sejenak.

"Turun, enggak, turun, enggak, turun."

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memutuskan untuk turun.

Perempuan itu segera menutup diary putih yang bertuliskan Secrets miliknya dan turun kebawah untuk menemui Rascal.

"Maa...Rascal ngapain kes—"

"Eh hai, Lun."

Baru saja turun dari tangga, di depan matanya sudah ada cowok itu, melemparkan senyum termanisnya, senyum yang membuat siapapun tergoyah hati saat melihat nya.

"Lo ngapain kesini?"

"Lah, emang gak boleh gue main?"

Mama langsung angkat bicara.

"Luna, ini ada sahabatnya kok malah gitu nanyanya. Kalian juga biasa main bareng kan?"

Dan Sofi pun ikut campur.

"Tau nih kakak, orang mah seneng gitu disamperin. Ini malah jutek."

Sepertinya, Luna mulai bete.

"Yaudah sih elah, cuma nanya kayak gitu doang kok. Cal, basecamp!" ucap Luna dan langsung berlaei menuju halaman belakang. Diikuti Rascal dibelakangnya.

"Bye tante!"

***

"Gue selalu suka deh disini. Adem aja gitu bawaannya." Luna membuka percakapan. Dengan crop tee putih polos dan short overall dress hitam, ia duduk bersandar di salah satu sisi dalam rumah pohon.

"Sama."

Datar banget. Iya, datar.

"Cal, gue pengen nanya deh."

"Apa?"

"Lo kok friendly banget sih ke semua orang?"

"Am I wrong?"

"Enggak sih, tapi apa lo gak punya orang yang lo suka gitu? Kalo ada, lo harus jaga perasaannya dong."

Rascal terlihat berpikir sejenak.

"Enggak."

Ada, Lun.

Luna langsung merubah ekspresi wajahnya.

"Lo sendiri ada gak, Lun?"

Luna hanya mengangkat kedua bahunya sambil memanyunkan bibirnya.

"Kenapa?" Rascal kembali bertanya.

"Gue sendiri bingung kenapa. Gue itu dibilang suka iya, biasa aja juga iya." Ujar Luna dan langsung memalingkan wajah. Sebelum tiba-tiba Rascal kembali angkat bicara.

"Eh, gue lagi jatuh cinta deh."

Luna kebingungan.

"Siapa?"

"Ada. Dia itu selalu ada setiap hari sama gue. Selalu nemenin gue setiap saat. Selalu ada buat gue. Dari gue kecil sampe sekarang."

Rascal langsung duduk di hadapan Luna. Tersenyum.

Nah, ia tahu ini bukan saat yang tepat. Lagipula, Rascal tak ingin persahabatan yang dijalin belasan tahun hancur hanya gara-gara satu cinta.

"Siapa dia?" ucap Luna penuh harap.

"Dia selalu nemenin gue tidur."

Kalimat itu membuat Luna sedikit tersentak.

"Dia itu baby bear gue yang waktu itu robek cuma untuk surprise-in lo, untung udah dijait lagi. Jangan mikir kemana-mana deh."

Luna mendengus kesal.

Aduh.

"Astaga serius iiiiih!" Kata Luna sambil memegang kedua tangan Rascal.

"Hmm...ada gak yaaaa." Senyum-senyum usil ia lemparkan. Rascal sengaja membuat Luna penasaran.

"Emang kenapaaaaa?" Rascal makin mendekatkan wajahnya ke wajah Luna. Nafas mereka bertemu. Kedua manik mata itu bertatapan. Menyisakan separuh sakit hati, namun separuh kebahagiaan.

Luna menikmati saat-saat itu.

Dan ia segera tersadar dari lamunannya.

Sambil melepas genggaman tangannya, "Eh, enggak maaf, ya gue nanya aja." Ia lalu bangkit dan bersandar di tepi depan rumah pohon.

"Kalo gue suka sama seseorang kenapa? Kalo enggak kenapa?"

Dan kali ini, Rascal juga ikut berdiri lalu bersandar di tepi sebaliknya.

"Kalo lo lagi gak suka sama seseorang, ya no problem. Kalo lo lagi suka sama orang—."

Omongannya terputus. Ia tak sanggup melanjutkannya, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, namun di sisi lain ia juga tidak mau membuat sahabatnya merasa terkekang olehnya.

"Hujan."

"Hah?"

"Cal, hujan! Kita balik ke rumah! Ayo."

Luna yang menyadari ada rintik-rintik air menerpa tangannya langsung berinisiatif membuat kata ganti 'hujan'.

"Eh tapi..."

"Gak usah kebanyakan tapi-tapi! Ayo turun." Luna langsung menarik tangan Rascal untuk turun kebawah.

Begitu sampai dibawah, Luna sama sekali tak melepas genggaman tangannya.

"Kenapa kita gak main ujan dulu?"

"No, nanti sakit. Ayo ih!" Balas Luna yang kesulitan untuk menarik tangan Rascal dikarenakan cowok itu menahan ditengah-tengah taman kecil halaman belakang. Bibirnya membiru. Bergetar menahan dingin. Kulitnya mulai pucat.

Melihat hal itu, Rascal memanggilnya untuk mendekat. "Tunggu."

Rascal langsung melepas bomber jaketnya. Membiarkan kaus putih dan tubuhnya kebasahan begitu saja. Lalu melindungi Luna agar tak terkena lebih banyak air hujan.

"Biar lo gak basah kuyup."

"Tapi nanti lo yang sakit."

"Gue cowok kali."

Dingin.

Tapi mereka berdua merasa hangat.

Dan kehangatan itu berasal dari benih rasa yang tumbuh di hati masing-masing.

"Lo itu gak lebih dari sahabat. Tapi kenapa gue rasa ada hal lain yang tiba-tiba aja menerobos masuk ke hati gue ya?"

"Maksudnya?"

"B—bukan apa-apa. Yaudah ayo masuk." Rascal segera merangkul Luna ke dalam rumah.

***

Rascal seperti bayi yang habis mandi hujan. Ia hanya menggunakan kaus polos biru dengan boxer merah milik Papa Luna. Diselimuti dengan selimut putih berbulu milik Luna. Akibat dari perbuatannya tadi.

"Gue udah bilang ke lo, jadi anak tuh gak usah sok kuat! Belagu banget." Luna menempelkan handuk—yang sudah dibasahi air hangat—ke dahi Rascal yang terbaring di sofa ruang tamu. Rascal mengaku pusing setelah terkena air hujan tadi. Tapi anehnya, saat Luna menyentuh dahi ataupun leher Rascal, tak ada sedikitpun hawa hangat atau panas yang bisa menandakan seseorang itu sakit.

"Hehe. Maafin gue. Tapi percaya deh, Luna selalu benar dan Rascal selalu kuat." Ucap Rascal bangkit terduduk di sofa. Sontak hal itu mengagetkan Luna yang duduk di sampingnya.

"Kuat-kuat nenek lo pawang! Kalo sakit tuh diem, curut!" Luna berseru ketika Rascal kembali terbaring.

"Selo si marmut!"

Sepintas, Luna mengerutkan alisnya. "Marmut?"

"Kan curut, tikus, marmut itu sebangsa. Hehe."

Luna memutar bola matanya. Malas mendengar penjelasan 'gak penting' dari Rascal.

Mendadak ia merasa semua hal dihadapannya berputar. Kepalanya sakit, cenat cenut gitu. Matanya juga sangat panas dan berat, tapi ia kedinginan.

Luna yang sakit disini.

Bukan Rascal.

Ia lalu bersandar di sofa, namun masih menahan berat badannya agar tak mengenai kaki Rascal.

Ditengah petir yang menggelegar, hujan deras dan menampakkan langit yang gelap, ada hati terselubung yang menyimpan sendu. Dan rindu. Dibalik kilat bercahaya, ada perasaan yang menangis. Berandai ada sebuah pelangi yang mengantarkan semua pengharapan cinta atas sesuatu yang retak.

"Ah.."

Luna mendesah pelan. Kepalanya terasa berat. Seluruh tubuhnya lemas.

Rascal yang mendengar suara Luna langsung membuka matanya. Ya, ia nyaris tertidur.

"Lun, lo pusing ya? Sini sini tidur..."

Rascal langsung bangkit dan menegur Luna. Ia lalu menyentuh dahi dan leher Luna yang menggelengkan kepala.

"Panas anjir. Gue anter ya ke kamar." Ia sudah siap memegang kedua lengan Luna untuk membantunya berdiri. Namun Luna tetap pada pendiriannya dan tidak mau dibantu.

"Gak usah. Lo istirahat aja, lo kan sakit. Ya?"

"Enggak, Lun. Lo yang sakit. Gue gak suka liat lo sakit. Lo harus sembuh." Namun cowok itu tetap bersikukuh. Karena merasa makin tidak enak badan, Luna menurut saja dengan apa yang diperintahkan Rascal.

Di kamar, Luna terbaring lemah. Rascal duduk disamping tempat tidurnya. Diselimuti dengan selimut yang tadi Rascal gunakan.

"Eh, Rascal...ini tante bawain teh hangat buat kalian berdua. Sama biskuit kalau kamu lapar."

Tiba-tiba saja, ada yang masuk ke kamar Luna. Yang tak lain adalah mamanya sendiri. Diikuti Sofi dibelakangnya, sang mama mengecek kadar panas di tubuh anaknya menggunakan thermometer.

Mama Luna adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama daerah mereka, makanya ia bisa mengobati penyakit yang menimpa anak-anaknya tanpa harus membawanya ke rumah sakit. Namun kali ini ia sedang cuti kerja untuk mempersiapkan pesta ulang tahun Luna yang akan diadakan besok malam.

"Tiga puluh sembilan derajat." Ucap beliau mengeja angka yang tertera di thermometer air raksa itu.

"Tinggi ya, Ma?"

"Tinggi banget."

Sofi lalu mendekat ke arah sebaliknya.

"Kak, cepet sembuh ya. Biar bisa hangout lagi."

Mata Luna terasa panas. Namun selainnya ia merasa kedinginan. Padahal, suhu tubuhnya sangat panas. Ia tak dapat membuka matanya. Ia terlalu lemah untuk dibilang kuat. Dan ia terlalu sakit untuk dibilang mampu.

"Yaudah tante, aku tunggu dia disini aja. Tante sama Sofi siapin segala sesuatu nya aja." Ujar Rascal menawarkan diri.

Sofi melihat kegigihan Rascal. Jujur, ia iri sekali dengan kakaknya.

Kapan gue bisa punya sahabat kayak gitu? Atau pacar?

"Kak, Kak Rascal mending biarin Kak Lun sendiri aja dulu. Kasian kan, biar istirahat. Atau aku yang gantiin kakak. Kan gak etis kalo ada cowok ke kamar cewek. Ditinggal berdua? Nanti kenapa-kenapa deh."

Melihat anaknya bercakap macam itu, sang bunda langsung memotong omongan Sofi agar anaknya tak berbicara lebih lanjut dan lebih tak sopan lagi.

"Sst! Gak boleh ngomong gitu. Rascal ini anak baik kok. Kamu sama dia jaga omongan! Dia kan udah kayak kakak kamu sendiri."

Ok. Sabar Sofi. Pelan-pelan lo pasti bisa. Kalaupun gak bisa, ya berarti emang bukan jodoh. Sofi membatin tiba-tiba. Terkadang niat merebut Rascal dari kakaknya memang begitu besar, namun terkadang pula ia merasa lebih menyayangi Sang Kakak lebih dari apapun dan siap mengalah. Labil.

"Tapi, ma..."

"Udah. Rascal kamu mau disini?"

Dengan sigap ia menjawab, "iya, tante!" sambil menyimbolkan tanda hormat.

"Ya udah disini aja gak apa-apa kok."

"Bener tante?"

"Iya..tante sama Sofi keluar dulu ya. Mau siapin beberapa hal lain."

"Iyaa tante. Makasih tan."

Lalu malaikat tanpa sayap itu keluar beserta anak keduanya.

Setelah Rascal rasa mereka berdua telah benar-benar keluar dan hanya menyisakan celah sedikit di pintu, ia mulai berbicara kepada Luna yang sedang tertidur.

"Lun...gue dibolehin jagain lo. Ehe, seneng banget gue. Adem deh kalo liat cewek lagi tidur gini."

"Lun, bangun dong. Jangan tidur mulu. Lo harus sehat ya. Biar bisa main lagi bareng gue. Kalo lo sehat, gue janji bakal liatin lo 1001 pelangi. Mungkin gak semuanya di langit, tapi ada beberapa di tempat lain."

Perlahan, Rascal menyentuh tangan Luna. Dan menggenggamnya.

Erat. Sangat erat.

"Lun, tau gak, gue gak bisa bayangin hidup gue kayak apa tanpa lo. Soalnya, setelah kenal lo, rasanya gue gak pengen lepas dari lo."

Namun diam-diam, ternyata ada seseorang dibalik pintu, mengintip lewat celah-celahnya. Ia menahan sakit hati. Entah sejak kapan rasa di dada nya terhadap cowok itu muncul begitu saja. Terhadap kakak kelasnya sendiri. Dan bahkan terhadap sahabat kakaknya sendiri. Sofi.

Melihat Rascal yang loyal menjaga Luna, seperti melihat bunga dandelion ditengah akar mawar yang mati. Sulit untuk merebutnya, namun terlalu sakit jika harus dihadapi.

Dan ia pergi, meninggalkan keduanya yang larut dalam sendu.

"Lun bangun ya. Gue gak bisa liat orang sakit gini, diem kayak mayat. Biarpun cuma panas, tapi gue takut kalo tiba-tiba malaikat dateng ditengah hujan yang deras kayak gini dan lo—" Ujarnya terputus sambil menggenggam sebelah tangannya lagi. Humor baginya, namun memang terlalu jayus untuk disebut lucu.

"Gak, gue gak boleh mikirin yang aneh-aneh." Rascal memegangi kepalanya sendiri. Seakan memaksa pikiran jahatnya berhenti menghantui beberapa menit nya.

"Yaudah intinya, gue mau jagain lo terus disini. Bahkan sampai hujan selesai, gue masih tetep mau jagain lo. Inget kan, cinta itu ibarat hati dengan sayapnya, bisa terbang setinggi apapun. Namun jika hati sudah retak, sayap pun akan ikut jatuh dan segalanya akan hancur." Kepala Rascal terkulai lemas ia nyaris saja tertidur setelah mengucapkan kata-kata itu. Ditengah dinginnya hujan, dan tiba-tiba saja Luna terbangun.

"Uhuk!"

"Lun? Lo mau minum? Gue ambilin nih."

"Gak usah."

"Ih marmut, lo batuk gitu. Nih minum!" ujar Rascal sambil menyodorkan segelas teh manis hangat. Mau tak mau, Luna terpaksa menerima minuman yang diberikan oleh sahabatnya itu.

"Makasih." Balas Luna tanpa menoleh sedikitpun ke arah Rascal.

Dengan perlahan ia menyeruput perlahan teh itu.

Rascal selalu memperhatikan setiap sudut wajahnya. Ketika ia melakukan apapun. Ia selalu jatuh cinta akan lekuk wajahnya, tubuhnya, dan hatinya.

Fix ini mah gue jatuh cinta sama dia. –Rascal.

"Udah?"

"Iya."

"Tiduran lagi gih. Lo itu sensitif banget ya, dikit-dikit sakit." Balas laki-laki itu sambil mengambil gelas di genggaman Luna dan meletakkannya ke bedside table di sampingnya.

"Tunggu, lo kok tiba-tiba jadi kayak care banget sama gue? Kesambet apaan? Kilat yang tadi lewat?"

"Lah enggak. Lo kan lagi sakit. Masa iya gue cuek gitu aja."

"Hehe, bercanda kok. Kalo gitu gue pengen tidur lagi. Ngantuk banget. Btw, bangunin gue pas hujan nya selesai ya."

Luna kembali ke posisi nya yang semula.

"Lun..."

Namun ia masih bisa menjawab. "Hm?"

"Gue punya prinsip."

"Apa?" sahutnya lemah.

"Jangan sia-siakan cinta di depan matamu. Karena jika ia hilang, musnah semua kebahagiaan di hidupmu."

"Terus?" suaranya makin pelan.

Rascal tak berani menatap mata Luna. Namun ia kembali menggenggam tangannya.

"Jadi cowok tuh gak enak ya, pas mau nembak cewek yang dia suka, harus tau diri, udah deg-deg ser mau nembak, syukur kalo diterima, kalo enggak ya nasib. Jadi, gue pengen ngomong sesuatu sama lo."

"Lun.."

"Gue itu suka banget sama seseorang."

"Udah dari lama banget."

"Gak gentle kalo gue gak bilang kan?"

"Jadi gue mau bilang kalo sebenernya..." Rascal masih mengumpulkan keberanian. Kemudian melanjutkan ucapannya.

"Gue suka sama lo. Gue pengen tingkatin rasa sahabat biasa kita, jadi sahabat hidup."

Namun tak ada reaksi apa-apa dari perempuan itu.

"Lun, gue tau lo pasti kaget...tapi jawab, lo mau atau engga?"

Masih tak ada balasan.

"Gue tau, kalo lo diem, berarti iy—a lah—"

Dan setelah Rascal berani menatap matanya, dara itu kembali terlelap.

"Jadi?" ucapnya bingung.

"Gagal is like this." Lalu kepalanya kembali terbenam ke kasur. Dan ikut tertidur disertai hawa dingin bersama Luna.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

OKEH SIAP.

Vote and comment ya, kritik dan saran sangat berguna walau hanya satu kata dua kata.

Dank~~ 

JAKARTA, 25 MEI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro