19 - DUA TAHUN LALU (SPIN OFF PART 1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mau lo menghindar sejauh apapun, kalau takdir bermain dan mengatakan kita akan bertemu, kita bakalan tetep ketemu, Lun -Dione Alverozisky-

Tapi bertemu, belum tentu bisa bersatu, kan? -Aluna Z.A.-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Rambutnya diikat dua. Kiri dan kanan, walaupun tak seimbang, namun cukup membuatnya terlihat konyol. Apalagi diikat dengan tali rafia dan pita warna-warni yang menghebohkan penampilan gadis itu. Ia dikalungkan sebuah kertas berisi tulisan "Grup Marmut". Tulisan itu menandakan nama kelasnya—lebih tepatnya kelas MOS saat ia baru saja masuk masa putih abu-abu. Di dahi, tertulis nama panggilannya. Luna benar-benar kesal saat itu. Dijemur panas-panasan di tengah terik matahari, membuat kulit menjadi hitam. Apalagi harus ikut semua perintah para OSIS dan senior yang membantu terlaksananya MOS Jahanam itu.

Sesekali Luna menyeka keringat yang meluncur dari kening nya. Jalan jongkok mengitari lapangan sambil membawa kertas karton bertuliskan "cakep dari lahir" bukannya malah membuat hati senang, namun menambah siksaan yang lebih-lebih baginya. Tak lama kemudian, terdengar suara pluit dari ketua MOS. Pertanda kegiatan ketiga ini selesai dilaksanakan. Sungguh, menjadi bahan tontonan anak kelas 11 dan 12 itu amat tak enak.

"Saya kasih waktu istirahat 30 menit. Setelah itu kembali ke kelas masing-masing untuk instruksi selanjutnya!" sorak sang ketua. Dengan hati lega, para peserta MOS—calon murid baru—segera berhambur ke segala penjuru sekolah. Ada yang pergi ke kelas untuk sekedar ngadem di depan AC, ada yang duduk-duduk di pinggir lapangan, ada juga yang pergi ke kantin. Diantara mereka ada Luna, Fay, dan Vanya.

Ditengah perjalanan, Luna yang asyik mengobrol tak sengaja menabrak tubuh seorang cowok. Membuatnya agak merasa bersalah karena tak berhati-hati saat berjalan.

"Sori kak..a—aku gak liat..." ucapnya sambil menundukkan kepala.

Cowok itu terkekeh geli. "Eh kok kak? Gue juga anak baru kok. Berasa tua deh." Balasnya sambil mencoba melihat wajah Luna.

"Oh kirain. Eh, btw maaf ya, gue gak sengaja."

"Santai aja...kalo boleh tau lo dari grup mana? Luna?," cowok itu mengulurkan tangannya. Ia terlihat lucu dengan topi kerucut karton yang melekat di kepalanya.

Jantung Luna berdegup kencang. Darimana cowok itu tahu namanya? Ia tak pernah sedekat ini dengan teman baru—apalagi cowok. Dengan Fay dan Vanya saja butuh 3 hari untuk dapat akrab, apalagi ini?

"Gue dari Grup Marmut. Lo kok tau nama gue?" Kata Luna sambil memmbalas tanda perkenalan dari cowok itu. Lalu cowok di depannya menyentil pelan dahi Luna. Membuat gadis itu mengaduh kesakitan.

"Gue Panji, gue liat di dahi lo. Gue juga di grup itu, kita samaan berarti."

Luna mulai mengerti dan agak sedikit merasa lucu, kenapa ia bisa lupa kalau di dahi nya ada nama panggilannya.

"Oh iya-iya maaf, haha. Tapi kok gue gak liat lo ya dari kemaren?"

Cowok yang bernama Panji itu langsung cengar-cengir kuda, "gue telat mulu hehe."

Luna mengangguk mengerti.

"Eh, kita gak disapa nih? Masa dia doang..." celetuk Fay tiba-tiba. Ia berhasil mencairkan suasana.

"Oh iya maaf, nama kalian siapa? Dari kelas mana?," Panji mengulurkan tangan. Ia menanyakan nama mereka karena tulisan spidol di dahi Fay dan Vanya memudar, sehingga tak begitu jelas terlihat.

"Gue Fay, kalo ini Vanya. Kita sekelas kok sama lo dan dia." Ucap Fay sambil membalas genggaman tangan Panji, diikuti dengan Vanya.

"Oke, Fay Vanya...kalian mau kemana?"

"Kita mau ke kantin," balas Vanya sambil tersenyum.

"Oh kalo gitu gue duluan ya, mau ke kelas." Ucap Panji sambil melambaikan tangannya kepada mereka dan pergi menuju kelas.

Fay dan Vanya seperti baru melihat cowok. Mereka terus saja memandanggi punggung Panji hingga coowk itu menghilang dalam keramaian. Entah apa yang sedang berputar-putar di pikiran mereka. Mungkin lope-lope di udara.

"Udah ayo!"

Terpaksa Luna menarik tangan kedua sahabat barunya itu menuju kedai es krim di kantin. Harga es krim di kantin itu terbilang lumayan murah. Kisaran 5-15 ribuan dengan cone atau cup besar. Saat itu, Fay dan Vanya hanya memesan es krim cone strawberry dengan taburan chocochips diatas nya. Sementara Luna memesan es krim cone rasa coklat dengan taburan oreo bubuk.

"Berapa ya mbak yang ini doang?"

"lima ribu..."

Luna merogoh-rogoh saku baju nya. Hanya ada uang dua ribu disana. Lalu tangannya menelusup ke kantung rok nya. Dapat ! lima puluh ribu kertas yang masih mulus kini berada di tangannya.

"Gak ada yang kecilan lagi ya? Saya belum ada kembaliannya." Ucap penjaga kedai tersebut saat melihat uang yang disodorkan oleh Luna.

Masa gak ada sih. Gerutu Luna dalam hati. Ia masih mencoba merogoh semua kantung yang ada di seragam sekolahnya, berharap menemukan uang pecahan sedikit saja. Wajahnya mulai menampakkan kepanikan ketika menyadari hanya itu uang yang ia punya.

"Biarin bareng saya aja, mbak. Es krim cone vanilla kacang satu ya."

Tiba-tiba seorang cowok datang dan berdiri tepat disampingnya. Menyodorkan selembar sepuluh ribuan.

"Makasih mbak." Balas cowok tersebut begitu menerima es krimnya.

Sementara Luna masih terpana memandangi uangnya—yang langsung ia masukkan ke saku baju—begitu ia menyadari bahwa cowok itu langsung berpaling kearahnya.

"Kenapa liatin gue?"

"Eng—enggak apa-apa. Makasih ya..." lalu ia memandangi cowok itu atas kebawah.

"Kak," tambahnya.

Dia langsung mengagguk.

"Luna cepet! Es krim gue cair nih entar!" teriak Fay dari arah belakang. Diikuti lambaian tangan Vanya.

Luna mengangguk dan rasanya ingin sekali bergegas dari tempat itu. Berhadapan dengan kakak kelas memang tak pernah enak.

Saat baru melangkah, tangannya langsung ditahan erat-erat oleh kakak kelas itu. Ia lalu berhenti dan berbalik, seiringan dengan genggaman tangan yang perlahan terlepas itu.

"Kenapa?," tanyanya dengan wajah tak bersalah.

Salah apaan nih gue? Tiba-tiba nahan gitu aja. Ah gini kan urusannya berhadapan sama kakak kelas.

"Gak apa. Eh lo anak MOS kan ya? Grup mana?"

"Grup Marmut."

Terlihat olehnya, cowok itu mungkin menahan tawa, namun samar. Sayang sih, nama yang diberikan oleh panitia MOS kelasnya terlalu aneh.

"Gue Dion, kalo mau kenalan sama gue, gue ada di kelas 12-IPA-3. Dateng aja gak apa." Ucapnya pede.

Entah kenapa, kini Luna merasakan getaran lain. Yang benar-benar lain. Menatap cowok yang terlihat seperti seorang prince di negri dongeng memang mampu membuat Luna terbang sendirinya. Pipi nya agak merona. Bagaimana tidak? Tinggi, putih, ganteng, baik, udah gitu keliatannya tajir dan pintar. Siapa sih cewek yang gak klepek-klepek nemu cowok gitu?

Emang ya, bener kata orang-orang, kalo ada anak baru masuk, pasti ada aja kakel yang modusin adik adik barunya. Mungkin bisa aja mau main cinta monyet sambil main hati. Tapi bisa juga beneran.

"Ya udah deh kak, saya mau kesana dulu. Makasih es krim nya..." ucap Luna sambil tersenyum dan pergi meninggalkan cowok itu. Parfum nya masih tercium. Parfum khas cowok.

Begitu sampai kepada teman-temannya, Luna merasakan hawa tidak enak muncul.

"Lo kenapa? Yeee lagi falling in love yaaa...sama siapa tuh?" ledek Vanya sambil menunjuk kearah Dion yang masih disana, berdiri sambil menikmati es krim nya, dan hanya menengok sekilas kearah mereka.

"Tau tuh, senyum-senyum gitu." Timpal Fay karena Luna tak henti-henti nya tersenyum.

Senyumnya memudar. Berganti dengan rasa jengkel. "Biarin aja ah! Cabut!"

"Gak mau dikenalin dulu ke gue sama Fay? Ganteng abis loh..."

"Udah balik!"

***

"Gue capek banget deh beneran..."

Kegiatan esok hari, tepatnya siang hari terik, adalah hormat di depan bendera—di lapangan. Luna masih tetap berdiri bersama murid kelas lainnya di lapangan. Menahan terik matahari yang kembari menerpa. Tak tahan rasanya, ia ingin sekali duduk ataupun tiduran sebentaaar saja.

"Sabar, Lun. Kan ada gue, kita disini bareng-bareng, okay?" Rascal menepuk pundak Luna pelan sambil tersenyum kearahnya.

"Iya..."

Sedetik dua detik Luna masih bisa tahan. Melihat Rascal-Fay-Vanya-Panji yang masih kuat, masa ia tidak?. Ia juga tak sengaja menatap wajah Rascal. Cowok itu memang selalu bersama dengannya, tak mungkin jika saat ini ia izin untuk meninggalkannya.

Lama kelamaan, matanya berkunang-kunang, Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Tubuh nya lemas, dan..

BRUK!

"Lun!" Rascal langsung terhenti dari posisinya begitu melihat Luna terhuyung jatuh. Menunduk dan menopang tubuh Luna di atas pahanya. Menepuk pipinya pelan, berharap cewek itu bisa membuka matanya.

Satu persatu murid berhenti dari tugasnya, lalu berkumpul di dekat Luna. Ada yang hanya kepo, ada yang benar-benar khawatir, ada juga yang ingin tebar pesona. Ia langsung menjadi pusat perhatian seluruh murid disana. Termasuk Fay, Panji, dan Vanya yang berada tak jauh darinya. Mereka bertiga langsung ikut berkerumun dengan anak lain. Luna tumbang.

"Kak ada yang pingsan!" seru salah seorang murid kepada pengurus MOS yang belum menyadari akan hal tersebut.

Darah segar mengalir dari kedua hidung Luna. Ia memang tak pernah tahan dengan teriknya matahari, ditambah lagi suasana panas. Dan hal itu berhasil membuatnya rubuh. Rascal mulai berpikir keras. Lalu melepas dasinya dan membuat sebuah lipatan-lipatan, ia mengelap darah yang terus menerus mengucur dari hidung cewek itu. Persetan bila dasinya kotor, yang penting saat itu, Luna bisa bangun.

"Bangun...bangun." Ucapnya pelan sambil masih melakukan hal yang daritadi ia lakukan.

Dari dalam kerumunan itu, seseorang—Fay—memandangi cowok yang teguh melindungi Luna dengan terkagum-kagum. Aksinya seperti sangat heroik, sigap. Bukan hanya di mata Fay mungkin, tapi dimata semua murid. Terlebih Rascal juga bisa dibilang tipe cowok yang setara dengan Dion, namun sifatnya tak begitu cool seperti kakel nya itu.

"Lun bangun dong..." ujarnya panik sambil masih berusaha menggoyangkan tubuh Luna keras—dan menahan darah yang mengalir terus. Namun tak ada gerakan darinya. Napasnya agak melambat namun masih teratur.

"Minggir!"

Suara seseorang datang dan menghalau kerumunan itu untuk memberikan jalan untuknya. Dion.

"Kak! Gue izin ke UKS bawa dia ya?" katanya sambil menggendong tubuh Luna ke udara.

"Sudah-sudah, semua kembali ke tempat! Hormat bendera lagi, ini saya yang urus. Dan lo...kembali ke tempat semula!" Dion memberikan instruksi tegas kepada seua peserta MOS yang sibuk ingin tahu untuk kembali ke tempat semula. Termasuk dengan menunjuk wajah Rascal.

"Gak bisa, pokoknya gue harus anterin dia ke UKS!"

"Berani kamu melawan?"

"Jangan maksa gue kasar. Gue disini mau belajar, mau diatur, mau jadi lebih baik, bukan dijadiin babu, apalagi sampai ada yang kayak gini!" Seru Rascal kepada Dion, lalu kembali berpaling kepada wajah Luna yang sangat pucat. Membuat seluruh anak kaget dengan reaksi nya. Tak pernah ada yang berani melawan OSIS ataupun panitia MOS disini sebelumnya. Namun Rascal, berhasil mencetak skor terbaru.

Namun kali ini, Dion tak berkutik. Memang benar ucapan Rascal, selain itu, melihat Luna yang masih terbaring membuatnya tak tega untuk memarahi cowok itu lebih lanjut, kalau bukan karena cowok itu, Luna akan terpapar begitu saja menjadi bahan tontonan tanpa ada pangkuan yang membantunya.

"Biar gue yang bawa dia ke UKS. Lo tetap disini." Balas Dion sambil mengambil alih Luna dan menggendongnya kearah UKS—membuat para cewek iri, termasuk Vanya. Sepertinya, Dion dan Rascal akan menjadi dua orang enemy—sekaligus dua orang primadona di sekolah itu. Dengan pesona masing-masing. Rascal dengan gaya nya yang heroik, cool, tinggi putih dan tegap namun bersifat agak liar. Berbeda dengan Dion yang cool and calm, bahu lebar, bijak, terkesan cowok classy glam, udah gitu ketua OSIS. Tergantung para murid, memilih kubu mana untuk dijadikan idola.

Rascal memandangi cowok itu dari jauh. Sebenarnya, ia merasa tak enak melihat Luna berada di pelukan orang lain, namun rasa itu masih samar-samar. Entah itu rasa khawatir, atau yang lainnya. Yang jelas ia masih belum tahu apa itu.

***

Tiga puluh menit kemudian, matanya terbuka perlahan. Masih agak buram. Ia mencoba untuk mengerjap beberapa kali. Lalu semuanya mulai jelas.

"Gue dimana nih?" ucapnya pelan.

"Kamu lagi di UKS." Jawab cowok yang berada disampingnya singkat. Perlahan namun pasti, wajah cowok itu yang tampak agak stress—memikirkan Luna yang tadi tak kunjung terbangun—mulai terangkat.

Luna terbaring di kasur yang memang disediakan khusus untuk orang yang sakit di UKS. Ia masih terlalu lemah untuk bangun, jadi hanya berani menoleh ke sampingnya.

Dan mata mereka bertemu.

"Hah? Ma—maaf kak, saya tadi—saya harus ke lapangan lagi." Ucap Luna tergagap sambil bangkit bersiap turun saat ia menyadari seseorang disampingnya adalah Dion—panitia Mos, Ketua OSIS sekaligus juga ketua MOS.

"Udah udah tiduran aja, nanti kalo kamu maksain, malah kenapa-kenapa lagi." Balas Dion sambil menahan kedua pundak Luna agar tidak turun dari kasur UKS itu.

"Tapi gak apa-apa nih kak?"

"Iya tenang. Ketua nya kan saya, jadi kamu santai aja."

Luna segera menarik kedua kakinya kembali naik keatas kasur. Namun ia hanya duduk dan bersender pada dinding yang menempel di tempatnya tertidur itu.

"Saya mau nanya deh." Tiba-tiba Dion kembali membuka pembicaraan.

Luna hanya berdehem penuh tanda tanya.

"Tadi itu pacar kamu, ya?"

Lalu alisnya terangkat bingung.

"Yang mana?"

"Tadi ada di samping kamu, terus pas kamu pingsan dia yang bantuin gendong kamu. Itu, pacar kamu kan?"

Maksudnya siapa nih? Rascal?

Luna tertegun. "Rascal? Oh dia itu sahabat saya kak..."

Dion terheran. "Sahabat? Cowok? Kok dia kayanya khawatir banget sama kamu tadi? Sampe bela-belain dasi baru nya kotor cuma buat lap darah kamu..."

"Serius kak? Kita emang cuma sahabatan dari kita masih kecil...bareng terus, jadi mungkin wajar kalo dia gitu ke saya." Ucap Luna agak tak percaya.

"Oh gitu...saya kirain pacar kamu..."

"Emang kenapa kak?"

Dion sempat terdiam. Dion sepertinya memiliki rasa terhadap Luna. Menggendong Luna menuju UKS itu bukan sesuatu yang berat, namun yang berat baginya adalah saat ia harus bersabar karena melihat cantiknya wajah cewek itu.

"Gak apa. Mau saya beliin es krim? Kayak kemarin terakhir kita ketemu."

Luna menimbang-nimbang. Gadis itu merogoh saku baju nya, tidak ada. Lalu turun ke kantung rok sedengkul nya, kanan, kiri, kosong. Ia tak bawa uang, uangnya ada di tas—di kelas.

"Gak usah kak..."

Dion tersenyum melihat kegelisahan Luna. Ia tahu apa yang Luna pikirkan saat ini.

"Udah gak apa, saya yang bayar. Tunggu disini ya"

***

"Luna?," suara seorang cowok masuk ke dalam UKS. Dan menemui Luna bersama dengan Dion. Mereka berdua sedang bercengkrama sambil menikmati es krim masing-masing. Sepertinya kelihatan mulai akrab.

Dion yang membelakangi pintu UKS mendadak bingung saat menoleh dan menemukan wajah orang yang tak asing lagi berdiri disana."Kamu? Gak ikut upacara penutupan MOS?"

"Lah udah selesai dari tadi. Justru gue mau nanya, lo kok gak ada disana?"

"Kan saya jagain temen kamu."

Rascal langsung menggaruk kepalanya. "Oh iya ya.."

Jangan heran dengan sifat Rascal, dia bukan aneh. Dibalik itu, sebenarnya hanya candaan yang ingin di utarakan, karena sifatnya memang seperti itu.

Rascal berjalan menuju tempat dimana Luna tadi terbaring. Lalu memandangi Dion lekat. Matanya memang terlihat halus. Namun bagi seorang yang memiliki feeling seruncing belati dan penglihatan sepintar simpanse, ia tahu ada ras jahat tersirat lewat pupil mata hitam itu.

"Lun, pulang yuk" Rascal mendekat ke arah mereka dan segera menggenggam lengan Luna.

"Umm—ini Kak Dion gimana?"

"Kamu pulang duluan aja. Saya masih ada yang harus diurus. Kalo udah sembuh, bisa kita ketemu di Taman Menteng? jam 4 sore." Kali ini Dion bersuara. Namun belum sempat Luna menjawab, Rascal yang sudah keburu mewakilkannya.

"Gak, gak ada ketemu-ketemuan. Dia capek, mau istirahat, liat?"

Dion hanya menghembuskan nafas, lalu tersenyum dan mengangguk. "Iya, gak usah, kapan-kapan aja."

Luna lalu mengangguk. Karena maerasa tak enak badan, ia jadi menuruti apa saja yang dikatakan Rascal ataupun Dion.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

Ini bakalan sampe part berapa nih spin off nya? Mungkin 1/2 part lagi kali ya.

Jangan lupa untuk terus dukung cerita ini dengan memberikan Vote and Comment!

Dank~~

JAKARTA, 27 MEI 2017 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro