21 - DUA TAHUN LALU (SPIN OFF PART 3)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kadang seseorang yang tak kita kira menjadi milik kita, bisa saja dia jodoh kita. -Aluna Z.A.-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hari ini adalah hari terakhir sekolah, tepatnya hari terakhir di minggu kedua. Luna ditugaskan Bu Indah mengantarkan buku tulis anak-anak dikelasnya setelah mereka semua selesai mengerjakan tugas yang diberikan. Dengan agak terpaksa, ia meninggalkan teman-temannya yang asyik bercengkrama menunggu guru Fisika yang mengajar setelah Bu Indah—guru Biologi—datang. Bu Indah sudah terlebih dahulu pergi meninggalkannya dengan setumpuk buku tulis. Awalnya Rascal sempat menawarkan diri—malah lebih terkesan memaksa—untuk membantu Luna membawa buku-buku tersebut ke ruang guru, namun Luna tetap bersikukuh untuk membawanya sendiri, dengan alasan takut dimarahi. Padahal Bu Indah orangnya baik banget.

Di perjalanan menuju ruang guru, tepatnya koridor kelas dua belas, pemandangan yang agak menegangkan terpapar di depan mata Luna. Ada Utha, Vero, dan dua orang lagi yang tak dikenal Luna—sedang menggunakan vape bergantian. Dari baunya seperti rasa coklat dan vanilla. Mereka bernama Tio dan Rezi. Entah apa yang dilakukan, padahal jelas-jelas letak kelas mereka agak dekat dengan ruang guru, tetapi mereka malah bolos pada saat jam pelajaran. Apa mungkin karena mereka tahu kondisi ruang guru yang kosong? Ah tapi kan tadi ada Bu Indah.

"Misi, kak.." ucap Luna pelan. Tanpa menatap empat pasang mata yang terlihat tertarik dengannya. Langkahnya terhenti saat ada seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di depannya.

"Lo Luna kan? Iya Luna. Yang beberapa hari lalu ngabsen ke kelas kita."

Luna hanya bisa mengaguk sambil tetap mengalihkan perhatiannya kepada buku-buku itu.

"Eh kalo diajak ngomong natap ke orangnya dong." Telunjuk cowok itu menaikkan paksa dagu Luna. Memaksa agar ia mendongak kan wajahnya. Tentu saja Luna langsung memalingkan wajah sambil mengibaskan tangan Utha ke udara agar cowok itu tak berlaku selanjutnya.

"Awas. Gue mau anterin buku ini." Luna tetap memaksa jalan dengan mendorong tubuh Utha. Namun tetap saja tenaga nya tak sebanding dengan tenaga Utha. Ia masih kurang kuat mendorong tubuh laki-laki itu untuk memberinya jalan, terlebih ditambah tumpukan buku.

"Wih galak banget. Gue cuma mau ngomong keles, gak usah sampe segitunya..." Tangan Utha mulai menyentuh bahu Luna. Merangkulnya.

Luna mulai risih dengan mereka dan terus mencoba menghindar ke kanan dan kiri. "Gak usah sok jual mahal deh lo. Belom tau aja kan kita-kita ini siapa." Vero bersuara sambil mengambil alih Luna dari rangkulan Utha dan kemudian menahan kedua bahunya tepat di depan tubuhnya.

Kurang ajar. Umpat Luna dalam hati.

Tio mendekat kearah wajah Luna. Membuat gadis itu merinding. Seketika atmosfer disana terasa panas. Panas sekali."Lo seberapa deket sih, sama Dion?"

Luna menjawab jengkel, bete, kesal. "Bukan urusan lo."

Mereka tertawa kecil. Lalu salah seorang dari mereka berkata, "jangan deket-deket deh sama dia, he is liar."

Namun Luna yang terdiam tak menghiraukan ucapan cowok itu. Sesaat setelah itu, ia merasakan ada sesuatu hangat yang menggenggam erat lengannya. Lalu ia menatap kearah tangannya. Utha. Gila ini sih, namanya udah main fisik.

"Argh! Lo semua bisa minggir gak sih? Gue cuma pengen lewat, gak usah sok kecakepan deh jadi cowok, gak pernah diajarin tata karma ke cewek apa?!" ia membentak mereka sambil bergerak maju agar tak ada yang bisa menyentuhnya, namun sayang, Vero terlalu kuat memeganginya. Dan ucapannya berhasil membuat keempat cowok itu terperanjat. "Gila, agresif juga." Balas Utha.

"Nyali lo gede juga ya. Lo belom tau kita ini siapa..." Vero makin menahan tangannya di bahu Luna. Membuat cewek itu tak bisa berkutik.

"Mau kalian apaan sih?"

Rezi menjawab pertanyaan Luna sambil berjalan kearah kanan dan kiri, berusaha memblokade jalan Luna."Mau kita? Kita cuma mau—"

BUGH!

"Bisa sopan dikit gak sama cewek?! Pake otak!" ada seseorang dari arah belakang yang menendang tubuh Rezi hingga terpental ke samping. Refleks mereka menoleh ke asal tendangan. Dion.

Vero yang tak terima temannya di berikan serangan mendadak mulai membalas. Diikuti oleh Utha dan Tio. Pertengkaran tak bisa dielakan. Di depan mata Luna, ia melihat sendiri kejadian yang begitu nyata. Pertempuran fisik yang sebelumnya terjadi di tv-tv kini ada di depan matanya. Benar-benar langsung di depan matanya tanpa perantara apapun. Menghasilkan luka sana sini menodai wajah mereka.

Pukulan demi pukulan saling menghantam satu sama lain. Bak air jatuh yang turun berbondong menerjang satu tanah tak bersalah. Satu-persatu anak kalah dan tumbang di tangan Dion seorang. Yang ia heran, kenapa bisa tak ada guru sama sekali disini, padahal lokasi baku hantam terjadi tak begitu jauh dari ruang guru. Utha—Vero—Rezi—Tio pun menyerah dan kabur kembali masuk ke kelasnya. Sementara ia dihadapkan oleh Dion yang dipenuhi luka dan lebam.

Buku-buku yang di genggamnya terjatuh, persetan dengan hal itu, ia langsung menghampiri Dion dan membantu cowok itu untuk bangun. "Kak, kok bisa ada disini sih? Ah ribet kan...ke UKS ayo."

Dion sedikit menghempas tangan Luna. "Gak apa-apa udah. Kamu balik ke kelas aja, saya bisa bangun sendiri kok."

Luna agak kaget, namun ia masih berusaha mencairkan suasana. "Mirror eh, muka udah luka-luka gitu masih bisa bilang gak apa-apa?" Luna kembali menggenggam tangan Dion. Memaksanya berjalan menuju UKS.

Dion menyeka darah yang mengalir dari sisi kiri bibirnya. Juga memegang rahang kanan yang sakit terkena pukulan. "Nanti gue bisa ke UKS sama anak PMR kelas gue kok. Lo disuruh anterin buku kan? Anterin aja sana. Nanti dimarahin Bu Indah baru tau rasa lo."

Dengan berat hati, Luna terpaksa mengikuti kemauan Dion. Yah, ada alasan lain juga dibalik itu, yaitu ia takut dengan darah dan luka.

"Ya udah deh. Makasih banyak ya kak, gak tau deh kalo gak ada Kak Dion."

Dion tersenyum dan mengangguk "Santai aja. Hati-hati deh kalo sama mereka pokoknya". Lalu menyisir rambutnya dengan lima jari. Mereka berpisah disana. Luna berjalan ke sebelah kanan sementara Dion ke kiri dan kembali ke kelasnya.

Setelah selesai dengan urusannya, ternyata dugaannya tepat, tak ada siapapun di ruang guru. Hanya ada Bu Yuli, itupun sedang di toilet. Sementara Luna sendiri tidak tahu Bu Indah kemana, karena tadi ia sempat kehilangan jejaknya. Dengan segera, ia melangkah cepat ke kelas, tanpa menengok ke arah kelas dua belas manapun. Ia takut Utha dan yang lainnya kembali menyadari keberadaan dirinya.

"Serius lo?" Vanya tersentak kaget. Penjelasan demi penjelasan diuaraikan secara detail oleh Luna. Begitu juga dengan Fay yang ekspresif.

"Sumpah gak boong. Mereka tadi nyaris bikin gue jantungan tau gak sih." Luna membuat simbol victoria dengan kedua jarinya di samping kepala. Fay menggebrak meja, sontak membuat seisi kelas menoleh kearah mereka. "Tapi untung ada Kak Dion, tadi dia yang bantuin gue, kalo gak ada, gak tau deh gimana jadinya..." lanjut Luna. Membuat wajah Vanya agak padam. Luna tak tahu Vanya naksir dengan Dion—begitu juga Vanya tak tahu bahwa Luna naksir dengan Dion.

***

"Ah rese. Fay pake segala gak mau nemenin. Udah tau gue kebelet." Vanya menggerutu sepanjang jalan menuju toilet perempuan. Ia kesal karena keburu ditinggal jemputan sendirian. Masih mending kalau ada Fay—jadi mereka bisa naik nagkutan umum bareng kalaupun tertinggal. Tapi saat ini, Fay beralasan ada acara jadi ia harus pulang cepat.

Langkahnya begitu cepat dan terburu-buru. Sampai pada satu titik, ia berhenti karena menyadari ada sekumpulan orang di depannya.

I—itu bukannya Kak Dion, Utha, Tio, Vero, dan Rezi? Sedang apa mereka disana?

***

Beberapa minggu kemudian, tersiar kabar yang mampu menggetarkan satu sekolah.

Bahwa Vanya—sahabat baru Luna—jadian dengan Dion.

Kabar itu menyebar dari mulut ke mulut, hingga sampai ke telinga Luna. Ia merasa terpukul mendengar hal itu, bukan karena cinta yang tak berbalas, namun karena sahabat yang tak peka saat ia menyukai seseorang. Dan salahnya lagi, sahabat itu malah dengan kerasan merebut pujaan hati orang terdekatnya.

Bukan hanya seluruh murid kelas sebelas dan dua belas yang kecewa karena pujaan hati mereka selama ini diambil orang, namun ada seseorang disana. Berdiri sendiri dibalik ribuan topeng emosi yang menutupi wajahnya. Dan pastinya, dibalik topeng itu, ada sebuah hati yang terluka sehingga rapuh. Ingin sekali menuntut keadilan, hati itu ingin kembali berteriak dan mengatakan yang sebenarnya. Berkata bahwa takdir tak lazim menyerangnya, takdir yang seharusnya tak perlu repot mempertemukan ia dengan hati lain—Dion. Karena bagaimanapun juga hati kecil itu bersuara, mungkin tak akan terdengar oleh si pemilik hati incarannya. Mau bagaimanapun ia berjuang dan berontak, itu semua hanya akan menghasilkan kehancuran. Bagai tergores sebuah belati dan ditancapkan seribu panah. Luna.

"Kok lo bisa jadian sama Kak Dion? Gewla, susah loh dapetin dia hahah..." Luna bicara berdua dengan Vanya. Mereka berdiri di koridor kelas sepuluh yang kini sepi karena masih pagi. Luna berusaha menahan tangisnya. Sakit. Hanya satu hal itu yang ia rasa. Hatinya getir. Berusaha tertawa agar sedihnya tak tampak. Tangannya mengepal menahan tegang. Buku-buku tangannya memutih mendengar pernyataan sahabat baiknya itu—setidaknya selama ia baru masuk SMA.

"Bisa." Jawabnya enteng. Sahabat. Sahabat itu apa? harusnya sahabat itu adalah orang yang selalu ada, berbagi bermacam momen dan perasaan. Baru saja Luna ingin menyatakan di hadapan Fay dan Vanya bahwa ia mulai cinta dan main hati dengan Dion, namun ini yang ia dapat?

Tak lebih dari sebuah pengkhianatan. Namun cukup dibilang tikungan tajam.

"Percaya deh, Lun. Takdir itu ada. Dan mungkin emang takdir yang udah bikin gue sama Dion nyatu. Gak lebih."

Takdir, yes?

"Oh hell, takdir ya. Yaa bisa sih. Kadang seseorang yang tak kita kira menjadi milik kita bisa aja ternyata dia jodoh kita. Cuma cara tuhan buat satuin dua orang itu yang berbeda. Bisa dengan senang-senang dulu abis itu jadian, bisa dengan hal yang tak terduga, tapi bisa juga dengan sakit hati dulu baru mereka bisa satu. And always, cara yang terakhir itu tuhan kasih karena ada rahasia dibaliknya. Gue yakin kalian berdua emang cocok disatuin karena kalian itu saling cinta, kan?" Luna tersenyum penuh arti. Iya, penuh arti. Senang, bahagia, sedih, sakit hati, getir.

Vanya keheranan dengan apa yang diucapkan oleh Luna. "Maksud lo? Cara terakhir? Rahasia apa?"

"Maksud gue, kalian mungkin aja emang jodoh kan? Buktinya aja lo bisa tiba-tiba gitu jadian sama Kak Dion, padahal awalnya kalian kenal aja engga saling sapa gak pernah. Terus maksud gue rahasia itu, sakit hati baru jadian, itu ujian buat ngukur seberapa kita bisa mengerti tentang sakit hati. Karena mungkin tuhan mau, saat kita merasakan sakit hati, kita dapat menghargai bagaimana rasanya saat bahagia. Jadi kita gak ngelakuin hal bodoh yang bikin sakit hati itu muncul. Kan sakit hati bukan cuma gara-gara cowok, gara-gara sahabat contohnya."

Vanya terdiam.

Begitupun dengan Luna.

Suasana hening. Krik.

Nafas mereka seperti tertahan. Vanya bagai tersambar petir yang kuat. Kenapa? Luna juga tak mengetahui sebabnya. Karena setelah Luna berbicara seperti itu, Vanya terlihat tegang dan menahan napas.

Mendadak Luna langsung sadar kondisi, ia lalu menepuk bahu kanan Vanya sambil agak mengangkat tas nya untuk mengurangi beban berat buku di dalamnya. "Udah kata-kata gue gak usah dipikirin. Gue balik dulu ya, udah di jemput nih. Bye." Katanya sambil mengutak-atik ponsel di tangannya. Ia lalu berlari pergi meninggalkan Vanya yang masih membeku di tempat.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

Dah segini dulu buat bagian ini.

Vote n Comment ya!

Dank~~ 

JAKARTA, 27 MEI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro