20 - DUA TAHUN LALU (SPIN OFF PART 2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masa lalu tetap menjadi bagiannya, sementara masa depan, akan mulai sibuk dengan sandiwaranya. -SISTERHOOD-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Gak tau kenapa ya, gue kayak ada rasa gak enak saja sama dia..."

Luna terdiam mendengar omongan Rascal. Ia mencoba mencerna apa yang diucapkan sahabatnya itu. Bising jalanan membuat ucapan Rascal tersamar oleh suara-suara itu. "Maksud lo? Dia baik kok. Gak ngapa-ngapain gue juga tadi."

Rascal menggeleng samar. Bibirnya yang semula terkatup rapat kembali membuka. "Gue sendiri juga enggak tau kenapa, tapi lo jaga jarak deh sama dia." Nasihatnya.

Sementara itu Luna hanya memalingkan wajah ke arah jalanan yang semakin terik. Deru motor yang dikendarai Rascal—dengan Luna—makin memperkeruh suasana ibukota yang sudah tercemar. Populasi manusia yang meningkat membuat kota itu makin sesak. Akhirnya, traffic light menunjukkan warna hijau. Segera besi-besi beroda dua, tiga, dan empat saling mendahului. Berniat melepas penat dirumah, atau hanya sekedar untuk mencari makan siang.

Awan membelah langit siang. Seakan menunjukkan kebosanannya akan panas yang menggelegar. Menuntun setiap insan manusia harus mencari tempat yang membuat mereka merasa nyaman, karena panas adalah lawan dari kebanyakan mereka. Ditengah perjalanan, Luna sempat berbicara sesuatu kepada Rascal. "Eh btw, makasih ya tadi, gue kira gue bakalan kuat berdiri di situ seharian. Orang lo kuat, masa gue enggak."

"Jadi anak jangan sok kuat makanya. Sama panas aja jatuh. Apalagi nanti pas jatuh cinta terus sakit hati? Bunuh diri kali ya." Humor jayus Rascal kumat. Hal yang paling Luna benci keluar juga.

"Enggak lah. Lagian gue juga belum sarapan tadi, makanya gitu."

Rascal terhenyak. "Serius? Belum sarapan? Ya udah ayo kita cari tempat makan."

"Gak usah ih, gue gak bawa uang cukup."

"Slow ada gue." Rascal langsung memasang mata elang nya, mencari tempat makan yang nyaman dan hemat. Lalu menemukan sebuah café & resto. Ia memelankan laju motornya dan berhenti parkir tepat di depan café & resto tersebut.

Sesaat setelah ia turun, Rascal mengulurkan tangannya untuk membantu Luna untuk turun dari jok motornya.

"Monggo Kanjeng Ayu..."

"Berasa puteri keraton banget ya? Haha." Luna tertawa.

Di dalam, Rascal segera memesan segelas hot coffee, sementara Luna dipesankan Ice Oreo Blanded. Untuk makanannya, Luna hanya memesan steak dan French fries. Beberapa menit kemudian, makanan yang mereka pesan datang ke meja nomor 14. Luna agak kaget saat menyadari sesuatu, Rascal hanya memesan sebuah minuman.

"Lo kok gak makan?"

"Gue kenyang makan matahari tadi."

"Serius ih...kalo enggak nanti lo sakit, gue juga yang kelabakan."

"Kenapa harus lo yang kelabakan? Mama papa gue aja biasa aja kok, tinggal bawa ke rumah sakit, selesai deh."

Luna terpekik. "Enteng banget lo ngomong. Kalo lo maag tiba-tiba disini? Kan lo cuma sama gue disini."

"Alah boong, bilang aja khawatir. Udah makan aja sana! Nanti sakit gue yang repot." Jari tangan Rascal mengacak-acak lembut rambut Luna. Membuat pipi gadis itu merona.

Melihat kesungguhan sahabatnya, Luna pun memotong salah satu ujung daging steak itu, lalu ia paksa Rascal untuk memakannya. Itupun mau tidak mau, karena kalau Luna sampai merajuk, Rascal harus menunggu 7 hari 7 malam agar Luna mau berbicara kembali. Sebenarnya, itu saja hanya taktik Luna agar Rascal tak terus-terusan membuatnya bete dan badmood. Mungkin kalau sudah besar, akan hilang sendiri dan mereka menjadi lebih dewasa.

"Eh gue mau ngomong. Masa tadi temen gue, Fay, katanya suka sama lo. Dia SMS gue waktu gue di UKS tadi."

Rascal tersedak daging yang ia kunyah. "Dia tau gue dari mana?"

"Katanya sih waktu lo anterin gue ke sekolah dan pas lo bantuin gue yang pingsan tadi. Terus gue bilang..."

"Lo bilang apa?"

"Bilang kalo lo emang masih single dan gue cuma sahabat lo dari kecil. Ih tau gak, dia minta gue jadi biro jodohnya dia."

Rascal mengusap kasar wajahnya, membuat gadis di depannya menjadi bingung. "Kenapa? salah?"

"Lo kan tau, gue paling gak suka cewek yang ngejar. Cewek itu kodratnya dikejar, bukan mengejar. Terus nanti kalo dia terus-terusan neror gue gimana? Kan gue kenal aja enggak sama dia. Lo yang kenal, terus kesannya dia maksa banget gue suka sama dia, padahal perasaan itu gak bisa di tuntut."

Luna tertawa. "Bawel banget tumben. Lagian kan gue gak tau dia serius atau enggak."

Tiba-tiba, Rascal teringat sesuatu. "Oh iya, temen gue juga ada yang mau kenal sama lo. Dia pengen sahabatan juga sama lo, namanya Panji. Tapi gue gak tau dia naksir lo atau enggak.''

Luna mencoba memutar otaknya. Memikirkan nama yang tak terdengar asing. Mungkin pernah bertemu. "Oh gue tau, gue pernah ketemu. Dia sekelas sama kita kan? Kenapa gak kenalan langsung aja?"

Rascal mengedikkan bahu. "I don't know." Balasnya singkat sok inggris. Lalu melempar pandang kearah luar.

"Oh iya, dasi lo?" Luna membuka percakapan kembali sambil memasukkan French fries ke mulutnya lalu menelannya.

"Bodo amat deh. Biarin aja itu dasi, penting lo bangun." Rascal tersenyum puas sambil menekan kedua pipi chubby gadis itu.

"Kebiasaan! Jangan megang pipi."

"Gak apa-apa dong, kanjeeeeng!" Kata Rascal sambil makin menekan pipi itu. Namun malah membuat keduanya tertawa lepas. Dan pastinya hal itu menarik perhatian seluruh pelangan disana, mungkin yang duduk sendiri ada yang iri dengan mereka, yang sibuk dengan ponselnya menjadi terpusat ke mereka, dan yang abis patah hati karena pacarnya gak dateng, makin memanas.

***

Kaki jenjangnya melangkahi koridor kelas 12. Sesekali masuk dengan permisi hanya untuk mengabsen. Hari ini guru kelas X-IPA-A tidak hadir karena sakit. Jadi ada tiga orang murid dari kelasnya diperintah guru piket untuk mengabsen dari kelas ke kelas—yang nantinya kertas absen tersebut akan diebrikan kembali kepada guru piket untuk mengetahui siapa saja yang tidak hadir hari ini. Ya tiga orang itu siapa lagi kalau bukan Fay-Vanya-Luna. Fay bagian mengetuk pintu dan permisi, Luna bagian menengok papan absen, sementara Vanya yang mencatat.

"Sekarang kelas berapa lagi, Van?" tanya Luna ketika sedang melewati koridor.

"XII-IPA-B." Balas Vanya sambil sibuk mencoret-menghapus-mencatat kesalahan di catatan absen piket yang di pegangnya.

Luna langsung tersadar bahwa kelas yang tadi disebutkan namanya oleh Vanya adalah kelas Dion. Dengan ragu, ia melangkah dibelakang kedua temannya. Vanya dan Fay belum tahu kalau itu kelas seseorang yang sempat membuat hati Luna bergetar pada pertamakali. Perlahan, mereka sampai didepan kelas. Lalu Fay mengetuk pintu tersebut. Luna, langsung melongok kan kepalanya ke dalam pintu kelas. Tak ada guru yang mengajar.

"Siapa yang absen, Lun?"

Luna dan Fay masih terdiam di depan sana. Memandangi kelas yang terkenal dengan kelas IPS Bayangan. Banyak anak futsal yang bandelnya minta ampun. Ada juga cewek-cewek cantik dan famous bertebaran. Sungguh, kelas IPA yang ini tak seperti kelas IPA lainnya. Yang harusnya kalem, kutu buku, alim, ini malah gak karuan sana sini.

Sorak sorai riuh meramaikan kelas itu, kebanyakan mereka tak menyadari bahwa ada adik-adik kelas yang baru menginjakkan kaki di depan kelas mereka. Yang menyadari pun hanya diam sambil sibuk membolak-balikkan halaman novel mereka. Senior perempuan asyik ber-gossip, dandan, atau selfie sendiri. Yang laki-laki ada yang sampai naik-naik ke meja sambil memegang gagang sapu. Di ujung sapu terdapat sebuah plastik kresek hitam. Entah apa isinya. Terdengarlah seruan dari seorang murid perempuan.

"UTHAAAAA BALIKIN PLASTIK NYAAA!"

Lalu laki-laki yang ternyata bernama Utha itu menjawab dengan lantang. "Ini roti rasa apaan? Bungkusnya putih gini." Katanya diikuti tangan yang asyik mengorek-orek isi plastik.

Sontak ucapannya menyambut gelegar tawa dari seluruh murid. Perempuan yang sedari tadi menahan amarah langsung ikut berdiri diatas meja dan mengambil paksa plastik hitam itu dan mengembalikannya ke dalam tas berwarna hijau tosca.

"Jangan baper dong, Kila. Bercanda kok!"

"Bercanda lo kebangetan!"

Tak ada tawa yang terhenti saat itu. Apalagi saat melihat wajah perempuan itu—Kila—yang memerah karena malu saat benda datang bulan nya dimainkan. Tiba-tiba saja, perhatian Utha mengarah ke pintu. Disana, ia menemukan dua wajah perempuan yang hanya bisa cengo melihat kelakuan mereka.

"EH CEWEK! NGAPAIN DISINI? NYARI ABANG UTHA YA?"

Dengan nada mendayu dari seseorang mampu membuat seluruh murid di kelas langsung menatap kearah mereka—termasuk Dion yang sedari tadi asyik bermain ponselnya sambil tertawa mendengar candaan yan keluar dari mulut temannya. Kelas yang sebegitu heboh nya tiba-tiba jadi sepi seperti kuburan. Buru-buru mereka mempersiapkan diri untuk izin mengabsen.

"Maaf, kak, mau absen..." Fay membuka suara. Ada beberapa senior perempuan yang langsung memandang sinis mereka, ada juga yang biasa saja. Sedangkan yang laki-laki malah memasang tampang sok ganteng, kegenitan, dan ada juga yang sok cool dan tidak menghiraukan dua perempuan itu.

"Oh mau absen. Kirain nyari gue." Ucap Utha ke-geer-an.

Dion yang masih bingung mengapa ada Luna disana langsung menghampiri cewek itu. Diikuti sorot-sorot mata meringis tak bahagia dari siswa perempuan dan laki-laki disana.

"Luna...kamu gak dikelas?"

Luna gugup saat tahu dirinya dihampiri oleh Dion. "Eng—gak guru nya gak masuk."

"Dion! Lo mau gebet dia? Anjir seleranya anak kecil woi!" Sorak seseorang dari belakang.

"Hush! Berisik lo Vero! Enggak kok boong, jangan dipikirin ya omongan dia." Dion kembali mengalihkan obrolannya kepada Luna.

Sepertinya, diluar, ada yang mulai jengkel menunggu temannya tak kunjung menjawab pertanyaan yang tadi ia lontarkan. "Lunaaa siapa ya—ng..." suaranya tercekat ditenggorokan begitu menyadari ada cowok yang berdiri di hadapan Luna dan Fay.

"Ganteng banget..." gumamnya pelan.

"Apa?" Ternyata Dion mendengar ucapannya.

Ia memukul pelan mulutnya. Mengutuki dirinya yang tak berhati-hati saat berbicara. Bego lo bego, Vanyaaa!. "Hah? Eng—gak gak apa-apa." Sepertinya Dion orang yang sadar pesona. Ia lalu menyisir rambutnya dengan kelima jemarinya. Membuat Vanya, Luna, dan Fay cengo.

Sebuah suara menyahut dari dalam, "Kalo mau ngabsen, ya absen aja! Gak usah sok tebar pesona di kelas ini. Gue tau lo cakep-cakep, tapi sadar diri dong!" seseorang—yang di name tag nya tertulis nama Hana—menyindir Luna dan kedua sahabat barunya. Membuat mereka kembali sadar.

"Nyelo dong! Berasa ibu kost lo ah!" Utha yang kelihatan geram langsung menyambut suara itu. "Udah, gak usah dipikirin, ntar abang pites-pites kayak kutu kalo dia ngomong gitu lagi." Lanjutnya lagi—ada beberapa anak yang cekikikan mendengar ucapan Utha.

Dion hanya tersenyum. Lalu melanjutkan berhadapan dengan tiga adik kelasnya yang memang cantik-cantik. "Yang gak masuk namanya Yuna Erivaniza. Catet pake 'V' dan 'Z'." Luna hanya bisa tersenyum sambil membantu Vanya agar fokus ke tulisannya. Karena dari tadi mata dan pikiran Vanya hanya bergelayut manja ke wajah Dion. Ya wajar, Luna saja tertarik, apalagi Vanya yang kadang suka tebar pesona.

Mendadak, Fay berbicara. Padahal tadi ia hanya diam dan memperhatikan. Entah itu memperhatikan suasana kelas, atau malah memperhatikan wajah Dion. "Kak, Pin BBM dong...."

Luna tertawa mendengarnya. Berani gila, sadar gak sih kalo dia ada di hadapan kelas 12 yang lainnya? Batin cewek itu. Dan ternyata firasat Luna benar, ucapan Fay tak hanya disambut jawaban Dion, namun kembali disambut tatapan-tatapan tak bersahabat dari anak kelas 12-IPA-2 lainnya.

"Pin BBM? Gak pake, nomor telepon ada nih. Mau?" katanya sambil menyunggingkan senyum dan mengangkat sebelah alisnya.

"Mau mau!" jawabnya antusias.

Luna menyadari bahwa ada mata-mata yang tak suka mereka berlamaan disana. Lalu mulai mengalihkan perhatian Fay dan Vanya yang masih terfokus ke wajah laki-laki di depannya.

"Udah yuk..yuk, banyak kelas nunggu...ayo kawanku..." Luna merangkul bahu Fay dan Vanya yang masih mematung di tempat.

"Eh ini nomornya gimana?"

"Tau nih Luna! Bentar kek." Sementara Luna menepuk dahinya. Kembali menarik paksa lengan kedua temannya. "Kak ngobrolnya lanjut nanti, ntar kalo ketauan guru kelamaan disini, dikira ngapain." Ucapnya jutek dan pergi bersama Fay dan Vanya—yang masih merasa sangat sangat berat meninggalkan wajah Dion. Cowok itu hanya tertawa kecil di kejauhan. Memandangi punggung Luna yang semakin lama semakin jauh berbelok keluar koridor kelas dua belas.

***

Saat istirahat mereka bertiga berembuk di kelas. Tak ada siapapun, hanya mereka. "Lo gimana sih, nyaris aja tadi gue dapetin nomor nya Kak...siapa tuh? Dion. Iya, dia." Fay merengut sepanjang jalan karena hal itu.

Luna malah tertawa. "Eh, lo bukannya naksir Rascal? Kok malah ke dia?"

Fay mengusap wajahnya. "Iya juga, gila sih disini cowoknya ganteng-ganteng banget, kalo bisa, gue embat dua sekaligus tuh!"

Vanya yang kali ini menyahut, "eh, lo sama Kak Utha aja sono! Gue yang sama Kak Dion. Dijamin lebih cocok!" ibu jarinya menunjuk keatas sementara keempat tangannya mengepal. Fay malah menjitak kepala temannya dengan kepalan tangan kanan yang buku-bukunya sudah memutih.

"Gue mah sama Rascal deh...ye gak? Lancar kan, Lun?" ia mengedipkan sebelah matanya kearah Luna dan menunjuk tas Rascal. Berharap Luna mengangguk, tapi sayangnya gadis itu hanya tertawa.

Sebenarnya, jauh di lubuk hati paling dalam, Luna sama sekali tak berminat menjodohkan sahabat yang paling dia sayang a.k.a. Rascal, dengan seorang cewek yang bahkan baru ia kenal beberapa minggu. Dan lagi, ia agak nyeri saat mendengar bahwa Vanya naksir dengan Dion. Entah ia takut ada saingan di hati masing-masing cowok itu.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ternyata, masih ada 3 part lagi, hehe. Kalo dijadiin satu, bisa-bisa panjang.

Yang sabar ya bacanya, setelah ini akan ada....apa ya? Simak aja part selanjutnya.

Ditunggu Vote n Comment nya yaaa...

Dank~

JAKARTA, 27 MEI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro