18 - SAAT ITU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinta itu bukan seberapa sering dia berkata "aku cinta kamu". Tapi seberapa besar kesungguhannya memperjuangkan hatimu. -Author-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

Pesta semalam selesai sekiranya jam setengah 10 malam. Namun entah kenapa, hari ini ia dapat bangun pagi untuk bergegas sekolah. Sepulangnya, langsunglah Luna mencari posisi ternyamannya. Melakukan aktivitas biasa. Mengisi tiap baris diary dengan tulisan-tulisan ciptaan nya.

Musik mengalun pelan lewat radio tape putih milik gadis itu. Mengiringi setiap kata yang ia tulis, setiap perasaan yang terlukis, dan setiap rasa yang terpendam.

Pertama kali aku tergugah...

Dear Diary.

Dalam setiap kata yang kau ucap...

Mungkin aku saja yang terlalu merasa pantas menerimanya. Mungkin hanya aku yang terlalu percaya hatinya untukku. Mungkin hanya aku.

Bila malam telah datang, terkadang ingin kutulis semua perasaan

Saat itu. Saat yang mengikrakan seberapa pentingnya keberadaanku di hidupnya. Begitupun sebaliknya.

Kata orang rindu itu indah...

Namun jika aku yang berharap terlalu banyak, aku takut tersakiti oleh harapanku sendiri. Namun jika aku terlalu putus asa, aku takut ia malah menjauh.

Namun bagiku ini menyiksa...

Kata orang cinta itu indah. Iya, indah bagi yang telah merasakannya.

Sejenak kupikirkan untuk ku benci saja dirimu...

Cinta itu bukan seberapa sering ia berkata "aku cinta kamu", namun seberapa besar kesungguhannya untuk memperjuangkan hatimu.

Namun,

Kini aku malah bertanya, sudahkah ia memperjuangkan hati ini?

Sulit untuk ku benci.

Aku takut diberikan sayap. Karena aku takut terbang. Akan tetapi bukan terbang yang aku takutkan, melainkan jatuh setelah diterbangkan tinggi-tinggi.

Lagu itu, sangat pas dengan suasana hatinya saat ini. Ia tahu lagu itu dari sebuah film. Film yang pernah melegenda beberapa waktu lalu. Luna tahu film itu dari televisi, dan ternyata film itu pernah diputar di bioskop saat ia masih sangat kecil. Berkisah tentang cinta masa SMA. Dan kini, film itu sudah ada seri ke 2 nya.

"Luna!"

"Huft." Ia mendengus sebal. Gadis itu langsung pergi menghampiri suara wanita itu. Tanpa menutup bukunya. Ataupun menutup pintu nya.

Di sisi lain, ada seorang perempuan yang perlahan masuk ke kamarnya. Ia mencoba mencari sesuatu. Ya, buku diary itu.

Dan itu terletak sembarang di depan windowseatnya.

"Ini apa ya?," ucap gadis itu membolak-balikkan diary milik kakaknya. Sofi masuk tanpa izin, kebiasaan paling buruk yang dibenci Luna.

Ia menemukan penggalan kata disana. Sial, ia malah membaca bait demi bait tulisan yang tertera di buku itu. Dahinya mengernyit sesekali. Namun, kata-kata yang dibuat oleh kakaknya itu ternyata mampu membuatnya menahan getir. Ia tahu siapa orang itu. Ia tahu siapa yang dimaksud Luna dalam diary nya. Dan orang itu, adalah orang yang sama dengan yang ia cintai. Rascal.

***

"Kenapa, ma?"

"Ada telfon nih."

"Dari siapa?"

"Dion katanya."

Luna tertegun mendengar nama tersebut.

Dion. Ia dan laki-laki itu pernah terlibat suatu konflik dua tahun yang lalu. Dimana saat itu ia dan temannya pernah menyukai orang yang sama, seorang kakak kelas—ya itu, dia. Kebetulan Dion hanya berbeda dua tahun lebih tua dari mereka. Namun setelah kepindahannya menjelang naik kelas 11, justru hubungan mereka makin memburuk, karena Dion lulus dari sekolah, dan Vanya pindah sekolah.

Seandainya saja tak ada pengganggu saat PDKT nya dengan Dion, mungkin sekarang mereka sudah jadian. Mungkin sekarang ia sudah tak repot lagi mencari siapakah keping hati satunya. Mungkin jika Dion tak luluh mendengar bujuk rayu Vanya, mereka tak akan terpisah sejauh ini. Andai saja Luna sudah bersama belahan jiwanya, sekarang ia tak perlu repot merasakan hati lugu yang retak karena goresan.

Tapi,

Andai saja ia jadi dengan Dion, mungkin saat ini ada hati yang terluka.

Bersembunyi dibalik ribuan topeng setiap harinya.

Dan hati itu mungkin bukan hanya satu, namun dua ataupun tiga.

"Mau ngomong gak?" ucap mama mengagetkan Luna yang melamun di tangga.

"Ya udah."

Dengan getir kakinya menuruni tangga perlahan. Menghampiri tempat dimana telepon itu berada, ruang tamu. Perlahan, diangkatnya telepon tersebut ke udara. Lalu ditempel ke telinganya.

"Halo?"

Suara berat sang cowok menggema dalam gendang telinganya. Ia ingat suara itu. Suara yang pernah ia rindukan. Namun, suara itu berubah menjadi suara yang ia benci.

"Iya?"

"Luna? Ini Luna kan?"

Dengan getir ia menjawab. "Iya, kenapa?"

"Luna, gue Dion. Inget kan?"

"Dion?"

Luna berpikir sejenak. Iya, itulah nama seseorang yang pernah ia rindukan, dua tahun yang lalu.

"Oh. Lo dapet nomor ini dari mana?"

Luna tahu bahwa pertanyaan itu sebenarnya tidak penting untuk ditanyakan. Yang penting adalah, apa tujuan Dion kembali menghubungi Luna setelah dua tahun mereka tak berhubungan lagi?

"Gak perlu tau. Yang harus lo tau, nanti sore kita ketemuan di taman tempat gue pertamakali ajak lo ketemu tapi gak jadi. Taman Menteng. Gue tunggu jam 4."

------TUT------

Ditutupnya perlahan telfon yang tiba-tiba saja terputus itu. 3 sore? Berarti 2 jam lagi.

Buat apa mereka ketemu lagi? Apa niat Dion cuma untuk membangkitkan kenangan lama yang seharusnya telah hangus dalam ingatan Luna? Yang seharusnya juga sudah ia kubur dalam-dalam di bawah alam sadarnya. Dan seharusnya ia menganggap hal itu cuma sesuatu yang ia lakukan tanpa disadari.

***

Luna menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan jari-jari di tangan kanannya. Menyebar pandang ke sekeliling. Ia tampak mencari seseorang, dan seseorang itu belum juga datang. Gadis itu mulai mengayunkan kedua buah kakinya secara bergantian. Duduk menunggu di kursi taman tanpa melakukan apapun itu memang membosankan. Tambah bosan lagi saat ia harus sendirian menghadapi itu semua. Tanpa jam, tanpa ponsel, tanpa apapun. Hanya membawa tubuh berbalut grey crop tee, white short skirt, dan sneakers putih. Rambut digerai, juga gelang abu-abu yang melingkari pergelangan tangan kanannya.

Sebenarnya, kegiatan menunggu seperti ini yang paling Luna benci. Siapa yang nyuruh dateng, siapa yang dateng duluan. Tapi mau apa lagi? Masa mau balik?

Ditengah lamunannya, ia melihat seseorang berlari-lari kecil kearahnya. Orang itu berperawakan tinggi dan tegap. Kulitnya putih dengan alis tebal melintang di wajahnya. Ia hanya mengenakan kaus putih dengan kemeja kota-kotak abu-abu terbuka dan jeans panjang juga sepatu nike. Senada dengan baju Luna. Benar-benar cocok menjadi cowok idaman.

"Luna, maaf nunggu lama. Apa kabar?"

Hanya sepenggal kata yang keluar dari mulutnya, kata-kata umum yang biasa dikeluarkan dua orang yang lama tak bertemu. Kali ini, penampilan Dion berubah. Hal itu mampu membuat Luna sedikit pangling. Suara aslinya yang agak lebih berbeda dari dulu, namun ia masih mengenalinya.

"I—ya. Gue baik kok." Ucap Luna sambil berdiri menatap cowok itu. Tubuhnya masih lebih tinggi dari tubuh Luna.

"Syukur deh kalau baik. Makin cantik aja deh, lo. Mau jalan? Makan es krim or..."

"Bullshit." Luna mengumpat pelan sambil terkekeh geli.

"Hah?," tampaknya Dion agak mendengar suatu kata keluar dari mulut Luna, namun tak tahu apa yang Luna ucapkan.

"Enggak. Terserah deh mau kemana." Balas Luna sambil menggeleng keras. Masih agak canggung. Atmosfer disana terasa panas, membuat Luna ingin pergi saja dari cowok itu. Cowok yang pernah membuang harapannya jauh-jauh.

Mereka lalu pergi ke kedai es krim dekat taman. Dion memesan es krim cone vanilla dengan taburan kacang, sementara Luna memesan es krim cone coklat dengan taburan oreo. Tiba-tiba saja, otaknya berputar kembali pada kejadian dua tahun lalu.

"Inget gak, dulu abis MOS, lo itu selalu pergi ke kantin buat beli es krim kayak gitu di kedai es sekolah. Dulu lo masih bareng-bareng sama Vanya dan Fay. Iya kan?"

Luna mengangguk. Masih tetap berpura-pura menikmati es krim nya tanpa menatap Dion sedikitpun.

"Terus kalo gak salah, di kedai es krim gue pernah bayarin lo gara-gara mbak-mbak nya gak punya kembalian kan? Sampe lo panik gitu, lucu deh." Sementara itu Luna masih tetap mengangguk-angguk. Flashback yang diberikan Dion bukannya malah membuat kenangan manis terulang, tetapi kian membuat dadanya terasa nyeri.

"Tunggu sebentar." Laki-laki itu terhenti langkahnya. Menghadap Luna yang juga ikut berhenti dan menatapnya.

"Apa?"

"Lo dari tadi diem aja. Kenapa sih? Gak suka jalan sama gue? Iya?"

Luna tersentak mendengar pertanyaan itu. "Enggak, bukan gak suka, cuma gue bingung harus ngomong apa." Jujur. Iya, emang jujur banget dia jawab nya.

"Kirain gue, lo gak suka jalan sama gue gini."

"Biasa aja kok."

Lalu mereka melanjutkan perjalanan mereka. Mengitari taman dan memandang matahari yang kian terlelap kedalam peraduannya.

"Lun..."

"Iya?"

"Gue mau minta maaf."

"Maaf buat apa?"

"Maafin gue, karena saat itu gue udah ninggalin lo. Gue lebih milih cewek yang bahkan gak gue cintai buat nemenin gue selama 5 bulan. Gue minta maaf ya...gue salah milih saat itu...gue.."

Belum sempat Dion melanjutkan ucapannya, Luna keburu memotong obrolan mereka, "udah. Gak ada lagi yang perlu lo sesalin. Lagian gue udah maafin lo kok dari dulu. Gue nya aja yang salah, gue terlalu berharap sama lo sampe-sampe gue tersakiti oleh harapan gue sendiri." Ucap Luna begitu halus. Luna memang tak pernah berubah. Ia hanya bisa bertingkah konyol dan apa adanya didepan sahabat-sahabatnya, tapi tidak di depan Dion.

"Tapi, Lun...seandainya dulu gue lebih milih lo, seandainya gue gak bodoh, mungkin sekarang kita udah jadian. Mungkin lo gak sendiri kayak gini kan?"

Luna tertegun. "Itu semua pun cuma seandainya. Dan itu gak akan bisa ngerubah semuanya."

Es krim di tangan mereka mulai mencair. Seakan tahu bagaimana kondisi hati pemiliknya masing-masing. Panas.

Menikmati awan senja yang berwarna oranye itu memang menyenangkan. Tapi apakah masih bisa disebut menyenangkan jika kau bersama seseorang yang seharusnya tak lagi bisa bersamamu?

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Halo, gue ngebet banget nge-post cerita yak? hehe, maaf ya.

Gabut soalnya...

Vote n Comment ya!

Dank~~

JAKARTA, 27 MEI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro